BAB I
PENDAHULUAN


Setiap pelaku manusia didasarkan atas kehendak. Apa yang telah dilakukan  oleh manusia  timbul dari kejiwaan. Walaupun panca indra kesulitan melihat pada dasar kejiwaan namun dapat dilihat dari wujud kelakuan. Maka setiap kelakuan pasti bersumber dari kejiwaan. Pada kondisi demikian kadang membuat perasaan seseorang ahli penyelidik akhlak kurang puas. Karena sulitnya mencari kejujuran pelaku yang sebenarnya sesuai dengan kejiwaannya.
Apabila ada perkataan “jangan dusta” engkau ulang terus, tetapi engkau lengahkan  jiwanya sehingga timbul perbuatan dusta, tentu perkataanmu tidak membekas di hati. Kemudian yang menjadi persoalan adalah apa saja yang menjadi dasar seseorang melakukan tindakan? Apabila ditinjau dari segi akhlaknya kejiwaan maka perilaku dilakukan, atas dasar pokok-pokok tertentu.


BAB II
PEMBAHASAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BENTUK AKHLAK DAN CARA PEMBENTUKANNYA



A.    INSTING
Definisi insting oleh ahli jiwa masih ada perselisihan pendapat. Namun, perlu diungkapkan juga, bahwa menurut James, insting adalah suatu alat yang dapat menimbulkan perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berpikir lebih dahulu kearah tujuan itu dan tidak dengan di dahului latihan perbuatan itu.[1]
Ada beberapa macam insting dari diri manusia/ hewan. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Insting menjaga diri sendiri
2.      Insting menjaga lawan jenis
3.      Insting merasa takut.[2]

B.     POLA DASAR BAWAAN (TIRUAN)
Pada awal perkembangan kejiwaan primitif, bahwa  ada pendapat yang mengatakan kelahiran manusia itu sendiri. Dan yang membedakan adalah faktor pendidikan. Tetapi pendapat baru mengatakan tidak ada dua orang yang keluar  di alam keujudan sama dalam tubuh, akal dari akhlaknya. Ada teori yang mengemukakan masalah turunan (bawaan) yaitu:
1.      Turunan (pembawaan) sifat-sifat manusia
Dimana-mana tempat orang membawa pancaindera, perasaan, akal dan kehendak. Dengan sifat-sifat manusia yang  diturunkan ini, maka manusia dapat mengalahkan alam di dalam beberapa perkara, sedang seluruh binatang tidak dapat menghadapinya.
2.      Sifat-sifat bangsa
Selain adat kebiasaan tiap-tiap bangsa, ada juga beberapa sifat yang diturunkan (dibawa) sekelompok orang dahulu kepada kelompok orang sekarang. Sifat-sifat ini adalah menjadikan beberapa orang dari tiap-tiap bangsa berlainan dengan beberapa orang  dari bangsa lain, bukan saja dalam bentuk mukanya bahkan juga dalam bentuk sifat yang mengenai akal.

C.    LINGKUNGAN
Lingkungan adalah suatu yang melingkungi tubuh yang hidup. Lingkungan tumbuh-tumbuhan oleh adanya tanah dan udaranya, lingkungan manusia adalah apa yang melingkunginya dari negeri lautan, sungai, udara dan bangsa. Ada beberapa macam lingkungan diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Lingkungan alam
2.      Lingkungan pergaulan.[3]

D.    KEBIASAAN
Ada pemahaman singkat, bahwa kebiasaan adalah perbuatan yang diulang-ulang terus sehingga mudah dikerjakan bagi seseorang. Seperti kebiasaan berjalan, berpakaian, berbicara, berpidato, mengajar, dan lain sebagainya. Orang berbuat baik atau buruk karena dua faktor dair kebiasaan yaitu:
1.      Kesukaan hati terhadap suatu pekerjaan
2.      Menerima kesukaan itu, yang akhirnya menampikkan perbuatan dan diulang-ulang terus menerus.[4]

Orang yang hanya melakukan tindakan dengan cara berulang-ulang tidak ada manfaatnya dalam pembentukan kebiasaan. Tetapi hal ini harus dibarengi dengan perasaan suka di dalam hati. Dan sebaliknya tidak hanya senang/suka hati saja tanpa diulang-ulang tidak akan menjadi kebiasaan. Maka kebiasaan dapat tercapai karena keinginan hati (kesukaan hati) dan dilakukan berulang-ulang.

