BAB I
PENDAHULUAN
Setelah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia telah
mencapai puncaknya dengan di proklamirkannya proklamasi oleh Sukarno,
sesungguhnya perjuangan bangsa ini masih banyak yang harus disempurnakan. Sejak
awal kebangkitan Nasional, posisi agama sudah mulai di bicarakan dalam
kaitannya dengan politik atau Negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua
golongan yang bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, negara
Indonesia merdeka hendaknya merupakan sebuah negara “sekuler”, negara yang
dengan jelas memisahkan persoalan agama dan politik, sebagaimana diterapkan di
negara turki oleh mustafa kamal. Golongan lainnya bependapat, negara Indonesia
merdeka adalah “Negara Islam”.
Indonesia adalah Negara yang memiliki penduduk yang
mayoritas beragama Islam. Walaupun Indonesia tidak memakai Islam sebagai Asas
Negara, akan tetapi mayoritas kebudayaan yang diusung oleh Islam sangat
mendominasi kehidupan bangsa Indonesia, khususnya penduduk yang beragama Islam.
Kebudayaan-kebudayaan yang berlaku itu berangsur-angsur membentuk suatu
peradaban Islam yang mampu membawa penduduk Indonesia kepada kemajuan dan
kecerdasan.
BAB II
PEMBAHASAN
PERADABAN ISLAM DI INDONESIA SESUDAH KEMERDEKAAN
A.
PERADABAN
ISLAM SESUDAH KEMERDEKAAN
1.
Departemen
Agama
Setelah kemerdekaan Indonesia, para
pemimpin rakyat Indonesia sepakat menerapkan bentuk Republik dalam pemerintahan
Indonesia. Dan berdasarkan pada asas pancasila dan UUD 1945.Dalam pancasila
ditemukan kesamaan dengan ajaran Syariat Islam dalam Al-Qur’an sebagai sumber
hukum utama umat Islam. Dalam struktur pemerintahan Republik Indoesia dibentuk
departemen Agama yang dulu bernama kementrian agama. Yang didirikan pertama
kali pada masa kabinet syahrir sampai sekarang mentri agamanya masih dipegang
oleh seorang muslim. Kepala negara dan mentrinya mayoritas dari kaum muslimin.
Sebelum terbentuknya kementrian ini,
ada pembahasan mengenai apakah kementrian ini akan dinamakan kementrian agama
Islam ataukah kementrian agama saja. Akhirnya diputuskan menjadi kementrian
agama, yang pertama-tama mempunyai tiga seksi dan kemudian empat seksi,
masing-masing kaum muslimin, umat protestan, umat katholik, dan umat hindu
budha (dulu disebut agama Hindu Bali).
Sesuai dengan perkembangan
departemen ini strukturnya berkembang dari yang hanya terdiri dari empat seksi,
sekaang terdiri dari lima direktorat jendral, yaitu direktorat jendral
bimbingan masyarakat Islam dan urusan haji, di rektorat jendral pembinan
kelembagaan agama Islam, direktorat jrndral bimbingan masyarakat katholik,
direktorat jendral bimbingan masyarakat protestan, dan direktorat jendral
bimbingan masyarakat hindu dan budha. Menti agama juga dibantu oleh lembaga
inspektorat jendral, sekretariat jendral, badan penelitian dan pengembangan
(balitbang) agama dan pusat pendidikan dan latihan (pusdiklat) pegawai.
2. Pendidikan
Setelah berdirinya departemen agama,
persoalan pendidikan mulai mendapat perhatian lebih serius. Badan pekerja
komite nasional pusat dalam bulan desember 1945 menganjurkan agar pendidikan
madrasah diteruskan.Kurikulum 1975 tercipta setelah melalui perjuangan pihak
pengemban madrasah, untuk berusaha menyamakan status dan derajat madrasah yang
dikelola oleh departemen agama dengan status dan derajat pendidikan lain yang
dikelola oleh departemen pendidikan dan kebudayaan.
Berkenaan dengan perguruan tinggi
Islam kaum muskmin di Indonesia sejak awal sudah berfikir untuk membangunnya.
Mahmud yunus membuka Islamic College pertama tanggal 9 desember 1940 di
padang yang terdiri dari Fakultas Syari’ah dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa
Arab. Tujuannya adalah untuk mendidik Ulama.Pada tahun 1958 pemerintah
terdorong untuk mendirikan Madrasah Negri dengan ketentuan kurikulum 30%
pelajaran agama, 70% pelajaran umum. Sistem penyelenggaraan sama dengan sekolah
umum menggunakan tingkatan sebagai berikut:
1. Madrasah Ibtidaiyyah Negri (MIN)
setingkat SD, lama belajar 6 tahun.
2. Madrasah Tsanawiyah Negri (MTsN)
setingkat SMP, lama belajar 3 tahun.
3. Madrasah Aliyah Negri (MAN)
setingkat SMA, Lama belajar 3 tahun.
