BAB I
PENDAHULUAN
Manusia sesuai dengan kodratnya itu menghadapi tiga
persoalan yang bersifat universal, dikatakan demikian karena persoalaan
tersebut tidak tergantung pada kurun waktu ataupun latar belakang historis
kultural tertentu. Persoalan itu menyangkut tata hubungan atar dirinya sebagai
mahluk yang otonom dengan realitas lain yang menunjukkan bahwa manusia juga
merupakan makhluk yang bersifat idependen.
Persoalaan lain menyangkut kenyataan bahwa manusia merupakan
makhluk dengan kebutuhan jasmani yang nyaris tak berbeda dengan makhluk lain
seperti makan, minum, kebutuhan akan seks, menghindarkan diri dari rasa sakit
dan sebagainya tetapi juga sebuah kesadaran tentang kebutuhan yang mengatasinya,
kebutuhan jasmaniah, yakni rasa aman, kasih sayang perhatian, yang semuanya
mengisyaratkan adanya kebutuhan ruhaniah dan terakhir, manusia menghadapi
problema yang menyangkut kepentiangan dirinya, rahasia pribadi, milik pribadi,
kepentingan pribadi, kebutuhan akan kesendirian, namun juga tak dapat disangkan
bahwa manusia tidak dapat hidup secara “soliter” (sendirian) melainkan harus
“solider” (bersama-sama), hidupnya tak mungkin dijalani sendiri tanpa kehadiran
orang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
PANDANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP MANUSIA
A.
GAMBARAN
TENTANG MANUSIA
Manusia adalah subyek pendidikan, sekaligus juga obyek
pendidikan. Manusia dalam proses perkembangan kepribadiannya, baik menuju
pembudayaan maupun proses kematangan dan intregitas, adalah obyek pendidikan.
Artinya mereka adalah sasaran atau bahan yang dibina. Meskipun kita
sadarai bahwa perkembangan kepribadian adalah self development melalui self
actifities, jadi sebagai subjek yang sadar mengembangkan diri sendiri. [1]
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan
tentang manusia dan makna filosofis dari penciptaannya. Manusia merupakan
makhluk-Nya paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal
pikiran. Dalam hal ini Ibn ‘Arbi misalnya menggambarkan hakikat manusia dengan
mengatakan bahwa,”tak ada makhluk Allah yang lebih sempurna kecuali manusia,
yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat,
mendengar, berfikir, dan memutuskan. Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat
penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan atau fitrahnya dan
syarat-syarat yang diperlukan bagi mengemban tugas dan fungsinya sebagi makhluk
Allah d muka bumi.[2]
Sedikitnya ada empat konsep yang digunakan Al-Qur’an untuk
menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian
yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada konsep berikut:
1. Konsep al-Basyar
Kata al-Basyar dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36
kali dan tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi al-Basyar juga
diartikan mulamasah,yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dan
perempuan. Makna ini dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang
memiliki segala sifat kemanusiaan yang terbatas, seperti makan, minum, seks,
keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukkan kata al-Basyar
ditunjukan Allah kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Demikian pula halnya
dengan para rasul-rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka diberikan wahyu,
sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan.[3]
Berdasarkan konsep al- Basyr, manusia tak jauh berbeda
dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia
terikat kepada kaidah-kaidah prinsip kehidupan biologis lain seperti berkembang
biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat
kematangan serta kedewasaan.
2. Konsep al-Insan
Kata al-Insan yang berasal dari kata al-uns,
dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara
etimologi, al-Insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau
pelupa. Dan ada juga dari akar kata Naus yang mengandung arti
“pergerakan atau dinamisme”. Merujuk pada asal kata al- Insan dapat kita pahami
bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta
berkembang secara fisik maupun mental spiritual. Di samping itu, manusia juga
dibekali dengan sejumlah potensi lain, yang berpeluang untuk mendorong ia ke
arah tindakan, sikap, serta prilakun negatife dan merugikan[4].
3. Konsep an-Nas
Kata an-Nas dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 240 kali dan
tersebar dalam 53 surat. Kosa kata An- Nas dalam Al- Qur’an umumnya
dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk social. Manusia diciptakan
sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita
kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa untuk saling kenal mengenal
“berinterksi” .
