BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan Islam secara filosofis dewasa
ini dihadapkan pada berbagai persoalan mutakhir dan kontemporer yang memerlukan
jawaban serius. Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelum ini, filsafat
pendidikan Islam dapat dikaji melalui dua tinjauan yaitu linear dan non linear.
Tinjauan linear mencoba mencari
jawban bagaimana pemikiran filsafat dijabarkan dalam dunia pendidikan melalui
berbagai aliran filsafat, seperti pragmatisme, realisme, idealisme, dan
lain-lain.
Sedangkan tinjauan non linear berupaya mencari jawaban tentang berbagai persoalan
kemanusiaan yang menuntut tampilnya pendidikan sebagai solusi. Pendidikan oleh karenanya
harus dapat membangun dan mengembangkan konsep terkait isu-isu kemanusiaan
tersebut. Dalam makalah ini akan kami bahas mengenai Filsafat Pendidikan Islam
Tentang Wacana Islam Kontemporer.
BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TENTANG WACANA
ISLAM KONTEMPORER
A. MASALAH
MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM
Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak selalu
memainkan peran ideal dan determinan bagi pemeluknya. Azyumardi Azra, berpendapat bahwa
modernisasi atau pembaruan merupakan upaya untuk mengaktualisasikan ajaran
Islam agar sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi.[1]
Dengan pengertian ini, pembaruan dalam Islam berarti telah hadir semenjak masa
yang paling awal bersamaan dengan kelahiran Islam itu sendiri.
Sejak masa pertumbuhan dan perkembangannya, upaya
aktualisasi ajaran Islam telah dilakukan
Rasulullah, yang kemudian dilanjutkan oleh para Sahabatanya dan Tabi’in.[2]
Puncak keberhasilan pembaruan dalam pengertian ini adalah ketika terjadinya
aktualisasi Islam dalam berbagai kehidupan sosial kultural oleh kaum Muslim
pada masa Dinasti Abbasiyah di Bagdad dan Dinasti Ummayah di Andalusia[3].
Berbeda dengan Azra, Harun Nasution berpendapat
bahwa pembaruan mengundang arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk
mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya
untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern.[4]
Sungguh banyak firman Allah yang menganjurkan agar kaum Muslim untuk melakukan
pembaruan. Seperti firman Allah yang berbunyi sebagai berikut:
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷yt ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ÌøBr& «!$# 3 cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang
selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya
atas perintah Allah[5].
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan[6]
yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan
terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak
ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.S. Ar-Ra’ad: 11).
Misalnya disebutkan dalam ayat diatas, yaitu Allah
senantiasa tidak akan merubah kondisi suatu kaum sehingga kaum itu yang
mengubahnya. Firman ini secara teologis dapat dijadikan landasan bagi aksi
pembaruan yang dilakukan oleh kaum Muslim. Pola pikir dan pola sikap suatu kaum
mesti akan mengalami perubahan.
Kanyataan membuktikan bahwa pembaruan pendidikan
Islam pada aspek cita-cita telah dimulai oleh Kerajaan Turki Usmani. Motif yang
melandasi munculnya cita-cita ini adalah kekalahan mereka dalam berbagai perang
melawan Eropa. Kekalahan demi kekalahan telah membuat Sultan Ahmad III
(1703-1713 M) menjadi amat perihatin. Beliau kemudian melakukan introspeksi
diri dengan meneliti dan menyelidiki keunggulan-keunggulan yang dimiliki Barat.
Dari sini kiranya telah terjadi perubahan persepsi dalam
memandang Barat. Barat tidak lagi dipandang lemah oleh kaum Muslim. Bahkan, kaum
Muslim menganggap perlu bekerja sama dengan Barat. Oleh karena itu, pada tahap
berikutnya, Sulatan Ahmad III mengambil tindakan dengan mengirim duta-duta ke
Eropa. Hasil pengiriman itu menunjukan bahwa di Eropa telah terjadi perubahan
secara besar-besaran dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sultan Ahmad
III dengan segera memandang perlunya diadakan pembaruan di Turki Usmani.[7]
Semua usaha-usaha pembaruan dalam bidang pendidikan
Islam senantiasa menimbulkan pro dan kontra dikalangan tokoh-tokoh Muslim.
Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa pembaruan pendidikan dengan jalan
transformasi pengetahuan modern itu seyogyanya dibatasi hanya pada bidang
pemikiran murni sebaiknya tidak perlu ditransformasikan kepada masyarakat
Muslim.
Sementara itu, tokoh-tokoh lain beranggapan bahwa
kaum Muslimin harus memperoleh pengetahuan teknologi dan intelektual Barat
sekaligus, sebab tidak ada ilmu pengetahuan yang merugikan.[8]
Pro dan kontra ini akan terus berlanjut hingga masa sekarang ini, sejalan
dengan pro dan kontranya pemikiran pembaruan dikalangan kaum Muslim.
Demikianlah modernisasi pendidikan Islam dari segi
filsafat dengan penekanan pada
aspek-aspek cita-cita dan lembaga telah dilakukan kaum Muslim. Keduanya
berjalan secara terpadu dan beriringan. Manakala muncul sebuah cita-cita atau
pemikiran untuk memperbarui sistem pendidikan Islam yang ada, pembaruan dalam
bentuk cita-cita atau pemikiran ini akan diteruskan dalam bentuk pembaruan
kelembagaan.
B. DEMOKRASI
PENDIDIKAN: MENUJU PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT
Demokrasi dalam bidang pendidikan merupakan suatu
keharusan, agar dapat melahirkan manusia-manusia yang berwatak demokratis.[9]
Partisipasi masyarakat dalam pendidikan di Indonesia menurut Suyata, bukanlah
hal yang baru. Ia telah dilaksanakan oleh yayasan-yayasan swasta, dan bahkan
oleh perseorangan. Demokrasi artinya proses menuju demokrasi. Dalma kontes ini,
pendidikan merupakan sarana paling strategis bagi penciptaan demokratisasi.
Demokrasi pendidikan mengandung arti proses menuju
demokrasi dalam bidang pendidikan. Demokrasi pendidikan dapat dilakukan dengan
dua cara diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Demokrasi
pendidikan
2.
Pendidikan
demokrasi.[10]
Demokrasi
pendidikan sebagaimana telah disinggung pada awal bab, dapat diwujudkan
diantaranya menerapan konsep pendidikan berbasis masyarakat dalam sebuah
penyelenggaraan pendidikan nasional.
Demokrasi pendidikan lebih bersifat politis, menyangkut kebijakan pemerintah
dalam bidang pendidikan ditingkat nasional.
Adapun
pendidikan demokrasi, berkaitan dengan bagaimana proses pendidikan itu
dilaksanakan ditingkat lokal. Didalam pendidikan demokrasi, proses pembelajaran
dikelas dapat diarahkan pada pembaharuan kultur dan norma keadaban. Fungsi
pendidik dalam proses pembelajaran yang demokratis adalah sebagai fasilitator,
dinamisator, mediator, dan motivator.
Pendidikan
berbasis masyarakat menurut Umberto
Sihombing[11]
merupakan pendidikan yang dirancang, dilaksanakan, dinilai dan dikembangkan oleh
masyarakat yang mengarah pada usaha menjawab tantangan berorientasi pada masa
depan. Dengan kata lain, pendidikan berbasis masyarakat adalah konsep
pendidikan “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk Masyarakat”.