Salah satu
tugas penting yang dilakukan Departemen Agama adalah menyelenggarakan,
membimbing, dan mengawasi pendidikan agama. Lembaga-lembaga pendidikan islam
sudah berkembang beberapa bentuk sejak zaman penjajahan belanda. Salah satu
bentuk pendidikan islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang tersebar di
berbagai pelosok. Dengan berkembangnya pemikiran pembaharuan dalam islam di
awal abad ke-20, persoalan administrasi dan organisasi pendidikan mulai
mendapat perhatian beberapa kalangan atau organisasi. Kurikulum mulai jelas.
Belajar untuk memahami, dan bukan sekedar menghafal, ditekankan, dan pengertian
ditumbuhkan. Itulah yang dinamakan Madrasah.
Secara
garis besar, ada beberapa hal yang dapat digaris bawahi, yang pertama Geliat
pemikiran islam di Indomnesia pada era 2000-an memang agak berlainan dengan era
sebelumnya. Sebab, pada era ini, pemikiran islam lebih banyak dimotori oleh
anak muda NU yang notabenetelah menjadi santri kota. Hal ini menyiratkan betapa
anak kampung (cah ndeso) melawan belantara kota guna mensosialisasikan
pemikiran mereka. Hal ini sesungguhnya juga di alami oleh pemikiran lainnya,
namun untuk kasus anak muda, mereka telah memiliki panggung yang dipelopori
oleh Gusdur.
Di samping
itu, mereka juga sudah siap menyantap apa saja sebab mereka tidak menggunakan
modal sendiri, karena dibayari oleh funding internasional. Demikian pula,
mereka tidak perlu ambil pusing dengan menu masakannya, sebab menu mereka memang
hasil kolaborasi antara sarjanah Indonesianis dan Arab kontemporer. Kendati
untuk menyantap masakan tersebut, mereka masih mengakui bahwa mereka berasal
dari komunitas wong cilik yaitu pesantren dan IAIN.
Kedua,
jika diniati secara mendalam, pemikiran anak muda NU memang bukan barabg baru
dalam kancah pemikiran islam di Indonesia. Hanya saja, sebagai mana lazimnya
pemikiran, dia pasti menyodok menyeruak ke permukaan seiring dengan
perkembangan zaman. Namun, jika ditilik dari agenda anak muda NU, maka agenda
mereka sudah”agak ketinggalan,” sebab wacana yang dikembangkan sesudah “
selesai” di kalangan IAIN. Pemikiran mereka menjadi heboh tampaknya ketika
dikonsumsi di wilayah Komoditi, seperti Jakarta yang memang menciptakan
pemikiran dari sisi market, bukan substansi pemikiran itu sendiri. Seperti di
tegaskan oleh Robinhus seperti di atas, bahwa pada saatnya pada saatnya anak
muda NU ini akan kembali kekandangnya seperti yang terlihat pula dari sosok Gus
Dur, kendati di usung kemana mana, toh akhirnya kembali ke NU juga.
Ketiga,
hal ini menjadi catatan awal untuk memahami pemikiran Islam di Indonesia era
2000-an. Sebab saat ini anak muda NU lah yang paling terdepan dibandingkan
dengan kelompok muda lainnya. Dalam buku Islam Historis,bahwa pemikiran Islam
akan banyak ditentukan oleh anak Muda NU yang “berani” melawan tradisi dan anak
muda dari IAIN yang seringkali dicap Islam Kere. Hal ini tentu saja akan
memberikan prespektif baru terhadap dinamika studi pemikiran Islam di
Indonesia. Dengan kata lain, era Nur Cholish Madjid telah selesai seiring
dengan keinginannya terlibat dalam politik praktis. Dan inipun akan dilakukan
oleh anak muda NU, seperti yang dilakukan oleh sang pelindung mereka Gus Dur.
3. Hukum Islam
Lembaga Islam yang sangat penting
yang juga ditangani oleh Departemen Agama adalah Hukum atau Syari’at.
Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal hukum muamalat
yang bersifat pribadi. Hukum muamalat terbatas pada persoalan nikah, cerai dan
rujuk, hukum waris (faraidh), wakaf, hibah, dan baitul mal.Keberadaan lembaga
peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa kolonial
belanda. Pada masa pendudukan jepang, pengadilan agama tidak mengalami
perubahan. Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama bertambah, tetapi
administrasinya tidak segera dapat diperbaiki. Para hakim Islam nampak ketat
dan kaku karena hanya berpegang pada madzhab Syafi’i. Sementara itu, belum ada
kitab undang-undang yang seragam yang dapat dijadikan pegangan para hakim dan
pengadilan Agama di dominasi oleh golongan tradisionalis. Karena itulah,
sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) dan Fakultas Syari’ah di
perguruan-perguruan tinggi didirikan.
4.
