BAB I
PENDAHULUAN


Tasawuf yang  sering kita temui dalam khazanah dunia Islam, dari segi sumber perkembanganya, ternyata memunculkan pro dan kontra, baik di kalangan muslim maupun di kalangan non muslim. Mereka yang kontra menganggap bahwa tasawuf Islam merupakan sebuah paham yang bersumber dari agama-agama lain. Pandangan ini kebanyakan diwakili oleh para orientalis dan orang-orang yang banyak terpengaruh oleh kalangan orientalis ini.
Para orientalis dan sebagian orang yang menulis tentang tasawuf Islam berusaha untuk mengembalikan kehidupan rohani sufi dalam Islam pada sumber-sumber asing, di samping Al-Qur’an dan kehidupan Rasulullah SAW. Dari latar belakang maka disini penulis akan menjelaskan makalah yang berjudul tentang pengertian serta beberapa asumsi mengenai lahirnya tasawuf secara lengkap dan jelas agar mudah dipahami oleh kita semua dalam menuntut ilmu.


BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN TASAWUF BEBERAPA ASUMSI MENGENAI LAHIRNYA TASAWUF


A.    UNSUR NASRANI (KRISTEN)
Bagi mereka  yang beranggapan bahwa tasawuf berasal dari unsur Nasrani, mendasarkan argumentasinya pada dua hal diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Adanya interaksi antara orang Arab dan Kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun Zaman Islam.
2.      Adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal ajaran cara mereka melatih jiwa (riyadhah) dan mengasingkan  diri (khalwat) dengan kehidupan Al-Masih dan ajaran-ajarannya serta dengan para rahib ketika sembahnyang dan berpakaian[1].

Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di Padang Pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang di malam hari menjadi petunjuk jalan bagi kafilah-kafilah yang lewat. Kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman, dan mereka memberikan makanan bagi musafir yang kelaparan.[2]
Atas dasar hal ini, ada yang mengatakan bahwa zahid dan sufi Islam ketika meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana  dan mengasingkan diri serta dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib kristen ini.[3] Orang arab sangat menyukai  cara kependekatan ketika mereka melakukan latihan dan ibadah. Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar (bulu domba) adalah milik agama Nasrani. Sementara itu, Nicholoson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf berasal dari Nasrani. Ada pula yang berpendapat bahwa aliran tasawuf yang menekankan cinta ketuhanan berasal dari Nasrani, sesuai dengan kisah dialog Nabi Isa as. dengan  sekelompok manusia yang bertemu dengannya.[4]
Pokok-pokok ajaran Tasawuf yang diklaim  berasal dari agama Nasrani antara lain:
1.      Sikap fakir. Al-Masih adalah fakir. Injil disampaikan kepada orang fakir sebagaimana kata Isa dalam Injil Matius.
2.      Tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan. Para pendeta telah mengamalkan dalam sejarah hidupnya, sebagaimana dikatakan dalam Injil.
3.      Peranan Syeikh yang menyerupai pendeta. Perbedaanya pendapat dapat menghapuskan dosa.
4.      Selibasi yaitu menahan diri tidak menikah karena menikah dianggap dapat mengalihkan diri dari Tuhan.
5.      Penyaksian, bahwa sufi menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah. Injilpun telah menerangkan terjadinya hubungan langsung dengan Tuhan.[5]


B.     UNSUR HINDU-BUDHA
Tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu Budha memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Darwis Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah  pada tasawuf dan ajaran Hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan lain), cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persamaan diri dengan jalan mengingat Allah.[6] Orientalis lainnya,  seperti Hartman et Horten, juga mengklaim bahwa tasawuf Islam sangat diwarnai dengan ajaran Hindu disamping ajaran agama mani, masehi, dan neo-platonisme. Klaim itu dilontarkannya pada tahun 1927 setelah ia mengkaji pemikiran tasawuf Al-Hallaj, AL-Busthami, dan Al-Junaid.
Namun Qamar Kailani dalam ulasannya tentang  asal-usul tasawuf menolak pendapat mereka yang mengatakan tasawuf berasal dari ajaran Hindu-Budha. Menurutnya, pendapat ini terlalu ekstrim, kalau diterima Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu Budha ke Mekkah. Padahal sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.

