BAB
I
PENDAHULUAN
Meskipun upaya-upaya untuk proteksi,
pada setiap pembiayaan yang akan atau telah disalurkan, telah dijelaskan secara
lengkap pada bab-bab terdahulu dan bilamana pengamanan tersebut telah dilakukan
sejak dini, yaitu sejak pertama kali customer
datang untuk mengajukan permohonan pembiayaan kepada customer diperlukan sistem dan prosedur yang harus dilalui dan
dilakukan dalam praktiknya masih terjadi berbagai penyimpangan, baik karena
kelalaian account officer maupun
karena masalah yang ditimbulkan karena customer.
Maka, dalam makalah ini secara khusus
akan dijelaskan berbagai rambu yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh account officer atau petugas lainnya.
Dengan adanya rambu-rambu ini, diharapkan setiap bank lebih meningkatkan
kehati-hatiannya dalam penyaluran sehingga tidak mengalami kerugian di kemudian
hari.
BAB
II
PEMBAHASAN
PROTEKSI
PEMBIAYAAN
A. PRINSIP
KEHATI-HATIAN
Ketika dibebaskan begitu saja, industri keuangan
akan cenderung melakukan berbagai tipe-tipe penipuan dan hal diluar batas. Hal
ini dapat merusak kepercayaan dan membahayakan perekonomian sampai pada
fondasi-fondasinya.[1]
Fungsi sentral para regulator adalah kehati-hatian memastiakn bahwa institusi-institusi keuangan
beroperasi dalam sikap yang hati-hati.
Salah satu kewajiban yang wajib dipenuhi adalah
tentang keharusan penerapan prinsip
mengenal customer. Prinsip mengenal customer merupakan suatu hal yang baru. Menyadari
adanya kebutuhan tersebut, maka perlu dibentuk task force untuk menyusun suatu pedoman standar penerapan prinsip
mengenal customer yang untuk
selanjutnya disebut dengan pedoman standar. Dalam menyusun pedoman standar ini,
task force banyak mengacu kepada international best practises. Dengan
adanya pedoman standar ini, diharapkan dapat menyusun suatu pedoman pelaksanaan
yang memenuhi persyaratan minimum yang diterapkan dalam ketentuan tentang penerapan
prinsip mengenal customer.[2]
Diberlakukannya Undang-undang Nomor 15 tahun 2002
tentang tindak pidana pencucian uang yang kemudian diubah dengan undang-undang
Nomor 25 tahun 2003, diikuti dengan
peraturan Bank Indonesia nomor 3/10/PBI/2001 tentang penerapan Prinsip Mengenal
Customer (Know Your Customer Principles)
adalah salah satu upaya untuk memecahkan agar perbankan tidak digunakan sebagai
sarana kejahatan pencucian uang baik yang dilakukan secara langsung maupun
tidak secara langsung.[3]
Salah satu persyaratan dan kondisi yang harus dipenuhi untuk meningkatkan
efektivitas penerapan prinsip mengenal customer
adalah adanya kesamaan persepsi dan pemahaman oleh perbankan, masyarakat
pengguna jasa, instansi terkait, dan aparat penegak hukum mengenai pentingnya
penerapan prinsip tersebut. Salah satu upaya yang saat ini tengah dilakukan
adalah komunikasi dan sosialisasi secara intensif dan berkesinambungan dengan
masyarakat luas. Persamaan persepsi dimaksud perlu dicapai, mulai dari tingkat
kebijakan sampai dengan pelaksanaanya. Untuk itu, diperlukan adanya pedoman
standar penerapan prinsip mengenal customer
yang dapat dijadikan acuan utama dalam menyusun pedoman pelaksanaan penerapan
prinsip mengenal customer.[4]
Dalam mendukung pelaksanaan prinsip mengenal customer, bank wajib membentuk unit
kerja penerapan prinsip mengenal customer
(UKPN) atau menunjuk pejabat yang bertanggung jawab atas penerapan prinsip
mengenal customer. Adapun tugas pokok
UKPN yang bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas UKPN adalah sebagai
berikut:
1.
Memastikan
ada pengembangan sistem identifikasi customer
dan transaksi keuangan mencurigakan
2.
Memantau
penginian profil customer dan profil
transaksinya, termasuk identifikasi dan pemantauan customer yang dianggap mempunyai risiko tinggi
3.
Melakukan
koordinasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan prinsip mengenai customer oleh unit-unit kerja terkait
4.
Menerima
dan melakukan analisis atas laporan transaksi keuangan mencurigakan yang
disampaikan oleh unit-unit kerja terkait
5.
Menyusun
laporan transaksi keuangan mencurigakan untuk disampaiakn kepada PPATK
6.
