BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
kehidupan bertetangga, bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara kita sebagai
umat yang senantiasa bersosialisasi, berinteraksi dengan yang lainnya,
khususnya umat muslim, sudah sepantasnya kita menmpilkan akhlak mulia yang
telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat beliau yang diridloi
oleh Allah swt. Berperilaku/berakhlak mulia di dalam bertetangga sangat perlu
untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai
sesama umat yang seakidah kita perlu menjaga keharmonisan persaudaraan yang
didasarkan atas kesamaan di dalam berkeyakinan. Islam mengajarkan agar kita
selalu menampilkan kemuliaan akhlak dalam tetangga. Di samping itu kita juga
harus menampilkan akhlak yang mulia di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN, RUANG LINGKUP PEMBAGIAN
AKHLAK
A. PENGERTIAN
AKHLAK
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak,
yaitu pendekatan linguistik
(kebahasaan) dan pendekatan terminologik
(peristilahan). Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim masdar (bentuk infinitif) dari kata
akhlak, yukhliqu, ikhaqan, sesuai dengan timbangan (wazan) trulasi majid af’ala, yuf’ilu
if’alan yang berarti al-sajiyah
(perangai), ath-thabi’ah (kelakuan, tabi’at, watak dasar), al’adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru’ah (peradaban yang baik), dan al-din (agama).[1]
Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media
yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khalik dengan makhluknya. Ibnu Athir menjelaskan bahwa hakikat
makna khuluq itu, adalah gambaran
batin manusia yang tepat (yaitu jiwa dan sifat-sifatnya), sedangkan khalqu
merupakan gambaran bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, tingkah laku,
rendahnya tubuh dan lain sebagainya).
Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin memberikan definisi,
bahwa yang disebut dengan akhlak yaitu kehendak yang dibiasakan. Definisi ini
terdapat dalam suatu tulisannya yang artinya sementara orang membuat definisi
akhlak, bahwa yang disebut dengan akhlak adalah kehendak yang dibiasakan.
Artinya, bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu
dinamakan akhlak.[2]
Selanjutnya, menurut Abdullah Dirroz,
perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manifwestasi dari akhlaknya,
apabila dipenuhi dua syarat diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Perbuatan-perbuatan
itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan
2.
Perbuatan-perbuatan
itu dilakukan karena dorongan emosi-emosi jiwanya, bukan karena adanya
tekanan-tekanan yang datang dari luar seperti paksaan dari orang lain sehingga
menimbulkan ketakutan, atau bujukan dengan harapan-harapan yang indah-indah dan
lain sebagainya.[3]
Ada istilah lain
yang lazim dipergunakan di samping kata
akhlak ialah apa yang disebut dengan etika. Perkataan ini berasal dari kata
Yunani “Ethos” yang berarti ada kebiasaan. Dalam pelajaran filsafat, etika
adalah merupakan bagian dari padanya, dimana para ahli memberikan tarif dalam redaksi yang
berbeda-beda antara lain berbunyi:
1.
Etika
adalah ilmu tentang tingkah laku manusia prinsip-prinsip yang disistimatisir
tentang tindakan moral yang betul
2.
Bagian
filsafat yang memperkembangkan teori tentang tindakan, hujjah-hujjahnya dan tujuan yang diarahkan kepada makna tindakan
3.
Ilmu
tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta tetapi tentang nilai-nilai, tidak
mengerti sifat tindakan manusia tetapi tentang idenya, karena itu bukan ilmu
yang positif tetapi ilmu yang formatif
4.
Ilmu
tentang moral/prinsip kaidah-kaidah moral tentang tindakan dan kelakuan.[4]
B. HUBUNGAN
AKHLAK DENGAN ILMU-ILMU LAIN
Ada beberapa hubungan akhlak dengan ilmu-ilmu lain
diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Hubungan
antara akhlak dengan psikologi
Hubungan
antara akhlak dengan psikologi mempunyai pertalian yang erat dan kuat. Objek
penyelidikan psikologi adalah kekuatan perasaan, paham, mengenal, ingatan,
kehendak, kebebasan, khayal, rasa kasih, kelezatan dan rasa sakit. Adapun
akhlak memerlukan apa yang dipersoalkan oleh ilmu jiwa tersebut.
