BAB I
PENDAHULUAN


Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk berahlak baik (takwa). Yakni, bertakwa dalam kondisi apapun, di mana saja dan kapan saja. Dan perintah takwa dalam setiap kondisi itu diajarkan melalui mengiringi setiap keburukan dengan kebaikan karena kebaikan itu akan menghapus dosa-dosa akibat keburukan, serta untuk berbuat kepada setiap manusia dengan akhlak yang baik.
Akhlak merupakan sifat yang tumbuh dan menyatu di dalam diri seseorang. Dari sifat yang ada itulah terpancar sikap dan tingkah laku perbuatan seseorang, seperti sifat sabar, kasih sayang, atau malah sebaliknya pemarah, benci karena dendam, iri dan dengki, sehingga memutuskan hubungan silaturahmi. Akhlak yang baik dan mulia akan mengantarkan kedudukan seseorang pada posisi yang terhormat dan tinggi (Takwa).
Takwa akan memperbaiki hubungan antara hamba dan Allah, sedangkan berakhlak yang mulia memperbaiki hubungan antar sesama. Takwa pada Allah mendatangkan cinta Allah, sedangkan akhlak yang baik mendatangkan kecintaan manusia. Atas dasar itulah penulis memaparkan makalah ini yang berkenaan dengan Takwa dan Akhlak sebagai Tanggung Jawab Sosial.

BAB II
PEMBAHASAN
TAKWA DAN AKHLAK: TANGGUNG JAWAB SOSIAL


A.    HADIS DAN TERJEMAHANNYA
 عَنْ أَبِي ذَرّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ, قَالَ ﻟۑ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ “ [رواه الترمذي]
Artinya: “Diriwayatkan oleh Abu Dzarr Radhiyallahu’anhu, ia berkata, Rasullullah Saw. berpesan kepadaku : Bertakwalah kepada Allah dimana pun engkau berada, iringilah keburukan dengan kebaikan maka kebaikan akan menghapus keburukan itu, dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik.“ (HR. Turmuzi).

B.     SUMBER RIWAYAT
Sumber riwayat hadist tersebut yang menyampaikan ke generasi berikutnya hingga diriwayatkan oleh imam Tirmidzi adalah Abu Dzar. Nama aslinya adalah Jundub bin Junadah bin Sakan, tetapi dia dikenal dengan sebutan Abu Dzar al-Ghiffari. Dia adalah sahabat Rasulullah yang berasal dari suku ghiffar dan termasuk golongan orang yang pertama masuk Islam. Sebelum menjadi seorang muslim, Abu Dzar dikenal sebagai seorang perampok yang suka merampok para kabilah dan pedagang yang melewati padang pasir.
Dalam buku Kisah Sosok Para Sahabat Nabi, Abdurrahman Rafa’at al-Basya, menceritakan bahwa Bani Ghifar adalah sebuah suku badui ditanah Arab yang terkenal akan keberaniannya dan sikap keras dalam pergaulan sehari hari. Sering sekali bani Ghifar melakukan perampokan-perampokan yang berujung pertumpahan darah. Mereka bermukim di lembah Waddan, sebuah daerah yang terletak antara Mekkah dan Syam. Lembah Waddan sering dilalui para saudagar dari Mekkah menuju Syam atau sebaliknya. Bila melalui daerah ini maka kaum saudagar harus extra hati-hati karena tak berapa lama lagi bani Ghifar akan menyergap dengan kebuasaan yang tiada tandingnya.
Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw yang paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman, seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain. Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya.
Ia mendapat hidayah Allah Swt dan memeluk Islam di kala Rasulullah Saw menyebarkan dakwah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung- hitung resiko mengumumkan secara terang - terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Quraisy. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Mekah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan.


C.    TAKHRIJUL HADIS  
Hadis ini ditemui dalam kitab-kitab hadis hanya sebanyak 6 kali, yaitu satu diantaranya, diriwayatkan Tirmidzi dalam Sunannya pada hadis no. 1978. kemudian satu lagi diriwayatkan oleh Darimi dalam sunannya pada hadis no. 2791. Dan terahir imam Ahmad meriwayatkan sebanyak 4 kali dalam Musnadnya pada hadis no. 20847, 20894, 21554, dan 21026. Semuanya hanya bersumber dan diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar saja, sebab pesan nabi SAW. dalam hadis tersebut hanya di sampaikan kepada Abu Dzar saja.