Memantau,
menganalisis dan merekomendasikan kebutuhan training
prinsip mengenal customer bagi
para pejabat dan staf.[5]
B. PENGAWASAN
PEMBIAYAAN BERDASARKAN MANAJEMEN RISIKO
Manajemen risiko (risk
management) bukan merupakan suatu konsep baru. Namun, demikian, baru pada
akhir-akhir ini formalisasi dan dokumentasi manajemen risiko tersebut dianggap
penting. Pemeriksaan perlu menyadari bahwa kekurangan informasi mengenai
manajemen risiko tersebut bukan berarti melakukan menajemen risiko. Hal tersebut,
justru merupakan tantangan bagi pemeriksa dalam menilai kualitas manajemen
risiko dan meyakinkan bahwa aktivitas tersebut berfungsi dengan baik.[6]
Setelah melakukan identifikasi risiko secara akurat,
maka selanjutnya secara berturut-turut perlu melakukan pengukuran, pemantauan,
dan pengendalian risiko. Pengukuran risiko tersebut dengan maksud agar mampu
mengalkulasi eksposur risiko yang melekat pada kegiatan usahanya sehingga dapat
memperkirakan dampaknya terhadap spermodalan yang seharusnya dipelihara dalam
rangka mendukung kegiatan usaha. Sementara itu, dalam rangka melaksanakan
pemantauan risiko, harus melakukan evaluasi terhadap eksposur risiko, terutama
yang bersifat material dan atau yang berdampak pada permodalan.[7]
1.
Pedoman
Penerapan Manajemen Risiko Pembiayaan
a.
Pengawasan
aktif komisaris dan direksi
b.
Organisasi
dan fungsi manajemen risiko
c.
Kebijakan,
prosedur, dan penerapan limit
d.
Proses
penerapan manajemen risiko
e.
Pengendalian
intern dalam penerapan manajemen risiko.
2.
Proses
Penerapan Manajemen Risiko
a.
Difinisi
risiko pembiayaan
Risiko
pembiayaan adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan memenuhi
kebijakan. Risiko pembiayaan dapat bersumber dari berbagai aktivitas fungsional
bank seperti pembiayaan, treasury dan
investasi dan pembiayaan perdagangan, yang tercatat dalam banking book maupun trading
book.
b.
Pengawaan
Aktif Dewan Komisaris dan Direksi
c.
Kebijakan,
prosedur, dan penerapan limit
d.
Proses
identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan sistem informasi manajemen risiko
pembiayaan
e.
Pengendalian
risiko pembiayaan.
3.
Peran
Lembaga Penjamin Pembiayaan
Indonesia memiliki tiga BUMN yang melayanis jasa
penjaminan pembiayaan, yaitu PT. Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), PT.
Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI), dan Perum Sarana Pengembangan Usaha (SPU),
serta 4 PT Penjamin Kredit Pengusaha Indonesia (PKPI), perusahaan penjamin
swasta. Sejauh ini, perbankan dan UKM telah memanfaatkan keempat lembaga
tersebut, tetapi belum memadai dalam memberikan dukungan pada pembiayaan UKM.
C. TUJUAN
LEMBAGA PENJAMIN PEMBIAYAAN
1.
Tujuan
Umum
Yaitu agar
terjadi keseimbangan dalam pembangunan nasional sehingga semua pihak dalam
masyarakat dapat memperoleh akses financial
secara sama.
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl: 90)[8].
2.
Tujuan-tujuan
Lain
a.
Memberikan
penjamin kepada perusahaan yang mempunyai keterbatasan dalam menyediakan
kolateral
b.
Mempermudah
UKM dalam mendapatkan pendanaan
c.
Memberiakn
stimulasi pemberian kredit secara sehat
d.
Memberikan
stimulasi agar setiap perusahaan dapat memiliki manajemen yang efisien dan
pemanfaatan credit information.[9]
D. PRINSIP
DASAR PENJAMIN PEMBIAYAAN
Adapun prinsip-prinsip dasar penjamin pembiayaan
adalah sebagai berikut:
1.
Merupakan
pelengkap dari suatu sistem pembiayaan
2.
Penjaminan
pembiayaan hanya diberikan bila proyeknya layak
3.
Penjaminan
pembiayaan merupaakn pelengkap agunan
4.
Calon
mudharib yang telah cukup agunannya
dapat dimintakan penjaminan pembiayaan apabila dikehendaki oleh pembiayaan
5.
Penarikan
subgogasi tetap menjadi tugas
pembiayaan.
