BAB I
PENDAHULUAN
Dalam falsafah pendidikan Islam, Omar
Mohammad al-Toumy al-Syaibany menulis kitab-kitab falsafah pendidikan di
negara-negara Arab, sekalipun sedikit, masih tetap mengambil pemikiran dan
menghadapi persoalannya dari segi pandangan Barat. Tampak kurang sekali
menyebut tentnag karya-karya ulama di Negara kita. Kalau menghadapi persoalan
tabiat manusia misalnya, mereka selalu menyebutkan pendapat Plato, Aristoteles,
Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jaques Rousseau, John Dewey dan lain-lain.
Tidak sedikitpun menyentuh tentang
pendapat seorang ahli pikir Arab. Mengapa kita merasa cukup dengan menyebut
pendapat-pendapat Plato dan Aristoteles dalam hali ini dan tidak menghiraukan
filosof-filosof Islam.[1]
Dalam makalah ini, akan kami bahas mengenai Wacana Filosof Pendidikan Islam
Dalam Pemikiran Para Tokoh.
BAB II
PEMBAHASAN
WACANA FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM DALAM
PEMIKIRAN PARA TOKOH
A. PEMIKIRAN
PENDIDIKAN DI DUNIA ISLAM PADA UMUNYA
1.
Pemikiran
Pendidikan Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun
sebagai seorang pemikir adalah produk sejarah.
Oleh karena itu, untuk membaca pemikirannya, aspek historis yang
mengitarinya tidak dapat dilepaskan begitu saja. Namun yang jelas pemikiran
Ibnu Khaldun tidak dapat dipisahkan dari akar pemikiran Islamnya. Disinilah
letak alasan mengapa Iqbal mengatakan bahwa seluruh semangat al-Muqaddimah yang merupakan manifestasi
pemikiran Ibnu Khaldun, diilhami pengarangnya dari Al-Qur’an sebagai sumber
utama dan pertama ajaran Islam.
Dengan demikian,
pemikiran Ibnu Khaldun dapat dibaca melalui setting
sosial yang mengitarinya yang diungkapkan beliau, baik secara lisan maupun
tulisan, sebagai sebuah kecenderungan. Sebagai seorang filsuf Muslim, pemikiran
Ibnu Khaldun sangatlah rasional dan banyak berpegang kepada logika.[2]
Meskipun
pemikiran Ibnu Khaldun sangatlah berbeda dengan al-Ghazali dalam masalah logika,
al-Ghazali jelas-jelas menentang logika, karena hasil pemikiran logika tidak
dapat diandalkan. Sedangkan Ibnu Khaldun masih menghargainya sebagai metode
yang dapat melatih seseorang berpikir sistematis.
Fathiyyah Hasan
Sulaiman menyebutkan bahwa tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah
sebagai berikut:[3]
1)
Memberikan
kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktivitas penting
bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu, yang pada gilirannya
kematangan individu ini bermanfaat bagi masyarakat
2)
Memperoleh
berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat yang membantu manusia agar dapat hidup
dengan baik, dalam rangka terwujudnya masyarakat yang maju dan berbudaya
3)
Memperoleh
lapangan pekerjaan yang dapat digunakan untuk mencari pekerjaan dan
penghidupan.
2.
Pemikiran
Pendidikan Muhammad Abduh
Dalam rangka
merumuskan dan merespon terhadpa tantangan Barat dan dunia modern, para pembaru
kiranya telah menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda-beda, Azyumardi Azra
menyebutkan tiga pendekatan yang secara implisit telah digunakan para pembaru.
Ketiga pendekatan tersebut adalah apologetik, identifikatif, dan afirmatif.[4]
Ketiga pendekatan tersebut, walaupun diantaranya sering terjadi rumpang tindih
dan sulit dipihsakan, kiranya dapat dijadikan landasan tipologikal untuk
menentukan berbagai orientasi ideologis bagi gerakan pembaruan Islam.[5]
Gerakan
pembaruan Islam dalam perkembangannya yang paling awal sesungguhnya muncul
berkaitan dengan respon kaum Muslimin untuk mengatasi berbagai masalah sosial.
Salah satu karakter dan watak pembaruan Islam tempo doelo adalah menggunakan
kacamata agama untuk mengatasi masalah-masalah
sosial yang menimpa kaum Muslim berkenaan dengan lahirnya modernisme.[6]
3.