Haji
Setelah kemerdekaan, pada tahun
1970-an, banyak para pejabat tinggi pemerintah, termasuk menteri, yang tidak
ketinggalan berangkat ke tanah suci. Bahkan dari kalangan merekalah amir
al-hajj (pemimpin jama’ah haji) Indonesia ditunjuk.Sejak zaman penjajahan
belanda, umat Islam Indonesia ingin mempunyai kapal laut untuk dipergunakan
dalam penyelenggaraan perjalanan haji. Iuran dikumpulkan, saham diedarkan,
tetapi selama zaman jajahan keinginan ini tidak terwujud. Setelah Indonesia
merdeka, usaha ini dilanjutkan. Pada tahun 1950 sebuah yayasan, yaitu
perjalanan haji Indonesia, didirikan di jakarta.
Pemerintah memberikan kekuasaan
kepada yayasan itu untuk menyelenggarakan perjalanan haji. Sebuah bank, bank
haji Indonesia dan sebuah perusahaan kapal, pelayaran muslim Indonesia (musi)
didirikan. Tetapi 10 tahun kemudian perusahaan MUSI ini masih saja bertindak
sebagai agen dalam mencarter kapal dari perusahaan asing dalam artian MUSI
tidak mempunyai kapal sendiri.Cara ini ditempuh samapai tahun 1962, ketika MUSI
diperbolehkan oleh pemerintrah, mungkin sekali karena pertimbangan politik.
Setahun sebelumnya, pada tahun 1961, petugas haji Indonesia (PHI) yang bertugas
memberikan kemudahan-kemudahan naik haji, juga dibubarkan karena banyak anggota
PHI adalah anggota Masyumi, partai yang telah dibubarkan.
5.
Majelis
Ulama’ Indonesia
Cara yang dilakukan pemerintah
Indonesia dalam menyelenggarakan administrasi Islam ialah mendirikan Majelis
Ulama. Suatu program pemerintah, apalagi yang berkenaan dengan agama, hanya
bisa berhasil dengan baik. Pertama kali Majelis Ulama didirikan pada masa
pemerintahan Soekarno. Majelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena
diperlukan untuk menjalin keamanan. Di jawa barat berdiri pada tanggal 12 juli
1958, diketahui oleh seorang panglima militer. Setelah keamanan sudah pulih
dari pemberontakan DI-TII tahun 1961 majelis Ulama ini bergerak dalam
kegiatan-kegiatan diluar persoalan keamanan, seperti Da’wah dan Pendidikan.
B.
POLITIK
DALAM ISLAM DI INDONESIA
Hubungan Islam dan politik dalam konstelasi politik di
indonesia di era reformasi, menurut nur cholish madjid dalam salah satu
tulisannya mengungkapkan bahwa ada tiga sebab mengapa pembahasan mengenai
hubungan islam dan politik tidak akan habis-habis untuk di telaah.
- Sebab pertama yaitu kekayaan sumber bahasan, sebagai buah lima belas abad sejarah akumulasi pengalaman dunia islam dalam membangun kebudayaan dan peradaban.
- Sebab kedua yaitu kompleksitas permasalahan, sehingga setiap pembahasan dengan sendirinya teriring untuk memasuki satu atau beberapa pintu pendekatan yang terbatas.
- Sebab ketiga yaitu pembahasan agama dan politik dalam islam ini agaknya akan terus berkepanjangan mengingat sifatnya yang mau tidak mau melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat, khasnya kaum muslimin sendiri.
Adapun
latar belakang kedua memerlukan sebuah metodologi untuk memahami perilaku
politik umat islam. Metodologi ini kemudian menjadi suatu bangunan cetak biru (blue
print) yang mampu menjelaskan islam politik pada era reformasi di
indonesia. Kecuali itu, hal tersebut mampu memberikan bagaimana sesungguhnya
hubungan islam dan politik atau nilai-nilai islam (islamic values) dalam
tataran politik di indonesia. Akhirnya, sebab ketiga berkenaan dengan sesuatu
keyakinan yang di pandang benar yaitu ideologi. Persoalannya apakah Islam boleh
dijadikan ideologi atau sebaliknya Islam mewarnai ideologi itu sendiri.
Lebih
lanjut, dalam konteks indonesia umat Islam dapat di identifikasi dengan lima
cara, antara lain:
1. Siapa saja yang menganut agama Islam
2. Siapa saja yang mempraktikkan ritual
agama islam, contohnya seperti melakukan shalat, membayar zakat, dan menunaikan
haji.
3. Siapa saja yang sangat menguasai
atau lebih berpengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam.
4. Siapa saja yang menyesuaikan
perilaku mereka dengan ajaran-ajaran Islam dalam masyarakat.
5. Siapa saja yang menganggap
ajaran-ajaran Islam sebagai ideologi.
Saat ini, jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam
adalah 86% dari jumlah keseluruhan rakyat indonesia. Jumlah tersebut jika di
klasifikasikan maka akan terbagi kebeberapa bagian yaitu kelompok islam
ortodoks (santri) dan senkretis (abangan). Kelompok islam ortodoks (santri) di
pesantren terutama di pedesaan. Sedangkan wilayah pedesaan indonesia masih
sangat dominan jika dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Isu yang berkembang
diwilayah pedesaan lebih banyak di respon dengan “siapa” yang mengatakan bukan
apa yang dikatakan.
