BAB I
PENDAHULUAN



Pengertian filsafat, dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan, antara satu ahli filsafat dan ahli filsafat lainya selalu berbeda, dan hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri. Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yaitu filsafat secara etimologi dan filsafat secara terminology. Kata filsafat yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah falsafah dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah philosophy adalah berasal dari bahasa Yunani philosophia. Arti kata filsafat yaitu cinta kebijaksanaan dalam arti yang sedalam-dalamnya.
Dari latar belakang diatas tersebut, maka disini penulis akan menjelaskan sebuah makalah yang berjudul Interelasi Antara Filsafat, Agama, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan yang sudah kami rangkum sedemikian rupa agar mudah untuk dipahami dan mudah untuk dimengerti.



BAB II
PEMBAHASAN
INTERELASI ANTARA FILSAFAT, AGAMA, ILMU PENGETAHUAN DAN KEBUDAYAAN



A.    INTERELASI ANTARA FILSAFAT DENGAN AGAMA
Pengertian filsafat, dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan antara satu ahli dengan ahli filsafat lainnya selalu berbeda, dan hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri. Filsfat menurut etimologi adalah berasal dari Bahasa Arab dari kata falsafah dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah philosophy adalah berasal dari bahasa Yunani. Arti filsafat sendiri adalah pecinta atau pencari kebijaksanaan.[1] Sedangkan menurut terminologi adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat kebenaran).[2]
Menurut sejarah, agama tumbuh bersamaan dengan berkembangnya kebutuhan manusia. Salah satu dari kebutuhan itu adalah kepentingan manusia dalam memenuhi hajat rohani yang bersifat spritual, yakni sesuatu yang dianggap mampu memberi motivasi semangat dan dorongan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, unsur rohani yang dapat memberikan spirit dicari dan dikejar sampai akhirnya mereka menemukan suatu zat yang dianggap suci, memiliki kekuatan, maha tinggi dan maha kuasa. Sesuai dengan taraf perkembangan cara berpikir mereka, manusia mulai menemukan apa yang dianggapnya sebagai Tuhan.
Dapatlah dimengerti bahwa hakikat agama merupakan fitrah naluriah manusia yang tumbuh dan bekembang dari dalam dirinya dan pada akhirnya mendapat pemupukan dari lingkungan alam sekitarnya. Ada yang menganggap bahwa agama di dalam banyak aspeknya mempunyai persamaan dengan ilmu kebatinan. Yang dimaksud ilmu agama di sini pada umumnya adalah agama-agama yang bersifat universal. Artinya para pengikutnya terdapat dalam masyarakat yang luas yang hidup di berbagai daerah.
Di samping itu ajarannya sudah tetap dan ditetapkan (established) di dalam kaedahnya atau ketetapannya dan semuanya hanya dapat berubah di dalam interpretasinya saja. Agama mengajarkan para penganutnya untuk mengatur hidupnya agar dapat memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat baik kepada dirinya sendiri maupun kepada masyarakat di sekitarnya. Selain itu agama juga memberikan ajaran untuk membuka jalan yang menuju kepada al-Khaliq, Tuhan yang Maha Esa ketika manusia telah mati.
Ajaran agama yang universal mengandung kebenaran yang tidak dapat dirubah meskipun masyarakat yang telah menerima itu berubah dalam struktur dan cara berfikirnya. Maksud di sini adalah bahwa ajaran agama itu dapat dijadikan pedoman hidup, bahkan dapat dijadikan dasar moral dan norma-norma untuk menyusun masyarakat, baik masyarakat itu bersifat industrial minded, agraris, buta aksara, maupun cerdik pandai (cendikiawan). Karena ajaran agama itu universal dan telah estabilished, maka agama itu dapat dijadikan pedoman yang kuat bagi masyarakat baik di waktu kehidupan yang tenang maupun dalam waktu yang bergolak. Selain itu, agama juga menjadi dasar struktur masyarakat dan member pedoman untuk mengatur kehidupannya. Kemudian kita kembali kepada arti harfiah dari agama itu.