E. PESERTA
PROGRAM PENJAMIN PEMBIAYAAN
LPK menjaminkan pembiayaan yang diberikan oleh bank
umum, perusahaan leasing dan factoring,
perusahaan ventura, perusahaan costumer finance, lembaga keungan lain
seperti BPRS, yang menawarkan pembiayaan atau penjualan dengan pembiayaan
mencicil. Secara umum, lembaga keuangan yang dapat menjadi peserta program
penjamin pembiayaan sebelumnya harus terdaftar pada perusahaan penjaminan.
Dibeberapa negara, lembaga keuangan yang menjadi shareholder otomatis sebagai member
of lending institutions. Hampir seluruh program penjamin untuk UKM yang
bertujuan untuk memperoleh pembiayaan dapat dilakukan oleh seluruh lembaga
keuangan. Meskipun demikian, untuk beberapa program penjaminan, lembaga
perbankan harus terdaftar pada
perusahaan penjaminan terlebih dahulu. LPK harus mengeluarkan sertifikat
penjaminan pembiayaan kepada langganannya yaitu kepada bank, lembaga keuangan,
maupun langsung kepada UKM.
Bagi lembaga keuangan, pembiayaan merupakan sumber
pendapatan utama, tapi juga sumber masalah karena akan menentukan tingkat
kesehatan. Lembaga keuangan membutuhkan lembaga jaminan untuk mengantisipasi risiko kegagalan. Pembiayaan
sebagai aktiva yang berisiko selayaknya dijamin dengan asuransi pembiayaan.
Dengan adanya pembiayaan bermasalah, maka:
1.
Hilanglah
kesempatan bank untuk memperoleh pendapatan sehingga mengurangi rentabilitas
2.
Cash flow bank terganggu sehingga likuiditas menurun
3.
Karena
rentabilitas bank menurun, maka biaya pembentukan PPAP harus diambil dari modal
bank terkikis, dan menurunkan Capital Adequacy
Ratio (CAR).[10]
F. PERMASALAHAN
DALAM PROGRAM PENJAMIN PEMBIAYAAN
Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program
penjamin pembiayaan adalah sebagai berikut:
1.
Biaya,
peserta dan mutu pembiayaan program penjaminan
Upaya
yang perlu ditempuh, antara lain sosialisasi program penjamin agar UMKM
mengenal dan memanfaatkan layanan.
2.
Tujuan
program penjaminan
Program
penjaminan kepada UMKM terutama untuk meningkatkan akses UMKM yang memiliki
prospek usaha yang layak kepada lembaga keuangan, baik bank maupun non bank,
tetapi menghadapi persoalan agunan yagn kurang memenuhi persyaratan.
3.
Keterbatasan
jejaring usaha
Kemampuan
jangkauan lembaga penjamin yang ada masih sangat terbatas, baik dari sisi
kapasitas pembiayaan maupun jaringan usaha yang dapat menjangkau hingga ke
daerah kabupaten.
4.
Reasuransi
Bagi
LPKD, reasuransi merupakan keharusan
guna mengurangi risiko, sebagaimana dipersyaratkan oleh Depkeu, tetapi sampai
saat ini belum tersedia.
G. ASURANSI
PEMBIAYAAN
1.
Pengertian
Asuransi Pembiayaan
Asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian dimana penanggung dengan menikmati suatu
premi, mengikuti tertanggung untuk membebaskanya dari kerugian karena
kehilangan, kerugian, atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan yang akan dapat
diminta olehnya karena suatu kejadian yang tidak pasti.
Tujuan asuransi
(kecuali asuransi jiwa) adalah untuk mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi risiko
karena hilang, rusak, atau musnahnya barang yang dipertanggungkan oleh suatu
kejadian yagn tidak pasti. Dimaksud kejadian yang tidak pasti adalah risiko (risk).
2.
Penutupan
Asuransi Jaminan Customer
Untuk lebih
memperkecil risiko atas pembiayaan yang diberikan, maka semua agunan (kecuali
tanah) harus diasuransikan pada maskapai asuransi. Untuk lebih menjamin
kepentingan finances, maka setiap
penutupan asuransi didalam polisnya dicantumkan dilekatkan finances clause bank. Dengan adanya klausul tersebut, maka polis
diterbitkan atas nama customer yang
bersangkutan.
3.
Polis
Pertanggungan harus
diadakan secara tertulis dengan sepucuk akta yang bernama polis. Semua polis
kecuali yang mengenai tanggungan jiwa harus menegaskan:
a.
Hari
dan tanggal diadakan pertanggungan
b.
Nama
yang mengadakan pertanggungan untuk tanggungan sendiri atau tanggungan pihak
ketiga
c.
Perumusan
yang cukup jelas mengenai benda yang dipertanggungkan
d.