Disinilah muncul kelompok ulama’ yang membidangi pertumbuhan
pesantren. contohnya Jika suatu pendapat dikeluarkan oleh ulama’ maka semua pengikutnya
akan mematuhi dan tidak akan membantahnya dengan begitu disini jarang di
ikutkan proses rasionalisasi, yang ada hanya hubungan emosi antara ulama’ dan
santri serta dengan masyarakat setempat. Sehingga, ketika ada agenda politik
tertentu, yang pertama kali di dekati adalah para ulama’ yanag tinggal di
wilayah tersebut.Sedangkan kelompok yang tinggal di perkotaan sekarang jarang
memperhatikan pada “siapa” yang mengatakan, tetapi “apa” dan “mengapa” sesuatu
dikatakan. Disinilah diperlukan rasionalisasi dan tidak membutuhkan figur
sebagaimana yang terjadi di wilayah pedesaan. Sehingga, untuk memahami apa dan
mengapa diwilayah perkotaan muncullah gerakan islam atau jama’ah diskusi Islam.
Dalam kelompok itulah segala permasalahan umat Islam dibahas.Dan, dalam
proses ini yang kemudian melahirkan berbagai kelompok Islam diwilayah
perkotaan. Sehingga di wilayah perkotaan dijumpai kelompok islam yang liberal
dan konservatif. Ini menunjukkan adanya polarisasi kelompok islam bukan
disebabkan oleh agama islam namun tergantung pada pemahaman kelompok tersebut
pada Islam.
Dengan perkembangan zaman yang pesat kelompok santri ini
merambah kewilayah perkotaan, proses ini berlaku sejak tahun 1990an yang
dikenal dengan sebutan “santrinisasi” (santrinization) yaitu munculnya
sekolah-sekolah elit muslim yang dikenal sebagai “sekolah islam”. Sekolah
tersebut mengajarkan ilmu-ilmu keislaman dan ilmu umum sekaligus. Sekolah model
ini menawarkan sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren yakni para murid
di asramakan dan belajar islam sebagaimana layaknya di pesantren. Dan sistem
pendidikan umum, para murid di ajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan pada sekolah
umum. Sistem santrinisasi sekarang disebut dengan sebutan islamic boarding
school.
Selain proses tersebut, beberapa mahasiswa dikirim ke barat
untuk mempelajari Islam juga untuk ikut mewarnai kehidupan Islam di Indonesia.
Hampir semua pemikir Islam di Indonesia pernah belajar Islam di Barat dan
disaat yang sama juga pernah mengecap pendidikan islam di pesantren seperti di
tegaskan rumadi bahwa akhir tahun 80an, mulai ramai anak-anak NU yang belajar
ke barat seiring berbagai kebijakan pemerintah. Para pemuda muslim banyak yang
belajar keluar negeri.
Oleh karena itu, tidak mengherankan dalam kacah islam
politik di Indonesia, warna-warna pemikiran dari barat ikut memberikan kesan
tersendiri kepada tokoh-tokoh Islam politik. Mereka sering mencontohkan bahwa
Amerikalah negara yang paling demokratis di Dunia. Ringkasnya, mereka kerap thing
like American. Disaat yang lain, ramai juga gerakan Islam di Indonesia yang
tidak suka dengan Amerika. Mereke ini biasanya muncul dari kelompok-kelompok
islam yang terwadahi dalam gerakan atau partai politik yang berasal dari
kalangan Islam yang tinggal di wilayah perkotaan.Dengan demikian, dapat
dipahami jika kemudian tokoh-tokoh “Islam Politik” berasal dari kelompok santri
yang memiliki ikatan kultural dengan masyarakat setempat.
Di dalam Aspirasi politik umat Islam terdapat tiga pola
sosialisasi Islam di Nusantara, yaitu:
- Kota-kota menjadi pusat perdagangan dan basis komunitas Islam, dan dari sinilah Raja atau penguasa kemudian di Islamkan. Sosialisasi Islam digerakkan dari istana, seperti pada kerajaan Goa-Tallo, Bone, Wajo dan Bima.
- Unsur-unsur elite kerajaan berguru ke pusat pendidikan Islam di giri, gresik, seperti dilakukan ternate.
- Kesultanan Islam dibantu menaklukkan raja vasalnya. Ini terjadi pada kasus kerajaan Demak yang membantu kerajaan banjar menaklukan kerajaan Daha, asal penguasanya harus masuk Islam.
Cita-cita Islam dalam lapangan kenegaraan ialah mendirikan
negara Islam di Indonesia, berlakunya hukum-hukum Allah dalam negara Islam dan
menegakkan salam dan bahagia dalam masyarakat manusia seluruhnya.Tujuan itu
bukan saja kita dasarkan karena penduduk Indonesia 95 % memeluk Agama Islam,
tetapi dorongan keyakinan yang bersemi dalam dada kita kaum Muslimin semuanya,
bahwa hanya dengan peraturan Islam lah dunia ini dapat diatur dan disusun.