B.     INTERELASI ANTARA FILSAFAT DENGAN ILMU PENGETAHUAN
Ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Karena pengetahuan adalah unsur dari kebudayaan, maka ilmu yang  merupakan bagian dari pengetahuan dengan sendirinya juga merupakan salah satu unsur kebudayan.
antara ilmu dan kebudayaan ada hubungan timbal balik, Perkembangan ilmu tergantung pada perkembangan kebudayaan, sedangkan perkembangan ilmu dapat memberikan pengaruh pada kebudayaan. Keadaan sosial dan kebudayaan, saling tergantung dan mendukung. jadi interelasi antara filsafat,pendidikan dan budaya ibarat mata rantai yang saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan.
Apakah hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan? Oleh Louis Kattsoff dikatakan: Bahasa yang pakai dalam filsafat dan ilmu pengetahuan dalam beberapa hal saling melengkapi. Hanya saja bahasa yang dipakai dalam filsafat mencoba untuk berbicara mengenai ilmu pengetahuan, dan bukanya di dalam ilmu pengetahuan. Namun, apa yang harus dikatakan oleh seorang ilmuwan mungkin penting pula bagi seorang filsuf. Pada bagian lain dikatakan: Filsafat dalam usahanya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pokok yang kita ajukan harus memperhatikan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam usahanya menemukan rahasia alam kodrat haruslah mengetahui anggapan kefilsafatan mengenai alam kodrat tersebut. Filsafat mempersoalkan istilah-istilah terpokok dari ilmu pengetahuan dengan suatu cara yang berada di luar tujuan dan metode ilmu pengetahuan. Dalam hubungan ini Harold H. Titus menerangkan: Ilmu pengetahuan mengisi filsafat dengan sejumlah besar materi yang faktual dan deskriptif, yang sangat perlu dalam pembinaan suatu filsafat. Banyak ilmuwan yang juga filsuf.
Para filsuf terlatih di dalam metode ilmiah, dan sering pula menuntut minat khusus dalam beberapa ilmu sebagai berikut:
1.      Historis, mula-mula filsafat identik dengan ilmu pengetahuan, sebagaimana juga filsuf identik dengan ilmuwan.
2.      Objek material ilmu adalah alam dan manusia. Sedangkan objek material filsafat adalah alam, manusia dan ketuhanan.

Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di kemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah.[3]
Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.[4]
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.[5]

C.    INTERELASI ANTARA FILSAFAT DAN KEBUDAYAAN
Pada dasarnya kebudayaan adalah semua ciptaan manusia yang berlangsung dalam kehidupan. Sedang Pendidikan dan kehidupan adalah suatu hubungan antara proses dengan isi, yaitu proses pengoperan kebudayaan dalam arti membudayakan manusia, aspek lain dari fungsi pendidikan adalah mengolah kebudayaan itu menjadi sikap mental, tingkah laku, bahkan menjadi kepribadian anak didik. Sedangkan landasan pendidikan adalah filsafat.
Jadi, hubungan pendidikan dengan kebudayaan terdapat pada hubungan nilai demokrasi, dimana fungsi pendidikan sebagai pengoper kebudayaan mempunyai tujuan yang lebih utama yaitu untuk membina kepribadian manusia agar lebih kreatif dan produktif yakni mampu menciptakan kebudayaan.