C.    UNSUR YUNANI
Kebudayaan Yunani seperti filsafat, telah masuk ke dunia Islam pada akhir Daulah Amawiyah  dan puncaknya pada masa Daulah Abbasiyah ketika berlangsung  zaman penerjemahan filsafat Yunani. Dikalangan penerjemah ternama, terdapat seorang tabib Nastori (Kristen) bernama Jurjis bin Bakhtisy (George Bakhtishu, Wafat 771M).  Khalifah Al-Mansur mengundangnya ke Yundi Shapur untuk dijadikan tabib pribadinya.
Disamping jabatan itu, ia juga aktif dalam kegiatan penerjemahan. Banyak penerjemah lain yang dikenal, seperti putera Bakhtisyu sendiri, yang bernama Isa bin Thakerbakh dan John bin Maserjawayh  seorang tabib Suryani Yahudi bernama Qusta bin Luqa (Wafat 923 M).
Dengan kegiatan terjemahan itu, banyak buku-buku filsafat, di samping buku-buku lainnya, yang dipelajari umat Islam. Ini dapat diartikan sebagai proses pengenalan umat Islam pada metode berpikir yang filosofis. Metode-metode berpikir filsafat ini juga turut mempengaruhi pola pikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak filsafat. Hal ini dilihat dari pikiran Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina, terutama dalam uraian tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, Ibnu Arabi, Syukhrawardi, dan lain sebagainya.

D.    UNSUR PERSIA
Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yang pada bidang  politik, pemikiran kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum di temukan argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan kerohanian Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf.
Sejak zaman klasik, bahkan  hingga saat ini, terkenal sebagai wilayah yang melahirkan sufi-sufi ternama. Dalam konsep ke fanaan diri dalam universalitas, misalnya salah seorang penganjurnya adalah seorang ahli mistik dari Persia, yakni Bayazid dari Bastam, yang telah menerima dari gurunya Abu Ali (dari Sind).[7] Demikianlah, uraian yang mengetentangkan pendapat yang mengatakan bahwa asal-usul tasawuf bersumber dari luar Islam. Pendapat itu biasanya berasal dari kalangan orientis, karena paradigmanya hanya melihat bahkan mengidentikkan ajaran Islam dengan ajaran Non Islam.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf adalah ilmu yang bersumber dari ajaran Islam itu sendiri mengingat Nabi Muhammad dan para sahabatnya pun telah mempraktikannya. Hal ini dapat dilihat dari azas-azasnya yang banyak berlandaskan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri juga bahwa setelah berkembang menjadi aliran pemikiran (misalnya, tasawuf filsafat), tasawuf mendapat pengaruh  dari budaya filsafat Yunani, Hindu, Persia dan Sebagainya.[8]