Hanya dengan undang-undang ilahillah perdamaian dunia yang kekal dan abadi
dapat ditegakkan, undang-udang yang memberi hidup kepada segenap kodrat
manusia, lahir dan batin. Cita-cita kegemerlapan itu dapat diwujudkan, kalau
umat muslim indonesia bisa memegang kekuasaan politik.
C.
GERAKAN
ISLAM DI INDONESIA
1.
Gerakan
Islam Jamaah
Gerakan Islam Jamaah (IJ) sebagai
satu aliran keagamaan, baru muncul pada tahun 1950-an, tepatnya semenjak Kiayi
Nurhasan Al-Ubaedah mendirikan sebuah pesantren di daerah kediri. Tokoh
tersebut dalam pengembangan ajaran-ajarannya memperoleh teman perjuangan, yakni
H. Nurhasyim.Sebagaimana digariskan sejak awal berdirinya, dakwah IJ menekankan
pengajaran Qur’an dan Hadits. Sampai sekarang garis tersebut tidak diubah,
kecuali dikembangkan sedemikian rupa dari segi metode penyampaianya. Penekanan pada
materi itu, menurut pimpinan pesantren Burengan, oleh karena kandungan Quran
dan Hadits sudah laksana lautan yang tidak akan pernah habisnya ditimba,
sehingga membutuhkan waktu yang panjang untuk mempelajarinya.
Terhadap kelompok-kelompok Islam
yang menyusun model pendidikannya dengan memasukan terlalu banyak ilmu-ilmu
alat menurutnya tidak praktis. Katakan saja, misalnya seorang santri diajarkan
berturut-turut kitab Hidayatus Syibyan, Tukhfatul Athfal, lalu jurumiah,
diteruskan dengan amrity, dan akhirnya dianggap hebat kalau telah hafal
Alfiah-nya Ibn Malik. Karena semuanya itu mengenai bahasa Arab atau Nahwu, maka
boleh jadi yang bersangkutan telah habis kesempatanya untuk mempelajari al
Qur’an dan al Hadist. “Bagai mana seseorang bisa menjalankan ajaran agama
dengan baik jika sumber pokoknya tidak sempat dikuasai” kilahnya.
2. Gerakan Kelompok Islam Isa
Bugis
Pada dekade 60-70-an, di daerah Sukabumi, Jawa Barat:
merupakan saat pertama kali mncul kegiatan keagamaan yang kemudian disebut oleh
orang-orang sekitar daerah tersebut ‘Kelompok Islam Ida Bugis’. Sebutan itu
diberikan oleh orang-orang di luar kelompok (Isa Bugis), dengan mengacu kepada
tokoh pemimpin dari kegiatan keagamaan itu, ialah seorang bernama Isa Bugis.
Secara garis besar, apabila dilihat dari buku pedoman yang
dipergunakan sebagai rujukan dalam pendalaman ajaran al Qur’an menurut sunah
Rasul-Nya oleh kelompok ini, pokok ajaran yang dipelajari adalah: a) Iman, b)
Islam, c) Ikhsan, dan dan d) Sa’ah (Qiyamat). Keempat permasalahan itulah yang
menjadi bahasan dalam pertemuan keagamaan yang diadakan kelompok ini.
Sistimatika pembahasan pokok ajaran ini berbeda dengan islam yang dihasilkan
oleh para ulama (islam) yang meliputi: a) Tauhid, b) Fiqih, c) Akhlaq
(tasawuf/filsafat) yang dengan meninggalkan pokok bahasan Sa’ah/Qiyamat.
Menurut pandangan kelompok ini, iman berbeda dengan Tauhid, Islam berbeda
dengan Fiqih, dan Ikhsan berbeda dengan akhlaq/filsafat.
3. Gerakan Jamaah Islam Qurani
Gerakan Jamaah Islam Qur’ani adalah suatu faham yang
menjadikan al Qur’an satu-satunya hanya al Qur ‘an saja yang diakui dan
diterima menjadi dasar hukum dalam hukum islam. Gerakan Jamaah Islam Qurani ini
muncul dan tampak dengan terang-terangan mengembangkan fahamnya di
Indonesia sekitar tahun 1978. Orang-orang yang menganut faham ini oleh
masyarakat sekitarnya disebut “Golongan Ingkar Sunnah/Hadits Nabi Muhammad
menjadi dasar hukum agama Islam setelah al Qur’an. Istilah “Ingkar Sunnah”bagi
penganut paham itu tidak begitu disukai. Mereka menyebut dirinya, sebagai “Jamaah
Qur’an” atau “Orang Qur’an”, karena hanya al Qur’an lah yang mereka anggap
sumber hukum yang benar.
4.
