BAB I
PENDAHULUAN
Ajaran sufi berkenaan dengan maqamat dan ahwal memiliki hierarki yang tertib. Para ahli sufi
meletakan tingkatan yang berbeda di antara satu sama lain yang mesti diikuti
oleh seorang salik (pengikut ajaran
tasawuf). Dalam mempelajari sufi memerlukan berbagai pendekatan yang nantinya
akan menjadikan diri seseorang mendekatkan diri kepada Tuhannya atau Allah SWT.
Dari latar belakang diatas, maka disini penulis akan
membahas makalah yang berjudul tentang Al-Maqomat dalam Tasawuf yang mana
makalah ini sudah kami ringkas sedemikian rupa agar mudah dimengerti dan mudah
untuk dipahami oleh kita semua.
BAB II
PEMBAHASAN
AL-MAQOMAT DALAM TASAWUF
A.
AL-MAQOMAT DALAM SUFISME
Tazkiyyah an-nafs dalam tasawuf sering dikaitkan dengan penyucian
jiwa, pembersihan hati, penjernihan, dan
pembeningan hati serta penyelarasan hubungan antara manusia dengan tuhannya.
Langkah Tazkiyyah an-nafs ini boleh
dipahami sebagai suatu usahaintegrasi diri dengan terjalinnya hubungan baik
antara individu dan orang lain dan alam lingkungan, seperti hewan dan
tumbuh-tumbuhan.[1]
Dalam
tasawuf, tazkiyah an-nafs merupakan
satu metode untuk ber-taqarrub atau mendekatkan
diri kepada Tuhan melalui proses dan latihan-latihan rohani tertentu. Tazkiyah an-nafs adalah proses beralihnya
jiwa yang kotor, ternoda, dan tercemar menjadi jiwa yang suci lagi menyucikan, peralihan dari keadaan
yang tidak baik menurut syariat kepada
keadaan yang menempati syari’at, dari
hati yang karir menjadi hati yang mukmin, dari munafik menuju sifat yang jujur,
amanah dan fatonah, kebakhilan bertukar menjadi pemurah, sifat dendam berganti
dengan pemaaf[2].
Kebersihan
jiwa akan membawa pada kondisi batiniyah yang bebas dari nilai-nilai yang
tergambar dalam tingkah laku. Tahap ukuran yang bebas dari nilai-nilai negatif
tersebut dicernakan melalui setiap perbuatn yang disukai dan dicintai oleh
masyarakat sekeliling serta di ridai oleh Allah SWT. Ajaran-ajaran sufi
mengandung proses, cara dan aplikasi nilai yang bertujuan membersihkan diri
baik secara zahir maupun secara batin.[3]
Seseorang
yang menjalani proses al-maqomat ini
akan merasa dekat dengan Tuhan dan hatinya menjadi tenang, tentram, dan damai. Al-Maqamat juga ditakrifkan sebagai
usaha pra-kondisional berupa amalan-amalan
lahir dan batin, seperti sabar, tawakal, ma’rifat dan lain sebagainya.
Amalan-amalan itu kemudiannya dijadikan sufi sebagai maqam dalam tazkiyyah an-nafs.
Maqam yang terdapat dalam tasawuf tersebut merupakan
satu peringkat perjalanan kerohanian yang mempunyai peraturan tertentu yang mesti
ditaati agar selalu dekat dengan Tuhan, mendapatkan kecintaan dan keridhaan
dari-Nya.
Dengan
kata lain, maqam didefinisikan sebagai suatu tahap adab (etika)
kepada-Nya dengan bermacam-macam usaha untuk satu tujuan pencarian dan ukuran
tugas masing-masing yang berada dalam tahapnya sendiri ketika dalam kondisi tersebut,
serta tingkah laku riyadhah menuju
kepadanya.[4] Seseorang
sufi tidak dibenarkan berpindah kesuatu maqam lain, kecuali setelah menyelesaikan
syarat-syarat yang ada dalam maqam
tersebut.
