BAB I
PENDAHULUAN



Konsep dan perjanjian asuransi merupakan  jenis akad baru yang  belum pernah ada pada masa-masa pertama perkembangan fiqih Islam. Hal ini menimbulkan banyak perbincangan dan pendapat tentang hukum asuransi menurun syari’at Islam. Perbedaan pendapat bermunculan dari para ulama’ fiqih masa kini. Diantara mereka ada yang membolehkan dan menghalalkan asuransi, dan sebagian dari mereka melarang dan mengharamkannya. Adapula kelompok yang mengharamkan asuransi hanya pada sebagian macamnya saja, atau jenis-jenis asuransi tertentu saja.
Pada makalah ini, dengan keterbatasan yang ada, hanya akan dibahas mengenai beberapa pendapat para ulama’ tentang pendapat para ulama’ tentang Asuransi. Baik pendapat yang membolehkan ataupun pendapat dari para ulama yang tidak membolehkan asuransi syari’ah tersebut.
                                                        


                                                                             BAB II
PEMBAHASAN
PENDAPAT PARA ULAMA’ TENTANG ASURANSI SYARI’AH


A.    PENDAPAT ULAMA YANG MENGHARAMKAN
Adapun pendapat para ulama’ yang mengharamkan asuransi diantaranya adalah:
1.      Pendapat Syaikh Ibnu Abidin dari Mazhab Hanafi
Orang yang pertama kali berbicara tentang asuransi dikalangan ahli fiqih Islam adalah Muhammad Amin Ibnu Umar, yang terkenal dengan sebuah Ibnu Abidin Addimasyqi. Dia adalah tokoh ulama’ dari aliran Hanafiyah yang mempunyai banyak karya ilmiah yang tersebar di Dunia Islam[1].
2.      Pendapat Syaikh Muhammad Bakhit Almuthi’ie, Mufti Mesir (1854-1935)
Ia berkata, telah datang surat Tuan-tuan yang menyebutkan bahwa orang muslim menempatkan harta bendanya dibawah penjaminan suatu perusahaan yang persero-perseronya terdiri dari orang-orang dzimmy.[2]
3.      Pendapat Syekh Muhammad Al-Ghazali, ulama dan tokoh haraki dari Mesir
Dalam kitabnya, (Islam dan pokok-pokok ajaran sosialisme) halaman 29, ia menyatakan bahwa asuransi itu mengandung riba, karena beberapa hal diantaranya adalah:
a)      Apabila waktu perjanjian telah habis, maka uang premi dikembalikan kepada terjamin dengan disertai bunganya dan ini adalah riba. Apabila jangka waktu yang tersebut di dalam polis belum habis dan perjanjian diputuskan, maka uang premi dikembalikan dengan dikurangi biaya-biaya administrasi
b)      Ganti kerugian yang diberikan kepada terjamin pada waktu terjadinya peristiwa yang disebutkan di dalam polis, juga tidak dapat diterima oleh syara’. Karena, orang-orang yang mengerjakan asuransi bukan syarikat di dalam untung dan rugi, sedangkan orang-orang lain ikut memberikan sahamnya dalam uang yang diberikan kepada terjamin
c)      Maskapai asuransi di dalam kebanyakan usahanya, menjalankan pekerjaan riba (pinjaman berbunga, dan lain-lain)
d)     Asuransi dengan arti ini merupakan salah satu alat untuk berbuat dosa. Banyak alasan uang dicari-cari guna mengorek keuntungan dengan mengharap datangnya peristiwa yang tiba-tiba.
4.      Pendapat dari Syekh Muhammad Yusuf al-Qaradhawi, Ulama dan Dai terkemuka didunia Islam saat ini, Guru Besar  Universitas Qatar
Al-Qaradhawi dalam kitabnya (Halal dan Haram Dalam Islam) mengatakan bahwa asuransi (konvensional) dalam praktik sekarang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam. Ia mencontohkan dalam asuransi kecelakaan, yaitu seseorang anggota membayar sejumlah uang (x rupiah misalnya) setiap tahun. Apabila ia bisa lolos dari kecelakaan, maka uang jaminan itu hilang (hangus). Sedangkan, si pemilik perusahaan akan menguasai sejumlah uang tersebut dan sedikit pun ia tidak mengembalikannya kepada anggota asuransi itu. Tetapi bila terjadi suatu kecelakaan, maka perusahaan akan membayar sejumlah uang yang telah diperjanjikan bersama
5.      Pendapat Syekh Abu Zahro, ulama fiqih termasyhur  dan banyak menulis karya ilmiah tentang hukum Islam, Guru Besar Universitas Kairo Mesir
Abu Zahro menyimpulkan bahwa asuransi sosial (saling menolong) adalah halal sebagai perkara alami yang  perlu diadakan.  Sedangkan, asuransi yang semata-mata bersifat komersil/nonsosial hukumnya haram. Dalam banyak pembahasannya tentang asuransi, ia berkesimpulan sebagai berikut:
a)      Asuransi yang bersifat perkumpulan dengan tujuan sosial adalah halal (hukumnya) dan tidak ada syubhah didalamnya
b)      Tidak menyetujui  akad-akad asuransi yang yang tidak bersifat perkumpulan dengan alasan ada syubhah dan gharar didalamnya sehingga gharar itu menjadi penyebab tidak sahnya semua akad
c)      Ada riba didalanya, karena adanya bunga yang diperhitungkan. Ini satu pihak, dan dari pihak lain ia memberikan sejumlah kecil uang, lalu menerima lebih banyak jumlahnya
d)     Tidak ada keadaan memaksa dalam bidang perekonomian yang mewajibkannya
6.      Pendapat Dr. Muhammad Muslehuddin, Guru Besar Hukum Islam Universitas London
Dalam disertai doktrinnya berjudul Insurance and Islamic Law, Muslehuddin mengatakan bahwa kontrak asuransi konvensional ditolak oleh ulama atau kalangan cendekiawan muslim dengan berbagai alasan, sementara penyokong modernis Islam berkeras bahwa asuransi boleh menurut hukum Islam. Keberatan para ulama terutama adalah sebagai berikut:
a)      Asuransi merupakan kontrak perjudian
b)      Asuransi hanyalah pertaruhan
c)      Asuransi bersifat tidak pasti
d)     Asuransi jiwa adalah alat dengan mata suatu usaha dilakukan untuk mengganti kehendak Tuhan
e)      Dalam asuransi jiwa, jumlah premi tidak tentu, karena pasti asuransi tidak tahu berapa kali cicilan yang akan dibayarkan sampai ia meninggal dunia
7.      Pendapat Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, ulama ahli fiqih, Guru Besar Universitas Damaskus Syria
Akad asuransi bersama (mutual) juga merupakan akad pertukaran harta. Ia juga termasuk gharar, sebagaimana gharar yang terjadi dikebanyakan akad pertukaran harta
8.      Pendapat Dr. Husain Hamid Hisan, ulama dan cendekiawan muslim dari Universitas Al-Malik Abdul Aziz Mekkah Al-Mukarromah
Ia menulis satu buku yang snagat fundamental dengan hujjah yang kuat tentang gharar, maisir dan riba dalam asuransi.  Nama bukunya adalah Asuransi dalam Hukum Islam secara garis besar Hamid Hisan berkesimpulan sebagai berikut:
a)      Akad asuransi adalah akad yang mengandung gharar
b)      Akad asuransi mengandung judi dan taruhan
c)      Akad asuransi mengandung riba[3]
9.      Pendapat Prof. KH. Ali Yafie, mantan Ketua MUI, mantan Rais Am NU, Guru Besar Ilmu Fiqih salah satu  ulama yang sangat independen pendapatnya di Indonesia, dan berperan besar dalam proses pendirian BMI dan asuransi Takaful, bank dan asuransi syari’ah pertama di Indonesia.[4]