Gerakan
Kaum Muda Islam Mesjid Salman
Gerakan kebangkitan agama secara internal dapat dilihat
sebagai bagian dari proses pencarian bentuk pemahaman baru terhadap ajaran
agama. Alasan serta faktor pendorong pencaian bentuk pemahaman baru itu secara
garis besar bisa dilihat sebagai upaya pencarian jawaban serta penyeselean
artenatif penyeselean terhadap problem-problem sisial, ekonomi, dan beriringan
politik dikalangan umat beragama, yang muncul beriringan dengan
perkembangan serta perubahan masyaakat itu sendiri. Karena agama di yakini
memiliki alternatif penyelesean serta jawaban bagi problem-problem tersebut,
mendorong pendalaman agama secara intens dalam bentuk pemahaman-pemahaman baru
tersebut.
5.
Gerakan
Kelompok Islam di Yokyakarta
Gerakan ini ada tiga kelompok yaitu kelompok Mardliyah,
kelompok Masjid syuhada’, dan kelompok Jama’ah Salahuddin.Dari segi organisasi,
ketiga kelompok tersebut mengambil bentuk organisasi kecil terdiri dari
beberapa pengurus harian dan para pembantu mereka yang menangani bidang-bidang
kegiatan tertentu. Pada kelompok Salahuddin misalnya, struktur organisasi
terdiri dari Ketua Umum dan tiga orang ketua, sekretaris umum dan bendahara
umum. Ketua umum mengkoordinir bidang-bidang program, sementara ketiga ketua
membawahkan unit-unit kegiatan yang telah terlaksana.Idiom-idiom modern sudah
dipergunakan oleh ketiga kelompok ini untuk menyebutkan berbagai komponen
organisasi, seperti: Ketua Umum, Sekretaris Umum, dan sebagainya. Idiom-idiom
yang sekaligus atribut itu tidak terdapat di dalam kelompok-kelompok yang
bersifat tradisional. Disamping itu differensiasi kerja sudah mulai tampak
antara berbagai komponen organisasi dimana masing-masing komponen mempunyai
domin dan tanggung jawab tertentu. Lebih dari itu, tidak seperti organisasi
tradisional yang biasanya mencampurkan milik individu dengan milik organisasi,
ketiga kelompok yang di observasi sudah menunjukkan tanda adanya pemisahan
antara milik individu dengan milik kelompok. Hal-hal tersebut (pemakaian idiom
dan atribut-atribut: modern, “differensiasi kerja, pemisahan milik) menjadi
pertanda bahwa ketiga kelompok telah sampai ketingakt perkembangan “pasca
tradisional”.
6. Gerakan Nadhatul Ulama (NU)
Organisasi Islam NU berdiri pada tanggal 13 Januari 1926
dengan Pemimpinnya K.H. Hasyim As’ari. Latar belakang didirikannya NU adalah
semakin meluasnya paham-paham keislaman dikalangan Masyarakat yang dikeluarkan
oleh kaum modernis (pembaruan) yang dianggap kurang tepat.Adanya perbedaan
pendapat yang tajam antara kaum tradisionalis dan kaum modernis yang dapat
merenggangkan Ukhuwah Islamiyyah. Adanya gejala-gejala yang kurang baik dalam
kehidupan Umat Islam di Indonesia dan perlakuan yang kurang baik oleh kolonial
terhadap kaum pribumi.Perkumpulan NU ini dimaksudkan untuk memegang teguh pada
salah satu madzhab yang empat, dan mengerjakan apa saja yang menjadikan
kemaslahatan agama Islam. Para peninjau sejarah melihat bahwa NU berpraktek menurut
ajaran Imam Syafi’i. Kegiatannya ditujukan untuk mengembangkan agama Islam
dengan memperbanyak Tabligh-tabligh pendidikan supaya umat Islam sadar kembali
atas kewajibannya terhadap agama bangsa, dan tanah air, sehingga bisa beramal
sebagaimana mestinya. NU tidak mencampuri politik Indonesia, KH. Hasyim As’ari
dari jombang adalah tokoh pembentuk NU sedangkan yang mewujudkannya menjadi
organsasi adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah. Kyai ini kiat mengajarkan agama
Islam dan selalu mencari jalan mempersatukan umat Islam dalam sebuah ikatan
agama.
Betapa terkejutnya pimpinan organisasi non Islam melihat
kebangkitan ulama dengan Majlis A’la Indonesia. Para ulama dengan sangat berani
menamakan organisasinya sebagai organisasi Islam luhur. Tentu bagi rakyat saat
itu, memang membenarkan dan memandang layak jika ulama menamakan organisasinya
sebagai organisasi luhur karena ulama menepati status terhormat dihati rakyat.
D.