Tahap-tahap
atau tingkatan maqam ini bukannya
berbentuk yang sama diantara ahli-ahli sufi, namun mereka berpendapat bahwa
tahap permulaan bagi setiap maqam
adalah tawbah. Rentetan amalan para
sufi tersebut diatas, akan memberi kesan
pada kondisi rohani yang disebut sebagai al-ahwal
yang dieproleh secara intuitif dalam hati secara tidak langsung sebagai anugerah
dari Allah semata-mata, dari rasa senang atau sedih, rindu atau benci, rasa
takut atau suka cita, ketenangan atau kecemasan secara berlawanan dalam realita
dan pengalaman dan sebagainya.[5]
Ajaran
sufi berkenaan dengan maqamat dan ahwal memiliki hierarki yang tertib. Para ahli sufi
meletakan tingkatan yang berbeda di antara satu sama lain yang mesti diikuti
oleh seorang salik (pengikut ajaran tasawuf).
Namun, perbedaan itu tidaklah dijadikan suatu perdebatan diantara
pengamal-pengamal ajaran tasawuf itu
karena mereka masing-masing memahami bahwa penentuan hierarki tersebut adalah
berdasarkan pengamalan kesufian mereka tersendiri. Ada beberapa tingkatan maqamat diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Maqam Tawbah
Tawbah merupakan
tindakan permulaan dalam peraturan ajaran tasawuf. Pada tahap tawbah ini, seseorang sufi membersihkan
dirinya dari perilaku yang menimbulkan dosa dan rasa bersalah. Tawbah itu sendiri mengandung makna kembali,
dia ber-tawbah berarti ia kembali.
Jadi, tawbah adalah kembali dari
sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya.
Tawbah pada prinsipnya adalah usaha untuk memahami
diri terhadap kealpaan diri yang kemudian diisi dengan pengalaman, pengawalan,
dan pembinaan yang konstruktif daripada perilaku kotor yang tidak bermaruah
kepada yang baik, daripada melakukan dosa dan maksiat kepada perbuatan yang
mendatangkan pahala, keridhaan Allah SWT dan kecintaan Allah. Allah SWT. berfirman
sebagai berikut:
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù wur
úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎôØuø9ur £`ÏdÌßJè¿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãã_ (
wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr& ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä ÆÎgÏGs9qãèç/
÷rr& ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r& ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& û
ÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷r& Írr& úüÏèÎ7»F9$# Îöxî Í<'ré&
Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# úïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàt 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# (
wur tûøóÎôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøä `ÏB £`ÎgÏFt^Î 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$#
$·èÏHsd tmr& cqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-
budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur: 31).
2. Maqam Zuhd
Secara
terminologi, zuhd adalah mengarahkan
keinginan kepada Allah SWT. Menyatukan kemauan kepada-Nya, dan sibuk dengan-Nya
dibandingkan dengan kesibukan-kesibukan lainnya agar Allah membimbing dan
memberikan petunjuk seorang zahid
(orang yang berperilaku zuhd).[6]
3. Maqam sabr
Sabr bukanlah
sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan sabr adalah usaha kesungguhan yang juga merupakan sifat Allah yang
sangat mulia dan tinggi. Sabr adalah menahan diri dalam memikul suatu
penderitaan, baik dalam sesuatu perkara yang tidak diinginkan maupun dalam
kehilangan suatu yagn disangi.
Untuk
mengklasifikasikan makna dan derajat kesabaran maka sabr dapat dibagikan tiga tingkat yaitu:
a) Sabr dalam
menghindari kedurhakaan dengam memperhatikan peringatan, tetap teguh keimanan
dan waspada hal yang haram dan menghindari kedurhakaan karena malu
b) Sabr dalam
ketaan dengan menjaga ketaatan itu secara terus-menerus memeliharanya dengan
keikhlasan dan berdasarkan ilmu
c) Sabr dalam
menghadapi musibah dengan memperhatiakn pahala yang baik menunggu rahmat
datang, menganggap musibah sebaga hal kecil dan menghitung nikmat-nikmat masa
lampau.
4. Maqam tawakkal
Tawakkal adalah kepercayaan dan penyerahan diri kepada
takdir Allah dengan sepenuh jiwa dan raga. Dalam tasawuf, tawakkal ditafsirkan sebagai
suatu keadaan jiwa yang tetap berada selamanya dalam ketenangan dan ketentraman
baik dalam keadaan suka maupun duka. Dalam keadaan suka, diri akan bersyukur
dan dalam keadaan duka diri akan bersabar serta tidak resah gundah.[7]
5. Maqam Ridho
Ridho
adalah puncak kecintaan yang diperoleh seseorang sufi setelah menjalani proses ‘ubudiyyah yang sangat penjang kepada
Allah SWT. Ridha merupakan anugerah kebaikan yang diberikan
Tuhan atas hamba-Nya dari usahanya yang maksimal dalam pengabdian dan munajat. Ridha juga merupakan manifestasi amal
shaleh sehingga memperoleh pahala dari kebaikannya tersebut.
