BAB I
PENDAHULUAN
Mempelajari filsafat secara keseluruhan dapat
melalui dua hal, yaitu filsafat sistematika dan sejarah filsafat. Melalui sistematika,
kita akan mempelajari filsafat dengan
cabang-cabang filsafat. Melalui filsafat sistematik, kita akan mempelajari
filsafat dengan cabang-cabannya yang dalam buku inipun dibahas, yaitu tentang
logika, epistemology, filsafat ilmu, etika estetika dan lain-lain.
Maka daripada itu, dalam makalah ini akan kami bahas
mengenai filsafat metafisika, yang akan kami jelaskan secara ringkas dan jelas.
Yaitu berisi tentang dari pengertian filsafat metafisika itu sendiri, ontology dan lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT METAFISIKA
A.
PENGERTIAN METAFISIKA
Metafisika
berasal dari bahasa Yunani, meta yang
berarti selain, sesudah atau sebalik, dan fisika
yang berarti alam nyata. Maksudnya adalah ilmu yang menyelidiki hakikat segala
sesuatu dari alam nyata dengan tidak terbatas pada apa yang dapat ditangkap
oleh panca indera saja (Hasbullah Bakry: 1971, hal. 45).
Pengertian
metafisika menurut Van Peursen adalah bagian filsafat yang memusatkan
perhatianya pada pertanyaan mengenai akar terdalam yang mendasari segala adanya
kita (Van Peursen: 1983, hal. 73).
Nama
metafisika tidak pernah dipakai Aristoteles sendiri. Pendapat orang terdahulu
bahwa nama itu berasal dari Andronikos dari Rhodos (tahun 70 SM). (Anton
Bakker: 1971: hal. 1). Andronikos inilah yang menemukan sejumlah tulisan
mengenai fisika, namun yang membicarakan sesuatu yang bersifat lebih umum dari
segala sesuatu yang dibicarakan dalam fisika. Seperti asas/prinsip yang umum.
Andronikos memberikan nama himpunan bagi
tulisan-tulisan tersebut, yaitu metata physika. Berdasarkan atas pemberian nama
itu, pada awal zaman pertengahan muncul istilah metafisika untuk menunjukan ajaran kefilsafatan tertentu.
Aristoteles
sendiri tidak mengenal istilah ontologia dan metafisika, tetapi beliau memberi
nama tersendiri terhadap ilmu pengetahuan, yaitu Prote Philosophia yang
berarti filsafat pertama atau bagian dari filsafat yang utama. (B. Delfgaauw:
1984, hal. 30). Aristoteles berpendapat bahwa objek dari metafisika itu ada dua
macam yaitu ada yang sebagai yang ada,
dan yang ilahi. Pembahasan mengenai yang ada sebagai yang ada, yang ada dalam
keadaan yang wajar, menunjukan bahwa ilmu pengetahuan semacam ini berusaha
untuk memahami yang ada itu dalam bentuk yang semurni-murninya. Dalam hal ini,
yang penting bukannya apakah yang ada itu dapat terkena oleh perubahan atau tidak,
bersifat kejasmanian atau tidak, melainkan apakah barang sesuatu itu memang
sungguh-sungguh ada.
Jika
diikuti cara berpikir yang demikian ini, berarti akan sampai pada pendapat
bahwa hanya Tuhanlah yagn sungguh-sungguh ada, yang semutlak-mutlaknya, artinya
yang sama sekali tidak tergantung pada hal-hal yang lain. Segala sesuatu yang
lainnya sekadar mempunyai pengertian yang nisbi, begitu pula adanya tergantung
pada Tuhan.
Pembicaraan
mengenai yang ada sebagai yang ada bertitik tolak pada pencerapan/tangkap
dengan panca indra. Apabila kita ingin berpikir mengenai barang sesuatu,
pertama-tama kita harus mengetahui apakah barang sesuatu itu memang terdapat didunia ini. Oleh karena ituyang
menjadi masalah ialah sesuatu yang dapat dicerap, yang mempunyai cirri-ciri
bersifat paling umum. Cirri-ciri tersebut ialah sesuatu itu sungguh-sungguh ada
dan sesuatu itu mau tidak mau pastilah mempunyai akibat-akibat tertentu.
Sebaliknya apabila kita membicarakan mengenai yang ilahi berarti kita bertitik
tolak dari sesuatu yang pada dasarnya tidak dapat ditangkap dengan panca indra.
