BAB I
PENDAHULUAN
Teori-teori belajar bermunculan seiring
dengan perkembangan teori psikologi. Salah satu diantara teori belajar yang
terkenal adalah teori belajar behaviorisme dengan tokohnya B.F. Skinner,
Thorndike, Watson dan lain-lain. Dikatakan bahwa, teori-teori belajar hasil
eksperimen mereka secara prinsipal bersifat behavioristik dalam arti lebih
menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur.
Namun seiring dengan kemajuan zaman dan
perkembangan ilmu pengetahuan, teori tersebut mempunyai beberapa kelemahan,
yang menuntut adanya pemikiran teori belajar yang baru. Dikatakan bahwa,
teori-teori behaviorisme itu bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan
stimulus dan respon, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot,
padahal setiap manusia memiliki kemampuan mengarahkan diri (self-direction)
dan pengendalian diri (self control) yang bersifat kognitif, dan
karenanya ia bisa menolak respon jika ia tidak menghendaki, misalnya karena
lelah atau berlawanan dengan kata hati, dan proses belajar manusia yang
dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat
mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan.
BAB II
PEMBAHASAN
TEORI-TEORI BELAJAR DAN
IMPLIKASINYA DALAM KELAS
A.
TEORI
BELAJAR BEHAVIORISTIK
1.
Pengertian
Teori Behavioristik
Kaum
behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah
laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk
merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan
kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi
pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan
tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang
sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan
teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari
semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching
Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran
lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan
faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran
yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.Teori behavioristik
banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang
kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan
dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan
respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan
behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan
ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu
pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon
yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori
behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses
belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner
dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan
digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut
dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi
pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.Menurut Guthrie hukuman memegang
peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner
tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
1. Pengaruh
hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
- Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
- Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
2. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar
pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan
pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai
hukuman.Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung
dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar
atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur
pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan
dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus
dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran,
pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan
penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum
yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat
diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam
proses evaluasi.Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran
dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk
berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena
sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan
stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot.
Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang
ada pada diri mereka.
Tujuan pembelajaran menurut teori
behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi
aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes.
Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi
atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran
mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih
banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan
evaluasi menekankan pada hasil belajar.Tokoh-tokoh aliran behavioristik di
antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner.
B.
TEORI
BELAJAR KOGNITIF
1.
Pengertian Teori Belajar Kognitif
Teori belajar
Kognitif adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang telah memberikan
kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi pendidikan.
Meskipun pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan
behavioristik, tidak berarti psikologi kognitif anti terhadap aliran
behaviorisme. Hanya, menurut para ahli psikologi kognitif aliran behaviorisme
itu tidak lengkap sebagai sebuah teori psikologi, sebab tidak memperhatikan
proses kejiwaan yang berdimensi rumah cipta seperti berfikiir, mempertimbangkan
pilihan dan mengambil keputusan. Selain ini, aliran behaviorisme juga tidak mau
tahu urusan ranah rasa.
Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses
daripada hasil belajar itu
sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan
antara stimulus dan respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses
berpikir yang sangat kompleks. Pada masa-masa awal diperkenalkannya teori ini,
para ahli mencoba menjelaskan bagaimana siswa mengolah stimulus, dan bagaimana
siswa tersebut bisa sampai ke respon tertentu (pengaruh aliran tingkah laku
masih terlihat di sini).
Namun, lambat laun perhatian itu mulai bergeser. Saat ini
perhatian mereka terpusat pada proses
bagaimana suatu ilmu yang baru berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya telah
dikuasai oleh siswa. Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun
dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan
dengan lingkungan.Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam
“tahap-tahap perkembangan” yang diusulkan oleh Jean Piagiet, “belajar
bermakna”nya Ausubel, dan “belajar penemuan secara bebas” (free discovery
learning) oleh Jerome Bruner.Dalam perspektif psikologi kognitif,
belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioralyang
bersifat jasmaniahmeskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata
dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa.Pendekatan psikologi kognitif lebih
menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para
ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak, tak dapat diukur dan
diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti : motivasi, kesengajaan,
keyakinan dan sebagainya.
Meskipun
pendekatan kognitif ini sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik,
tidak berarti pendekatan kognitif anti terhadap aliran behavioristik.
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika
“pengatur kemajuan (belajar)” atau advance organizer didefinisikan dan
dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar
adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran
yang akan diajarkan kepada siswa. David Ausubel merupakan salah satu tokoh ahli
psikologi kognitif yang berpendapat bahwa keberhasilan belajar siswa sangat
ditentukan oleh kebermaknaan bahan ajar yang dipelajari. Ausubel
mengidentifikasikan empat kemungkinan tipe belajar, yaitu:
1. Belajar dengan
penemuan yang bermakna
2. Belajar dengan
ceramah yang bermakna
3. Belajar
dengan penemuan yang tidak bermakna
4. Belajar dengan
ceramah yang tidak bermakna. Dia berpendapat bahwa menghafal berlawanan dengan
bermakna, karena belajar dengan
menghafal, peserta didik tidak dapat mengaitkan informasi yang diperoleh itu
dengan pengetahuan yang telah dimilikinya.
Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai
(dipelajari) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan yang
diantaranya : Kognitif.Kognitif
terdiri dari enam tingkatan, yaitu :
1. Pengetahuan (mengingat, menghafal),
2. Pemahaman (menginterpretasikan),
3. Aplikasi/penerapan (menggunakan
konsep untuk memecahkan suatu masalah),
4. Analisis (menjabarkan suatu konsep),
5. Sintesis
(menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh),
6. Evaluasi (membandingkan nilai, ide,
metode dan sebagainya).
C.
TEORI
BELAJAR HUMANISTIK
1.
Pengertian
Teori Humanistik
Dalam
teori humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia.
Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana dirinya untuk melakukan hal-hal
yang positif. Kemampuan positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan
para pendidik yang beraliran humanisme biasanya menfokuskan pengajarannya pada
pembangunan kemampuan yang positif. Kemampuan positif tersebut erat kaitannya
dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif.
Emosi
merupakan karateristik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik
beraliran humanisme. Dalam teori pembelajaran humanistik, belajar merupakan
proses yang dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia.
Dimana memanusiakan manusia di sini berarti mempunyai tujuan untuk mencapai aktualisasi
diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal.
2. Ciri-ciri Teori Humanisme
Dalam teori belajar humanistik, belajar
dianggap berhasil jika siswa memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa
dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai
aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami
perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang
pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk
mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal
diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan
potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Ada salah satu ide penting dalam teori
belajar humanisme yaitu siswa harus mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri
dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga siswa mengetahui apa yang
dipelajarinya serta tahu seberapa besar siswa tersebut dapat memahaminya. Dan
juga siswa dapat mengetahui mana, kapan, dan bagaimana mereka akan belajar.
Dengan demikian maka siswa diharapkan mendapat manfaat dan kegunaan dari hasil
belajar bagi dirinya sendiri. Aliran humanisme memandang belajar sebagai sebuah
proses yang terjadi dalam individu yang meliputi bagian/domain yang ada yaitu
dapat meliputi domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dengan
kata lain, pendekatan humanisme menekankan pentingnya emosi atau perasaan,
komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Untuk itu,
metode pembelajaran humanistik mengarah pada upaya untuk mengasah nilai-nilai
kemanusiaan siswa. Sehingga para pendidik/guru diharapkan dalam pembelajaran
lebih menekankan nilai-nilai kerjasama, saling membantu, dan menguntungkan,
kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan dalam proses pembelajaran
sehingga menghasilkan suatu proses pembelajaran yang diharapkan sesuai dengan
tujuan dan hasil belajar yang dicapai siswa.
4. Aplikasi dan Implikasi Humanisme
a. Guru Sebagai Fasilitator
Psikologi
humanisme memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yaitu sebagai berikut:
1.
Fasilitator sebaiknya
memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau
pengalaman kelas
2. Fasilitator
membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam
kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3. Dia
mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan
tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang
tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4. Dia
mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas
dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5. Dia
menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
6. Di
dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik
isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk
menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok.
7. Bilamana
cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat
berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota
kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti
siswa yang lain.
8.
Dia mengambil prakarsa
untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak
menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi
yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
5.Aplikasi
Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Siswa
Aplikasi
teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran
yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan
motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru
memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk
memperoleh tujuan pembelajaran.Siswa berperan sebagai pelaku utama (student
center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa
memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan
meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Pembelajaran berdasarkan teori
humanisme ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat
pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap
fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa
senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir,
perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang
bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya
sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau
melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.
KESIMPULAN
Dari pembahasan
makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwaFaktor
kognitif
bagi teori belajar kognitif
merupakan faktor pertama dan utama
yang perlu dikembangkan oleh para guru dalam membelajarkan peserta didik,
karena kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauhmana
fungsi kognitif peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan optimal
melalui sentuhan proses pendidikan.
Peranan guru menurut psikologi kognitif ialah
bagaimana dapat mengembangkan potensi
kognitif yang ada pada setiap peserta didik. Jika potensi kognitif yang
ada pada setiap peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual
oleh proses pendidikan di sekolah, maka peserta didik akan mengetahui dan
memahami serta menguasai materi pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui
proses belajar mengajar di kelas.
DAFTAR PUSTAKA
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru, Bandung: Rosda Karya, 2010.
Uno, Hamzah B.,
Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2006.
Winkel, W. S., Psikologi
Pengajaran cet. 6. Yogyakarta: Media Abadi, 2004.
0 komentar:
Post a Comment