BAB I
PENDAHULUAN



Ajaran Islam mengakui adanya perbedaan pendapatan dan kekayaan pada setiap orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap orang mempunyai perbedaan keterampilan, inisiatif, usaha dan resiko. Namun
perbedaan itu tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang terlalu jauh antara
yang kaya dengan yang miskin karena kesenjangan yang terlalu dalam tidak
sesuai dengan syariah Islam yang menekankan bahwa sumber-sumber daya bukan
saja karunia dari Allah bagi semua manusia, melainkan juga merupakan suatu
amanah.
Distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata bukan berarti sama rata
sebagaimana faham kaum komunisme, tetapi ajaran Islam mewajibkan setiap
individu untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, dan sangat melarang
seseorang menjadi pengemis untuk menghidupi dirinya.
Dalam literatur Ekonomi Syariah, terdapat berbagai macam bentuk transaksi kerjasama usaha, baik yang bersifat komersial maupun sosial, salah satu berbentuk “qardh”.
Al-Qardh adalah dana talang atau pinjaman bagi orang yang membutuhkan dana cepat, dan al-qardh ini merupakansalah satu jasa bank dalam melayani masyarakat, selain kafalah, hiwalah dan lain-lain. Dalam melakukan akad ql-qardh ini tentunya ada syarat, sukun, dan macam-macam perjanjian ataw perikatan, dalam peraktinya al-qardh ini bebeda dengan praktik akad-akad yang lainnya, karna dalam al-qardh ini termasuk akad tabaru atau akad tolong molong dalam arti akad ini tidak mengambil keuntungan.




BAB II
PEMBAHASAN
AL-QARDH




A.    DEFINISI AL-QARDH
Istilah perjanjian dalam hukum Indonesia disebut Aqad dalam hukum Islam. Kata aqad berasal dari kata al-‘aqad, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt).[1] Menurut bahasa ‘Aqad mempunyai bebeapa arti, antara lain:
1.       Mengikat (Ar-Rabtu), yaitu “Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salahsatunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda.”
2.       Sambungan (‘Akdah), yaitu “Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatkatnya.”
3.       Janji (Al-‘Ahud), yaitu dijelaskan dalam Al-Quran:
4n?t ô`tB 4nû÷rr& ¾ÍnÏôgyèÎ 4s+¨?$#ur ¨bÎ*sù ©!$# =ÅsムtûüÉ)­GßJø9$# ÇÐÏÈ  
Artinya: “Siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-Imran:76).[2]
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa setiap ‘aqdi (persetujuan) mencakup tiga hal, yaitu:
1.      Perjanjian (‘ahdu)
2.      Persetujuan dua buah perjanjian atau lebih
3.      Perikatan (‘aqdu).[3]
Sebagai suatu istilah hukum Islam, ada beberapa definisi yang diberikan kepada aqad atau perjanjian:
1.       Menurut Pasal 262 Mursyid al-Haira, akad merupakan “Pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.”
2.       Menurut penulis, akad adalah, “pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.”[4]

Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.[5]
Secara Syar’i para Ahli Fiqh mendefinisikan Qardh menjadi beberapa istilah diantaranya:
1.      Menurut pengikut Madzhab Hanafi , Ibn Abidin mengatakan bahwa suatu pinjaman adalah apa yang dimiliki satu orang lalu diberikan kepada yang lain kemudian dikembalikan dalam kepunyaannya dalam baik hati.
2.      Menurut Madzhab Maliki mengatakan Qardh adalah Pembayaran dari sesuatu yang berharga untuk pembayaran kembali tidak berbeda atau setimpal.
3.      Menurut Madzhab Hanbali Qardh adalah pembayaran uang ke seseorang siapa yang akan memperoleh manfaat dengan itu dan kembalian sesuai dengan padanannya.
4.      Menurut Madzhab Syafi’i Qardh adalah Memindahkan kepemilikan sesuatu kepada seseorang, disajikan ia perlu membayar kembali kepadanya.[6]

Dari pengertian akad dan al-Qardh diatas dapat disimpulkan bahwa, “ Aqad Al-Qardh adalah Perikatan atau perjanjian antara kedua belah pihak, dimana pihak pertama menyediakan harta atau memberikan hartadalam arti meminjamkan kepada pihak kedua sebagai peminjam uang atau orang yang menerima harta yang dapat ditagih atau diminta kembali harta tersebut, dengan kata lain meminjamkan harta kepada orang lain yang mebutuhkan dana cepat tanpa mengharapkan imbalan.
Dalam aqad al-Qardh ini, untuk menghindarkandiri dari riba, biaya administrasi pada pinjaman al-Qardh:
1.      Harus dinyatakan dalam nominal bukan presentase
2.      Sifatnya harus nyata, jelas dan pasti serta terbatas pada hal-hal yang mutlak diperlukan untuk tejadinya kontrak
3.      Uang yang dijadikan sebagai biaya administrasi harus habis dalam waktu perikatan tersebut.[7]