Karena Tuhan itu tidak dapat diketahui dengan menggunakan alat-alat indra
manusia. Berhubungan dengan itu cara berpikir semacam ini merupakan cara
berpikir yang berlainan sama sekali (Delfgaauw:
1988, hal. 23-24).
Menurut
Aristoteles, ilmu metafisika termasuk cabang filsafat teoretis yang membahas
masalah hakekat segala sesuatu, sehingga dengan demikian ilmu metafisika
menjadi inti filsafat. Masalah-masalah yang metafisika merupakan sesuatu yang
fundamental dari kehidupan, oleh karena itu, setiap orang yang sadar berhadapan
dengan sesuatu yang metafisik tetap tersangkut di dalamnya. Pada zaman
pertengahan di mana zamannya Al Ghazali hidup yang dijumpai hanyalah nama
metafisika. Pada waktu itu ajaran mengenai yang ada dan pembicaraan secara
kefilsafatan mengenai Tuhan sudah termuat di dalam ilmu pengetahuan yang
dinamakan metafisika itu. Pada waktu itu orang beranggapan bahwa kedua macam
masalah tersebut yang satu tidak dapat dipisahkan dengan yang lain.
Pada
abad ke-17 dan 18 orang mulai mengadakan pemilihan terhadap berbagai bagian
dari metafisika. Yang paling berpengaruh ialah pemilihan yang dilakukan oleh
Cristian Wolff, yaitu antara Metaphysica
generalis dan metaphysica specialis.
Bagi metaphysica generalis, Cristian
Wolff menggunakan istilah ontologia. Metaphysica generalis membahas asas-asas
atau prinsip-prinsip yang seumum-umumnya, sedangkan metaphysica specialis membahas penerapan asas-asas atau
prinsip-prinsip tersebut terhadap
bidang-bidang yang khusus. Cristian Wolff menyebutkan ada tiga bidang, yaitu
cosmologia, psichologia, dan theologia. (B. Delfgaauw: 1984: hal. 32-33).
Jadi,
kalau dibuat skema pendapat Cristian Wolff tersebut akan tampak sebagai berikut:
Metaphysica
generalis (ontology)
Metaphysica
Metaphyisica
specialis
Dari
uraian diatas, tampak antara metafisika dan ontology pada mulanya istilahnya
satu, yaitu metafisika. Kemudian pada abad ke-17 mulai antara metafisika dan
ontology dipilahkan. Ditinjau pengertian secara etimologi antara ontology dan
metafisika berbeda. Ontology berasal dari kata ta onta dan logia. Ta onta berarti segala sesuatu yang ada
dan logia berarti ajaran/ilmu
pengetahuan. Jadi, ontology berarti ajaran mengenai yang ada atau segala
sesuatu yang ada. Adapun metafisika telah diuraikan diatas berarti sesuatu yang
ada sesudah fisika.
Metafisika
adalah pengetahuan yang mempersoalkan hakikat terakhir eksistensi, yang erat
hubungannya dengan ilmu pengetahuan alam. Ada dua persoalan dalam metafisika,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Apakah jiwa kita
sebagai gejala sesuatu zat, atau pada hakikatnya berbeda dengan sesuatu zat.
2.
Dari mana asal
kosmos, apa hakikat ruang dan waktu?
Adapun ontology adalah
ilmu yang mencari esensi dari eksistensi yang terakhir. Jadi, persoalan yang
pertama menyangkut masalah ontology. Dengan demikian menurut Louis O. Kattsoff,
ontology adalah bagian dari metafisika.
B.
ONTOLOGI
Tokoh
yang membuat istilah ontology adalah Cristian Wolff (1979-1714). Istilah ontology
berasal dari Yunani, yaitu berasal dari kata ta onta berarti “yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian,
ontology adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berbeda. Persoalan
dalam keberadaan menurut Ali Mudhofir (1996) ada tiga pandangan, yaitu
masing-masing menimbulkan aliran yang berbeda. Tiga segi pandangan itu adalah
sebagai berikut:
1.