D.    ASBAB AL-WURUD HADIS
Adapun latar belakang yang menyebabkan lahirnya hadis tersebut diatas yaitu ketika Abu Dzar menyatakan keislamannya dimekah, Rasullullah SAW. bersabda kepadanya : “Kebenaran bagi kaummu dengan harapan semoga Allah memberi manfaat kepada mereka”.  Kemudian Rasullullah mengajarinya ad-din (agama) Islam dan membacakannya Al-Qur’an. Rasullullah SAW juga berpesan, “ Janganlah sekali-kali berterang-terangan tentang Islam di kota Mekkah ini. Aku khawatir orang-orang akan membunuhmu “. Namun, karena tekad Abu Dzar yang begitu kuat sehinnga ia pergi ketengah-tengah orang Quraisy dan mengumukan keIslamannya, saat itu juga ia dihajar dan dikeroyok oleh orang-orang Quraisy yang berada ditempat tersebut. Sapai pada akhirnya Abu Dzar diselamatkan oleh seruan Abbas Bin Abdul Muthalib kepada orang Quraisy “Celakalah kalian ! kalian hendak membunuh seorang Ghifar, padalah kafilah kalian harus melewati perkampungan Ghifar ?”.
Mendengar kejadian tersebut Rasullullahpun khawatir dan menyuruh Abu Dzar kembali keperkampungannya. Namun ketika beliau melihat betapa Abu Dzar sangat berkeinginan tinggal bersamanya dimekkah, Rasullullah SAW. memberitahukan ketidak mungkinannya, dan beliau berpesan: “Bertakwalah kepada Allah dimana pun engkau berada, iringilah keburukan dengan kebaikan maka kebaikan akan menghapus keburukan itu, dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik.”