B.     UNSUR-UNSUR AQAD AL-QARDH
Ada beberapa Unsur-unsur dalam aqad al-Qardh diantaranya yaitu sebagai berikut:
1.           Pertalian Ijab dan Kabul
Ijab adalah pernyataan kehendak oleh suatu pihak (mujib) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mukib tersebut oleh pihak lainnya (qabul). Ijab dan kabul harus ada dalam aqad al-Qardh.
2.         Dibenarkan oleh Syara’
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariah atau hal-hal yang diatur oleh Allah SWT dalam Al-Quran dan Nabi Muhammad SAW dalam Hadits. Pelaksanaan akd, tujuan akad, maupun objek akad tidah boleh bertentangan dengan syariah. Jika berten tsngan, akan mengakibatkan akad itu tidak sah.
3.         Mempunyai Akibat Hukum
Akad merupakan salah satu dari tindakan hokum (thassaruf). Adanya akad akan menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan konsekunesi hak dan kewajiban yang mengikat para pihak[8].





C.    LANDASAN HUKUM
1.       Al-Qur’an
Adapun dasar hukum Al-Qardh atau qardul hasan yaitu tertera dalam firman Allah surat Al-Hadid yang berbunyi:
ƨB #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟Òãsù ¼çms9 ÿ¼ã&s!ur ֍ô_r& ÒOƒÌx. ÇÊÊÈ  
Artinya: ”Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11).[9]
       Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru untuk “meminjamkan kepada Allah”, artinya untuk membelanjakan harta dijalan Allah. Selaras dengan meminjamkan kepada Allah, kita juga diseru unutk “meminjamkan kepada sesama manusia”, sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat (civil society).
`¨B #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟ÒãŠsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouŽÏWŸ2 4 ª!$#ur âÙÎ6ø)tƒ äÝ+Áö6tƒur ÏmøŠs9Î)ur šcqãèy_öè? ÇËÍÎÈ
Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al-Baqarah: 245).[10]

2.         Al-Hadits
Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi saw, berkata, “Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah”. (HR: Ibnu Majah no. 2421, kitab al-Ahkam; Ibnu Hibban dan Baihaqi).
3.         Ijma
“Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkaan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan du dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.”[11]
4.         Fatwa DSN tentang Al-Qardh No :19/DSN-MUI/IV/2001
Dewan Syariah Nasional setelah:
Menimbang:
a.       Bahwa Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di samping lembaga komersial, harus dapat berperan sebagai lembaga sosial yang dapat meningkatkan perekonomian secaramaksimal.
b.      Bahwa salah satu peningkatan sarana perekonomian yang dapat dilakukan oleh LKS adalah penyaluran dana melalui prinsip al-Qardh, yakni suatu akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS dengan waktu yang telah di sepakatioleh LKS dan nasabah.
c.       Bahwa akad tersebut sesuai dengan syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Qardh untuk di jadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat:
Firman Allah SWT, antara lain:
a.       Al-Baqarah: 245
b.      Al-Maidah: 1
c.       Al-Hadid: 11
d.      Hadis-hadis Nabi SAW.
       

MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG AL-QARDH
Pertama: Ketentuan Umum Al-Qardh yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
1.             Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan
2.             Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yangtelah disepakati bersama.
3.             Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
4.             LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana di pandang perlu.
5.             Nasabh al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
6.             Jika nasabah tidak dapt mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat:
a.       Memperpanjang jangka waktu pengambilan, atau
b.      Menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.
Kedua: Sanksi
1.      Dalam hal nasabah tidak menunjukan keinginan mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukankarena ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah.
2.      Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1 dapat berupa dan tidak terbatas pada penjualan barang jaminan.
3.      Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya secara penuh.
Ketiga: Sumber Dana
Dana al-Qardh dapat bersumber dari:
a.       Bagian modal LKS
b.      Keuntungan LKS yang disisihkan
c.       Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS.
Keempat:
1.      Jika salah satu pihak tidak memnunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antarapihak, maka penyelesainnya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika kemudian hari ternyata dapat kekeliruan, akan diubah disempurnakan sebagaimana mestinya.[12] 