6. Maqam Mahabbah
Seseorang
harfiah, mahabbah atau al-hubb sering diartikan dengan cinta
dan kasih sayang. Mahabbah adalah
usaha mewujudkan rasa cinta dan kasih
sayang yang ditujukan kepada Allah SWT. Mahabbah
juga dapat diartikan sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika dirundung
keinginan untuk bertemu dengan kekasihnya, yaitu Allah SWT.
7. Maqam Ma’rifah
Ma’rifah secara terminologi berarti mengenal,
mengetahui, dan juga boleh juga diartikan sebagai menyaksikan. Ma’rifah dalam tasawuf sering dikonotasikan pada panggilan hati
melalui berbagai bentuk tafakur untuk menghayati nilai-nilai kerinduan yang
terpantul dari kegiatan zikir, sesuai dengan tanda-tanda pengungkapan
(hakikat) yang terus-menerus. Maksudnya hati menyaksikan kekuasaan Tuhan dan
merasakan besarnya kebenaran-Nya dan mulia kehebatan-Nya yang tidak dapat
diungkapkan dengan kata-kata.
Dari
aspek lain ma’rifah juga diartiakn sebagai mengetahui apa saja
yang dibayangkan dalam hati tanpa menyaksikan sendiri keadaanya berdasarkan
pengetahuan Tuhan.
Ma’rifah dalam
spiritual Islam menjadi isi penting sebagai pengukuran nilai-nilai ketuhanan
karena ma’rifah ini adalah tingkat
tertinggi dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan manusia untuk mengenal Tuhan.
Seorang sufi merasa dirinya dekat dengan
Tuhan tanpa batasan. Ia meyakini bahwa
dirinya selalu dipimpin oleh Tuhan. Oleh karena itu, dia akan menjaga dan memelihara dirinya agar berada dalam ketaatan,
keimanan, dan beramal shaleh.[8]
B.
AL-AHWAL DALAM SUFISME
Bagian
ini akan menerangkan al-ahwal, yaitu
pemberian rasa khauf, tawadhdu’ taqwa,
ikhlas, syukur dan Mutma’innah
didalam diri seseorang sufi. Seorang sufi melakukan kitaatan dan ibadah yan terus menerus akan menerima anugerah
spiritual, seperti rasa khauf, tawadhu’,
ikhlas, taqwa, syukur, dan mutma’innah
di dalam dirinya. Seorang sufi memperolehnya tanpa disadarinya bahwa anugerah
tersebut sudah melekat pada dirinya. Adapun penjelasanya sebagai berikut:
1.
Ahwal dalam
Khauf (takut)
Khauf dalam tasawuf
adalah hadirnya perasaan takut ke dalam diri seorang salik (orang yang menuju Tuhan) karena dihantui oleh perasaan dosa
dan ancaman yang akan menimpanya.
Seseorang
yang mempunyai rasa khauf kepada
Tuhan akan menghilangkan perasaan khauf terhadap perkara-perkara lainnya. Dia takut
kepada Tuhannya, bukan demi dirinya sendiri, melainkan merasa takzimnya kepada
Tuhan. Apabila Khauf menetap dalam hati
seseoranfg, khauf akan mengendalikan
hatinya menuju Tuhannya yang satu.
2.
Ahwal dalam
Tawadhu’ (kerendahan hati)
Tawadhu’ adalah perasaan yang selalu muncul dalam diri
seseorang sufi sebagai hasil dari penghampirannya dengan Allah. Ia merasa senang dan tentram bersama Tuhan. Ia pun menjadi tegar dalam
menghadapi perkara buruk yang menimpanya. Namun, ia menggunakan kesenangan dan
ketentraman perasaanya sebagai penggerak dalam tindakannya.
3.