Bahaya-bahaya
yang ditanggung oleh penanggung
e.
Waktu
dimana bahaya mulai berjalan dan berakhir untuk tanggungan penanggungs
f.
Premi
tanggungan
g.
Keadaan
dari benda-benda yang dipertanggungkan
h.
Polis
harus ditandatangani oleh tiap-tiap penanggung.[11]
4.
Premi
Premi adalah
sejumlah uang yang dibayar tertanggung kepada penanggung untuk mengikat
penanggung membayar ganti rugi atas terjadinya risiko. Mengenai premi ini,
undang-undang mengatur bahwa apabila premi t idak dibayar, maka pertanggungan
tidak ada.
5.
Prosedur
penutupan Asuransi
a.
Penutupan
pertanggungan atas harta milik debitur dilakukan kepada asurador
b.
Berdasarkan
permintaan penutupan diatas, broker/asurador
mengadakan survei risiko ke lokasi objek pertanggungan bersama-sama dengan customer (bila perlu reasurador) untuk meneliti apakah data
yang tercantum dalam surat penutupan sesuai dengan data objek ataukah
sebaliknya.
c.
Asurador akan menerbitkan covernote/polis
berikut kwitansi dan tagihan premi atas hasil survey setelah mengadakan survey
risiko
d.
PT.
Asuransi aman akan memisahkan berkas pertanggungan atas penutupan asuransi non fire untuk dibuatkan nota
e.
Lembaga
keuangan, selaku pemegang polis/kuasa customer,
harus memeriksa berkas-berkas pertanggungan apakah telah sesuai dengan
permintaan ataukah belum
f.
Berdasarkan
nota-nota tagihan diatas, lembaga keuangan memberitahukan atau menagih keada customer debitur yang bersangkutan untuk
pembayaran preminya
g.
Untuk
keperluan penutupan pertanggungan diatas, customer
harus memberikan kuasa keapda lembaga keuangan dengan menandatangani surat
kuasa pada saat perjanjian pembiaayan ditandatangani
h.
Atas
transaksi penutupan pertanggungan barang agunan pembiayaan termasuk apabila
terjadi perubahan pertanggungan.
6.
Pengawasan
dan laporan
a.
Semua
agunan customer debitur yang insurable telah diasuransikan
b.
Polis
asli asuransi dengan banker’s clause
telah dikuasai bank
c.
Pembayaran
premi dipenuhi oleh customer dengan
tertib
d.
Jangka
waktu belum berakhir atau telah diajukan perpanjangannya
e.
Buku
pembantu asuransi terpelihara dengan baik dan setiap perusahaan mengenai
asuransi dicatat secara teratur
f.
Laporan
bulanan asuransi agar dikirim secara teratur kekantor pusat.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan
bahwa Fungsi sentral para regulator adalah kehati-hatian memastiakn bahwa institusi-institusi keuangan
beroperasi dalam sikap yang hati-hati. Salah satu kewajiban yang wajib dipenuhi
adalah tentang keharusan penerapan
prinsip mengenal customer.
Prinsip mengenal customer merupakan
suatu hal yang baru. Menyadari adanya kebutuhan tersebut, maka perlu dibentuk task force untuk menyusun suatu pedoman
standar penerapan prinsip mengenal customer
yang untuk selanjutnya disebut dengan pedoman standar.
Dalam menyusun pedoman standar ini, task force banyak mengacu kepada international best practises. Dengan
adanya pedoman standar ini, diharapkan dapat menyusun suatu pedoman pelaksanaan
yang memenuhi persyaratan minimum yang diterapkan dalam ketentuan tentang
penerapan prinsip mengenal customer.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Agama Islam RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Thoha Putera, 1989).
Ibrahim Warde, Islamic Financial: Keuangan Dalam Perekonomian Global, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009).
Veithzal Rivai, dan Andria Permata
Veithzal, Islamic Financial Management,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2007).
[1] Ibrahim Warde, Islamic Financial: Keuangan Dalam
Perekonomian Global, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 420.
[2] Veithzal Rivai, dan
Andria Permata Veithzal, Islamic
Financial Management, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2007), hal. 618.
[3] Ibid, hal. 620.
[4] Ibid, hal. 620-621.
[5] Ibid.
[6] Ibid, hal. 622-623.
[7] Ibid.
[8] Departemen Agama Islam
RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Thoha Putera, 1989).
[9] Veithzal Rivai, dan
Andria Permata Veithzal, op cit, hal.
648.
[10] Veithzal Rivai, dan
Andria Permata Veithzal, op cit, hal.
649-650.
0 komentar:
Post a Comment