BAB I PENDAHULUAN
Dimuka telah diuraikan bahwa nilai-nilai yang hendak dibentuk atau diwujudkan dalam pribadi anak didik sehingga fungsional dan aktual dalam perilaku muslim, adalah nilai islami yang melandasi moralitas (akhlak). Dalma uraian berikut ini perlu diketengahkan bagaimana Islam memberikan sistem nilai dan moral yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Sistem nilai moral adalah suatu keseluruhan tatanan yang terdiri dari dua atau lebih komponen yang satu sama lain saling mempengaruhi, atau bekerja dalam satu kesatuan, atau keterpaduan yang bulat, yang berorientasikan kepada nilai dan moralitas Islami. Jadi, disini tekanannya pada action system.[1]


BAB II
PEMBAHASAN
SISTEM NILAI DAN MORAL ISLAM

A.    SISTEM NILAI DAN MORAL ISLAM
Sistem nilai atau sistem moral yang dijadikan kerangka acuan yang menjadi rujukan cara berperilaku lahiriah dan rohaniah manusia muslim ialah nilai dan moralitas yang diajarkan oleh Agama Islam sebagai wahyu Allah, yang diturunkan kepada Utusan-Nya Nabi Muhammad SAW. Nilai dan moralitas Islami adalah bersifat menyeluruh, bulat dan terpadu, tidak berpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang satu sama lain berdiri sendiri.
Suatu kebulatan nilai dan moralitas itu mengandung aspek normatif (kaidah, pedoman) dan operatif (menjadi landasan amal perbuatan). Nilai-nilai  dalam Islam mengandung dua kategori arti dilihat dari segi normatif, yaitu baik dan buruk, benar dan salah, hak dan batil diridai dan dikutut oleh Allah swt.
Sedangkan bila dilihat dari segi operatif nilai tersebut mengandung lima pengertian kategori yang menjadi prinsip standarisasi perilaku manusia yaitu sebagai berikut:
1.      Wajib atau fardu yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat pahala dan bila ditinggalkan orang akan mendapat siksa Allah
2.      Sunat atau mustahab, yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat pahala dan bial ditinggalkan orang tidak akan disiksa
3.      Mubah atau jaiz, yaitu bila dikerjakan orang tidak akan disiksa dan tidak diberi pahala dan bila ditinggalkan tidak pula disiksa oleh Allah dan juga tidak diberi pahala
4.      Makruh, yaitu bila dikerjakan orang tidak disiksa, hanya tidak disukai oleh Allah dan bila ditinggalkan, orang akan mendapatkan pahala
5.      Haram, yaitu bila dikerjakan orang akan mendapatkan siksa dan bial ditinggalkan orang akan memperoleh pahala.[2]
Nilai-nilai yang tercakup didalam sistem nilai Islami yang merupakan komponen  atau subsistem adalah sebagai berikut:
1.      Sistem nilai kultural yang senada dan senapas dengan Islam
2.      Sistem nilai sosial yang memiliki mekanisme gerak yang berorientasi kepada kehidupan sejarah didunia dan bahagia diakhirat
3.      Sistem nilai yang bersifat psikologis dari masing-masing individu yang didorong oleh fungsi-fungsi psikologisnya untuk berperilaku secara terkontrol oleh nilai yang menjadi sumber rujukannya yaitu Islam
4.      Sistem nilai tingkah laku dari makhluk (manusia) yang mengandung interrelasi atau interkomunikasi dengan yang lainnya.


Sedangkan pengertian norma disini ialah suatu pola yang menetukan tingkah laku yang diinginkan bagi suatu bagian (unit) atau kelompok unti beraspek khusus dan yang membedakan sdari tugas-tugas kelompok lainnya.[3] Norma bersifat integratif ia mengatur berbagai macam proses yang membantu mengimplementasikan komitmen terhadap nilai yang terpolakan.[4]
Dengan demikian, sistem nilai Islami yang hendak dibentuk dalam pribadi anak didik dalam wujud keseluruhannya dapat diklasifikasikan kedalam norma-norma. Misalnya, norma hukum (syari’ah) Islam, norma akhlak, dan sebagainya. Norma tersebut diperlukan untuk memperjelas pedoman operatif dalam proses kependidikan.
Oleh karena itu pendidikan Islam bertujuan pokok pada pembinaan akhlak mulia, maka sistem moral islami yang ditumbuhkan dalma proses kependidikan adalah norma yang berorientasi kepada nilai-nilai Islami. Sistem moral Islami itu menurut Sayyid Abdul A’la Al-Maududi, adalah memiliki ciri-ciri yang sempurna berbeda dengan norma moral non Islam.
Ciri-ciri tersebut terletak pada tiga hal yaitu dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Keridaan Allah merupakan tujuan hidup manusia dan keridaan Allah ini menjadi sumber standar moral yang tinggi dan menjadi jalan bagi evolusi moral kemanusiaan
2.      Semua lingkup kehidupan manusia senantiasa ditegakkan diatas moral Islami sehingga moralitas Islami berkuasa penuh atas semua urusan kehidupan manusia, sedang bahwa nafsu dan vested interest picik tidak diberi kesempatan menguasai kehidupan manusia
3.      Islam menuntut manusia agar melaksanakan sistem kehidupan yang didasarkan pada norma-norma kebajikan dan jauh dari kejahatan.[5] Pendapat diatas, didasarkan pada  firman Allah sebagai berikut:


Artinya: “Orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S. Al-Hajj: 41).[6]

      Sistem moral Islam, dengan demikian berpusat pada sikap mencari ridha Allah. Pengendalian nafsu negatif, dan kemampuan berbuat kebajikan serta manjauhi perbuatan jahat.  Menurut Sayyid Quthub seorang cendekiawan dan ulama Mesir yang terkenal berpendirian keras dalam memegang kaidah-kaidah syari’ah, ia dihukum mati oleh lawan politiknya (Presiden Gamal Abdul Nasser), berpendapat bahwa sistem moral Islami itu didasarkan pada pandangan Islam yang memandang dosa dan perbuatan keji merupakan belenggu yang menghukum jiwa manusia, menjatuhkan, dan menyeretnya kedasarnya yang paling dalam. Ia memandang pelepasan diri dari ikatan nafsur rendah sebagai pembebasan yang sejati.[7] Menurut Pendapatnya,bahwa moralitas Islami itu tidak hanya terdiri dari kumpulan belenggu dan larangan-larangan. Ia pada hakekatnya adalah suatu kesatuan konstruktif dan positif, merupakan suatu kekuatan pendorong bagi perkembangan yang ber- keseimbangan dan bagi kesadaran pribadi di dalm proses perkembangan dan bagi kesadaran pribadi di dalam proses perkembangan tersebut.[8]

B.     FUNGSI NILAI ABSOLUT
Mengingat kualitas nilai Islami yang absolut itu maka manusia tidak  dapat mengubahnya secara bebas yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perkembangan kebudayaan masyarakat. Bahkan, tidak boleh digunakan untuk mengesahkan selera nafsu negatif manusia dalam segala bentuk kreasinya.
Fungsi nilai yang absolut itu adalah menuntut dan mengarahkan nilai-nilai kultural yang kualitasnya bersifat relativistis, yaitu nilai yang bergantung pada situasi dan kondisi perkembangan kebudayaan manusia. Namun, nilai absolut itu juga memiliki kelenturan normatif terhadap kebudayaan dalam batas-batas konfigurasi (kerangka) tertentu, tanpa meninggalkan prinsip  fungamentalnya.
Seni adalah bermanfaat untuk melembutkan budi dan perasaan manusia, sehingga tidak membawa kegersangan batin. Prinsip-prinsip fundamental seni adalah nilai rohaniyah yang tidak mengandung kecenderungan ke arah keingkaran atau kemusyrikan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Seni adalah  untuk mengagungkan nama Allah, bukan seni sekedar untuk seni atau seni untuk menjerumuskan manusia kedalam jurang kemaksiatan atau dosa.

C.    NILAI-NILAI YANG RELATIF
Menurut teori kependidikan yang berdasarkan pandangan psikologi mekanisme  sejak John Locke dalam abad ke 17 sampai aliran Behaviorisme dari J.B. Watson abad ke 20, terdapat pandangan bahwa manusia dalam batas-batas kemampuan fisiknya, dapat dibentuk melalui cita-cita yang tak terbatas.
John Locke menentang pendapat bahwa secara tabi’in dalam jiwa manusia terbentuk dasar-dasar moralitas yang terbawa sejak kelahirannya. Ia berpendapat bahwa jiwa itu bagaikan meja lilin yang bersih dari goresan. Pengalamanlah yang membentuk pola ukirannya. Untuk bukti, John Locke menyaring pengaruh kebiasaan terhadap jiwa anak, baik menurut antropologi maupun menurut pandangan atau teori dari ahli filsafat.[9]
Paham Behaviorisme juga berbuat sama misalnya Pavlov ahli psikologi Rusia pernah melakukan eksperimen pada seekor anjing yang di conditioning dalam laboratorium untuk mengeluarkan air liurnya pada saat bel dibunyikan sebagai ganti dari makanan yang diberikan atau dengan memberi cahaya lampu, pada saat yang lain. Demikian juga manusia, dapat di conditioning seperti anjing sejak lahir dengan memberikan rangsangan sampai ia mencapai bentuk yang direncanakan.[10]
Oleh karena itu, relativitas nilai-nilai manusia adalah bersifat kultural sosiologis, yang terbentuk oleh kebudayaan masyarakatnya dari mana pola etika manusia dilahirkan atau dilembagakan. Nilai-nilai moral dan etika menurut teori diatas, bersifat relatif, tidak mutlak, dan berubah-ubah tergantung pada waktu dan tempat, serta menjadi alat pemenuhan kebutuhan mental budaya manusia itu sendiri.
Terhadap nilai relativitas itu, kita tidak perlu melakukan penilaian karena sifat indeterminatifnya yang intrinsik tak dapat dipastikan. Nilai-nilai demikian sulit untuk dijadikan pedoman normatif dalam pendidikan, apalagi untuk dijabarkan kedalam tujuan pendidikan, dimana idealitas nilai-nilai itu menjadi inti tujuan.