D.    INTERELASI AGAMA DENGAN KEBUDAYAAN
Manusia, masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik.[6] Ketiganya berdampingan dan berimpit saling menciptakan dan meniadakan. Satu sisi manusia menciptakan sejumlah nilai bagi masyarakatnya, pada sisi yang lain, secara bersamaan, manusia secara kodrati senantiasa berhadapan dan berada dalam masyarakatnya, homosocius. Masyarakat telah ada sebelum seorang individu dilahirkan dan masih akan ada sesudah individu mati. Lebih dari itu, di dalam masyarakatlah dan sebagai hasil proses sosial, individu menjadi sebuah pribadi; ia memperoleh dan berpegang pada suatu indentitas. Manusia tidak akan eksis bila terpisah dari masyarakat.
Dengan kata lain, masyarakat diciptakan oleh manusia, sedangkan manusia sendiri merupakan produk dari masyarakat. Kedua hal itu menggambarkan adanya dialektika inheren dari fenomena masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan dialektika sosial. Dalam kehidupan berbudaya, manusia melakukan proses objektivasi. Proses objektivikasi ini, menurut Miller, melibatkan hubungan antar subjek, kebudayaan, sebagai bentuk eksternal, dan artefak, sebagai objek ciptaan manusia[7].
Dalam kaitan ini, subjek mengeksternalisasikan dirinya melalui penciptaan objek-objek, yang dimaksudkan untuk menciptakan ‘diferensiasi’, kemudian menginternalisasikan nilai-nilai ciptaan tersebut melalui proses sublasi atau pemberian pengakuan. Akan tetapi, dalam proses sublasi ini, sang subjek selalu merasa tidak puas dengan hasil ciptaannya sendiri karena ia selalu membandingkan hasil ciptaan tersebut dengan pengetahuan atau nilai absolut, yang justru beranjak lebih jauh tatkala ia didekati diacu. Sehingga yang kemudian terjadi adalah rasa ketidakpuasan tanpa akhir serta penciptaan terus menerus untuk pemenuhannya. Rasa ketidakpuasan abadi terhadap hasil ciptaan inilah yang membangkitkan motivasi daya yang tak habis-habisnya bagi pengembangan lebih lanjut dalam suatu dialektika penciptaan (termasuk agama dalam kontek budaya).
Teori sosial pada awalnya bersifat historis dan komparatif. Objek analisanya berupa kasus tertentu, seperti telaah Weber mengenai birokrasi Jerman atau tulisan Marx tentang kapitalisme Inggris. Dalam sudut teori ini, memahami suatu masyarakat berarti memahami perbedaannya dengan berbagai bentuk kehidupan dimasa-masa dan tempat yang berbeda.
Weber menekankan bahwa tujuan akhir dari “pemahaman interpretatif” atas tindakan sosial adalah untuk sampai pada “penjelasan kausal mengenai berbagai peristiwa beserta akibatnya”. Kadang-kadang ungkapannya, “suatu telaah menyeluruh semacam itu memaksa sang analisis untuk keluar dari semua parameter yang berdasarkan penghayatan atau pengamatan yang disadari”.[8] Sebagai pemahaman interpretatif, realitas dan tindakan sosial dianggap sebagai “teks” sebagaimana layaknya kegiatan penafsiran. Teks yang dimaksud berarti apa yang “dikatakan” dan apa yang “dilakukan” oleh tindakan sosial.
Pada akhirnya, pengetahuan kita tentang dunia setempat (native) memang selalu bergantung pada pengetahuan yang lebih luas. Bahkan, suatu uraian yang paling partikularistik sekalipun akan mengandung corak pengetahuan komparatif itu. Sebaliknya, teori sosial selalu mengalami pembaruan melalui aplikasinya dalam waktu dan tempat-tempat tertentu. Yang membuat usaha kita menjadi suatu disiplin adalah saling mengisi dan keterikatan terus-menerus antara teori umum dan penelitian local.[9]

BAB III
KESIMPULAN



Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Filsfat menurut etimologi adalah berasal dari Bahasa Arab dari kata falsafah dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah philosophy adalah berasal dari bahasa Yunani. Arti filsafat sendiri adalah pecinta atau pencari kebijaksanaan. Sedangkan menurut terminologi adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat kebenaran).
Manusia, masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik. Ketiganya berdampingan dan berimpit saling menciptakan dan meniadakan. Satu sisi manusia menciptakan sejumlah nilai bagi masyarakatnya, pada sisi yang lain, secara bersamaan, manusia secara kodrati senantiasa berhadapan dan berada dalam masyarakatnya, homosocius.



DAFTAR PUSTAKA




Agus Subandi, Sosiologi Agama, (Bandung: UIN  Sunan Gunung Jati Press, 2010).

Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Moderen: Suatu Analisis dai Karya-Karya Dukheim dan Max Weber, Terj. Soeheba K. (Jakarta: UI Press, 1986).

Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1975).

Nuchelmans, Berpikir Secara Kefilsafatan, Terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Proyek PPPT UGM, 1982).

Ridin Sufwan, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2004).

Surajiyo, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008).

Van A. Peursen,  Orientasi di Alam Filsafat, Judul Asli: Filosofishe Orientatie. Di Indonesia Oleh Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1983).






[1] Surajiyo, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 1.
[2] Ibid.
[3] Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1975), hal. 52.
[4] Nuchelmans, Berpikir Secara Kefilsafatan, Terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Proyek PPPT UGM, 1982), hal. 113.
[5] Van A. Peursen,  Orientasi di Alam Filsafat, Judul Asli: Filosofishe Orientatie. Di indonesia Oleh Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1983), hal. 79.
[6] Seni berpikir secara teratur logis dan teliti yang diawali dengan tesis, antitesis, dan sintesis. Juga ajaran Hegel yang menyatakan bahwa  segala sesuatu yang terdapat di alam semesta itu terjadi dari hasil pertentangan antara dua hal dan yang menimbulkan dua hal yanglain lagi.
[7] Ridin Sufwan, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hal. V.
[8] Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Moderen: Suatu Analisis dai Karya-Karya Dukheim dan Max Weber, Terj. Soeheba K. (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 142.
[9] Agus Subandi, Sosiologi Agama, (Bandung: UIN Sunan Gunung Jati Press, 2010) hal. 10.

0 komentar:

 
Top