BAB I
PENDAHULUAN
Waris
adalah suatu ilmu yang diberikan untuk mengetahui bagaiamana cara menghitung,
mengatur dan mejaga harta waris dari orang mati kepada orang yang mendapatkan
waris agar bisa mendapatkan bagian masing-masing secara adil.
Ilmu
mawaris sangat penting diberikan di dunia pendidikan, karena dengan adanya ilmu
ini, kita bisa mengetahui bagian-bagian yang akan kita dapat berapa bagian yang
kita dapat. Maka daripada itu, disini penulis membuat makalah yang berjudul
tentang Kewajiban yang Menyangkut Harga Waris secara rignkas agar mudah untuk
dimengerti dan mudah untuk dipahami.
BAB II
PEMBAHASAN
KEWAJIBAN YANG MENYANGKUT HARTA WARIS
A. DEFINISI
WARIS
Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak
milik seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris.[1]
Dalam istilah lain, waris disebut juga dengan fara’idh, yang artinya bagian tertentu
yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya.[2]
Sedangkan menurut Suyadmi dalam Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia (tt) mengemukakan waris adalah orang yang berhak menerima pusaka.[3]
Dari definisi waris diatas, maka disini penulis
dapat menarik suatu kesimpulan bahwa yang dinamakan dengan waris adalah suatu pemberian
hak dari orang meninggal kepada orang yang hidup agar bisa dibagi bersama
secara adil.
B. DASAR
HUKUM WASIAT
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä äoy»pky öNä3ÏZ÷t/ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# tûüÏm Ïp§Ï¹uqø9$# Èb$uZøO$# #urs 5Aôtã öNä3ZÏiB ÷rr& Èb#tyz#uä ô`ÏB öNä.Îöxî ÷bÎ) óOçFRr& ÷Läêö/uÑ Îû ÇÚöF{$# Nä3÷Gt6»|¹r'sù èpt6ÅÁB ÏNöqyJø9$# 4 $yJßgtRqÝ¡Î;øtrB .`ÏB Ï÷èt/ Ío4qn=¢Á9$# Èb$yJÅ¡ø)ãsù «!$$Î/ ÈbÎ) óOçGö6s?ö$# w ÎtIô±tR ¾ÏmÎ/ $YYyJrO öqs9ur tb%x. #s 4n1öè% wur ÞOçFõ3tR noy»pky «!$# !$¯RÎ) #]Î) z`ÏJ©9 tûüÏJÏOFy$# ÇÊÉÏÈ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka
hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau
dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka
bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah
sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah,
jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah
Ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib
kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya
kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa". (Q.S.
Al-Maidah: 106).[4]
Mengenai
keberadaan wasiat, para ulama’ keberselisih pendapat dalam menetapkan sifat
hukum tuntutannya itu. Ibnu Hazm mengatakan bahwa hukum wasiat adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang yang akan
meninggal dunia dengan meninggalkan harta pusaka.
C. URUTAN
KEWAJIBAN YANG MENYANGKUT HARTA WARISAN
Menurut Jumhur Fuqaha, dan ketentuan yang termuat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Warisan Mesir dalam pasal 4, bahwa hak-hak yang
bersangkutan dengan harta peninggalan adalah sebagai berikut:
1.
Biaya
perawatan
Tajhiz
atau biaya perawatan yang dimaksud adalah biaya-biaya perawatan yang diperoleh
dari orang yang meninggal, dimulai sejak saat meninggalnya sampai dengan saat
penguburannya.
Jenazah
seseorang wajib dirawat, dikafani sebagainya sesuai dengan status sosial ekonominya,
dan tidak boleh berlebih-lebihan. Allah SWT. menekankan bahwa dalam membelanjakan harta benda sesuai
dengan kewajaran. Hal itu ditegaskan dalam Firmann-Nya yang berbunyi sebagai
berikut:
tûïÏ%©!$#ur !#sÎ) (#qà)xÿRr& öNs9 (#qèùÌó¡ç öNs9ur (#rçäIø)t tb%2ur ú÷üt/ Ï9ºs $YB#uqs% ÇÏÐÈ
Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S. Al-Furqon: 67).[5]
Perawat jenazah
harus dilakukan sejak seorang meninggal sampai dengan saat pemakamannya. Biaya
yang dibutuhkan untuk merawat jenazah terdiri atas biaya memandikan, mengafani,
dan memakamkan serta biaya yang lainnya. Besarnya biaya perawatan jenazah
disesuaikan dengan kondisi orang yang bersangkutan, baik sosial ekonominya
maupun jenis kelaminya.
Siapakah yang
harus menanggung biaya perawatan orang yang meninggal dunia yang tidak
mempunyai harta peninggalan sedikit pun, ulama berbeda pendapat.
Golongan Malikiyah berpendapat bahwa biaya
perawatan harus diambil dari baitul mal, karena keadaan seperti itu menjadi beban
kewajiban baitul mal.
Adapun golongan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya
tersebut harus dipikul oleh keluarga yang menjadi tenggungannya ketika dia
masih hidup. Kalau tidak mempunyai kerabat, diambilkan dari baitul mal, dan kalau dari baitul mal juga tidak
memungkinkan, biaya perawatannya diambil atau dibebankan kepada orang-orang
Islam yang kaya sebagai pemenuhan kewajiban fardhu
kifayah.