E. FIQHUL HADIS
1.      Makna Hadis
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar ini di temui dalam kitab-kitab hadis hanya enam kali, yaitu dalam kitab sunan at-Tirmidzi dan sunan d-Darimi masing-masing sekali, dan 4 kali dalam Musnad Ahmad. Semuanya hanya bersumber dan diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar saja. Hal ini dikarenakan Nabi SAW. dalam hadis tersebut hanya di sampaikan kepada Abu Dzar saja. Oleh karena itu, dilihat dari segi historis social  latar belakang lahirnya hadis tersebut di atas, Nabi SAW menyabdakannya terkait dengan konteks perilaku dan sikap Abu Dzar sebagai seorang aktifis pemberdayaan sosial yang banyak bergelut memperjuangkan nasib orang-orang lemah, dia ingin sekali tinggal di mekah bersama dengan nabi SAW.
Pesan Nabi SAW kepada Abu Dzar ini dapat kita pahami bahwa keislaman dan kecintaan kepada allah dan rasullullaa itu tidak mesti harus di mekah dan bersama dengan nabi SAW. akan tetapi, dimanapun kita berada keislaman dan ketaqwaan dapat di wujudkan dalam pergaulan, etika dan interaksi social dengan memperhatikan nasib orang-orang miskin dan orang-orang lemah lainnya. Oleh karena itu, muatan dan pesan utama sesungguhnya yang bisa ditangkap dari teks hadis diatas adalah takwa yang diwujudkan dalam etika social dan tanggung jawab social tanpa melupakan tanggung jawab pribadi dan keluarga dan itulah sebabnya Nabi SAW. mempertegas hadis selanjutnya dengan mengatakan dimana pun engkau berada dan ikutilah perbuatan jahat itu dengan kebaikan dan bergaullah dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik. Penegasan ini berkaitan dengan urusan dan tangggung jawab sosial kemanusiaan dalam kehidupan lebih luas dan nyata.
Takwa kepada Allah merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan. Takwa kepada Allah, menurut Muhammad Abduh, adalah menghindari siksaan Tuhan dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarang-Nya serta mengerjakan segala yang diperintahkan-Nya. Hal ini, lanjutnya, hanya dapat terlaksana melalui rasa takut dari siksaan yang menimpa dan rasa takut kepada yang menjatuhkan siksaan, yaitu Allah. Rasa takut itu pada mulanya timbul dari keyakinan tentang adanya siksaan.
Dalam bukunya Hadis Tarbawi , Wajidi Sayadi telah menegaskan bahwa hadis-hadis Nabi SAW. yang memuat tema perintah bertakwa kepada Allah SWT selalu dalam konteks yang sebagian besar mengenai masalah social kemanusiaan bahkan termasuk sikap kasih sayang kepada binatang, seperti larangan menghina atau menyakiti,perintah bergaul dengan orang lain secara baik dan sopan ( maksutnya memelihara etika social ), memberikan sedekah (bantuan) walau sebutir kurma, memberi maaf, memberi upah kerja, bersikap adil terhadap anak-anak dan baik terhadap istri/suami dalam membina rumah tangga, bersikap baik terhadap perempuan, jujur, sabar, setia kepada pemimpin, adil sebagai pemimpin dan lain-lain.
2.      Pengertian Takwa
Secara etimologi kata takwa merupakan bentuk masdar dari kata ittaqâ–yattaqiy, yang berarti “menjaga diri dari segala yang membahayakan”. Sementara pakar berpendapat bahwa kata ini lebih tepat diterjemahkan dengan “berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu”. Kata ini berasal dari kata waqâ–yaqi–wiqayah, yang berarti “menjaga diri, menghindari, dan menjauhi”, yaitu menjaga sesuatu dari segala yang dapat menyakiti dan mencelakakan.
Kata taqwâ yang dinyatakan dalam kalimat perintah ditemukan sebanyak 86 kali, 78 kali di antaranya mengenai perintah untuk bertakwa yang ditujukan kepada manusia secara umum. Obyek takwa dalam ayat-ayat yang menyatakan perintah takwa tersebut bervariasi, yaitu:
a)      Allah sebagai obyek ditemukan sebanyak 56 kali, misalnya pada QS. Al-Baqarah: 231 dan Asy-Syu‘arâ’: 131
b)      Neraka sebagai obyeknya dijumpai sebanyak 2 kali, yaitu pada QS. Al-Baqarah: 24 dan آli ‘Imrân: 131; 
c)      Siksaan sebagai obyek takwa didapati satu kali, yaitu pada QS. Al-Anfâl: 25; 
d)     Obyeknya berupa kata-kata rabbakum (رَبَّكُمْ), al-ladzî khalaqakum (الَّذِيْ خَلَقَكُمْ), dan kata-kata lain yang semakna berulang sebanyak 15 kali, misalnya di dalam QS. Al-Hajj : 1.
Dari 86 ayat yang menyatakan perintah bertakwa pada umumnya (sebanyak 82 kali) obyeknya adalah Allah, dan hanya 4 kali yang obyeknya bukan Allah melainkan neraka, hari kemudian, dan siksaan (Wajidi Sayadi, 2009 :64). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat yang berbicara mengenai takwa di dalam Al-Quran pada dasarnya yang dimaksudkan adalah ketakwaan kepada Allah Swt. Perintah itu pada dasarnya menunjukkan bahwa orang-orang yang akan terhindar dari api neraka dan siksaan hari kemudian nanti adalah orang-orang yang bertakwa kepada Allah Swt.
Secara terminologi takwa dapat dimaknai sebagai suatu upaya memelihara diri dari segala macam bahaya yang bisa mengancam dan merusak ketenangan hidup baik didunia maupun di akherat kelak. Takwa sebagai upaya melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya hanya dapat terwujud oleh dorongan harapan memperoleh kenikmatan surgawi serta rasa takut terjerumus ke dalam neraka. Karenanya, sebagian ulama menggambarkan takwa sebagai gabungan di antara harapan dan rasa takut, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad dalam bukunya Fathul Qawiyyil Matin, bahwa Takwa bermakna seseorang membuat pelindung yang melindungi dirinya dari hal yang ia takuti. Contoh : Memakai sandal atau sepatu sebagai pelindung dari bahaya yang ada di tanah. Atau membangun rumah atau kemah untuk berlindung dari panas matahari.
Adapun upaya untuk memelihara diri, takwa dapat diaplikasikan dengan cara berbuat kebaikan dalam kehidupan social kemanusiaan dengan memperhatikan dan mengedepankan moralitas, sebagaimana yang ditegaskan Nabi SAW dalam hadis tersebut, yang merangkaikan perintah takwa dan bermoral. Namun pada kenyataannya masyarakat saat ini banyak yang lebih mengedepankan rasio dan akal saja dan melalaikan moralitas dan akhlak. Sehingga banyak ditemui krisis akhlak dan kepemimpinan.
Dalam Islam, salah satu ajaran yang sangat ditekankan secara tegas adalah penegakan akhlak. Islam dihormati dan disegani termasuk oleh musuh adalah karena penampilan akhlak. Bahkan ada sesuatu yang sebenarnya secara hokum dibenarkan dilakukan, tapi dari segi pandangan etika dan moral belum tentu, misalnya ketika melaksanakan sholat, yang wajib ditutupi bagi laki-laki adalah sebatas auratnya saja, yaitu dari bagian pusat kebawah, kalau batasan-batasan ini sudah tertutupi, maka secara hokum shalatnya sudah sah, tetapi secara etika dan moral masih dipertimbangkan. Karena rasanya tidak etis menghadap dan bermunajat kepada Allah SWT dalam keadaan dan kondisi badan tidak tertutupi dan hamper telanjang.