Ahwal dalam
taqwa (pemeliharaan diri)
Taqwa adalah
satu sifat yang dinisbahkan kepada orang yang patuh, taat, dan sabar terhadap
perintah Allah serta memelihara dirinya dari tergelincir kedalam
perkara-perkara yang buruk. Taqwa dalam pengertian umum dapat dikatakan,
memelihara diri, dan tetap menjaganya dengan melaksanakan ketaatan dan amal
shaleh.
4.
Ahwal dalam
ikhlas (ketulusan)
Ikhlas merupakan
hal yang sangat prinsip dalam beribadah. Ikhlas
adalah tindakan dan perbuatan murni
yang tidak dicampuri oleh perkara-perkara lain. Secara etimologi, ikhlas sering
diartikan dengan kemurnian yang tidak dicampuri oleh hal yang menjadi tujuan.
Dalam ajaran sufi, keikhlasan adalah suatu yang diperlukan untuk mendekatkan diri
kepada Allah baik dari sudut niat maupun tindakan.
5.
Ahwal dalam
syukr
Syukr atau bersyukur berarti berterima kasih. Dalam
kehidupan sehari-hari, orang sering mengatakan mari bersyukur atau bersyukurlah
artinya berterimakasih terhadap suatu nikmat atau suatu pemberian. Dalam
tasawuf, syukr memiliki makna yang
indah, yaitu disamping mengenali pemberi nikmat, ia juga harus diwujudkan dalam
bentuk lisan atau dalam hati.
6.
Ahwal dalam
mutmainnah (ketenangan)
Mutmainnah atau tuma’ninah merupakan suasana batin
seseorang dalam ketentraman karena selalu dekat dengan Tuhan. Sebagaimana
firman Allah:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% Ìø.ÉÎ/ «!$# 3 wr& Ìò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. Ar-Ra’d: 28).
Sebenarnya mutmainnah seiring dengan hilangnya kecemasan,
ketegangan dan kegelisahan dalam hati. Hati yang mutmainnah dianugerahkan rasa aman sehingga ia tidak merasa
diburu-buru oleh kehidupan kebendaan (materiil yang memengaruhi perkembangan
jiwa positifnya[9].
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami
simpulkan bahwa Tahap-tahap atau tingkatan maqam
ini bukannya berbentuk yang sama diantara ahli-ahli sufi, namun mereka
berpendapat bahwa tahap permulaan bagi setiap maqam adalah tawbah.
Rentetan amalan para sufi tersebut diatas, akan memberi kesan pada kondisi rohani yang
disebut sebagai al-ahwal yang
dieproleh secara intuitif dalam hati secara tidak langsung sebagai anugerah
dari Allah semata-mata, dari rasa senang atau sedih, rindu atau benci, rasa
takut atau suka cita, ketenangan atau kecemasan secara berlawanan dalam realita
dan pengalaman dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Bachrun Rifa’i dan Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,
2010).
Imam Al-Qusyairy An-Naisaburi, Risalah Qusyairiyyah, (Terj) Lukman
Hakim, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999).
Said Hawwa’, Tarbiyah Ar-Ruhaniyyah, (Terj), Khairul Rafie, (Bandung: Pustaka
Mizan, 1988).
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuh Kembangkan Kepribadian dan
Kesihatan Mental, (Jakarta: Pustaka Ruhama, 1994).
[1] A. Bachrun Rifa’i dan Hasan
Mud’is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,
2010), hal. 199.
[2] Said Hawwa’, Tarbiyah Ar-Ruhaniyyah, (Terj), Khairul
Rafie, (Bandung: Pustaka Mizan, 1988), hal. 79.
[3] A. Bachrun Rifa’i dan Hasan
Mud’is, op cit, hal. 200.
[4] Imam Al-Qusyairy An-Naisaburi, Risalah Qusyairiyyah, (Terj) Lukman
Hakim, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), hal. 23.
[5] Ibid, hal. 24.
[6] Ibid, hal. 43.
[7] Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuh Kembangkan Kepribadian dan
Kesihatan Mental, (Jakarta: Pustaka Ruhama, 1994), hal. 169.
[8]A. Bachrun Rifa’i dan Hasan
Mud’is, op cit, hal. 202-224
[9] A. Bachrun Rifa’i dan Hasan
Mud’is, op cit, hal. 231.
0 komentar:
Post a Comment