E.     KEHENDAK
1.      Pengertian
Suatu perbuatan ada yang berdasarkan atas kehendak dan bukan hasil kehendak.  Contoh yang berdasarkan kehendak adalah menulis, membaca, mengarang atau berpidato dan lain sebagainya. Adapun contoh yang berdasarkan bukan kehendak adalah detik hati, bernafas dan gerak mata.[5]
Para ahli pengetahuan mengatakan bahwa keinginan yang menang adalah keinginan yang alamnya lebih kuat meskipun dia bukan keinginan yang lebih kuat. Keinginan yang lebih kuat disebut dengan roghbah,lalu datang empat azam atau niat berbuat. Azam ini adalah yang disebut dengan kehendak kemudian diikuti perbuatan.
Perbuatan itu tidak harus selalu mengikuti kehendak, karena manusia itu kadang-kadang berazam pada  sesuatu yang dekat atau jauh. Didalam sesuatu yang dekat yang langsung pada azam, bergantilah azam menjadi perbuatan, seperti bila berkehendak menggerakan tangannya dan mengambil kita yang ada dimukanya. Bahwa perbuatan hasil dari kehendak mengandung sebagai berikut:
a)      Perasaan
b)      Keinginan
c)      Pertimbangan
d)     Azam yang disebut dengan kehendak.[6]
2.      Kehendak adalah kekuatan
Kehendak adalah suatu kekuatan dari beberapa kekuatan. Seperti uap atau listrik, kehendak adalah penggerak manusia dan dari padanya timbul segala perbuatan yang hasil dari kehendak, dan segala sifat manusia dan kekuatannya seolah-olah  tidur nyenyak sehingga dibangunakn oleh kehendak.
Ada dua macam perbuatan atas kehendak diantaranya adalah kadang menjadi pendorong dan kadang menjadi penolak. Yakni kadang mendorong kekuatan manusia supaya berbuat, seperti mendorong membaca, mengarang atau pidato, terkadang mencegah kekuatan tersebut, seperti melarang berkata atau berbuat.
3.      Kebebasan berkehendak
Ahli filsafat Yunani setengahnya berpendapat bahwa kehendak itu mereka dalam memilih, dan setengahnya berpendapat bahwa kehendak itu terpaksa menjalani suatujalan yang  tidak dapat dilampauinya. Ilmuawan Arab berkata bahwa manusia itu terpaksa dan tidak mempunyai kehendak yang merdeka, bahkan kepastian itu yang menjalankan menurut apa yang digambarkannya.[7]

F.     PENDIDIKAN
Dunia pendidikan, sangat besar sekali pengaruhnya terhadap perubahan perilaku, akhlak seseorang. Berbagai ilmu diperkenalkan, agar siswa memahaminya dan dapat melakukan suatu perbuatan pda dirinya. Semula anak belum tahu perhitungan, setelah memasuki dunia pendidikan sedikit banyak mengetahui.
Dengan demikian, strategis sekali dikalangan pendidikan dijadikan pusat perubahan perilaku yang kurang baik untuk diarahkan menuju ke perilaku yang baik. Maka dibutuhkan beberapa unsur dalam pendidikan, untuk bisa dijadikan agent perubahan sikap dan perilaku manusia. Dari tenaga pendidik (pengajar) perlu memiliki kemampuan profesionalitas dalam bidangnya. Dia harus mampu memberi wawasan, materi, mengarahkan dan membimbing anak didiknya ke hal yang  baik. Dengan penuh perhatian, sabar, ulet tekun dan berusaha secara terus menerus, pengajaran hendaknya melakukan pendekatan psikologis.[8]

G.    PEMBENTUKAN AKHLAK
Berbicara masalah pembentukan akhlak sama dengan berbicara tentang tujuan pendidikan,  karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak. Muhammad Athiyah al-Abrasyi misalnya mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah jiwa dan tujuan pendidikan Islam.[9]
Demikian pula Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap Muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah, yaitu hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk agama Islam.[10]
Namun sebelum itu masih ada masalah yang perlu kita dudukan dengan seksama, yaitu apakah akhlak itu dapat dibentuk ataukah tidak. Jika dapat dibentuk apa alasannya dan bagaimana caranya. Dan jika tidak, apa pula alasannya dan bagaimana selanjutnya.[11]
Menurut sebagian ahli bahwa akhlak tidak perlu dibentuk, karena akhlak  adalah insting yang dibawa manusia sejak lahir. Bagi golongan ini, bahwa masalah akhlak adalah pembawaan dari manusia itu sendiri, yaitu kecenderungan kepada kebaikan atau fitrah yang ada dalam diri manusia, dan dapat juga berupa kata hati atau intuisi yang selalu cenderung kepada kebenaran. Dengan pendapat seperti ini, cenderung kepada kebenaran. Dengan pendekatan seperti ini, maka akhlak  akan tumbuh dengan sendirinya, walaupun tanpa dibentuk atau diusahakan.[12]