Keberadaan
dipandang dari segi jumlah (kuantitas)
Keberadaan
dipandang dari segi jumlah (kuantitas) artinya berapa banyak kenyatan yang
paling dalam itu. Pandangan ini melahirkan beberapa aliran filsafat sebagai
jawabannya, yaitu sebagai berikut:
a)
Monisme
Aliran
yang menyatakan bahwa hanya satu kenyataan fundamental. Kenyataan tersebut
dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya yang tidak dapat
diketahui. Tokohnya antara lain adalah Thales (625-545 SM) yang Anaximander
(610-547 SM) berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyataan terdalam adalah
Apeiron, yaitu sesuatu yang tanpa batas, tidak dapat ditentukan dan tidak
memiliki persamaan dengan salah satu benda yang ada dalam dunia. Anaximenes
(585-528 SM) berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyataan yang sedalam-dalamnya
adalah udara.
b)
Dualisme (serba
dua)
Aliran
yang menganggap adanya dua substansi yang masing-masing berdiri sendiri.
Tokoh-tokoh yang termasuk aliran ini adalah Plato (428-348 SM), yang membedakan
dua dunia, yaitu dunia indra (dunia bayang-bayang) dan dunia ide (dunia yang
terbuka bagi rasio manusia).
c)
Pluralisme
(serba banyak)
Aliran
yang tidak mengakui adanya satu substansi atau dua substansi melainkan banyak
substansi. Para filsuf yang termasuk pluralisme diantaranya Empedokles (490-430
SM) yang menyatakan bahwa hakekat
kenyataan terdiri dari empat unsur yaitu udara, api, air, dan tanah. Anaxagoras
(500-428 SM) yang menyatakan bahwa hakekat kenyataan terdiri atas unsur-unsur
yang tidak terhitung banyaknya, sebanyak jumlah sifat benda dan semuanya
dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakan nous.
Dikatakan bahwa nous adalah suatu zat
yang paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur. Leibniz
(1646-1716) menyatakan bahwa hakekat kenyataan terdiri atas monade-monade yang tidak berluas, selalu
bergerak, tidak terbagi, dan tidak dapat rusak. Setiap monade saling
berhubungan dalam suatu system yang sebelumnya telah diselaraskan “harmonia
prestabilia”.
2.
Keberadaan
Dipandang dari Segi Sifat (Kualitas)
Keberadaan
dipandang dari segi sifat (kualitas) menimbulkan beberapa aliran sebagai
berikut:
a)
Spiritualisme
Spiritualisme
mengandung beberapa arti diantaranya adalah sebagai berikut:
1)
Ajaran yang
menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh yaitu roh yagn mengisi dan
mendasari seluruh alam.
2)
Kadang-kadang
dikenakan pada pandangan idealistis yagn menyatakan adanya roh mutlak. Dunia
indra dalam pengertian ini dipandang sebagai dunia ide.
3)
Diapaki dalam
istilah keagamaan untuk menekankan pengaruh langsung dari roh suci dalam bidang
agama.
4)
Kepercayaan
bahwa roh mati berkomunikasi dengan orang yang masih hidup melalui perantara
atau orang tertentu dan lewat bentuk wujud yang lain.
b)
Matrealisme
Adalah pandangan
yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang nyata kecuali materi. Pikiran dan
kesadaran hanyalah penjelmaan dari materi yang dapat dikembalikan pada
unsur-unsur fisik. Materi adalah sesuatu yang kelihatan, dapat diraba, berbentuk,
dan menempati ruang.
3.
Keberadaan
Dipandang dari Segi Proses, Kejadian, atau Perubahan
Aliran
yang berusaha untuk menjawab persoalan ini adalah sebagai berikut:
a)
Mekanisme
Menyatakan
bahwa semua gejala dapat dijelaskan berdasarkan asas-asas mekanik (mesin).
Semua peristiwa adalah hasil dari materi yang bergerak dan dapat dijelaskan menurut
kaidahnya. Aliran ini juga menerangkan semua peristiwa berdasarkan pada sebab
kerja yang dilawankan dengan sebab tujuan.
b)
Teleology (serba
tujuan)
Berpendirian
bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab akibat, akan
tetapi sejak semula memang ada sesuatu kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam kesuatu tujuan. Plato membedakan antara
idea dengan materi. Tujuan berlaku dialam ide, sedangkan kaidah sebab akibat
berlaku dalam materi.
