BAB I
PENDAHULUAN


Perbankan syari’ah dalam peristilahan internasional dikenal sebagai Islamic Banking atau juga disebut dengan interest-free banking. Peristilahan dengan menggunakan kata Islamic tidak dapat dilepasksan dari asal-usul system perbankan syari’ah itu sendiri. Bank Syari’ah pada awalnya dikembangkan sebagai suatu respon dari kelompok ekonom dan praktisi perbankan.
Muslim yang berupaya mengakomodasi  desakan dari berbagai pihak yang menginginkan agar tersedia jasa transaksi keuangan yang dilaksanakan sejalan dengan nilai moral dan prinsip-prinsip syari’ah Islam. Utamanya adalah berkaitan dengan pelarangan praktik riba, kegiatan maisir (spekulasi), dan gharar (ketidak jelasan).



BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN SISTEM PERBANKAN SYARI’AH



A.    AWAL KELAHIRAN SISTEM PERBANKAN SYARI’AH
Sejak awal kelahirannya, perbankan syari’ah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam modern yaitu neorevivalis dan modernis.[1] Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan pada etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing  tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya mengelola dana jamaah haji secara non konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.
Oleh karena itu, tak heran jika Scharf, mantan direktur utama Bank Islam Denmark  yang kristen itu, menyatakan bahwa Bank Islam adalah partner baru pembangunan.[2]


1.      Mit Ghamr Bank
Rintisan perbankan syari’ah mulai mewujud di Mesir pada dekade 1960-an dan beroperasi sebagai rural social bank (semacam lembaga keuangan unit desa di Indonesia) disepanjang delta Sungai Nil.
2.      Islamic Development Bank
Pada sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam di Karachi, Pakistan, Desember 1970 Mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank syari’ah. Proposal tersebut pada intinya mengusulkan bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerja sama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposals tersebut diterima. Sidang menyetujui rencana mendirikan Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam.[3]
3.      Islamic Research and Training Institute
IDB juga membantu mendirikan bank-bank Islam diberbagai negara-negara di dunia ini. Untuk pengembangan sistem ekonomi syari’ah, institusi ini membangun sebuah institut riset dan pelatihan untuk mengembangkan penelitian dan pelatihan ekonomi Islam, baik dalam bidang perbankan maupun keuangan secara umum.[4]




B.     PEMBENTUKAN BANK-BANK SYARI’AH
Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syari’ah. Untuk itu, komite ahli IDB pun bekerja keras menyiapkan panduan tentang pendirian, peraturan, dan pengawasan bank syari’ah. Secara garis besar, lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukan kedalam dua kategori yaitu:
1.      Bank Islam komersial
2.      Lembaga investasi dalam bentuk internationl holding companies.

C.    PERKEMBANGAN BANK-BANK SYARI’AH DI BERBAGAI NEGARA
1.      Pakistan
Pakistan merupakan pelopor di bidang perbankan syari’ah. Pada awal Juli 1979, sistem bunga dihapuskan dari operasional  tiga institusi: National Investment, House Building Finance Corporation (pembiayaan sektor perumahan), dan Mutual Funds of the Investment Corporation of Pakistan (Kerjasama Investasi).
2.      Mesir
Bank syari’ah yang didirikan pertama kali di Mesir adalah  Faisal Islamic Bank (FIB). Bank ini mulai beroperasi pada bulan Maret 1978 dan berhasil membukukan hasil mengesahkan dengan total aset sekitar 2 Milyar dollar AS pada 1986 dan tingkat keuntungan mencapai sekitar 106 juta dolar AS.


3.      Kuwait
Kuwait Financial House didirikan pada tahun 1977 dan sejak awal beroperasinya dengan sistem tanpa bunga. Institusi ini memiliki puluhan cabang di Kuwait dan telah menunjukan perkembangan yang cepat. Selama dua tahun saja, yaitu tahun 1980 hingga 1982, dana masyarakat yang terkumpul meningkat dari sekitar KD 149 juta menjadi KD 474 juta.
4.      Bahrain
Bahrain merupakan off shore banking heaven terbesar di Timur Tengah. Dinegara yang hanya berpenduduk tidak lebih dari 660.000 jiwa (per Desember 1999) tumbuh sekitar 220 local dan off shore banks. Tidak kurang dari 22 di antaranya beroperasi berdasarkan syari’ah.
5.      Malaysia
Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) merupakan bank syari’ah pertama kali di Asia Tenggara. Bank ini didirikan pada tahun 1983, dengan 30 persen modal merupakan milik pemerintah federal. Hingga akhir 1999, BIMB telah memiliki lebih dari tujuh puluh cabang yang tersebar hampir di setiap negara bagian dan kota-kota Malaysia.
6.      Iran
Ide pembangunan Perbankan  Syari’ah di Iran sesungguhnya bermula sesaat sejak Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini pada tahun 1979, sedangkan perkembangan dalam arti riil baru dimulai pada Januari tahun 1984.