E.     UNSUR ARAB
Untuk melihat bagaimana tasawuf berasal dari dunia Islam, pelacakan terhadap  sejarah munculnya tasawuf dapat dijadikan dasar argumentasi munculnya tasawuf di dunia Islam. Untuk itulah berikut ini akan diketengahkan sejarah tumbuh dan berkembangnya tasawuf di dunia Islam. Namung mengingat kehadiran Islam bermula dari daratan Arab, maka uraian tersebut tentang sejarah tasawuf itupun bermula dari tanah Arab.
Untuk melacak sejarah perkembangan tasawuf, tidak hanya memperhatikan ketika tasawuf mulai dikaji sebagai sebuah ilmu melainkan sejak zaman Rasulullah SAW. Memang pada masa Rauslullah SAW. dan  masa sebelum datangnya agama Islam istilah tasawuf itu belum ada.[9] Istilah sufi itu sendiri baru pertama kali digunakan oleh Abu Hasyim, seorang Zahid dari Syria (wafat pada tahun 780 M). Pada masanya didirikan semacam padepokan sufi yang pertama. Disebutkan bahwa perjalanan tasawuf diibaratkan  sebagai proses produksi anggur murni.
Selama masa Rasulullah hingga kekhalifahan Abu Bakar sampai Ali (599-661 M), selalu diadakan berbagai pertemuan yang menghasilkan sumpah atau janji setia dan praktik ibadah tasawuf. Pada tahun 657 M, Uways Al-Qaranini (wafat 657M) mengadakan pertemuan besar pertama kaum sufi. Untuk mengenang dan menghormati Nabi Muhammad yang kehilangan dua buah giginya di Perang Uhud, ia mencabut giginya sendiri dan mengajak segenap pengikutnya untuk melakukan hal serupa.
Dalam perjalanan sejarahnya, benih-benih tasawuf mulai mengkristal dan mulai terlihat pada seorang tabi’in bernama Hasan Al-Basri yang benar-benar mempraktikannya. Dimasa hidupnya, ini terkenal sebagai orang yang berpegang teguh pada Sunnah Rausl dalam menilai setiap masalah rohaniah. Ia mendasarkan pikirannya pada rasa takut kepada Allah, tetapi tidak terlepas dari rasa harap atas kasih Allah sehingga keseimbangan antara sikap takut dan harap selalu terwujud.


BAB III
KESIMPULAN


Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa  Tasawuf yang  sering kita temui dalam khazanah dunia Islam, dari segi sumber perkembanganya, ternyata memunculkan pro dan kontra, baik di kalangan muslim maupun di kalangan non muslim. Mereka yang kontra menganggap bahwa tasawuf Islam merupakan sebuah paham yang bersumber dari agama-agama lain. Pandangan ini kebanyakan diwakili oleh para orientalis dan orang-orang yang banyak terpengaruh oleh kalangan orientalis ini.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf adalah ilmu yang bersumber dari ajaran Islam itu sendiri mengingat Nabi Muhammad dan para sahabatnya pun telah mempraktikannya. Hal ini dapat dilihat dari azas-azasnya yang banyak berlandaskan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri juga bahwa setelah berkembang menjadi aliran pemikiran (misalnya, tasawuf filsafat), tasawuf mendapat pengaruh  dari budaya filsafat Yunani, Hindu, Persia dan Sebagainya.



DAFTAR PUSTAKA





Abdul Qodir Al-Jailani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).

Muhammad Yasir Syarf, Hakikat At-Tashawwuf Al-Islam, (Damsyik: Al-Hai’at Al-Misbriyyah Al-‘Ammah Li Al-Kitab, 1986).

Reynold A. Nicholoson, Reynold A. Nicholson, The Mystic of Islam, ter. Ahmad Nashir Budiman, “Tasawuf Menguak Cinta Illahi”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993).

Rosihan Anwar dan  Mukhtar Solihin, Ilmu Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2004).

Usman Said,  Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi, Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 1981).



[1] Abdul Qodir Al-Jailani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 17.
[2] Rosihan Anwar dan  Mukhtar Solihin, Ilmu Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 30.
[3] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 58.
[4]Rosihan Anwar dan  Mukhtar Solihin, op cit, hal. 31.
[5] Usman Said,  Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi, Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 1981), hal. 26.
[6] Rosihan Anwar dan  Mukhtar Solihin, op cit, hal.  33.
[7] Reynold A. Nicholoson, Reynold A. Nicholson, The Mystic of Islam, ter. Ahmad Nashir Budiman, “Tasawuf Menguak Cinta Illahi”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 16.
[8] Rosihan Anwar dan  Mukhtar Solihin, log cit, hal. 42.
[9] Muhammad Yasir Syarf, Hakikat At-Tashawwuf Al-Islam, (Damsyik: Al-Hai’at Al-Misbriyyah Al-‘Ammah Li Al-Kitab, 1986), hal. 4.

0 komentar:

 
Top