D.    PAHAM NATURALISME, PRAMATISME DAN IDEALISME
Sistem nilai yang bersumber pada paham Naturalisme berorientasi kepada naturo-centris (berpusat pada alam), kepada tubuh jasmaniah, kepada panca indera, karena hal-hal yang bersifat aktual (nyata), kepada kekuatan, kepada kemampuan mempertahankan hidup dan kepada organisme (makhluk hidup).[11]
Oleh karena itu, Naturalisme berpandangan menolak hal-hal yang bersifat spiritual dan moral, sebab kenyataan yang hakiki adalah alam semesta yang bersifat fisik (jasmaniah). Jiwa dapat menurun kualitasnya menjadi kenyataan yang berunsurkan materi. Naturalisme dekat dengan paham materialisme yang menafikan nilai-nilai moral manusia. Tidak ada kenyataan di balik kenyataan alam fisik, hingga tak ada alam metafisis. Berbeda dengan Naturalisme adalah paham Pragmatisme yang lebih mementingkan orientasinya kepada pandangan antroposentris (berpusat  kepada manusia), kepada batin manusia, keapda kemampuan aktivitas dan pertumbuhan manusia, kepada hal-hal yang bersifat praktis, kemampuan kecerdasan, perbuatan dalam masyarakat dan kepada diri manusia (individualitas).[12]
Bagi Pragmatisme ukuran baik dan buruk benar dan salah didasarkan kemanfaatan tingkah laku manusia dalam masyarakat. Bilamana masyarakat memandang baik atau benar maka perilaku tersebut adalah bermoral budaya yang tinggi. Idealisme, sebuah aliran filsafat yang berprinsip bahwa kenyataan (realitas) yang ada dalam kehidupan alam bukanlah suatu kebenaran yang hakiki, melainkan gambaran dari ide-ide yang ada didalam jiwa atau spirit manusia.
Dalam proses kependidikan, kaum idealis menginginkan agar pendidikan jangan hanya merupakan masalah mengembangkan atau menumbuhkan, melainkan harus digerakan kearah tujuan yaitu tujuan dimana nilai telah direalisasikan kedalam bentuk yang kekal dan tak terbatas.  Nilai-nilai kependidikan menurut kaum idealis, adalah pelahiran (cetusan) dari susunan atau sistem yang kekal abadi yang memiliki nilai dalam dirinya sendiri.
Kewajiban manusia dan pendidikan adalah berusaha untuk mengaktualisasikan  nilai tersebut. Bilamana terjadi pertentangan dalam nilai-nilai kependidikan, maka hierarki nilai akan mengambil posisi pada tingkat dimana nilai-nilainya mampu merealisasikan tujuan yang mutlak (absolut).[13] Filsafat pendidikan Islam dalam beberapa aspek pendekatannya memiliki prinsip-prinsip yang serupa dengan prinsip paham idealisme, terutama idealisme spiritualistis.
Oleh karena itu, Filsafat Pendidikan Islam termasuk kedalam idealisme yang spiritualistis moralistis. Pendidikan moral dalam Islam menjadi sangat penting dalam rangka membina manusia yang berakhlak mulia. Justru Nabi Muhammad saw. adalah  diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia sebagaimana dinyatakan oleh biliau dalam hadis pada uraian sebelumnya.

E.     PAHAM IDEALISME ISLAM TENTANG SISTEM NILAI DAN MORALITAS
Daya pancar dari sistem nilai yang menerangi moralitas unsur manusia, menurut pandangan Islam, adalah bersumber dari cahaya Allah yang digambarkan dalam Al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut:

Artinya: “Hai ahli kitab, Sesungguhnya Telah datang kepadamu Rasul kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya Telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan[14].”(Q.S. Al-Maidah: 15).


Artinya: “Dengan Kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Q.S. Al-Maidah: 16).

