BAB I
PENDAHULUAN


Al Hajru adalah larangan bagi seseorang untuk mengelola kekayaan karena masih kecil atau akalnya tidak sempurna. Allah melarang memberikan harta kepada para pemilik yang tidak mampu mengelola hartanya dengan baik. Seperti anak yatim yang belum baligh,  orang yang bodoh, dan lain sebagainya. Mata harta tersebut harus diserahkan kepada walinya yang sanggup mengelola harta tersebut dengan baik. Jika harta tersebut diserahkan kepara orang yang bodoh atau orang yang padir dikhawatirkan harta itu habis karena harta tersebut tidak dikelola dengan baik.
Agar tidak ada yang dirugikan atau merugikan orang lain, dengan demikian apabila ada anak kecil, orang gila, dungu dan pemboros, distatuskan dibawah pengampuan, maka hal ini semata-mata untuk menjaga kemaslahatan diri orang yang bersangkutan, agar segala kegiatan muamalahnya yang mereka lakukan tidak sampai ditipu oleh orang lain.
Dari latar belakang diatas, maka disini penulis akan menjelaskan makalah yang berjudul al-hajru, dimana akan dibahas secara mendalam agar mudah untuk dimengerti dan mudah untuk dipahami bersama guna mendapatkan pengetahuan yang luas tentang muamalah khususnya tentang materi al hajru.


BAB II
PEMBAHASAN
AL-HAJRU 


A.    DEFINISI AL-HAJRU
Al- Hajru berasal dari al-hajr, hujranan atau hajara. Secara bahasa  yaitu terlarang, terdinding, tercegah atau terhalang.[1] Al-hajru adalah sebuah bentuk pengekangan penggunaan harta dalam transaksi jual-beli atau yang lain pada sseorang yang bermasalah.[2]
Sedangkan menurut istilah/syara’ al-hajru dapat didefinisikan beberapa pengertian seperti dibawah ini:
1.      Menurut Muhammad As-Syarbini al-Khatib bahwa al-hajru ialah cegahan untuk pengelolaan harta.
2.      Menurut Idris Ahmad dalam bukunya Fiqh al-Syafi’iyah bahwa al-hajru adalah orang yang terlarang mengendalikan harta bendanya disebabkan oleh beberapa hal yang terdapat pada dirinya, yang mengeluarkan pengawasan.
3.      Menurut Sulaiman Rasyid bahwa mahjur (Al-Hajr) ialah melarang atau menahan seseorang dari membelanjakan hartanya, yang berhak melarangnya ialah wali atau hakim (qadhi).
Dari beberapa definisi di atas, maka disini pemakalah  dapat menarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan mahjur atau al-hajru ialah cegahan bagi seseorang untuk mengelola hartanya karena adanya hal-hal tertentu yang mengharuskan adanya pencegahan.
B.     DASAR HUKUM AL-HAJRU
Dasar hukum al-hajru atau mahjur yaitu sudah tertera didalam Al-Qur’an seperti dibawah ini:
1.      Al-Qur’an
Dalil al-hajru atau mahjur yang pertama tertera dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi:

.........
 
.........
 
bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4
Artinya: “.....Maka jika  orang yang berhutang itu adalah orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur....”. (Q.S. Al-Baqoroh:282).[3]

Dalil al-hajru atau mahjur yang kedua tertera dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 5 yang berbunyi:
Ÿwur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uŠÏ% öNèdqè%ãö$#ur $pkŽÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ

Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” (Q.S. An-Nisa’: 5).[4]

Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini bahwa Allah SWT. melarang memperkenankan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya melakukan tasharruf (penggunaan) harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka.[5]

2.      Al-Hadist
Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya Nabi SAW. menahan harta Muadz dan beliau jual harta itu untuk membayar utangnya”.
Dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah SAW. menetapkan Muadz bin Jabal sebagai orang yang terlilit hutang dan tidak mampu melunasinya (taflis/pailit).  Kemudian Rasulullah SAW. melunasi hutang Muadz bin Jabal dengan sisa hartanya. Tapi orang yang berpiutang tidak menerima seluruh pinjamannya maka dia pun melakukan protes kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW. berkata, “Tidak ada yang dapat diberikan kepada kamu selain itu” (HR Daruquthni & Al-Hakim).