H.    METODE PEMBINAAN AKHLAK
Pembinaan akhlak merupakan  tumpuan perhatian pertama dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari salah satu misi kerasulan Nabi Muhammad SAW.  yang utama adalah utnuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Perhatian Islam yang demikian terhadap  pembinaan akhlak ini dapat dilihat  dari perhatian Islam terhadap pembinaan jiwa yang harus didahulukan daripada pembinaan fisik, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan  yang baik yang pada tahap selanjutnya akan mempermudah menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan.
Selanjutnya, dalam rukun Islam yang ketiga, yaitu zakat  juga mengandung didikan akhlak, yaitu agar orang yang melakukan atau melaksanakannya dapat membersihkan dirinya dari sifat kikir, mementingkan diri sendiri, dan membersihkan hartanyadari hal orang lain, yaitu hak fakir miskin dan seterusnya.
Pelaksanaan zakat yang berdimensi akhlak yang bersifat sosial ekonomis ini dipersubur lagi dengan  pelaksanaan shadaqah yang bentuknya tidak hanya berupa materi, tetapi juga non materi. Begitu juga Islam mengajarkan ibadah puasa sebagai rukun Islam yang keempat, bukan hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum dalam waktu yang tebatas, tetapi lebih dari itu merupakan latihan menahan diri dari keinginan melakukan perbuatan keji yang dilarang.
Selanjutnya rukun Islam yang kelima adalah ibadah haji. Dalam ibadah haji inipun nilai pembinaan akhlaknya lebih besar lagi dibandingkan dengan nilai pembinaan akhlak yang ada pada ibadah dalam rukun Islam lainnya. Hal ini bisa dipahami karena ibadah haji adalah ibadah dalam Islam bersifat komprehensif yang menuntut persyaratan yang banyak, yaitu disamping harus  menguasai ilmunya, juga harus sehat fisiknya, ada kemauan keras, bersabar dalam menjalankannya dan harus mengeluarkan kekayaan dan lainnya.[13]

I.       MANFAAT AKHLAK YANG MULIA
Uraian tersebut diatas  telah menggambarkan bahwa Islam menginginkan suatu masyarakat yang berakhlak mulia. Akhlak yang mulia ini ditekankan  karena disamping akan membawa kebahagiaan bagi individu, juga sekaligus membawa kebahagiaan bagi masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, bahwa akhlak utama  yang ditampilkan seseorang, manfaatnya adalah untuk orang yang bersangkutan.[14]
Adapun manfaat dari akhlak yang mulia diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Memperkuat dan menyempurnakan agama
2.      Mempermudah perhitungan amal di akhirat
3.      Menghilangkan kesulitan
4.      Selamat hidup di dunia dan akhirat.[15]


BAB III
KESIMPULAN



Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Lingkungan adalah suatu yang melingkungi tubuh yang hidup. Lingkungan tumbuh-tumbuhan oleh adanya tanah dan udaranya, lingkungan manusia adalah apa yang melingkunginya dari negeri lautan, sungai, udara dan bangsa. Ada beberapa macam lingkungan diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Lingkungan alam
2.      Lingkungan pergaulan.
Pembinaan akhlak merupakan  tumpuan perhatian pertama dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari salah satu misi kerasulan Nabi Muhammad SAW.  yang utama adalah utnuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Perhatian Islam yang demikian terhadap  pembinaan akhlak ini dapat dilihat  dari perhatian Islam terhadap pembinaan jiwa yang harus didahulukan daripada pembinaan fisik, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan  yang baik yang pada tahap selanjutnya akan mempermudah menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan.




DAFTAR PUSTAKA



Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Wali Press, 2010).

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980).

Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2007).

Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).



[1] Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 82.
[2] Ibid, hal. 83-87.
[3] Ibid, hal. 92.
[4] Ibid, hal. 96.
[5] Ibid, hal. 103.
[6] Ibid, hal. 104.
[7] Ibid, hal. 107.
[8] Ibid, hal. 110.
[9] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 15.
[10] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), hal. 48-49.
[11] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Wali Press, 2010), hal. 155.
[12] Ibid, hal. 156.
[13] Ibid, hal. 163.
[14] Ibid, hal. 171.
[15] Ibid, hal. 175.

0 komentar:

 
Top