Atas dasar firman Allah diatas, maka Mohammad Fadhil Al-Djamaly,   ahli pendidikan  Tunisia berkesimpulan bahwa dalam proses kependidikan Islam, pembentukan kepribadian anak didik harus diarahkan kepada sasaran sebagai berikut:
1.      Pengembangan iman sehingga benar-benar berfungsi sebagai kekuatan pendorong ke arah kebahagiaan hidup yang dihayati sebagai suatu nikmat Allah.
2.      Pengembangan kemampuan mempergunakan akal kecerdasan untuk menganalisa hal-hal yang berada dibalik kenyataan alam yang tampak.
3.      Pengembangan potensi berakhlak mulia dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
4.      Mengembangkan sikap beramal shaleh dalam setiap pribadi manusia atau muslim.[15]



BAB III
KESIMPULAN


Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Sistem nilai atau sistem moral yang dijadikan kerangka acuan yang menjadi rujukan cara berperilaku lahiriah dan rohaniah manusia muslim ialah nilai dan moralitas yang diajarkan oleh Agama Islam sebagai wahyu Allah, yang diturunkan kepada Utusan-Nya Nabi Muhammad SAW. Nilai dan moralitas Islami adalah bersifat menyeluruh, bulat dan terpadu, tidak berpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang satu sama lain berdiri sendiri.
Dalam proses kependidikan, kaum idealis menginginkan agar pendidikan jangan hanya merupakan masalah mengembangkan atau menumbuhkan, melainkan harus digerakan kearah tujuan yaitu tujuan dimana nilai telah direalisasikan kedalam bentuk yang kekal dan tak terbatas. 



DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama Islam RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Thoha Putera, 1989).
Abdul A’la Al-Maududi, Islamci Way oif Life, Terj. Mashuri Sirajuddin Iqbal, dkk, Islam Sebagai Pandangan Hidup, (Bandung: Sinar Baru, 1983).
Abraham Edel, Ethical Judgement, The Use of Science in Ethics, (New York: The Crowell-Collier Publishing Company, 1964).
Herman H. Horne, An Idealistic Philosophy of Education: The Forty First, Yearbook of The National Society for The Study of Education, Part I, (Chicago: Philosophies of Education, The University of Chicago Press, 1962).
John S. Brubackher, Comparative Philosophy of Education, in Philosophies of Education, Forty First Yearbook, Part I, (Chicago: The University of Chicago Press, 1962).
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012).
Mohammad Fadhil Al-Djamaly,  Tarbiyah Al-Insan Al-Jadid, (Matba’ah Al-Ittihad Al-‘Aam Al-Tunisijjah Al-Syughli, 1967).
R. Jean Hills, Toward a Science of Organization, (Oregon: Center For The Advanced Study of Education Administration, University of Oregon, Eugene, 1968).
Sayyid Quthub, This Religion of Islam, (USA: International Islamic Federation On Student Organization, t.t).
Talcott Parsons, Some  Considerations on the Theory of Social Change, (Rural Sociology: 26, 03 September 1963)
[1] R. Jean Hills, Toward a Science of Organization, (Oregon: Center For The Advanced Study of Education Administration, University of Oregon, Eugene, 1968), hal.      18.
[2] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hal. 126-127.
[3] Talcott Parsons, Some  Considerations on the Theory of Social Change, (Rural Sociology: 26, 03 September 1963), hal. 223.
[4] Ibid.
[5] Abdul A’la Al-Maududi, Islamci Way oif Life, Terj. Mashuri Sirajuddin Iqbal, dkk, Islam Sebagai Pandangan Hidup, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal. 39-41.
[6] Departemen Agama Islam RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Thoha Putera, 1989).
[7] Sayyid Quthub, This Religion of Islam, (USA: International Islamic Federation On Student Organization, t.t), hal. 31.
[8] Ibid, hal. 29-30.
[9] Abraham Edel, Ethical Judgement, The Use of Science in Ethics, (New York: The Crowell-Collier Publishing Company, 1964), hal.25.
[10] Ibid.
[11] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, op cit, hal. 133.
[12] Herman H. Horne, An Idealistic Philosophy of Education: The Forty First, Yearbook of The National Society for The Study of Education, Part I, (Chicago: Philosophies of Education, The University of Chicago Press, 1962), hal. 192.
[13] John S. Brubackher, Comparative Philosophy of Education, in Philosophies of Education, Forty First Yearbook, Part I, (Chicago: The University of Chicago Press, 1962), hal. 311.
[14] Cahaya Maksudnya: nabi Muhammad s.a.w. dan Kitab Maksudnya: Al Quran.
[15] Mohammad Fadhil Al-Djamaly,  Tarbiyah Al-Insan Al-Jadid, (Matba’ah Al-Ittihad Al-‘Aam Al-Tunisijjah Al-Syughli, 1967).

0 komentar:

 
Top