BAB
I
PENDAHULUAN
Sekarang di zaman yang serba canggih,
dan serba modern ini banyak sekali transaksi atau kerjasama yang bermunculan di
muka bumi ini. Baik kerjasama tersebut dalam bentuk perseorangan, firma,
perseroan ataupun yang lain. Semua itu ada karena dengan adanya peminat dari
konsumen.
Dalam bekerja harus mempunyai etika agar
pekerjaan tersebut tidak melenceng dari koridor ajaran Islam. Etika bisnis
sebagai suatu pelajaran dan praktik bisnis atau perangkat nilai sebenarnya
sudah lama dikenal. Namun, belum memasyarakat secara luas karena perbedaan
situasi dari satu negara dengan negara lain, terutama dari kedaulatan konsumen.[1]
Maka daripada itu, dalam makalah ini
akan kami bahas mengenai kerjasama dibidang pertanian diantaranya seperti kerjasama
musyaqah atau bercocok tanam.
Yangmana makalah ini akan membahas musyaqah
secara rinci dan mudah untuk dipahami bersama guna menambah wawasan kita di
bangku perkuliahan.
BAB
II
PEMBAHASAN
MUSYAQAH
A. DEFINISI
MUSYAQAH
Menurut etimologi, musyaqah adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang Madinah menyebutnya
dengan istilah mu’amalah. Akan
tetapi, istilah yang lebih dikenal adalah musyaqah.[2]
Adapun menurut terminologi Islam, Musyaqah mempunyai beberapa arti
diantaranya adalah:
1. Sautu
akad dengan memberikan pohon kepada penggarap agar dikelola dan hasilnya dibagi
diantara keduanya.
2. Penyerahan
pohon kepada orang yang akan mengurusnya, kemudian diberi sebagian dari
buahnya.
3. Mempekerjakan
orang lain untuk menggarap kurma atau pohon anggur, dengan perjanjian dia akan
menyiram dan mengurusnya, kemudian buahnya untuk mereka berdua.[3]
Musyaqah
menurut ulama’
Hanafiyah sama seperti muzaraah, baik
dalam hukum dan persyaratan yang memungkinkan terjadinya musyaqah. Perbedaan antara Musyaqah
dengan muzaraah ulama Hanafiyah membaginya
kecuali kedalam empat perkara diantaranya:
1. Jika
salah seorang yang menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam musyaqah, ia harus dipaksa, tetapi dalam
muzaraah ia tidak boleh dipaksa
2. Jika
waktu musyaqah habis, akad diteruskan sampai berbuah tanpa
pemberian upah, sedangkan dalam muzaraah,
jika waktu habis, pekerjaan diteruskan dengan pemberian upah
3. Waktu
dalam musyaqah ditetapkan berdasarkan istihsan, sebab dapat diketahui dengan tepat, sedangkan waktu dalam
muzaraah terkadang tidak tertentu
4. Jika
pohon diminta oleh selain pemilik tanah, penggarap diberi upah. Sedangkan dalam
muzaraah jika diminta sebelum
menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.[4]
Sedangkan
menurut Hendi Suhendi dalam bukunya Fiqih Muamalah (2013), mendefinisikan Musyaqah diambil dari kata al-saqa, yaitu bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainnya supaya
mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang
diurus sebagai imbalan.[5]
Menurut
Hanabilah al-musyaqah mencakup dua masalah diantaranya adalah:
1. Pemilik
menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang
lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagai bagian tertentu dari buah
pohon tersebut, seperti sepertiganya atau setengahnya.