B.     PENDAPAT YANG ULAMA YANG MEMBOLEHKAN
1.      Syeikh Abdur Rahman Isa
Syeikh Abdur Rahman Isa adalah salah seorang Guru Besar Universitas Al-Azhar. Dengan tegazs ia menyatakan bahwa asuransi merupakan praktik muamalat gaya baru yang belum dijumpai imam-imam terdahulu, demikian juga para sahabat Nabi. Pekerjaan ini menghasilkan kemaslahatan ekonomi yang banyak. Oleh karena itu, asuransi menyangkut kepentingan umum, maka halal menurut syara’.[5]
2.      Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa Guru Besar Universitas Kairo
Yusuf Musa mengatakan bahwa asuransi bagaimana bentuknya merupakan koperasi yang menguntungkan masyarakat. Asuransi jiwa menguntungkan nasabah sebagaimana halnya menguntungkan perusahaan yang mengelola asuransi.
3.      Syeikh Abdul Wahab Kholaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo
Ia mengatakan bahwa  asuransi itu boleh sebab termasuk akad mudharabah. Akad mudharabah dalam syari’at Islam ialah perjanjian  persekutuan dalam keuntungan, dengan modal yang diberikan oleh satu pihak dan dengan tenaga dipihak yang lain.
4.      Prof. Dr. Muhammad al-Bahi, Wakil Rektor Universitas Al-Azhar Mesir
Dalam kitabnya ia berpendapat bahwa asuransi itu hukumnya halal karena beberapa sebab:
a)      Asuransi merupakan suatu usaha yang bersifat tolong menolong
b)      Asuransi mirip dengan akad mudharabah dan untuk mengembangkan harta benda
c)      Asuransi tidak mengandung unsur riba
d)     Asuransi tidak mengandung tipu daya
e)      Asuransi tidak mengurangi tawakal kepada Allah SWT
f)       Asuransi suatu usaha untuk menjamin anggotanya yang jauh melarat karena suatu musibah
g)      Asuransi memperlus lapangan kerja baru.
5.      Ustadz Bahjah Ahmad Hilmi, Penasehat Pengadilan Tinggi Mesir
Ia mengatakan bahwa tujuan asuransi ialah meringankan dan memperlunak tekanan kerugian dan memelihara harta nasabah, yang sekiranya ia menanggung sendiri kerugian itu, betapa berat beban yang dipikulnya, akibat hilangnya harta bendanya. Karena terpeliharanya harta benda merupakan salah satu tujuan agama, maka asuransi boleh menurut syara’
6.      Syeikh Muhammad Dasuki
Dalam kitabnya, ia mengatakan bahwa asuransi itu hukumnya halal dikarenakan beberapa hal diantaranya adalah:
a)      Asuransi sma dengan syirkah mudharabah
b)      Asuransi sama dengan akad syirkah
c)      Asuransi sama dengan akad kafalah