Pemikiran
Pendidikan Muhammad Iqbal
Pembaharuan
pemikiran Iqbal memang sangatlah komprehensif menyentuh semua sendi-sendi
kehidupan kaum Muslim. Oleh karena itu, sangatlah wajar apabila ia mempunyai
pengaruh yang sangat signifikan bagi pembaruan dunia Islam kontemporer. Bahakn
menurut Nourouzzaman Shiddiqi, pemikiran Fazlur Rahman itu sendiri mendapat
pengaruh dari pemikiran filsafat Iqbal yang berkonsentrasi pada rekonstruksi
pemikiran.[7]
Muhammad Iqbal
selain terkenal sebagai seorang filsuf, ahli hukum, pemikir politik, dan
reformis Muslim, juga dikenal sebagai seorang penyair Ulung. Dengan banyaknya
karya-karya yang berbentuk puisi ini kiranya dapat dipastikan bahwa pengaruh
Iqbal juga ditentukan oleh syair-syairnya.
Iqbal memandang
sudah saatnya kaum Muslim melakukan rekonstruksi terhadap segala pemikiran yang
berkembang didunia Islam. Hal utama yang dilakukan Iqbal dalam hal in adalah
menentang dualisme filsafat klasik yang abstrak, yang telah mempertahankan
pikiran dan materi dalam wadah yang ketat. Menurut Iqbal, cita-cita yang
bersumber dari idealisme dan kenyataan yang bersumber dari realisme bukanlah
dua kekuatan yang saling bertentangan.
Keduanya kiranya
dapat didamaikan. Iqbal dalam hal ini telah menarik inspirasi dunia filsafat
modern ke arah pendekatan induktif untuk mendekati semangat Islam meskipun
bedanya. Islam mengakui adanya realitas transendental.[8]
B. PEMIKIRAN
PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
1.
Pemikiran
Pendidikan Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan
dalam melakukan pembaruan Islam melalui Muhammadiyah dilakukan dengan empat
cara yaitu:
1)
Dahlan
selalu menekankan perlunya penyatuan dimensi ajaran kembali kepada Al-Qur’an
dan Sunnah dengan dimensi ijtihad dan tajdid sosial keagamaan
2)
Dalam
mengaktualisasikan cita-cita pembaruannya Dahlan menempuh sistem organisasi
3)
Pemikiran
Dahlan dengan Muhammadiyah bercorak anti kemapanan kelembagaan agama yang
terlalu bersifat kaku
4)
Gagasan
pembaruan Dahlan dengan Muhammadiyah selalu bersikap responsif dan adaptif di
dalam menghadapi perkembangan zaman.
2.
Pemikiran
Pendidikan Hasyim Asy ‘Ari
Kehadirannya
Hasyim Asy’Ari dalam tubuh NU telah memberikan kebanggaan tersendiri bagi warga
NU. Sementara itu, membuat kecintaan warga NU terhadap organisasinya semakin
bertambah besar. Dalam konteks studi Islam, tradisional memiliki pengertian
yang berlawanan dengan modernisme. Menurut Seyyed Hossein Nasr, Islsam
tradisonal dipahami sebagai fase Islam dengan beberapa karakteristik sebagai
berikut:
1)
Islam
tradisional menerima Al-Qur’an sebagai Kalam Tuhan, baik kandungan maupun
bentuknya
2)
Islam
tradisional menerima ortodoks, yaitu shihab
yang enam dari kalangan Sunni dan Empat Buku dari kalangan Syi’ah
3)
Islam
tradisional mempertahankan syari’ah sebagai
hukum Illahi selama berabad-abad. Disamping itu juga menerima kemungkinan
pandangan-pandangan segar lainnya melalui qiyas, ijma’ dan istihsan
4)
Islam
tradisional memandang sufisme sebagai dimensi batini atau jantung wahyu Islam.
KH. Hasyim Asy
‘Ari secara intelektual, sebagaimana disebutkan Dhofier, sangat dipengaruhi
oleh guru-gurunya.[9]
Sebagaimana Syaikh Mahfudz al-Tarmisi, KH. Hasyim Asy ‘Ari memiliki pandangan yang
tegas untuk mempertahankan ajaran-ajaran mazhab dan pentingnya praktik-praktik
tarekat.
Pada perkembangan
yang paling awal, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang setara dengan
tempat-tempat pengajian yang telah merumuskan kurikulumnya, yakni pengajian
bahasa Arab, tafsir, hadis, tauhid, fiqih, dan lain-lainnya. Bentuk ini
kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar
(santri), yang kemudian disebut pesantren.