2. Seseorang
menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya
pohon tersebut ditanam pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian
tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut dengan munashabah mugharasah karena pemilik
menyerahkan tanah dan pohon-pohonnya untuk ditanamkannya.[6]
B. DASAR
HUKUM
Asas hukum musyaqah
adalah sebuah hadist Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Amr r.a, bahwa Rasulullah saw. bersabda
yang artinya:
“Memberikan tanah Khaibar dengan bagian
separoh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian (tanaman). Pada
riwayat lain dinyatakan bahwa Rasulullah menyerahkan tanah Khaibar itu kepada
Yahudi, untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi
Muhammad SAW.”[7]
C. RUKUN
DAN SYARAT MUSYAQAH
Menurut Jumhur Ulama’, rukun Musyaqah ada lima macam
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Sighot
2. Dua
orang atau pihak yang berakad (al-‘aqidain)
Al-‘Aqidain
disyaratkan bagi orang-orang yang berakad dengan ahli (mampu) untuk mengelola
akad, seperti baligh, berakal, dan tidak berada di bawah pengampunan
3. Kebun
dan semua pohon yang berbuah
Semua
pohon yang berbuah boleh diparohkan (bagi hasil), baik yang berbuah tahunan
(satu kali dalam setahun) maupun yang buahnya hanya satu kali kemudian mati,
seperti padi, jagung, dan lain sebagainya
4. Masa
kerja
Hendaklah
ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan, seperti satu tahun atau
sekurang-kurangnya menurut kebiasaan. Dalam waktu tersebut tanaman atau pohon
yang diurus sudah berbuah, juga yang harus ditentukan adalah pekerjaan yang
harus dilakukan oleh tukang kebun, seperti menyiram, memotongi cabang-cabang
pohon yang akan menghambat kesuburan buah, atau mengawinkannya
5. Buah
Hendaknya
ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan bekerja di kebun),
seperti seperdua, sepertiga, sepeempat, atau ukuran yang lainnya).[8]
Ada lima syarat
yang ada di dalam musyaqah diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Ahli
dalam akad
2. Menjelaskan
bagian penggarap
3. Membebaskan
pemilik dari pohon
4. Hasil
dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
5. Sampai
batas akhir, yaitu menyeluruh sampai akhir.[9]
D. MUSYAQAH YANG
DIBOLEHKAN
Para
ulama’ berbeda pendapat dalam masalah yang
diperbolehkan dalam musyaqah. Imam
Abu Dawud berpendapat bahwa yang boleh di musyaqah-kan
hanya kurma. Menurut Syafi’iyah, yang boleh di musyaqah-kan hanya kurma dan anggur sajaw sedangkan menurut
Hanafiyah semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi dapat di musyaqah-kan seperti tebu.[10]
Apabila waktu lamanya musyaqah tidak ditentukan ketika akad, maka waktu yang berlaku jatuh hingga pohon itu menghasilkan yang
pertama setelah akad, sah pula untuk pohon yang berbuah secara berangsur
sedikit demi sedikit seperti terong.
Menurut
Imam Malik, musyaqah dibolehkan untuk
semua pohon yang memiliki akar kuat, seperti delima, tin, zaitun, dan
pohon-pohon yang serupa dengan itu dan dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang
berakar tidak kuat, seperti semangka dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki
kemampuan untuk menggarapnya.[11]
Menurut Mazhab Hanbali, musyaqah diperbolehkan untuk
semua pohon yang buahnya dapat dimakan. Dalam kitab al-Muughni, Imam Malik berkata, musyaqah
diperbolehkan untuk pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon
yang perlu disiram.[12]
E. TUGAS
PENGGARAP
Kewajiban
penyiram (musyaqi) menurut Imam
Nawawi adalah mengerjakan apa saja yang dibutuhkan pohon-pohon dalam rangka
pemeliharaanya untuk mendapatkan buah. Ditambahkan pula untuk setiap pohon yang
berbuah musiman diharuskan menyiram, membersihkan saluran air, mengurus
pertumbuhan pohon, memisahkan pohon-pohon yang merambat, memelihara buah, dan
perintisan batangnya.
Maksud
memelihara asalnya (pokoknya) dan tidak berulang setiap tahun adalah
pemeliharaan hal-hal tertentu yang terjadi sewaktu-waktu (insidental), seperti
membangun pematang, menggali sungai, mengganti pohon-pohon yang rusak atau
pohon yang tidak produktif adalah kewajiban pemilik tanah dan pohon-pohonnya
(pengadaan bibit).[13]
F. PENGGARAP
TIDAK MAMPU BEKERJA
Penggarap terkadang tidak selamanya mempunyai waktu
untuk mengurus pohon-pohon yang ada di kebun, tetapi kadang-kadang ada halangan
untuk mengurusnya, seperti karena sakit atau bepergian. Apabila penggarap tidak
mampu bekerja keras karena sakit atau bepergian yang mendesak, maka musyaqah menjadi fasakh (batal).
Apabila dalam akad musyaqah disyaratkan bahwa penggarap harus menggarap secara
langsung (tidak dapat diwakilkan), jika tidak disyaratkan demikian, maka musyaqah tidak menjadi batal, tetapi
penggarap diwajibkan untuk mendapatkan penggantinya selama ia berhalangan itu.
Pendapat ini dikemukakan oleh Mazhab Hanafi.
Dalam keadaan penggarap tidak mampu menggarap
tugasnya mengurus pohon-pohon, sedangkan penjualan buah sudah waktunya, menurut
Imam Malik, penggarap berkewajiban menyewa orang lain untuk menggantikan
tugasnya, yaitu mengurus pohon-pohon itu. Orang kedua ini tidak memperoleh
bagian yang dihasilkan dari musyaqah
karena orang kedua dibayar oleh musyaqi
sesuai dengan perjanjian.