Berdasarkan hadits tersebut, ulama fiqih telah sepakat menyatakan bahwa seorang hakim berhak menetapkan seseorang pailit karena tidak mampu membayar hutang-hutangnya. Dengan demikian secara hukum terhadap sisa hartanya dan dengan sisa hartanya itu hutang itu harus dilunasi.[6]

C.    PEMBAGIAN AL-HAJRU
Ditinjau dari sisi fungsinya,  Al-Hajru dibagi menjadi dua bagian diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Al-Hajru yang diterapkan untuk kemaslahatan orang yang dicegah menggunakan hartanya (محجور عليه) seperti al-hajru pada anak kecil, orang gila dan orang yang kurang akalnya.
2.      Al-Hajru yang diterapkan untuk kemaslahatan orang lain seperti al-hajru pada orang yang pailit, orang sakit parah, budak, murtad, dan orang yang menggadaikan.[7]


D.    TUJUAN AL-HAJRU
Ada beberapa tujuan mahjur atau yang sering dikenal dengan sebutan al-hajru diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Al-Hajru atau Mahjur dilakukan guna menjaga hak-hak orang lain seperti pencegahan terhadap:
a)      Orang yang utangnya lebih banyak daripada hartanya, orang ini dilarang mengelola harta guna menjaga hak-hak yang berpiutang.
b)      Orang yang sakit parah, dilarang berbelanja lebih dari sepertiga hartanya guna menjaga hak-hak ahli warisnya.
c)      Orang yang merungguhkan dilarang membelanjakan harta harta yang dirungguhkan.
d)     Murtad (orang yang keluar dari Islam) dilarang mengedarkan hartanya guna menjaga hak muslimin.
2.      Mahjur dilakukan untuk menjaga hak-hak orang yang dimahjur itu sendiri, seperti:
a)      Anak kecil dilarang membelanjakan hartanya hingga beranjak dewasa dan  sudah pandai mengelola dan mengendalikan harta.
b)      Orang gila dilarang mengelola hartanya sebelum dia sembuh, hal ini dilakukan juga untuk menjaga hak-haknya sendiri.
c)      Pemboros dilarang membelanjakan hartanya sebelum dia sadar, hal ini juga untuk menjaga hak terhadap hartanya ketika ia membutuhkan pembelanjaannya.[8]

E.     SEBAB-SEBAB AL-HAJRU
Orang-orang yang dicegah menggunakan hartanya menurut Syaikh Abu Suja’ ada 9 diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Anak kecil (الصبي)
Ia meskipun sudah tamyiz tidak sah melakukan transaksi jual beli, bersedekah, memberikan harta pada orang lain karena ucapannya tidak mu’tabar, ia juga tidak bisa menjadi wali nikah atau melakukan akad nikah sendiri meskipun atas persetujuan wali.
2.      Orang gila (المجنون)
Ia tidak diperbolehkan melakukan transaksi jual beli, bersedekah, menjadi wali, ibadahnya tidak sah begitu juga melakukan akad nikah meskipun atas persetujuan wali karena ucapan dan perwalianya tidak mu’tabar, namun ia diperkenankan memiliki kayu bakar dan hewan buruan yang diperolehnya.
3.      Orang yang kurang akalnya (السفيه)
Safih adalah orang bodoh yang menghambur-hamburkan hartanya tanpa kemanfaatan sedikitpun yang kembali pada dirinya baik kemanfaatan duniawi atau ukhrowi, ia tidak diperbolehkan menggunakan hartanya baik dalam rangka jual beli atau yang lain,ibadahnya sah begitu juga menunaikan zakat.
4.      Orang yang pailit (المفلس)
Muflis adalah orang yang pailit yang banyak terlilit hutang dan hartanya tidak cukup untuk melunasinya, ia tidak boleh menggunakan sisa hartanya tadi demi menjaga hak-hak dari orang-orang yang telah menghutanginya, larangan ini baru bisa berlaku setelah ada putusan hakim. Ia (muflis) sah melakukan transaksi jual beli, bila dilakukan secara tempo, ia juga boleh melakukan pernikahan dengan mahar yang ditempokan.
5.      Orang yang sakit parah
Orang yang sakit parah  dan orang yang berada dalam kondisi yang menghawatirkan seperti penumpang perahu saat diterpa angin yang sangat kencang atau diterpa ombak yang dahsyat itu tidak boleh menggunakan hartanya untuk sedekah, hibah, wasiat bila telah melebihi dari 1/3 hal ini di syari’atkan untuk kepentingan ahli waris, larangan ini tidak membutuhkan adanya putusan dari hakim, bila penggunaannya telah melebihi 1/3 hartanya maka kelebihannya tadi tergantung pada sikap ahli waris setelah ia meninggal, bila ahli waris rela maka sedekah, hibah dan wasiatnya sah.