ARSITEKTUR
BANGUNAN ISLAM DI INDONESIA
Arsitektur bangunan-bangunan Islam di Indonesia berbeda
dengan yang terdapat di dunia Islam lainnya. Pada zaman pertumbuhan dan
perkembangan Islam di Indonesia dari hasil-hasil seni bangunan tersebut ialah
masjid kuno demak, sendang duwur agung kasepuhan di cirebon, masjid agung
banten, baiturrahman di aceh, dan di daerah-daerah lainnya. Masjid-masjid
tersebut menunjukan sebuah keistimewaan dalam denahnya maupun penggunanya yang
berbentuk persegi empat atau bujur sangkar dengan bagian kaki yang tinggi serta
pecah dikeliling parit atau kolam air dibagian depan atau sampingnya yang
berserambi, atapnya bertumpang dua, tiga, lima, atau lebih, dikelilingi parit
atau kolam air dibagian depan atau sampingnya yang berserambi.
Bagian-bagian lain seperti mihrab dengan lengkung pola kalamakara,
mimbar yang mengingatkan akan ukiran-ukiran pola teratai, mastaka atau
memolo, menunjukkan seni-seni bangunan tradisional yang dikenal di Indonesia
sebelum dan sesudah kedatangan Islam.Dari beberapa masjid kuno mengingatkan
kita kepada seni bangunan candi, menyerupai bangunan meru pada zaman Indonesia
hindu, ukiran-ukiran pada mimbar, hiasan lengkung pola kalamakara,
mihrab, bentuk beberapa mastaka atau memolo, menunjukan hubungan yang erat,
perlambang meru, kakayon gunungan atau gunung tempat dewa-dewa yang dikenal
dalam cerita keagamaan hindu. Beberapa ukiran pada masjid kuno di Mantingan,
sendang duwur menunjukan pola yang diambil dari dunia timbuh-tumbuhan dan hewan
yang diberi corak tertentu dan mengingatkan kepada pola-pola ukiran yanag sudah
dikenal pada Candi Prambanan dan beberapa candi lainnya.
Selain itu, pada pintu gerbang baik dikeraton-keraton maupun
di makam orang-orang yang di anggap keramat yang berbentuk candi-bentar, kori
agung, jelas menunjukan corak pintu gerbang yang dikenal sebelum Islam.
Demikian pula nisan-nisan kubur di daerah tralaya, Tuban, Madura, Demak, Kudus,
Cirebon, Banten menunjukan unsur-unsur seni ukir dan perlambang pra-Islam. Di
Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera terdapat beberapa nisan kubur yang lebih
menunjukkan unsur seni Indonesia pra-Hindu dan pra-Islam.Arsitektur bangunan
juga terdapat pada batu nisan Fatima binti Maymun, yang ditemukan di Leran
(Jawa) dan bertanggal 475 H, adalah prasasti arab yang umumnya dianggap sebagai
yang tertua yang pernah ditemukan di Indonesia. Meskipun kini tempat nisan itu
ditemukan telah menjadi satu tujuan ziarah. Benda itulah sebuah cat-jimat yang
ditemukan di Barus (Sumatra) oleh satu tim arkeologi Indonesia-Prancis pada
tahun 1997, waktu diadakan penggalian di tempat tersebut. Cat-jimat itu
ditemukan di situs Labu Tua, di luar kerangka stratigrafi. Situs itu sendiri
diketahui berasal dari periode pertengagan kedua abad ke-9 sampai akhiar
abad-11, tetapi sukar diketahui bagaimana benda kecil di atas dapat ditentukan
masanya. Patut dicatat lebih dahuli, bahwainilah cap jimat islam kuno yang
pertama ditemukan di Indonesia.
Deskripsinya sederhana saja. Cap jimat itu terbuat dari kaca
tembus lihat berwarna hijau tua, berbentuk lonjong, dengan pinggir bawahnya
berlekuk. Ukurannya 15mm panjang, 13m lebar, 3mm tebal. Disisi bawah terdapat
sebuah inskripsi dua baris dalam bahasa arab yang berupa relief
timbul.Selanjutnya Masjid Kudus terkenal sekaranag ini ialah terutama menaranya
dari batu bata, dengan gaya begitu unik, sehingga oleh setempat penduduk
setempat dinamakan “ Masjid Menara”, namun sesungguhnya menara ini bukan
satu-satunya hal yang menarik dari kompleks agama ini. Masjid sekarang telah di
ubah oleh berbagai renovasi (yang kelebihan di sebuah situs sejarah), antara
tahun 1920-1950, sampai menjadi sebuah rumah ibadah bergaya “neo Timur Tengah”
lengkap dengan menara-menara kecil dan kubahnya yang terbuat dari seng.
Penduduk setempat percaya bahwa Sunan Kudus sendirilah yang
membawanya pulang dari Yerussalem. Tradisi ini barangkali menyiratkan bahwa
batunya diukir di luar pulau jawa. Berkas-berkas saksi setempat, prasasti ini
bukan di tempat asalnya, mungkin dipindahkan ataupun baru ditemukan kembali
waktu renovasi masjid. Hal ini rupanya menjelaskan mengapa baru ditemukan oleh
para pakar belum lama ini, karena sebelumnya belum tercantum dalam laporan J.