G. WAFATNYA
SALAH SEORANG ‘AQID
Menurut Mazhab Hanafi, apabila salah seorang yang
berakad meninggal dunia, sedangkan pada pohon tersebut sudah tampak
buah-buahnya (hampir bisa dipanen) walaupun belum tampak kebagusan buah
tersebut, demi menjaga kemaslahatan, penggarap melangsungkan pekerjaan atau
dilangsungkan oleh salah seorang atau beberapa orang ahli warisnya, sehingga
buah itu masak atau pantas untuk dipanen, sekalipun hal itu dilakukan secara
paksa terhadap pemilik, jika pemilik berkeberatan, karena dalam keadaan seperti
ini tidak ada kerugian.
Apabila penggarap atau ahli waris berhalangan
bekerja sebelum berakhirnya waktu atau fasakhnya akad, mereka tidak boleh
dipaksa. Tetapi jika mereka memetik buah yang belum layak untuk dipanen, hal
itu mustahil. Hal berbeda pada pemilik atau ahli warisnya sehingga dalam
keadaan seperti ini dapat dilakukan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Memetik
buah dan dibaginya oleh dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati
2.
Memberikan
kepada penggarap atau ahli warisnya sejumlah uang karena dialah yang berhak
memotong atau memetik
3.
Pembiayaan
pohon sampai buahnya matang (pantas untuk dipetik), kemudian hal ini dipotong
dari bagian penggarap, baik potongan ini dari buahnya atau nilai harganya
(uang).
H. HABIS
WAKTU MUSYAQAH
Menurut Ulama’ Hanafiyah, bahwa Musyaqah dianggap selesai atau berakhir ada tiga perkara
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Habis
waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang berakad
Jika
waktu telah habis, tetapi belum menghasilkan apa-apa, penggarap boleh berhenti.
Akan tetapi, jika penggarap meneruskan bekerja diluar waktu yang disekapati, ia
tidak mendapatkan upah.
2. Meninggalnya
salah seorang yang berakad
Jika
penggarap meninggal dunia, ahli warisnya berkewajiban meneruskan musyaqah, walaupun pemilik tanah tidak
rela. Begitu pula jika pemilik meninggal, penggarap meneruskan pemeliharaanya
walaupun ahli waris pemilik tidak menghendakinya.
3. Membatalkan,
baik dengan ucapan secara jelas ataupujn adanya uzur
Diantara
uzur yang dapat membatalkan akad musyaqah
adalah sebagai berkut:
a) Penggarap
dikenal sebagai pencuri yang dikhawatirkan akna mencuri buah-buahan yang
digarapnya
b) Penggarap
sakit sehingga tidak dapat bekerja.[14]
BAB
III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka
dapat kami simpulkan bahwa musyaqah adalah
salah satu bentuk penyiraman. Orang Madinah menyebutnya dengan istilah mu’amalah. Akan tetapi, istilah yang
lebih dikenal adalah musyaqah.
Adapun menurut terminologi Islam, Musyaqah mempunyai beberapa arti
diantaranya adalah 1) Sautu akad dengan memberikan pohon kepada penggarap agar
dikelola dan hasilnya dibagi diantara keduanya, 2) Penyerahan pohon kepada
orang yang akan mengurusnya, kemudian diberi sebagian dari buahnya, dan 3) Mempekerjakan
orang lain untuk menggarap kurma atau pohon anggur, dengan perjanjian dia akan
menyiram dan mengurusnya, kemudian buahnya untuk mereka berdua.
DAFTAR
PUSTAKA
Hendi
Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013).
Rachmat
Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung:
Pustaka Setia, 2000).
Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Salemba Empat,
2011).
[1] Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam, (Jakarta:
Salemba Empat, 2011), hal. 17.
[2] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia,
2000), hal. 212.
[3] Ibid.
[4] Ibid, hal. 212-213.
[5] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013), hal. 145.
[6] Ibid, hal. 147.
[7] Ibid, hal. 148.
[8] Ibid, hal. 148-149.
[9] Rachmat Syafe’i, Op Cit, hal. 214.
[10] Hendi Suhendi, Op Cit, hal. 149.
[11] Hendi Suhendi, Op Cit, hal. 149.
[12] Hendi Suhendi, OpCit.
[13] Hendi Suhendi, Log Cit, hal. 150.
[14] Rachmat Syafe’i, Op Cit, hal. 219.
0 komentar:
Post a Comment