BAB I
PENDAHULUAN
Hadis ditinjau dari
segi sedikit-banyaknya rawi yang menjadi sumber berita terbagi menjadi dua macam diantaranya hadis mutawatir dan hadis ahad. Banyak sekali hadis yang ada di muka bumi ini, baik hadis
tersebut hasan, dhaif, maupun mutawatir, semua itu ada untuk pelajaran agar
menambah pengetahuan kita lebih dalam lagi mengenai hadis.
Hadis yaitu semua
ucapan nabi, perbuatan serta taqrir yang keluar dari nabi. Hadis merupakan
suatu hukum yang kedua setelah Al-Qur’an, maka daripada itu, disini penulis
menyusun makalah tentang Pembagian Hadis secara rinci agar mudah untuk dipahami
dan dimengerti untuk bersama.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAGIAN HADIS
A. PEMBAGIAN
HADIS BERDASARKAN KUANTITAS RAWI
Hadis ditinjau dari segi sedikit-banyaknya rawi yang
menjadi sumber berita terbagi menjadi
dua macam diantaranya hadis mutawatir dan
hadis ahad.[1]
Adapun penjelasan dari kedua hadis (hadis mutawatir dan hadis ahad) tersebut sebagai berikut:
1.
Hadis
Mutawatir
a)
Definisi
hadis Mutawatir
Menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari At-Tawatur
artinya At-Tatabu’
(berturut-turut).[2]
Adapun hadis mutawatir
menurut istilah ulama’ hadis adalah khabar yang didasarkan pada panca indra
yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka
bersepakat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta.[3]
b) Syarat-syarat
hadis mutawatir
-
Pewartaan yang
disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indera,
yaitu warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau
penglihatan sendiri.[4]
-
Jumlah rawinya
harus mencapai kuantitas tertentu sehingga tidak mungkin mereka sepakat untuk
berdusta. Dengan demikian, jumlahnya adalah relatif, tidak ada batas tertentu.
Menurut Abu Ath-Thayib, jumlah perawinya empat orang, Ashhab Asy-Syafi’i
menyatakan lima orang, dan ulama lain menyatakan mencapai dua puluh atau empat
puluh orang. [5]
-
Adanya
keseimbangan jumlah antara para rawi dalam thabaqah
pertama dengan jumlah rawi dalam thabaqah berikutnya.[6]
c)
Klasifikasi
hadis Mutawatir
Para
ulama’ membagi hadis mutawatir menjadi
tiga bagian diantaranya mutawatir lafdzi,
mutawatir maknawi, dan mutawatir
amali.[7]
1)
Hadis
mutawatir lafzhi
Hadis
mutawatir lafzhi adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang
banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu
dan lainya.[8]
2)
Hadis
mutawatir ma’nawi
Hadis
mutawatir ma’nawi adalah hadis yang lafazh dan maknanya
berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian
makna secara umum.[9]
3) Hadis
Mutawatir ‘Amali
Hadis mutawatir ‘amali adalah sesuatu yang
diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat
Islam bahwa Nabi Muhammad SAW. mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain dari itu. Dari
hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati.[10]
2.
Hadis Ahad
a)
Pengertian
hadis ahad
Hadis ahad adalah
hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir.[11]
b)
Kalsifikasi
hadis ahad
Berdasarkan jumlah dari thabaqah masing-masing rawi
tersebut, hadis ahad ini dapat dibagi menjadi tiga macam
diantaranya adalah hadis masyhur, hadis
‘aziz dan hadis gharib.[12]
1)
Hadis
masyhur
Hadis
masyhur adalah muntasyir, yaitu sesuatu yang sudah tersebar, sudah populer.
2)
Hadis
‘Azis
‘Azis menurut
bahasa adalah Asy-Saief (yang mulia),
An-Nadir (yang sedikit wujudnya), Ash-Shab’bul ladzi yakadu la yuqwa ‘alaih (yang sukar
diperoleh), dan Al-Qawiyu (yang
kuat).[13]
3)
Hadis
Gharib
Hadis
gharib menurut bahasa adalah ba’idun ‘anil wathani (yang jauh dari tanah), dan kalimat yang
sukar dipahami.[14]
B.
KLASIFIKASI
HADIS BERDASARKAN KUALITAS RAWI
1. Hadis
Sahih
a) Definisi
hadis sahih
Sahih
menurut lughat adalah lawan dari saqim
artinya sehat lawan sakit, haq lawan
batil.[15]
Menurut ahli hadis sahih adalah hadis
yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang
yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW. atau sahabat atau tabiin, bukan hadis yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaanya.[16]
b) Syarat-syarat
hadis sahih
-
Rawinya
bersifat adil
-
Rawinya
berifat dhabit (perawi menguasai
hadis yang baik)
-
Sanadnya
bersambung
-
Tidak ber-‘illat
-
Tidak janggal (syadz).[17]
c) Klasifikasi
hadis sahih
Hadis sahih yang paling tinggi derajatnya
adalah hadis yang bersanad ashahul
asanid, kemudian berturut-turut sebagai berikut:
-
Hadis yang
disepakati oleh Bukhari Muslim
-
Hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri
-
Hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri
-
Hadis sahih
yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim, sedangkan kedua
Imam itu tidak men-takhrij-nya
-
Hadis sahih
menurut syarat Bukhari, sedangkan Imam Bukhari sendiri tidak men-takhrij-nya
-
Hadis sahih
yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua Imam Bukhari dan Muslim. Ini
berarti si pen-takhrij tidak
mengambil hadis dari rawi-rawi atau guru-guru Bukhari dan Muslim.[18]
2. Hadis hasan
a)
Pengertian
hadis hasan
Hasan, menurut lughot adalah sifat musybahah
dari ‘Al-Husna’, artinya bagus. Menurut Ibnu Hajar, hadis hasan adalah khabar ahad dinukil orang
yang adil, kurang sempurna hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan
tidak syadz.
b)
Klasifikasi
hadis hasan
Sebagaimana hadis sahih, hasan pun dibagi menjadi hasan li dzatih dan hasan li ghairh.