3.      Hikmah Yang Dapat diambil dari Pesan Nabi Kepada Abu Dzar
Adapun hikmah yang dapat diambil dari pesan Rasullullah kepada sahabt Abu Dzar ini adalah:
a)      Perhatian yang besart dari Nabi terhadap umatnya dengan memberikan arahan kepada mereka pada hal-hal yang mengandung kebaikan dan kemanfaatan.
b)      Wajibnya bertakwa kepada Allah di manapun juga. Di antaranya adalah wajibnya bertakwa baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian, berdasarkan sabdanya, “Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada.”
c)      Isyarat bahwa bila kejelekan itu diiringi dengan kebaikan, maka kebaikan itu akan menghapuskannya dan menghilangkannya secara keseluruhan. Hal ini sifatnya umum, dalam kebaikan dan kejelekan, jika kebaikan itu berupa taubat. Karena taubat akan meruntuhkan apa-apa yang sebelumnya.


BAB III
KESIMPULAN



Takwa dapat dimaknai sebagai suatu upaya memelihara diri dari segala macam bahaya yang bisa mengancam dan merusak ketenangan hidup baik didunia maupun di akherat kelak. Takwa dapat diaplikasikan dengan cara berbuat kebaikan dalam kehidupan social kemanusiaan dengan memperhatikan dan mengedepankan moralitas,  ketaqwaan dapat di wujudkan dalam pergaulan, etika dan interaksi social dengan memperhatikan nasib orang-orang miskin dan orang-orang lemah lainnya
Dengan demikian ketakwaan seseorang tidak dapat diukur hanya dengan melihat keshalehannya dalam beribadah saja namun juga dilihat dari keshalehan social kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat, berupa etika social dan tanggung jawab social kemanusiaan yanpa melupakan tanggung jawab pribadi dan keluarga.



DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Diponegoro, 2000.

Al-Basya, Abdurrahman Rafa’at,  Sosok Para Sahabat Nabi, Jakarta : Qisthi, 2005.

Al ‘Abbad , ‘Abdul Muhsin, Fathul Qawiyyil Matin, Jakarta : Dar Ibnul Qayyim & Dar Ibnu ‘Affan, 2003.

Al-Utsaimin, Muhammad,  Syarah Arbain An Nawawiyah, Bandung : Pustaka Ibnu Katsir, 2009.

Sayadi, Wajidi, Hadis Tarbawi (pesan-pesan Nabi Saw tentang pendidikan), Jakarta : Pustaka Firdaus, 2009.

0 komentar:

 
Top