Dalam tinjauan
literatur, ada tiga persepsi yang mencoba mencari landasan konseptual bagi
pendidikan berbasis masyarakat. Pertama, persepsi historis. Persepsi ini melihat
pendidikan berbasis masyarakat sebagai sebuah perkembangan lanjut dari
pendidikan berbasis sekolah. Kedua, unsur yang ditekankan. Dengan
analisisnya tentang pendidikan berbasis masyarakat ini adalah masalah
perkembangannya yaitu sebuah perkembangan yang muncul kemudian setelah lahirnya
pendidikan berbasis sekolah.
Ketiga, persepsi
politik, yang menekankan bahwa pendidikan berbasis masyarakat merupakan hal
yang berlawanan dengan pendidikan berbasis negara. Hal ini karena masyarakat
dengan makna community biasanya
dilawankan dengan negara.
C. CIVIL SOCIETY
DALAM PENDIDIKAN
Istilah civil
society adalah istilah yang tren
dikalangan para pengamat proses demokrasi di Indonesia. Konsep civil society dalam pandangan Muhammad AS. Hikam dapat
dirunut akar intelektualnya pada empat pemikiran. Diantaranya adalah sebagai
berikut:
1.
Pemikiran
yang memandang civil society sebagai
sistem kenegaraan.
2.
Pemikiran
yang menganggap civil society sebagai
antitesa terhadap negara.
3.
Pemikiran
yang menyatakan civil society sebagai
sebuah elemen ideologi kels dominan.
4.
Pemikiran
yang mengandung civil society sebagai
kekuatan penyeimbang bagi kekuatan Negara.
Dalam konteks
Indonesia, wacana civil society
sering diungkapkan dengan istilah yang berbeda. Nurcholish Madjid, Azyumardi
Azra, dan Mulyadhi Kartanegara misalnya, telah menggunakan terma masyarakat
madani untuk menyebut istilah civil
society. Adapun mansour Fakih lebih suka menggunakan istilah masyarakat
sipil, sebagai istilah yang lebih mengena bagi terjemahan dari civil society.
Persoalan-persoalan
seperti keterbukaan, demokrasi, hubungan antara warga negara dan negara, hak
asasi manusia, pluralisme, lingkungan hidup, perburuan, kewanitaan, dan
lain-lain sebagainya merupakan beberapa persoalan kemanusiaan yang bersifat
universal. Semua itu, menurut Amin Abdullah, perlu dimasukan kedalam wilayah
pemikiran keagamaan, karena kalam atau teologi bukan melulu berarti ilmu tentang
ketuhanan, melainkan lebih dari itu, secara akademik ilmiah, kalam juga harus
berbicara tentang wilayah kesadaran eksistensial manusia.[12]
Wacana civil society hingga sekarang ini
senantiasa dilakukan dalam konteks demokratisasi. Oleh karena itu, menurut
Rahardjo muncul beberapa asumsi seputar hubungan civil society dengan demokrasi, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Demokrasi
baru dapat berkembang, apabila civil
society menjadi kuat
2.
Demokrasi
hanya dapat berlangsung apabila peranan negara dikurangi, tanpa mengurangi
efektivitas dan efisiensi melalui pertimbangan dan pembagian kerja yang saling
memperkuat melalui pertimbangan dan pembagian kerja yang saling memperkuat
antara masyarakat dengan negara
3.
Demokrasi
dapat berkembang dengan meningkatkan kemandirian atau independensi civil society dari tekanan dan kooptasi
Negara.[13]
D. PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL DALAM MASYARAKAT PLURAL
Kemajemukan dan multikulturalitas mengisyaratkan
adanya perbedaan. Bila dikelola secara benar, kemajemukan dan multikulturalitas
menghasilkan energi hebat. Sebaliknya, jika tidak dikelola dengan benar, maka
kemajemukan dan multikulturalitas bisa menimbulkan bencana bahsyat. Kolaborasi
positif orang buta dan orang lumpuh dapat meningkatkan produktivitasnya belasan
kali lipat.