D.    RUKUN DAN SYARAT AL-QARDH
1.        ‘Aqid
Aqid ialah orang yang berakad (dua belah pihak), dalam arti pihak pertama adalah orang yang menyediakan harta atau pemberi harta (yang meminjamkan), dengan pihak kedua adalah orang yang membutuhkan harta atau orang yang menerima harta (meminjam). Seseorang yang berakad terkadang terkadang orang yang memiliki hak (‘aqid ashli) dan merupakan wakil dari yang memiliki hak.[13] Syarat dari kedua orang yang melakukan akad yaitu cakap bertindak (ahli), tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang dibawah pengampuan (mahjur) karna boros atau lainnya.
2.       Ma’qud ‘alaih
Ma’qud ‘Alaih  adalah benda-benda yang diakadkan, seperti benda (harta). Dalam arti setiap peikatan dalam aqad al-qardh harus ada barang sebagai perikatan atau transaksi (objek akad). Syarat objek akad adalah dapat menerima hukumnya.
3.       Maudhu’ al ‘aqd adalah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda kad, maka berbeda tujuan pokok akad, dalam akad jual beli yujuan pokoknya ialah meminfahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti, dan dalam akad jual beli ini akan mendapatkan keuntungan, berbeda  dengan perikatan atau aqar al-qardh, dalam aqad al-qardh tujuan pokok perikatannya adalah tolong menolong dalam arti meminjamkan harta tanpa mengharapkan imbalan, uang yang di pinjamkan di kembalikan sesuai dengan uang yang dipinjamkan, tidak ada tambahan dalam pengembalian uangnya. Saratnya adalah ada itikad baik.[14]
4.       Shighat al-‘aqd ialah ijab dan qabul, ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qabul adalah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab.[15]

Dalam praktik perbankan Syariah, rukun dan syarat dalam aqad al-qardh selain diatas adalah:
1.      Bank (pihak yang menyediakan uang atau meminjamkan harta);
2.      Nasabah (pihak yang meminjam uang);
3.      Proyeksi usaha (tujuan dalam mengadakan perikatan al-qardh).[16]

Sifat qardh ini tidak memberikan keuntungan financial. Karena itu, pendanaan qardh dapat diambil menurut kategori berikut:
1.             Al-qardh yang diperlukan untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan social, dapat bersumber dari dana zakat, infaq, dan sedekah.
2.             Al-qardh yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek. Talangan dana di atas dapat diambilakan dari modal bank.

E.      PRAKTIK AQAD AL-QARDH DALAM PERBANKAN SYARIAH
Ada beberapa Akad al-Qardh, biasanya diterapkan diperbankan sebagai berikut:
1.                  Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonafiditasnya, yang membutuhkan dana talang segera untuk masa yang relatif pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikannya secepatnya sejumlah uang yang dipinjamnya itu.
2.                  Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat, sedangkan ia tidak bisa menarik dananya karena, misalnya, tersimpan dalam bentuk deposito.
3.                  Sebagai produk untuk menyumbangkan usaha yang sangat kecil atau membantu sektor sosial. Guna pemenuhan skema khusus ini telah dikenal suatu produk khusus yaitu al qardhal-hasanah.[17]
4.                  Sebagai dana talang untuk janga waktu singkat, maka nasabah akan mengembelikannya dengan cepat, seperti kompensating balance dan factoring (anjak piutang).[18]
Pinjaman qardh biasanya diberikan oleh bank kepada nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman talangan pada saat nasabah mengalami overdraft. Fasilitas ini dapat merupakan bagian dari satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan nasabah bertransaksi. Aplikasi qardh dalam perbankan ada empat hal:
1.      Sebagai pinjaman talangan haji
2.      Sebagai pinjaman tunai dari produk kartu kredit syariah
3.       Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil
4.      Sebagai pinjaman kepada pengurus bank.[19]

F.     SUMBER DANA AL-QARDH
Sifat al-Qardh tidak memberikan keuntungan financial. Karena itu, pendanaan qardh dapat diambil menurut kategori berikut:
1.                  Al-qardh yang diperlukan untuk keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek.talangan dana diatas dapat diambilkan dari modal bank.
2.                  Al-qardh yang diperlukan untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan sosial, dapat bersumbe dari dana zakat, dan sedekah. Disamping sumber dana umat, para praktisi perbankan syariah, demikian juga ulama, melihat adanya sumber dana lain yang dapat dialokasikanuntuk qardh al-hasan, yaitu prndapat-pendapat yang diragukan, seperti jasa nostro di bank korespondensi yang konvensional, bunga atas jaminan L/C di bank asing, dan sebagainya. Salah satu pertimbangan pemanfaatan dana-dana ini adalah kaidah akhaffu dhararain (mengambil mudharat yang lebih keci). Hal ini mengingat jika dana umat Islam dibiarkan di lembaga-lembaga non-muslim mungkin dapat dipergunakan untuk sesuatu yang merugikan Islam, misalnya dana kaum muslimin Arab di bank-bank Yahudi Switzerland. Oleh karena itu, dana yang parkir tersebut lebih baik diambil dan dimanfaatkan untuk penanggulangan bencana alam atau membantu dhu’afa.[20]




