BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan sebuah yang
tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan umat manusia. Karenanya manusia harus
senantiasa mencari dan menuntut ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi merupakan salah satu faktor penting yang mengharuskan manusia
untuk selalu mengembangkan keilmuannya agar dapat beradaptasi di dunia modern
yang kaya akan kemajuan ilmu dan teknologi.
Dibalik kemajuan yang pesat, ilmu
pengetahuan dan teknologi kita sebagai
umat muslim hendaknya memberikan perhatian kepada dunia pendidikan Islam.
Karena sebagai seorang muslim kita tak dapat cukup menguasai ilmu pengetahuan
teknologi yang bersifat duniawi saja, karena ilmu pengetahuan yang bersifat
duniawi itu hanya sebagai jalan kita sebagai muslim untuk mencapai kehidupan yang
kekal yaitu kehidupan akherat. Maka untuk mencapai tujuan utama umat muslim,
kita harus membalut semua aktivitas dengan nilai-nilai Islam, salah satu jalan
untuk mencapainya yaitu dengan jalan mempelajari Pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
TUGAS DAN FUNGSI PENDIDIKAN ISLAM
A. TUGAS
PENDIDIKAN ISLAM
Tugas pendidikan Islam senantiasa bersambung
(kontinu) dan tanpa batas. Hal ini karena hakikat pendidikan Islam merupakan
proses tanpa akhir sejalan dengan konsensus universal yang ditetapkan oleh Allah SWT. dan Rasul-Nya. Pendidikan yang terus-menerus dikenal dengan istilah minal mahdi ilallahdi (dari buaian sampai dengan keliang lahat)
atau dalam istilah lain life long
education (pendidikan sepanjang hayat dikandung badan).
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutip oleh
Majid Irsan al-Kaylani, tugas pendidikan Islam pada hakikatnya tertumpu pada
dua aspek yaitu pendidikan tauhid dan pendidikan pengembangan tabiat peserta
didik. Pendidikan tauhid dilakukan dengan pemberian pemahaman terhadap dua
kalimat syahadat, pemahaman terhadap jenis-jenis tauhid dan sifat dan asma
(nama), kedudukan, kepatuhan, dan keikhlasan menjalankan Islam, dan
menghindarkan dari segala bentuk kemusyrikan. Sedangkan pendidikan pengembangan
tabiat peserta didik adalah mengembangkan tabiat itu agar mampu memenuhi tujuan penciptaannya, yaitu beribadah kepada
Allah SWT. dan menyediakan bekal untuk
beribadah seperti makan dan minum.[1]
Untuk menelaah tugas-tugas pendidikan Islam, dapat dilihat dari tiga pendekatan
diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Pendidikan
dipandang sebagai pengembangan potensi
2.
Pendidikan
dipandang sebagai pewarisan budaya
3. Pendidikan dipandang sebagai interaksi antara
pengembangan potensi dan pewarisan budaya.
Menurut Hasan
Langgulung, ketiga pendapat itu tidak dapat berdiri sendiri, karena merupakan
satu keutuhan. Tetapi, dalam pelaksanaanya terkadang salah satu diantara ketiga pendekatan itu ada yang lebih dominan,
sementara yang lain proporsinya lebih diperkecil.[2]
B. PENDIDIKAN
SEBAGAI PENGEMBANGAN POTENSI
Tugas pendidikan Islam ini merupakan realisasi dari
pengertian tarbiyah al-insyah
(menumbuhkan atau mengaktualisasikan potensi). Asumsi tugas ini adalah bahwa
manusia mempunyai sejumlah potensi atau kemampuan, sedangkan pendidikan
merupakan proses untuk menumbuhkan dan
mengembangkan potensi-potensi tersebut.
Pendidikan berusaha untuk menampakan (aktualitas) potensi-potensi laten
tersebut yang dimiliki oleh setiap anggota peserta didik.
Dalam Islam, potensi laten yang dimiliki manusia
banyak ragamnya. Abdul Mujib[3]
menyebutkan tujuh macam potensi bawaan manusia diantaranya adalah sebagai
berikut:
1.
Al-fithrah (citra asli)
Fitrah merupakan citra asli manusia yang berpotensi
baik atau buruk dimana aktualisasinya tergantung pilihannya. Fitrah yang baik
merupakan citra asli yang primer, sedangkan fitrah yang buruk merupakan citra
asli yang sekunder.[4]
2.