Dalam konteks pendidikan, kemajemukan bangsa dan
multikulturalitas masyarakat Indonesia merupakan potensi yang hebat bila
dikelola secara benar, sebaliknya kemajemukan bangsa dan multikulturalitas
masyarakat Indonesia merupakan potensi yang jahat bila tidak bisa dikelola
dengan benar. Setiap komunitas dengan latar belakang budaya tertentu pasti
memiliki local genius yang berupa
nilai-nilai positif dan negatif.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pemebahasan makalah diatas, maka
dapat kami simpulkan bahwa Pendidikan Islam secara filosofis dewasa ini
dihadapkan pada berbagai persoalan mutakhir dan kontemporer yang memerlukan
jawaban serius. Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelum ini, filsafat
pendidikan Islam dapat dikaji melalui dua tinjauan yaitu linear dan non linear.
Tinjauan linear mencoba mencari
jawban bagaimana pemikiran filsafat dijabarkan dalam dunia pendidikan melalui
berbagai aliran filsafat, seperti pragmatisme, realisme, idealisme, dan
lain-lain.
Dalam konteks Indonesia, wacana civil society sering diungkapkan dengan
istilah yang berbeda. Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, dan Mulyadhi
Kartanegara misalnya, telah menggunakan terma masyarakat madani untuk menyebut
istilah civil society.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari
Fundamentalisme, Modernisme Hingga Postmodernisme, Cet. I, (Jakarta:
Paramadina, 1996).
, “Pendidikan Tinggi
Islam dan Kemajuan Sains” pengantar untuk Cahrles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islsam, Terj. H.
Afandi dan Hasan Arasi, Cet. I, (Jakarta: Logos, 1994).
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta: Logos, 1999).
Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet. VIII,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1991).
Muhammad Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas
Wacana Keislaman Kontemporer, Cet. I, (Bandung: Mizan, 2000).
Nurcholish Madjid, “Wacana Masyarakat
Madani: Ironi Mencari “Rumah” Demokrasi”, Jawa
Pos, Tanggal 07 Juni 1997.
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2011).
Umberto Sihombing, “Konsep dan
Pengembangan Pendidikan Berbasis
Masyarakat” dalam Fasli Jajal dan Dedi Supriadi (Eds), Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, Cet. I,
(Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001).
Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, Cet. I,
(Yogyakarta: Bigraf, t.t).
[1] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari
Fundamentalisme, Modernisme Hingga Postmodernisme, Cet. I, (Jakarta:
Paramadina, 1996), hal. iii.
[2] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I,
(Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 163.
[3] Ibid.
[4] Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, Cet. VIII, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hal. 11.
[5] bagi
tiap-tiap manusia ada beberapa malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran
dan ada pula beberapa malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang
dikehendaki dalam ayat Ini ialah malaikat yang menjaga secara bergiliran itu,
disebut malaikat Hafazhah.
[6] Tuhan
tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab
kemunduran mereka.
[7] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Cet. I,
(Jakarta: Logos, 1999), hal. 129-130.
[8] Azyumardi Azra,
“Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains” pengantar untuk Cahrles Michael
Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islsam, Terj.
H. Afandi dan Hasan Arasi, Cet. I, (Jakarta: Logos, 1994), hal. xiii.
[9] Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju
Civil Society, Cet. I, (Yogyakarta: Bigraf, t.t), hal. 10-11.
[10] Toto Suharto, op cit, hal. 178.
[11] Umberto Sihombing,
“Konsep dan Pengembangan Pendidikan
Berbasis Masyarakat” dalam Fasli Jajal dan Dedi Supriadi (Eds), Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi
Daerah, Cet. I, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), hal. 186.
[12] Muhammad Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas
Wacana Keislaman Kontemporer, Cet. I, (Bandung: Mizan, 2000), hal. 20.
[13] Nurcholish Madjid, “Wacana
Masyarakat Madani: Ironi Mencari “Rumah” Demokrasi”, Jawa Pos, Tanggal 07 Juni 1997, hal. 4.
0 komentar:
Post a Comment