G.     MANFAAT AQAD AL-QARDH
Ada beberapa Manfaat aqad al-qardh diantaranya adalah sebagai berikut seperti dibawah ini:
1.                  Memungkikan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk mendapatkan dana talangan jagka pendek.
2.                  Al-qardh al-hasan juga merupakan salah satu ciri pemberi antara bank syariah dan bank konvensionalyang didalamnya terkandung misi sosial, disamping misi komersial.
3.                  Adanya misi-sosial kemasyarakatkatan ini akan meningkatkan citra baik dan meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap bank syariah.
4.                  Risiko al-qardh terhitung tinggi karena ia di anggap pembiayaan yang tidak ditutup dengan jaminan.[21]



















BAB III
KESIMPULAN



Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Aqad Al-Qardh adalah perikatan atau perjanjian antara kedua belah pihak, dimana pihak pertama menyediakan harta atau memberikan hartadalam arti meminjamkan kepada pihak kedua sebagai peminjam uang atau orang yang menerima harta yang dapat ditagih atau diminta kembali harta tersebut, dengan kata lain meminjamkan harta kepada orang lain yang mebutuhkan dana cepat tanpa mengharapkan imbalan. Dengan kata lain, aqad al-Qardh merupakan pinjaman oleh pihak bank kepada nasabah tanpa adanya imbalan, perikatan jenis ini bertujuan untuk menolong, bukan sebagai perikatan yang mencari untung (komersil).
Rukun dan syarat dalaam aqad al-Qardh yang lebih sempitnya adalah subjek perikatan (al-‘aqidain), objek perikatan (mahallul ‘aqad), tujuan perikatan (maudhu’ulaqad), dan  aigat ‘aqad (ijab dan kabul). Unsur-unsur dalam aqad al-Qardh adalah pertalian ijab dan kabul, dibenarkan oleh Syara’, dan mempunyai akibat hukum. Selain itu dalam praktk perbankan harus ada bank, nasabah, dan proyeksi usaha.
Praktik dalam perbankannya diantaranya sebagai dana talang untuk jangka waktu singkat, maka nasabah akan mengembalikannya dengan cepat, sebagai fasilitas untuk memperoleh dana cepat karena nasaba tidak bisa menarik dananya, misalnya karena tersimpat dalam deposito, sebagai fasilitas membantu usaha kecil atau sosial.
           


DAFTAR PUSTAKA



Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Al-Waah, 1989).

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah,  (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2010).

Fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) NO: 19/DSN-MUI/IV/2001.

Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,  (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2007).

Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013).

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Depok: Gema Insani, 2001).

Samsul Anwar,  Hukum Perjanjian Syariah,  (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).




[1]   Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 43.
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Al-Waah, 1989), hal. 88.
[3] Hendi Suhendi, Op Cit, hal. 45.
[4] Samsul Anwar,  Hukum Perjanjian Syariah,  (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 69.
[5] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Depok: Gema Insani, 2001), hal. 131.
[6] Ibid, hal. 132.
[7] Ibid, hal. 132-133.
[8] Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,  (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2007), hal. 48.
[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Semarang: Al-Waah, 1989), hal. 902.
[10] Ibid, hal. 60.
[11] Muhammad Syafi’i Antonio, Op Cit, hal. 132.
[12] Fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) NO: 19/DSN-MUI/IV/2001.
[13] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah,  (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2010), hal. 52.
[14] Hendi Suhendi, Op Cit, hal. 47.
[15] Hendi Suhendi, Op Cit, hal. 54.
[16] Muhammad Syafi’i Antonio, Op Cit, hal. 134.
[17] Muhammad Syafi’i Antonio, Op Cit, hal. 133.
[18] Gemala Dewi, Op Cit, hal. 159.
[19] Gemala Dewi, Op Cit, hal. 160.
[20] Gemala Dewi, Log Cit, hal. 160-161.
[21] Muhammad Syafi’i Antonio, Op Cit, hal. 134.

0 komentar:

 
Top