6.      Budak yang tidak mendapat izin berdagang dari tuannya
Ia tidak boleh menggunakan harta tuannya tanpa izin, karna itu transaksi jual beli yang dilakukan tidak sah, apabila barang yang telah ia beli menjadi rusak, maka barang itu menjadi tanggungannya dalam arti ia dapat dituntut untuk melunasinya setelah merdeka.
7.       Orang yang menggadaikan
Ia tidak boleh menjual barang yang telah dijadikan jaminan tanpa seizin orang yang menerima gadai.hajr dalam hal ini tidak butuh putusan dari Qodli.
8.      Orang murtad
Ia tidak boleh melakukan transaksi saat murtad. Hal ini disyariatkan untuk menjaga haknya kaum muslimin,mengingat bila ia mati hartanya menjadi harta fai’, larangan tersebut menjadi tidak berlaku bila ia telah kembali masuk Islam.
9.      Wanita Bersuami
Seorang wanita yang mempunyai suami, berada dibawah pengawasan suaminya, baik dirinya sendiri, anak-anaknya, maupun harta bendanya. Oleh karena itu, wanita tidak berkuasa atau berwenang atas hartanya, kecuali harta-harta yang dikhususkan untuknya sendiri. [9]

F.     CEKAL  AL-HAJRU
Ulama fikih berpendapat bahwa di samping orang-orang yang telah disebutkan di atas yang dikenakan status hukum di bawah pengampunan, maka dapat juga dikenakan hukum di bawah pengampunan (cekal) bagi orang-orang yang mengganggu dan merugikan umat:
1.      Tabib yang tidak memenuhi rujukan baku dalam memberikan obat dan diagnotis yang keliru terhadap pasien
2.      Mufti yang sering mengeluarkan fatwa yang menyesatkan dan membingungkan umat
3.      Arsitek bangunan yang sering meleset dalam membuat perencanaan dan perhitungan
4.      Para amir yang menyalah gunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan merugikan umat.
Menurut madzhab Hanafi penentuan penetapan status pengampunan ini harus berdasarkan penetapan hakim. Namun status pengampunan terhadap mereka ini tidak bersifat permanen bergantung kepada kesadaran orang yang bersangkutan, cepat berubah atau tidak.[10]

G.    STATUS PENGAMPUNAN BERAKHIR
Ada beberapa Status pengampunan (al-hajr) dapat berakhir apabila:
1.      Anak kecil sudah baligh & berakal
2.      Orang bodoh/dungu sudah menjadi cerdas/sadar
3.      Pemboros sudah mulai hemat
4.      Orang gila sudah menjadi waras
5.      Orang yang sakit kritis sudah sembuh kembali.
Khusus bagi orang yang pailit, dia baru bebas dari status hukum pengampunan setelah dia lunasi hutang-hutangnya. Hendaknya diingat bahwa apabila al-Hajr (pengampunan) ditentukan berdasarkan penetapan qadhi (hakim) maka pencabutannya juga harus demikian supaya mempunyai kekuatan hukum. Apabila pengampunan itu berada di bawah kekuasaan wali maka wali-lah yang dapat mempertimbangkannya.
Selanjutnya mengenai pencekalan yang disebutkan di atas seperti dokter dan seterusnya, pencabutannya juga harus berdasarkan penetapan dari qadhi dengan berbagai pertimbangan yang tentu saja tidak sama antara satu orang dengan orang lainnya.[11]