Menurut
Aristoteles, untuk melihat kenyataan
yang sesungguhnya kita harus memahami empat sebab yaitu sebab bahan, sebab
bentuk, sebab kerja, dan sebab tujuan. Sebab bahan adalah bahan yang menjadikan
sesuatu itu ada, sebab bentuk adalah yang menjadikan sesuatu itu berbentuk, sebab
kerja adalah yang menyebabkan bentuk itu bekerja atas bahan, sebab tujuan
adalah yang menyebabkan tujuan itu semata-mata karena perubahan tempat atau
gerak.
c)
Vitalisme
Memandang
bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisika-kimiawi, karena
hakikatnya berbeda dengan yang tidak hidup. Filsuf vitalisme seperti Henry
Bergson (1859-1941) menyebutkan elan vital. Dikatakannya bahwa elan vital
merupakan sumber dari sebab kerja dan perkembangan dalam alam. Asas hidup ini
memimpin dan mengatur gejala hidup dan menyesuaikannya dengan tujuan hidup.
Oleh karena itu, vitalisme sering juga dinamakan finalisme.
C.
TEOLOGI
Teologi
memiliki makna yang sangat luas dan dalam. Adapun yang dimaksud dengan theology dalam ruang lingkup metafisika adalah filsafat
ketuhanan yang bertitik tolak semata-mata kepada kejadian alam (theology
naturalis). Dalam bukunya yang berjudul philosophie,
Karl Jaspers (1883) memberikan suatu
pembahasan mengenai berbagai cara yang dapat menyebabkan manusia mempunyai
keinsyafan tentang adanya Tuhan berdasarkan atas sesuatu yang dapat ditangkap
dengan panca indra. Pertama-tama terdapat suatu cara yang formal, yang
menunjukan bahwa segenap pengertian hakiki dimiliki oleh manusia senantiasa menunjuk
pada adanya suatu yang tidak terbatas.
Dalam
masalah teologi, Thomas Aquinas mengajukan lima bukti adanya Tuhan, yaitu
sebagai berikut:
1.
Adanya gerak
didunia mengharuskan kita menerima bahwa ada penggerak pertama, yaitu Allah.
2.
Didalam dunia
yang diamati terdapat suatu tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau yang
berdaya guna.
3.
Didalam alam
semesta terdapat hal-hal yang mungkin “ada” dan “tidak ada” karena semuanya itu
juga dapat rusak maka ada kemungkinan semuanya itu senantiasa ada.
4.
Diantara segala
yang ada terdapat hal-hal yang lebih atau kurang baik, lebih atau kurang benar,
dan lain sebagainya.
5.
Kita menyaksikan
bahwa segala sesuatu yang tidka berakal, seperti tubuh alamiah, berbuat menuju
kepada akhirnya. Hal ini tampak dari caranya segala sesuatu yang tidak berakal
tadi berbuat, yaitu senantiasa dengan cara yang sama untuk mencapai hasil yang
terbaik.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Pengertian
metafisika menurut Van Peursen adalah bagian filsafat yang memusatkan
perhatianya pada pertanyaan mengenai akar terdalam yang mendasari segala adanya
kita. Nama metafisika tidak pernah
dipakai Aristoteles sendiri. Pendapat orang terdahulu bahwa nama itu berasal
dari Andronikos dari Rhodos (tahun 70 SM).
Menurut
Aristoteles, ilmu metafisika termasuk cabang filsafat teoretis yang membahas
masalah hakekat segala sesuatu, sehingga dengan demikian ilmu metafisika
menjadi inti filsafat. Masalah-masalah yang metafisika merupakan sesuatu yang
fundamental dari kehidupan, oleh karena itu, setiap orang yang sadar berhadapan
dengan sesuatu yang metafisik tetap tersangkut di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bakker, Anton. 1984. Metode-metode Filsafat. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Bakry, Hasbullah. 1986. Sistematik Filsafat. Cetakan Kedelapan.
Jakarta: Wijaya.
C.A. Von.. 1989. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Judul Asli Cultuur
Stroomversnelling-eengeheel bewerkte littgave Van Strategi Van De Cultuur,
Terjemahan Dick Hartoko, Cet. Ke-2.
Delfgaauw, B. 1992. Sejarah Ringkas Filsafat Baru. Terjemahan Soejono Peugen.
Soemargono, Judul Asli Beknopte Geschiedenis der Wijsbegeerte. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara.
0 komentar:
Post a Comment