2.
Biaya
perawatan bagi kerabat yang menjadi tanggungannya
Menurut Ulama’
Syafi’iyah dan Imam Abu Yusuf, biaya perawatan bagi kerabat-kerabat yang fakir,
budak, dan istr, baik kaya maupun miskin yang masih menjadi tanggungan orang
yang meninggal, maka harus diambil dari hata kekayaanya, kalau orang-orang
tersebut mendahuluinya meninggal dunia atau dari harta peninggalannya kalau
mereka meninggal terkemudian.
Pendapat ini
adalah wajar, karena kerabat-kerabat tersebut menjadi tanggungan orang yang
meninggal ketika masih hidup untuk memberikan nafkah dan mencukupi kebutuhan
mereka.
3.
Pelunasan
Utang-Utang
Sebelum harta
peninggalan dibagikan kepada ahli waris, utang-utang si pewaris terlebih dahulu
harus dilunasi. Adapun tentang utang-utangnya terhadap Allah, yang tidak
mungkin dituntut manusia, seperti zakat, kafarat, dan utang nazar, menurut Imam
Abu Hanafiyah tidak harus dibayarkan dari harta peninggalan. Sebaliknya, menurut
jumhur ulama’ harus diambil dari harta peninggalan sebelum dibagikan kepada
ahli waris.
Dengan
memperhatikan keterangan tersebut, utang dapat diklasifikasikan menjadi dua
macam diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Utang
kepada Allah
b.
Utang
kepada sesama manusia.
4.
Melaksanakan
Wasiat
Setelah
menggunakan harta peninggalan orang yang meninggal untuk mengurus jenazah dan
membayar utang, langkah selanjutnya adalah untuk melaksanakan wasiat selama
tidak melebihi ketentuan syara’.
5.
Barang
yang diwasiatkan dan kadar wasiat
Fuqoha’ sepakat
bahwa barang yang diwasiatkan adalah barang pokoknya. Akan tetapi, mereka
berselisih pendapat tentang pewasiatan manfaat. Jumhur fuqaha’ membolehkannya,
tetapi Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, dan Fuqaha.
Tentang jumlah
harta diwasiatkan, ulama sepakat bahwa jumlahnya tidak boleh lebih dari
sepertiga harta. Namun, mereka berbeda pendapat tentang orang yang tidak
meninggalkan ahli waris, dan kadar barang wasiat yang utama, apakah sepertiga
atau kurang dari sepertiga.
D. CARA
PENYELESAIAN HARTA WARISAN
Sisa harta warisan setelah diambil untuk
menyelesaikan tiga hal yang berhubungan dengan orang yang meninggal,
selanjutnya adalah pembagian harta kepada ahli waris sesuai dengan
ketentuan-ketentuan syari’at, yaitu sebagai berikut:
1.
Mendahulukan
biaya periwayatan jenazah daripada utang
Biaya perawatan
jenazah itu harus didahulukan dari pada pelunasan utang-utangnya, sebelum harta
itu dibagikan kepada ahli warisnya.
2.
Mendahulukan
utang daripada pelunasan wasiat
Pelunasan utang
itu harus didahulukan daripada pelaksanaan wasiat sebagaimana dinyatakan dalam
hadist yang berarti “Nabi Muhammad SAW. memutuskan untuk melunasi utang sebelum melaksanakan
wasiat, sedangkan kamu sekalian mendahulukan sebelum melunasi utang.”
3.
Mendahulukan
wasiat daripada membaginya harta peninggalan kepada ahli waris
Wasiat itu harus
didahulukan daripada pembagian harta peninggalan kepada ahli waris. Andaikan
yang didahulukan membagikan harta peninggalan kepada ahli waris, tidak ada sisa
harta peninggalan sedikitpuon yang harus diterimakan kepada penerima wasiat.
Setelah semua
hak yang bersangkutan dengan harta pusaka tersebut dilaksanakan, harta
peninggalan yang da dibagikan kepada para ahli waris sesuai dengan tingkatannya
masing-masing, seperti yang telah disebutkan dalam bab terdahulu.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami
simpulkan bahwa Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik
seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris.
Dalam istilah
lain, waris disebut juga dengan fara’idh,
yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang
berhak menerimanya. Sedangkan menurut
Suyadmi dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (tt) mengemukakan waris adalah
orang yang berhak menerima pusaka.
Dari definisi waris diatas, maka disini penulis
dapat menarik suatu kesimpulan bahwa yang dinamakan dengan waris adalah suatu
pemberian hak dari orang meninggal kepada orang yang hidup agar bisa dibagi
bersama secara adil.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agam RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Al-Waah, 1989).
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, tt).
Suyadmi, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Magelang: CV. Tidar Ilmu, tt).
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indonesia, (Bandung:
Sumur Bandung, 1991).
[1] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indonesia, (Bandung: Sumur
Bandung, 1991), hal. 13.
[2] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia,
tt), hal. 13.
[3] Suyadmi, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Magelang:
CV. Tidar Ilmu, tt), hal. 549.
[4] Departemen Agam RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:
CV. Al-Waah, 1989), hal. 180.
[5] Departemen Agama, Op Cit, hal. 568.
0 komentar:
Post a Comment