2.
Hubungan
akhlak dengan sosiologi
Dalam
ilmu akhlak mempelajari dan mengupas masalahperilaku, perbuatan mansuia, yang
timbul dari kehendak. Ilmu sosiologi mempersoalkan tentang kehidupan manusia.
Manusia tidak dapat hidup tanpa bermasyarakat. Dapat disebutkan pula bahwa ilmu
sosiologi mempelajari masyarakat manusia yang bagaimana supaya meningkatkan
keatas, bagaimaan tentang menyelidiki tentang bahasa, agama dan keluarga dan
bagaimana membentuk Undang-undang dan pemerintahan dan sebagainya.
3.
Hubungan
akhlak dengan ilmu hukum
Pokok
pembicaraan dua ilmu (akhlak ddengan ilmu hukum adlaah perbuatan manusia).
Tujuannya mengatur perbuatan manusia untuk kebahagiaan. Akhlak memerintahkan berbuat
apa yang berguna dan melarang berbuat
segala apa yang mudarat. Sedangkan ilmu
hukum tidak, karena banyak perbuatan yang baik dan berguna tidak diperintahkan
oleh ilmu hukum. Seperti berbuat baik kepada fakir miskin dan perlakuan baik antara suami istri.
4.
Hubungan
akhlak dengan iman
Iman
menurut bahasa berarti membenarkan sedangkan menurut syara’ adalah membenarkan
dengan hati dalam arti menerima dan tunduk pada apa yang diketahui bahwa hal
tersebut dari Nabi Muhammad SAW. Dan ada yang menyatakan lebih tegas lagi bahwa
disamping membenarkan dalam hati, juga menuturkan dengan lisan dan mengerjakan
dengan anggota badan. Kemudian sebagai ulama’ menyebutkan pula bahwa iman
adalah membenarkan Rasul tentang apa
yang beliau datangkan dari Tuhannya.
C. RUANG
LINGKUP PEMBAHASAN ILMU AKHLAK
Jika definisi tentang ilmu akhlak tersebut kita
perhatikan dengan seksama, maka akan tampak bahwa raung lingkup pembahasan ilmu
akhlak adalah membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian
menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Ilmu akhlak dapat pula
disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya mengenal tingkah laku
manusia, kemudian memberikan nilai hukum kepada perbuatan tersebut, yaitu
apakah perbuatan tersebut tergolong baik atau buruk.
Dengan demikian, obyek pembahsan ilmu akhlak
berkaitan dengan norma atau penilaian terhadap suatu perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang. Jika kita katakan baik atau buruk, maka ukuran yang harus
digunakan adalah ukuran normatif. Selanjutnya jika kita katakan sesuatu itu
benar atau salah, maka yang demikian ini termasuk masalah hitungan atau akal
pikiran. Sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri antara lain ditandai dengan
adanya ahli yang membidangi dirinya untuk mengkaji akhlak.[5]
Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak
pada intinya adalah perbuatan manusia. Perbuatan tersebut selanjutnya
ditentukan kriterianya apakah baik ataukah buruk. Dalam hubungannya ini Ahmad
Amin mengatakan bahwa objek ilmu akhlak adalah membahas perbuatan manusia yang
selanjutnya perbuatan tersebut ditentukan baik atau buruk.[6]
Pendapat diatas menunjukan dengan jelas bahwa obyek
pembahasan ilmu akhlak adalah perbuatan manusia untuk selanjutnya diberikan
penilaian apakah baik ataukah buruk. Pengertian ilmu akhlak selanjutnya
dikemukakan oleh Muhammad Al-Ghazali. Menurutnya, bahwa kawasan pembahasan ilmu
akhlak adalah seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu
(perseorangan) maupun kelompok.[7]
Jika kita bandingkan pengertian ilmu akhlak yang
kedua ini dengan pengertian ilmu akhlak yang kedua ini dengan pengertian ilmu
akhlak yang pertama tampak bahwa pada
pengertian ilmu akhlak yang kedua ini tidak hanya terbatas pada tingkah laku
individual, melainkan juga tingkah laku yang bersifat sosial. Dengan demikian,
terdapat akhlak yang bersifat perorangan dan akhlak yang bersifat kolektif.