Struktur
manusia
Struktur adalah satu organisasi permanen, pola, atau
kumpulan unsur-unsur yang bersifat relatif stabil, menetap, dan abadi. Para
psikolog menggunakan istilah ini untuk menunjukan pada proses-proses yang
mempunyai stabilitas.[5]
3.
Al-Hayah (Vitality)
Hayah
adalah daya, tenaga,
energi, atau vitalitas hidup manusia yang karenanya manusia dapat bertahan hidup. Al-hayah ada dua macam diantaranya
adalah:
a)
Jasmani
yang intinya berupa nyawa (al-hayat),
atau energi fisik atau disebut juga
dengan roh jasmani. Bagian ini amat tergantung pada susunan sel, fungsi
kelenjar, alat pencernaan, susunan syarat sentral, dan sebagainya yang dapat ditampilkan
dengan tanda-tanda fisiologis pembawaan dan karakteristik yang kurang lebih konstan
sifatnya.
b)
Rohani
yang intinya berupa amanat dari Tuhan yang disebut juga roh rohani. Amanah
merupakan energi psikis yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Melalui
dua bagian ini, maka vitalitas manusia menjadi menjadi sempurna.
4.
Al-Khuluq (Karakter)
Akhlak (bentuk tunggal dari akhlaq) adalah kondisi batiniah (dalam) bukan kondisi lahiriah
(luar) individu yang mencakup al-thab’u dan
al-sajiyah. Orang yang ber-khuluq dermawan lazimnya gampang memberi
uang pada orang lain, tetapi sulit mengeluarkan yang pada orang yang digunakan
untuk maksiat. Sebaliknya, orang yang ber-khuluq
pelit lazimnya sulit mengeluarkan uang, tapi boleh jadi ia mudah
menghambur-hamburkan uang untuk keburukan. Khuluq
adalah kondisi dalam jiwa yang suci dan dari kondisi itu tumbuh suatu
aktivitas yang mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih
dahulu. Khuluq bisa disamakan dengan karakter
yang masing-masing individu memiliki keunikan tersendiri. Dalam terminologi
psikologi, karakter (character) adalah
watak, perangai, sifat dasar yang khas, satu sifat atau kualitas yang tetap terus
menerus dan kekal yang bisa dijadikan ciri untuk mengidentifikasikan seorang
pribadi.
5.
Al-Thab’u (Tabi’at)
Tabi’at adalah citra batin individu yang
menetap (al-sukun). Citra ini
terdapat pada konstitusi individu yang diciptakan oleh Allah SWT. sejak lahir. Menurut Ikhwan al-Shafa, tabiat adalah
daya dari daya nafs kulliyah yang
menggerakan jasad manusia.[6]
Berdasarkan dengan pengertian tersebut, al-thab’u
ekuivalen dengan temperamen yang tidak dapat diubah, tetapi di dalam Al-Qur’an tabi’at manusia mengarah pada perilaku baik atau buruk sifat
manusia itu sendiri.
6.
Al-Sajiyah (bakat)
Sajiyah
adalah kebiasaan individu
yang berasal dari hasil integrasi antara karakter individu dengan
aktivitas-aktivitas yang diusahakan. Dalam terminologi psikologi, sajiyah diterjemahkan dengan bakat yaitu
kapasitas, kemampuan yang bersifat potensial. Ia ada pada faktor yang ada pada
individu sejak awal dari kehidupan yang kemudian
menimbulkan perkembangan keahlian, kecakapan, keterampilan, dan spesialis
tertentu. Bakat ini bersifat laten (tersembunyi dan bisa berkembang) sepanjang
hidup manusia, dan dapat diaktualisasikan potensinya.
7.
Al-sifat (sifat-sifat)
Sifat, yaitu satu ciri khas individu yang relatif menetap, secara terus-menerus dan
konsekuen yang diungkapkan dalam satu deretan keadaan. Sifat-sifat totalitas dalam diri individu dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu deferensiasi,
regulasi dan pekerjaan dari masing-masing tubuh.
8.
Al-amal (perilaku)
Amal ialah tingkah laku lahiriah individu yang
tergambar dalam bentuk perbuatan nyata. Pada tingkat amal ini kepribadian
individu dapat diketahui, sekalipun kepribadian yang dimaksud mencakup lahir
dan batin. Hukum fikih memiliki kecenderungan melihat aspek lahir dan
kepribadian manusia, sebab yang lahir itu mencerminkan yang batin, sementara
hukum tasawuf lebih melihat pada aspek batiniahnya. Kepribadian Islam yang
ideal mencakup lahir batin.