7.      Dr. Muhammad Najatullah Shiddiq, berkebangsaan India, Pengajar Univesitas King Abdul Aziz
Nejatullah Siddiq, menganalogikan asuransi dengan kafalah atau ganti rugi.
8.      Syikh Muhammad Ahmad, Sarjana dan Pakar Ekonomi Pakistan
Syeikh Muhammad Ahmad, membolehkan asuransi jiwa dan asuransi konvensional lainnya dengan alasan sebagai berikut:
a)      Persetujuan asuransi tidak menghilangkan arti tawakal  kepada Allah
b)      Didalam asuransi tidak ada pihak yang dirugikan dan merugikan
c)      Tujuan asuransi adalah kerja sama dan tolong menolong
9.      Syeikh Muhammad Al-Madni, seorang Ulama’ yang cukup dikenal di Al-Azhar Kairo
Syeikh Muhammad Al-Madni mengatakan bahwa asuransi itu hukumnya menurut syara’ boleh, sebab premi (iuran) asuransi itu diinvestasikan dan bermanfaat untuk tolong menolong. Demikian pula sahabat al-Madni Ustadz Ahmad Thoha as-Sanusi salah satu cendekiawan di Al-Azhar Mesir mengatakan hal yang sama.[6]


BAB III
KESIMPULAN


Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Perbedaan pendapat bermunculan dari para ulama’ fiqih masa kini. Diantara mereka ada yang membolehkan dan menghalalkan asuransi, dan sebagian dari mereka melarang dan mengharamkannya. Adapula kelompok yang mengharamkan asuransi hanya pada sebagian macamnya saja, atau jenis-jenis asuransi tertentu saja.
Banyak para ulama’ Islam  yang berbeda pendapat tentang memaknai hukum asuransi baik konvensional maupun asuransi syari’ah. Semua itu dilakukan guna untuk memberikan kepuasan kepada masyarakat Islam agar tidak ragu lagi menggunakan produk asuransi tersebut dan dengan adanya perbedaan pendapat tersebut kita tahuternyata ada yang membolehkan dan ada juga yang tidak membolehkan asuransi tersebut.



DAFTAR PUSTAKA


Ali Yafie, Asuransi Dalam Pandangan Islam, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung: Mizan,  1994).

Al-Jamal, Muhammad Abdul Mun’in, Mausu’atul Iqtishad Al-Islammy,(Mesir: Daarul Kitab Al-Mishri, 1996).

Hamid Hisan Husin, Hukmu Asy-Syariah Al-Islamiyah Fii ‘Uqnudi At-Ta’min, (Kairo: Dar Al I’tisham, tt).

Keputusan Majelis Ulama Nahdlatul Ulama’, Asuransi Menurut Islam, (Munas No. 03/Munas/1992, tentang Asuransi Menurut Islam, 1992).

Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syari’ah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004).



[1] Ali Yafie, Asuransi Dalam Pandangan Islam, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung: Mizan,  1994), hal. 211-212.
[2] Al-Jamal, Muhammad Abdul Mun’in, Mausu’atul Iqtishad Al-Islammy,(Mesir: Daarul Kitab Al-Mishri, 1996), hal. 359.
[3] Hamid Hisan Husin, Hukmu Asy-Syariah Al-Islamiyah Fii ‘Uqnudi At-Ta’min, (Kairo: Dar Al I’tisham, tt), hal. 84.
[4] Ali Yafi’i, Asuransi Dalam Pandangan Syari’at Islam, dalam Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 203-230.
[5] Keputusan Majelis Ulama Nahdlatul Ulama’, Asuransi Menurut Islam, (Munas No. 03/Munas/1992, tentang Asuransi Menurut Islam, 1992), hal. 53-61.
[6] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syari’ah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hal.75.

0 komentar:

 
Top