Namun, definisi yang kedua ini kekurangannya tidak menyertakan penilaian
terhadap perbuatan tersebut. Sedangkan definisi ilmu akhlak yang pertama
walaupun tidak menyebutkan akhlak yang bersifat sosial, namun memberikan
penilaian terhadap perbuatan tersebut.[8]
D. MANFAAT
MEMPELAJARI ILMU AKHLAK
Sebagai salah satu ciri khas ilmu adalah bersifat pragmatis. Keberadaan suatu ilmu
harus mempunyai fungsi atau faedah bagi manusia. Dengan demikian, ditemukan
suatu toeri-teori pada ilmu, akan lebih menambah wawasan dalam bertindak atau
berproses. Kegunaan ilmu semata-mata untuk dapat mengetahui rahasia-rahasia
disamping itu juga dapat diperhatikan baik dan buruknya suatu langkah yang
dijalani. Orang yang berakhlak karena ketakwaan kepada Tuhan semata-mata, maka
dapat menghsilkan kebahagiaan, antara lain:
1.
Mendapatkan
tempat yang baik di dalam masyarakat
2.
Akan
disenangi orang dalam pergaulannya
3.
Akan
dapat terpelihara dari hukum yang sifatnya manusiawi dan sebagai makhluk yang
diciptakan oleh Tuhan
4.
Orang
yang bertakwa dan berakhlak mendapatkan pertolongan dan kemudian dalam
memperoleh keluhuran, kecukupan, dan sebutan yang baik
5.
Jasa
manusia yang berakhlak mendapatkan perlindungan dan segala penderitaan dan
kesukaran.[9]
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Ada dua pendekatan
yang dapat digunakan untuk
mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik
(kebahasaan) dan pendekatan terminologik
(peristilahan). Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim masdar (bentuk infinitif) dari kata
akhlak, yukhliqu, ikhaqan, sesuai dengan timbangan (wazan) trulasi majid af’ala, yuf’ilu
if’alan yang berarti al-sajiyah
(perangai), ath-thabi’ah (kelakuan, tabi’at, watak dasar), al’adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru’ah (peradaban yang baik), dan al-din (agama).
Menurut
Prof. Dr. Ahmad Amin memberikan definisi, bahwa yang disebut dengan akhlak
yaitu kehendak yang dibiasakan. Definisi ini terdapat dalam suatu tulisannya
yang artinya sementara orang membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut dengan
akhlak adalah kehendak yang dibiasakan. Artinya, bahwa kehendak itu bila
membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan akhlak.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).
Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2007).
Jamil Shaliba, AL-Mu’jam AL-Falsafi, Juz I, (Mesir: Dar al-Kitab al-Mishri, 1978).
Muhammad Al-Ghazali, Akhlak Seseorang Muslim, (Terj), Mohammad
Rifa’i dari judul asli, Khuluq al-Muslim,
(Semarang: Wicaksansa, 1993).
[1] Jamil Shaliba, AL-Mu’jam AL-Falsafi, Juz I, (Mesir: Dar
al-Kitab al-Mishri, 1978), hal. 539.
[2] Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,
2007), hal. 13.
[3] Ibid, hal. 14.
[4] Ibid, hal. 15.
[5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), hal. 8.
[6] Ibid, hal. 9.
[7] Muhammad Al-Ghazali, Akhlak Seseorang Muslim, (Terj), Mohammad
Rifa’i dari judul asli, Khuluq al-Muslim,
(Semarang: Wicaksansa, 1993), cet. IV, hal. 68.
[8] Abuddin Nata, op cit, hal. 9.
[9] Ibid, hal. 26.
0 komentar:
Post a Comment