C. PENDIDIKAN
SEBAGAI PEWARIS BUDAYA
Tugas pendidikan Islam ini sebagai realisasi dari
pengertian tarbiyah al-tabligh
(menyampaikan atau transformasi kebudayaan). Tugas pendidikan selanjutnya
adalah mewariskan nilai-nilai budaya Islami. Hal ini karena kebudayaan Islam
akan mati bila nilai-nilai dan norma-normanya tidak berfungsi dan belum sempat
diwariskan pada generasi berikutnya. Dalam pendidikan Islam, sumber nilai
budaya dapat dibedakan menjadi dua bagian diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Nilai
ilahiyah
Nilai yang dititahkan Allah SWT. melalui para rasul-Nya yang diabadikan pada wahyu.
Inti nilai ini adalah iman dan takwa. Nilai ini tidak mengalmai perubahan,
karena mengandung kemutlakan bagi kehidupan manusia selaku pribadi dan selaku
anggota masyarakat, tidak berubah karena mengikuti hawa nafsu.
2.
Nilai
insaniyah
Nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia serta hidup
dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai ini bersifat dinamis, yang keberlakuannya
relatif dan dibatasi oleh ruang dan waktu. Nilai-nilai insani yang kemudian
melembaga menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-temurun dan mengikat
anggota masyarakat yang mendudkungnya.[7]
Tugas pendidikan
Islam adalah bagaimana pendidik mampu melestarikan dan mentransformsikan nilai ilahiyah kepada peserta didik. Nilai illahiyah yang intrinsik harus diterima
sebagai suatu kebenaran mutlak tanpa ada upaya ijtihad, sementara nilai ilahiyah yang instrumental dapat
dikembangkan sesuai dengan kondisi zaman, tempat dan keadaan. Sedangkan untuk
nilai insaniyah, tugas pendidikan
senantiasa melakukan inovasi dan menumbuhkan kreativitas diri agar nilai itu
berkembang sesuai dengan tuntutan masyarakat.
D. INTERAKSI
ANTARA PENGEMBANGAN POTENSI DAN PEWARISAN BUDAYA
Manusia secara potensial mempunyai potensi dasar
yang harus diaktualkan dan dilengkapi dengan peradaban dan kebudayaan Islam.
Demikian juga, aplikasi peradaban dan kebudayaan harus relevan dengan kebutuhan
dan perkembangan potensi dasar manusia. Tanpa memperhatikan kebutuhan dan
perkembangan itu, peradaban dna kebudayaan hanya akan menambah beban hidup yang
mengakibatkan kehidupan yang anomaliyan menyalahi desain awal Allah SWT. Interaksi
antara potensi dan budaya itu harus mendapatkan tempat dalam proses pendidikan,
dan jangan sampai ada salah satunya yang diabaikan. Tanpa interaksi itu, harmonisasi kehidupan akan terhambat.
Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar menyatakan bahwa hidayah Allah SWT. itu terdapat
empat bagian diantaranya adalah:
1.
Hidayah
yang dapat ditangkap oleh insting
tumbuhan, hewan, dan manusia. Hidayah ini disebut dengan al-wijdani atauy al-ghariziyyah.
2.
Hidayah
yang dapat ditangkap oleh indra hewan dan manusia. Hidayah ini disebut dengan al-hidayah al-hawas.
3.
Hidayah
yang dapat diterima oleh akal manusia. Hidayah ini disebut dengan al-hidayah al-‘aqli.
4. Hidayah yang hanya ditangkap oleh rasa
keimanan, yaitu hidayah agama. Hidayah ini disebut dengan al-hidayah
al-dini.
Sedangkan
menurut Lageveld MY, tugas pendidikan adalah menegakan bimbingan anak agar
menjadi dewasa[8].
Selanjutnya yang dimaksud dengan kedewasaan dalam tugas-tugas pendidikan adalah:
1. Kedewasaan psikologis, yaitu dewasa
secara kejiwaan. Tugas pendidikan adalah bagaimana peserta didik dapat
mengembangkan kematangan cipta, rasa, dan karsa sehingga perkembangan hidupnya
menjadi ideal
2.
Kedewasaan
biologis, yaitu dewasa secara biologis yang apabila melakukan kontak seksual
akan terjadi reproduksi generasi setelah ia mencapai akal balig
3.
Kedewasaan
sosiologis, yaitu dewasa karena ia menjadi bagian dari masyarakat dan terlibat
didalam kegiatannya. Tugas pendidikan adalah mengenal dan mengamalkan kode etik
masyarakat setempat yang mengembangkan kode etik itu kearah positif
4.