Knebel mengenai peninggalan purbakala di Kudus tahun 1910, serta tidak disebut
pula dalam daftar inventaris tahun 1968 oleh Louis-CharlesDamais, padahal
sangat lengkap, mengenai prasasti-prasasti Islam di dunia Melayu.Prasasti ini
baru dibaca oleh Sayyid Dzia Shahab tahun 1959 dan ditranskripsikan serta
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam buku kecil oleh sejarawan
Solichin Salam, Sunan Kudus Riwajat Hidup serta Perdjoangannja, yang
diterbitkan di Kudus. Transkripsi tersebut mengandung banyak lakuna dan
kekeliruan, sehingga tidak mungkin menangkap struktur teks itu serta tempat
masing-masing unsurnya dalam keseluruhannya.
Sejarah kota Kudus dan walinya Sunan Kudus hanya diketahui
lewat kronik-kronik setempat berupa babad Jawa dan hikayat Melayu. Kedua ahli
Jawa yang ulung, De Graaf dan Pigeaud bekerjs keras untuk menggali semua sumber
tersebut dengan tujuan untuk menemukan benang merah dalam cerita-cerita yang
terdadang saling bertentangan.Ditengah-tengah kota kediri, jawa timur juga
terdapat sebuah tempat keramat bernama sentana gedong atau kuburan gedung
terletak dekat sebuah masjid yang kelihatan baru yang dicapai melalui sebuah
gang sempit dibelakang masjid terbentang pemakaman yang meliputi beberapa kubur
keramat yang ditutupi cungkup. Diujung utaranya, sebuah pendapa yang pada bulan
oktober 2002 sedang direstorasi dengan mewah melindungi sisa-sisa sebuah
bangunan kuno dari bata, yatu gedong yang dimaksud dalam nama tempat tersebut.
Dalam keadaannya sekarang ini bangunan itu pertama-tama
tampak sebagai sebuah tembok rendah lurus yang teloah dipagar, setinggi satu
meter tinggi sedikit; ditengahnya ada lubang pintu lengkap dengan lambang atas
yang ditutupi sebuah hiasan besar dengan gaya arsitektur yang di jawa disebut
padu reksa lewat pintu gerbang, ada sebuah ruang persegi yang berukuran kecil.
Di dalam pekuburan sentana kedong kediri terdaat makam seorang tokoh yang
antara lain disebut sebagai “Al-Imam Al-kamil” dan eptafnya diakhiri dengan
“Al-Shafi’i Madhaban Al-Arobi Nisban Wa Huwa Tadj al-kuda”.
Mengingat langkahnya Inskripsi arab di jawa, terutama dari
abad ke-16, masa yang sangat menentukan bagi masuknya Islam secara definitif,
Inskripsi ini merupakan sumber yang tidak dapat diabaikan dalam teks arabnya,
terdapat kata Hadha dengan yang akhir, yaitu satu farian bentuk feminim Hadhihi,
sedangkan terdapat juga kata maqam berbentuk maskulin. Arti kata terakhir
ini cukup kompleks, sehingga pemahaman serta terjemahannya Islam berubah
menurut konteksnya. Jadi dapat di definisikan “bangunan peringatan yang
didirikan di tempat singgahnya seorang tokoh suci.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan
bahwa Peradaban Islam sesudah kemerdekaan ditandai dengan dibentuknya
Departemen Agama dalam pemerintahan, pendidikan, Hukum Islam, Haji, dan Majelis
Ulama’ Indonesia.Ada tiga sebab mengapa pembahasan mengenai hubungan Islam dan
politik tidak akan habis-habis untuk di telaah.
1. Sebab pertama yaitu kekayaan sumber
bahasan.
2. Sebab kedua yaitu kompleksitas
permasalahan.
3. Sebab ketiga yaitu pembahasan agama
dan politik dalam Islam.
Dalam
konteks Indonesia umat Islam dapat di identifikasi dengan lima cara, antara
lain:
- Siapa saja yang menganut agama Islam.
- Siapa saja yang mempraktikkan ritual agama islam.
- Siapa saja yang sangat menguasai atau lebih berpengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam.
- Siapa saja yang menyesuaikan perilaku mereka dengan ajaran-ajaran Islam dalam masyarakat.
- Siapa saja yang menganggap ajaran-ajaran Islam sebagai ideologi.
- Setelahkemerdekaan Indonesia mempunyai beberapa gerakan Islam, diantaranya adalah:
- Gerakan Islam Jama’ah
- Gerakan Kelompok Islam Isa Bugis
- Gerakan Jama’ah Islam Qurani
- Gerakan Kaum Muda Islam Mesjid Salman
- Gerakan Kelompok Islam di Yogyakarta
- Gerakan Nahdhatul Ulama (NU).
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdul, dkk, Gerakan Islam
Komtemporer di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989).
Azra, Azumardi, Wajah Baru Islam
di Indonesia, (Yogyakarta: UII, press, 2004), Cet. 1.
Karim, M. Abdul, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007),
Cet. 1.
Sunarto, Musyrifah, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007).
Syukur, Fatah, Sejarah Peradabab
Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2010), Cet. 2.
0 komentar:
Post a Comment