Hadis yang memenuhi segala syarat-syarat hadis hasan disebut dengan hadis hasan li dzatih. [19]
Adapun hasan li
ghairih adalah hadis dhaif yang
bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’ dan syahid.
3. Hadis dhaif
a)
Definisi
Hadis dhaif
Dhaif menurut lughot
adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat).[20]
Menurut Muhaditsin, hadis dhaif adalah semua hadis yang tidak terkumpul
padanya sifat-sifat bagi hadis yang diterima dan menurut pendapat kebanyakan
ulama, hadis dhaif adalah yang tidak terkumpul padanya sifat
hadis sahih dan hasan.
b)
Klasifikasi
hadis dhaif
Sebab-sebab
tertolaknya hadis dari jurusan sanad adalah
sebagai berikut:
1)
Terwujudnya
cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun ke dhabit-annya
2)
Ketidak
bersambungannya sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau lebih, yang
digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
C. KLASIFIKASI
BERDASARKAN KUANTITAS RAWI
1. Hadis marfu’
Hadis marfu’ adalah perkataan, perbuatan atau taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik sanad hadis tersebut bersambung-sambung
ataupun terputus, baik yang menyandarkan hadis itu sahabat ataupun lainnya.
2. Hadis mauquf
Hadis mauquf adalah hadis yang disandarkan
kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir. Adapun hukum hadis mauquf,
pada prinsipnya tidak dapat dibuat hujjah,
kecuali ada qarinah yang menunjukan
(yang menjadikan marfu’).
3. Hadis maqthu’
Hadis maqthu’ adalah hadis yang disandarkan kepada tabiin atau orang yang
sebawahya, baik perkataan maupun
perbuatannya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami
simpulkan bahwa Hadis ditinjau dari segi sedikit-banyaknya rawi yang menjadi
sumber berita terbagi menjadi dua macam
diantaranya hadis mutawatir dan hadis
ahad.
Menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari At-Tawatur
artinya At-Tatabu’
(berturut-turut). Adapun hadis mutawatir menurut istilah ulama’ hadis adalah khabar yang didasarkan pada panca indra
yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka
bersepakat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta. Hadis ahad adalah hadis
yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir.
DAFTAR PUSTAKA
Endang Soetari, Ilmu Hadis: Kajian Riwayat dan Dirayah, (Bandung: Mimbar Pustaka,
2005).
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah Al-Hadis, (Bandung: Al-Ma’arif, 1974).
M. Agus Solahudin, dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia,
2008).
Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathtib, Ushul Al-Hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Kairo:
Dar Al-Fikr, 1989).
Muhammad Mahfudz bin ‘Abdullah
At-Turmusy, Manhaj Dzawi An-Nadzar, (Jeddah:
Al-Haramain, 1974).
M.M. Azami, Metodologi Kritik Hadis, Terj. A. Yamin, (Jakarta: Pustaka Hidayah,
1992), hal. 103.
T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadist, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1988).
[1] T.M. Hasbi
Ash-Shiedieqy, Sejarah Pengantar Ilmu
Hadist, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hal. 200-226.
[2] Mahmud Ath-Thahha, Taisir Musththalah Al-Hadis, tt. Hal.
19.
[3] Endang Soetari, Ilmu Hadis: Kajian Riwayat dan Dirayah, (Bandung:
Mimbar Pustaka, 2005), hal. 120.
[4] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalah Al-Hadis, (Bandung:
Al-Ma’arif, 1974), hal. 79.
[5] Endang Soetari, Op Cit, hal. 120.
[6] Fatchur Rahman, Op Cit, hal. 80.
[7] M. Agus Solahudin, dan
Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), hal. 130.
[8] Fatchur Rahman, Op Cit, hal. 81.
[9] Endang Soetari, Op Cit, hal. 122.
[10] M. Agus Solahudin, dan
Agus Suyadi, Op Cit, hal. 132.
[11] M. Agus Solahudin, dan
Agus Suyadi, Op Cit, hal. 133.
[12] M. Agus Solahudin, dan
Agus Suyadi, Op Cit, hal. 134.
[13] Ash-Shidieqy, Op Cit, hal. 75.
[14] Ash-Shidieqy, Op Cit, hal. 78.
[15] Ash-Shidieqy, Op Cit, hal. 100-101.
[16] Ash-Shidieqy, Log Cit, hal. 132.
[17] Muhammad ‘Ajjaj
Al-Khathtib, Ushul Al-Hadis ‘Ulumuhu wa
Musthalahuhu, (Kairo: Dar Al-Fikr, 1989), hal. 277.
[18] Muhammad Mahfudz bin
‘Abdullah At-Turmusy, Manhaj Dzawi
An-Nadzar, (Jeddah: Al-Haramain, 1974).
[19] M.M. Azami, Metodologi Kritik Hadis, Terj. A. Yamin,
(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), hal. 103.
[20] Endang Soetari, Log
Cit, hal. 141.
0 komentar:
Post a Comment