Hal ini sejalan dengan teori “strukturalisme” Giddens yang
mengatakan bahwa manusia merupakan individu yang mempunyai karakter serta
prinsip berbeda antara yang lainnya tetapi manusia juga merupakan agen social
yang bisa mempengaruhi atau bahkan di bentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di
mana ia berada dalam konteks sosial.[5]
4. Konsep Bani Adam
Manusia sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam
Al-Qur’an (Muhammad Fuad Abd al- Baqi:1989). Menurut al-Gharib al-Ishfahany,
bani berarti keturunan dari darah daging yang dilahirkan. Berkaitan dengan
penciptaan manusia menurut Christyono Sunaryo, bahwa bumi dan dunia ini telah
diciptakan Allah SWT jutaan tahun sebelum Nabi Adam as diturunkan dibumi, 7000
tahun yang lalu.
Adapun yang dikatakan dalam kitab-kitab suci, ilmu
pengetahuan ataupun teknologi dapat membuktikan bahwa ada sisa-sisa “manusia”
yang telah berumur jutaan tahun. Bahkan teori Darwin-pun mengalami kesulitan
dalam menghubungkan manusia purba dengan manusia masa kini (The
missing-linktheorema). Dalam konsep ini dapat ditarik beberapa kesimpulan
bahwa: “Jelaslah dengan penjelasan di atas bahwa Adam as bukanlah merupakan hasil
evolusi ataupun “keturunan monyet”, seperti dikatakan Darwin.
B.
PROSES
PENCIPTAANNYA MANUSIA DALAM AL-QUR’AN
Dan dilihat dari proses penciptaannya, Al-Qur’an menyatakan
peroses penciptaan manusia dalam dua tahapan yang berbeda, yaitu: pertama,
disebut dengan tahapan primordial. Kedua, disebut dengan tahapan biologi.
Manusia pertama, Adam as , diciptakan dari at-tin (tanah), at-turob
(tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah
lumpur hitam yang busuk) yang dibentuk Allah dengan seindah-indahnya, kemudian
Allah meniupkan ruh dari-Nya kedalam diri (manusia) tersebut.
Penciptaan manusia selanjutnya adalah peruses biologi yang
dapat dipahami secara sains-empirik. Di dalam peruses ini, manusia diciptakan
dari inti sari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang disimpan di
tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani di jadikan darah beku (‘alaqah)
yang menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikan-Nya segumapal
daging (mudghah) dan kemudian di balut dengan tulang belulang lalu
kepadanya ditiupkan ruh. (Q.S, Al Mu’minun/23:12-24). Hadist yang diriwayatkan
Bukhori dan Muslim menyatakan bahwa ruh di hembuskan Allah SWT ke dalam janin
setelah ia mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari alaqah
daan 40 hari mudghah.[6]
Al-Ghazali mengungkapkan proses penciptaan manusia dalam
teori pembentukan (taswiyah) sebagai suatu proses yang timbul di dalam
materi yang membuatnya cocok untuk menerima ruh. Materi itu merupakan sari pati
tanah liat nabi Adam as yang merupakan cikal bakal bagi keturunannya. Cikal
bakal atau sel benih (nuthfah) ini yang semula adalah tanah liat setelah
melewati berbagai proses akhirnya menjadi bentuk lain (khalq akhar)
yaitu manusia dalam bentuk yang sempurna.
Tanah liat menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan),
makanan menjadi darah, kemudian menjadi sperma jantan dan indung telur. Kedua
unsure ini bersatu dalam satu wadah yaitu rahim dengan transformasi panjang
yang akhirnya menjadi tubuh harmonis (jibillah) yang cocok untuk
menerima ruh. Sampai disini prosesnya murni bersifat materi sebagai warisan
dari leluhurnya. Kemudian setriap manusia menerima ruhnya langsung dari Allah
disaat embiro sudah siap dan cocok menerimanya. Maka dari pertemuan ruh dan
badan, terbentuklah makhluk baru manusia.[7]
C.
KEDUDUKAN
MANUSIA
Kesatuan wujud manusia antara pisik dan pisikis serta
didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan
at-taqwin dan merupakan manusia pada posisi yang strategis yaitu: Hamba
Allah (‘abd Allah) dan Khalifah Allah (khalifah fi al-ardh).
1.
Manusia Sebagai Hamba
Allah (‘abd Allah)
2.
Manusia Sebagai Khalifah
Allah fi al-Ardh.
D.