Kedewasaan
padegogis. Tugas pendidikan adalah bagaimana peserta didik dapat menyadari hak
dan kewajibannya serta bertanggung jawab terhadap perbuatannya
5.
Kedewasaan
religius, dewasa yang menjadikan seseorang wajib melaksanakan perintah Allah
dan menjauhi semua larangan-Nya.
E. FUNGSI
PENDIDIKAN ISLAM
Fungsi pendidikan Islam adalah menyediakan segala
fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugas pendidikan Islam tersebut
tercapai dan berjalan dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti
dan tujuan yang bersifat struktural dan institusional. Arti dan tujuan struktural adalah menuntut
terwujudnya struktural organisasi pendidikan yang mengatur jalannya proses
kependidikan, baik dilihat dari segi vertikal maupun dari segi horizontal.
Faktor-faktor pendidikan bisa berfungsi secara interaksional
(saling memengaruhi) yang bermuara pada tujuan pendidikan yang diinginkan.
Sebaliknya, arti tujuan institusional mengandung implementasi bahwa proses
kependidikan yang terjadi di dalam struktur organisasi itu dilembagakan untuk
menjamin proses pendidikan yang berjalan secara konsisten dan berkesinambungan
yang mengikuti kebutuhan dan perkembangan manusia dan cenderung ke arah tingkat
kemampuan yang optimal.
Menurut Kurshid Ahmad, yang dikutip Rmayulis, fungsi
pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1.
Alat
untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan,
nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan bangsa
2. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi
dan perkembangan yang scara garis besarnya melalui pengetahuan dan skil yang baru ditemukan, dan melatih
tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan
sosial dan ekonomi.[9]
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Tugas pendidikan
Islam adalah bagaimana pendidik mampu melestarikan dan mentransformsikan nilai ilahiyah kepada peserta didik. Nilai illahiyah yang intrinsik harus diterima
sebagai suatu kebenaran mutlak tanpa ada upaya ijtihad, sementara nilai ilahiyah yang instrumental dapat
dikembangkan sesuai dengan kondisi zaman, tempat dan keadaan.
Sedangkan
untuk nilai insaniyah, tugas
pendidikan senantiasa melakukan inovasi dan menumbuhkan kreativitas diri agar
nilai itu berkembang sesuai dengan tuntutan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2006).
Abu Ahmadi dan
Nur Uhbiyati,
Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991).
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad
Ke-21, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988).
Ikhwan al-Shafa, Rasail Ikhwan al-Shafa wa Khalan al-Wafa’, (Beirut: Dar Sadir,
1957).
James P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartino Kartono, (Jakarta: Rajawali
Perss,1989).
Majid ‘Irsan al-Kaylani, Al-Fikr al-Tarbawi ‘Inda Ibn Taymiyah, (al-Madinah
al-Munawwarah: Maktabah Dar al-Tarats, 1986).
Neong Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Suatu Teori Pendidikan, (Yogyakarta:
Rake Sarasin, 1987).
Ramayulis, Metodologi
Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990).
[1] Majid ‘Irsan al-Kaylani,
Al-Fikr al-Tarbawi ‘Inda Ibn Taymiyah, (al-Madinah
al-Munawwarah: Maktabah Dar al-Tarats, 1986), hal. 91-103.
[2] Hasan Langgulung, Pendidikan
Islam Menghadapi Abad Ke-21, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988), hal.
57-65.
[3] Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi Islam, (Jakarta:
Rajawali Press, 2006), hal. 43-48.
[4] Fitrah asli manusia itu
boleh jadi baik dan boleh jdi buruk, sekalipun fitrah yang baik merupakan yang primer, sedangkan yang
buruk merupakan skunder. Hal ini berbeda dengan malaikat yang hanya berfitrah
baik, ataukah setan yang berfitrah buruk, ataukah hewan dan tumbuh-tumbuhan dan
benda-benda mati lainya yang tidak ada baik dan buruk pada fitrahnya.
[5] James P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartino
Kartono, (Jakarta: Rajawali Perss,1989), hal. 489.
[6] Ikhwan al-Shafa, Rasail Ikhwan al-Shafa wa Khalan al-Wafa’, (Beirut:
Dar Sadir, 1957), hal. 63.
[7] Neong Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Suatu
Teori Pendidikan, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1987), hal. 144.
[8] Abu Ahmadi dan Nur
Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1991), hal. 70.
[9] Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta:
Kalam Mulia, 1990), hal. 19-20.
0 komentar:
Post a Comment