Meski bentuknya
masih sangat sederhana, pada waktu itu
pendidikan ini merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur
sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Lembaga pesantren semakin
berkembang secara cepat dengan adanya sikap non kooperatif ulama terhadap kebijakan
politik etis.[10]
Demikianlah
sekilas perkembangan pesantren dari masa kemasa. Pesantren Tebuireng yagn
didirikan oleh KH. Hasyim Asy ‘Ari pada mulanya hanya ditujukan bagi para
santri yang hampir mencapai tahap sempurna. Untuk menghadapi santri-santri
sepuh ini, metode yang digunakannya adalah metode musyawarah. Dari pendidikan
model ini, KH. Hasyim Asy ‘Ari berharap para santrinya dapat mendirikan
pesantren-pesantren baru.
Terma ideologi
dalam dunia pendidikan sering diartikan sebagai a world view and system of values. Sebuah pandangan dunia dan
sistem nilai. Dari sini, M. Natsir mengartikan ideologi pendidikan Islam
sebagai hal yang berkaitan dengan tujuan dan asas pendidikan Islam. Didalam
teori pendidikan, suatu tujuan pendidikan yang lebih diarahkan pada pelestarian
nilai-nilai lama disebut dengan aliran esensialisme. Bagi esensialisme, pendidikan
adalah pemeliharaan kebudayaan.
Dengan pemikiran
ini, esensialisme sering disebut dengan conservative
road to culture. Fungsi lembaga pendidikan dalam hal ini adalah to transmit the cultural and historical
heritage to each new generation of learners.[11]
Atas dasar ini, dimasukkan dalam kategori aliran pendidikan tradisional. Istilah
pesantren dalam pesantren Islam sangatlah berbeda rumusannya dengan istilah pesantren
dalam sistem pendidikan tradisional.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka
dapat kami simpulkan bahwa Dalam falsafah pendidikan Islam, Omar Mohammad
al-Toumy al-Syaibany menulis kitab-kitab falsafah pendidikan di negara-negara
Arab, sekalipun sedikit, masih tetap mengambil pemikiran dan menghadapi
persoalannya dari segi pandangan Barat.
Pada perkembangan yang paling awal,
pesantren merupakan lembaga pendidikan yang setara dengan tempat-tempat
pengajian yang telah merumuskan kurikulumnya, yakni pengajian bahasa Arab,
tafsir, hadis, tauhid, fiqih, dan lain-lainnya. Bentuk ini kemudian berkembang
dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang
kemudian disebut pesantren.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, Cet. I, (Jakarta: Pusataka Firdaus, 1999).
Arthur K. Ellis, dkk, Introduction to the Foundations of Education
, (New Jersey: Prentice-Hall, 1986).
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga
Postmodernisme, Cet. I, (Jakarta: Paramedina, 1996).
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan
Pendidikan, Terj. HMD. Dahlan, Cet. I, (Bandung: Diponegoro, 1987).
Muhammad Iqbal, Memnbangun Kembali Agama Dalam Islam, Terj. Ali Audah, dkk, Cet. I, (Jakarta: Tintamas, 1966).
Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Cet. I,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan
Langgulung, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo Sampai Proklamator
1980-1945, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994).
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2011).
[1] Omar Mohammad al-Toumy
al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terj.
Hasan Langgulung, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 39-40.
[2] Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, Cet. I,
(Jakarta: Pusataka Firdaus, 1999), hal. 59 dan 77.
[3] Fathiyyah Hasan Sulaiman,
Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan,
Terj. HMD. Dahlan, Cet. I, (Bandung: Diponegoro, 1987), hal.35-36.
[4] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari
Fundamentalisme, Modernisme Hingga Postmodernisme, Cet. I, (Jakarta:
Paramedina, 1996), hal. Iv.
[5] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I,
(Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 257.
[6] Ibid, hal. 268.
[7] Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Cet. I,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 122.
[8] Muhammad Iqbal, Memnbangun Kembali Agama Dalam Islam,
Terj. Ali Audah, dkk, Cet. I, (Jakarta:
Tintamas, 1966), hal.12.
[9] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, op cit, hal.
328.
[10] Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo
Sampai Proklamator 1980-1945, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994),
hal. 15-17.
[11] Arthur K. Ellis, dkk, Introduction to the Foundations of Education
, (New Jersey: Prentice-Hall, 1986), hal. 118.
0 komentar:
Post a Comment