MANUSIA
DAN PROSES PENDIDIKAN
Paulo freire, tokoh pendidikan Amerika Latin mengatakan
bahwa tujuan akhir dari proses pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi),
tidak jauh berbeda dengan pandangan diatas M. Arifin berpendapat, bahwa proses
pendidikan pada akhirnya berlangsung pada titik kemampuan berkembangnya tiga
hal yaitu mencerdaskan otak yang ada dalam kepala (head) kedua, mendidik
akhlak atau moralitas yang berkembang dalam hati (heart) dan ketiga,
adalah mendidik kecakapan/ketrampilan yang pada prinsipnya terletak pada
kemampuan tangan (hand) selanjutnya populer dengan istilah 3 H’s. Berangkat dari arti pentingnya
pendidikan ini, Karnadi Hasan memandang bahwa pendidikan bagi masyarakat
dipandang sebagai “Human investment” yang berarti secara historis dan
filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik
dalam proses humanisasi dan pemberdayaan jati diri bangsa.
Merujuk dari pemikiran tersebut, Pendidikan adalah rajat
hidup bagi setiap manusia. Karena kita sadari bahwa tidak ada seorangpun yang
lahir di dunia ini dalam keadaan pandai (berilmu). Hal ini membuktikan
bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan proses berkelanjutan yang tidak asal
jadi seperti bayangan dan impian kita. Berkaitan adanya proses tersebut,
penciptaan manusia oleh Allah SWT juga tidaklah sekali jadi.
Ada
proses penciptaan (khalq), proses penyempurnaan (taswiyyah),
dengan cara memberikan ukuran atau hukum tertentu (taqdir), dan juga di
berikannya petunjuk (hidayah).
Dengan demikian menurut Sunnatullah manusia sangat terbuka
kemungkinannya untuk mengembangkan segala potensi yang dia miliki melalui
bimbingan dan tuntunan yang tearah, teratur serta berkesinambungan yang
semuanya merupakan proses dalam rangka penyempurnaan manusia (insan kamil)
yang nantinya dapat memenuhi tugas dari kejadiannya yaitu sebagai Khalifah Fil
Ardl.
E.
MANUSIA
MENURUT FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala
makro yaitu: kosmologi, ontology, philosophy of mind, epistimologi, dan
aksiologi. Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan
filsafat pendidikan, maka setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam
semesta (kosmos). Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah
ciptaan Allah yang pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar
bisa menempatkan dirinya sebagai pengapdi yang setia, maka manusia diberi
anugerah berbagai potensi baik jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind).
Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal
memperoleh pengetahuan itu berjalan secara berjenjang dan bertahap (proses)
melalui pengembangan potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan,
didikan dari Tuhan (epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam
lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah
sebagai pencita seluruh alam raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa
dipisahkan.
Adapun manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan
kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat oleh nilai-nilai illahi
(aksiologi), sehingga dalam pandangan Filsafat Pendidkan Islam, manusia
merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi ditawarkan padanya pilihan
yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa
manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi sekaligus terikat (tidak bebas
nilai).
BAB III
KESIMPULAN
Manusia menurut Islam adalah makhluk ciptaan Allah (QS. 98:
2) dengan kedudukan yang melebihi makhluk ciptaan Allah lainnya (QS. 95: 4).
Selain itu manusia sudah dilengkapi dengan berbagai potensi yang dapat
dikembangkan antara lain berupa fitrah ketauhidan (QS.15: 29). Dengan fitrah ini diharapkan
manusia dapat hidup sesuai dengan hakekat penciptaannya, yaitu mengabdi kepada
Allah swt (QS. 51: 56).
Mengacu pada ketentuan ini, maka dalam pandangan Islam,
menurut Jalaludin, manusia pada hakekatnya merupakan makhluk ciptaan Allah yang
terikat dengan “Blue prient” (cetak biru) dalam lakon hidupnya, yaitu menyadari
akan dirinya sebagai “Abdul Allah” sekaligus mempunyai tugas sebagai khalifah
Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode pendidikan Islam, (Bandung: CV.
Diponogoro, 1992).
Ali Isa
Othman, Manusia menurut Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Bandung, 1985).
Brian Fay,
Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, Cet. I, (Yogyakarta: Jendela, 2002).
Ismai
Raji’ Al-Faruqi, Islam dan Kebudayaan, (Bandung: Mizan, 1984).
Jalaludin,
Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).
Noor Syam,
Mohammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986).
Ramayulis,
Samsul Nizar, Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009).
0 komentar:
Post a Comment