7.      Turki
Sebagai negara yang berideologi sekuler, Turki termasuk negara yang cukup awal memiliki perbankan syaria’h. Pada tahun 1984, Pemerintah Turki memberikan izin kepada Daar al-Maal al-Islam (DMI) untuk mendirikan bank yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil. Menurut ketentuan Bank Sentral Turki, bank syari’ah diatur dalm satu yuridis khusus. Setelah DMI berdiri, pada bulan desember 1984 didirikan pula Faisal Finance Institution dan mulai beroperasi pada bulan April 1985.[5]

D.    PERKEMBANGAN BANK SYARI’AH DI INDONESIA
1.      Latar Belakang Bank Syaria’h
Berkembangnya bank-bank syari’ah di Negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an,  diskusi mengenai bank syari’ah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-29 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor.
Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta. 22-25 Agustus 1990, berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja yang disebut dengan Tim Perbankan MUI, bertugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.[6]
2.      PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI)
Bank Muamalat Indonsia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut di atas. Akte pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 01 November 1991.
Pada saat penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebesar Rp. 84 Milliar. Pada tanggal 03 November 1991, dalam acara silaturahmi Presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp. 106.126.382.000,- dengan modal awal tersebut, pada tanggal 01 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi.
Pada pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI), keberadaan bank syari’ah ini belum mendapatkan perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional.  Landasan hukum operasional bank yang menggunakan sistem syari’ah ini hanya dikategorikan sebagai “Bank dengan sistem bagi hasil”. Hal ini sangat tercermin pada UU No. 7 Tahun 1992, dimana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan merupakan sisipan belaka.
3.      Era Revormasi dan Perbankan Syari’ah
Perkembangan perbankan syari’ah pada era reformasi di tandai dengan disetujuinya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam Undang-Undang  tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syari’ah.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang  perbanakn syari’ah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk memiliki devisi atau cabang syari’ah dalam institusinya.
a.       Bank Umum Syari’ah
Bank Syari’ah Mandiri (BSM) merupakan bank milik pemerintah pertama yang melandasi operasionalnya pada prinsip syari’ah. Secara struktural, BSM berasal dari Bank Susila Bakti (BSB), sebagai salah satu anak perusahaan lingkup Bank Mandiri (ex BDN), sebagai salah satu anak perusahaan di syariah secara penuh.[7]
b.      Cabang Syari’ah dari Bank Konvensional
Satu perkembangan lain perbankan syari’ah di Indonesia pasca reformasi adalah diperkenankannya konversi cabang bank umum konvensional menjadi cabang syari’ah.[8] Beberapa bank yang sudah dan akan membuka cabang syari’ah diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Bank IFI (Membuka cabang pada 28 Juni 1999)
2.      Bank Niaga (akan membuka cabang syari’ah)
3.      Bank BTN (akan membuka cabang syari’ah)
4.      Bank BNI’46 (akan membuka lima cabang syari’ah)
5.      Bank Mega (akan mengkonversikan satu bank konvensional anak perusahaanya menjadi bank syari’ah)
6.      Bank BRI (akan membuka cabang syari’ah)
7.      Bank Bukopin (tengah melakukan program konversi untuk cabang Aceh)
8.      BPD JABAR (telah membuka cabang syari’ah di Bandung)
9.      BPD Aceh (tengah menyiapkan SDM untuk konversi cabang).


BAB III
KESIMPULAN


Dari pembahasan resume diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing  tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya mengelola dana jamaah haji secara non konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.
Oleh karena itu, tak heran jika Scharf, mantan direktur utama Bank Islam Denmark  yang kristen itu, menyatakan bahwa Bank Islam adalah partner baru pembangunan.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation, (Leiden: EJ Brill, 1996).

Ahmad el-Najjar, Bank Bila Fawaid ka Istiratijiyah lil Tanmiyah al-Iqtishadiyyah, (Jeddah: King Abdul Aziz University Press, 1972).

Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukuan Kantor bank Syari’ah, (Jakarta: Bank Indonesia, 1999).

Muhammad Amin Azis, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, (Jakarta: Bankit, 1992).

Muhammad Syafi’i Antonio,  Bank Syari’ah: Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001).

                                                 ,Bank Syari’ah Bagi Bankir dan Praktik Keuangan, (Jakarta: Central Bank Of Indonesia and Tazkia Institute, 1999).

Traute Wohler Scharf, Arab and Islamic Banks: New Business Partners for Developing Countries, (Paris: Development Center of the Organization for Economic: Cooperation and Development: 1990).




[1] Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation, (Leiden: EJ Brill, 1996).
[2] Traute Wohler Scharf, Arab and Islamic Banks: New Business Partners for Developing Countries, (Paris: Development Center of the Organization for Economic: Cooperation and Development: 1990).
[3] Ahmad el-Najjar, Bank Bila Fawaid ka Istiratijiyah lil Tanmiyah al-Iqtishadiyyah, (Jeddah: King Abdul Aziz University Press, 1972).
[4] Ibid.
[5] Muhammad Amin Azis, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, (Jakarta: Bankit, 1992).
[6] Muhammad Syafi’i Antonio,  Bank Syari’ah: Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 25.
[7] Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukuan Kantor bank Syari’ah, (Jakarta: Bank Indonesia, 1999).
[8] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Bagi Bankir dan Praktik Keuangan, (Jakarta: Central Bank Of Indonesia and Tazkia Institute, 1999).

0 komentar:

 
Top