H.    HIKMAH AL-HAJRU
Apabila seseorang dinyatakan dibawah pengampuan wali atau hakim, tidaklah berarti  hak asasinya dibatasi dan pelecehan  terhadap kehormatan dirinya sebagai manusia. Tetapi pengampuan itu diberlakukan syara’ untuk menunjukan, bahwa syara’  itu benar-benar memperdulikan orang-orang seperti itu, terutama soal mu’amalah, syara’ menginginkan agar tidak ada pihak yang dirugikan atau merugikan orang lain.[12]
Dengan demikian, apabila ada anak kecil, orang gila, dungu dan pemboros, di statuskan dibawah pengampuan, maka hal itu semata-mata untuk menjaga kemaslahatan diri orang yang bersangkutan, agar segala kegiatan mu’amalah yang mereka lakukan tidak sampai ditipu oleh orang lain.
Demikian juga halnya orang yang jatuh pailit dan orang yang sakit berat, tidak dibenarkan bertindak secara hukum yang bersifat pemindahan hak milik, agar orang lain tidak dirugikan yang masih berhak atas hartanya. Khusus bagi orang yang sakit keras dikhawatirkan, bahwa pemindahan hak kepada orang lain akan merugikan ahli waris, sedangkan masa depan anak cucunya harus di perhatikan sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa’ yang berbunyi sebagai berikut:
|·÷uø9ur šúïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz Zp­ƒÍhèŒ $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøŠn=tæ (#qà)­Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´ƒÏy ÇÒÈ

Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S. An-Nisa’: 9).[13]




BAB III
KESIMPULAN


Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa   Mahjur berasal dari al-hajr, hujranan atau hajara. Secara bahasa mahjur adalah al-man’u yaitu terlarang, terdinding, tercegah atau terhalang. Hajr adalah sebuah bentuk pengekangan penggunaan harta dalam transaksi jual-beli atau yang lain pada sseorang yang bermasalah.
Tujuan mahjur / al-rahju adalah mahjur dilakukan guna menjaga hak-hak orang lain dan mahjur dilakukan untuk menjaga hak-hak orang yang di mahjur itu sendiri. Sebab-Sebab Mahjur adalah anak kecil, orang gila, Orang yang kurang akalnya, sedang sakit keras, hamba, sedang digaadai, murtad, jatuh bangkrut, wanita bersuami.
Status pengampunan (al-hajr) berakhir apabila Anak kecil sudah baligh & berakal, Orang bodoh/dungu sudah menjadi cerdas/sadar, Pemboros sudah mulai hemat, Orang gila sudah menjadi waras, Orang yang sakit kritis sudah sembuh kembali, Khusus bagi orang yang pailit, dia baru bebas dari status hukum pengampunan setelah dia lunasi hutang-hutangnya.



DAFTAR PUSTAKA


Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Al-Waah, 1989).

Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011).

Muhammad Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqih Muamala), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004).

Pasar Islam, Pembagian Al-Hajru, dikutip melalui: http://pasar-Islam.blogspot.com/2010/10/bab-14-mahjur-terhalang.html, diakses pada tanggal 02 April 2014.




[1] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 221.
[2] Ibid.
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Al-Waah, 1989), hal. 70.
[4] Ibid, hal. 114.
[5] Hendi Suhendi, Op Cit, hal. 223.
[6] Hendi Suhendi, Op Cit, hal. 223-224.
[7] Pasar Islam, Pembagian Al-Hajru, dikutip melalui: http://pasar-islam.blogspot.com/2010/10/bab-14-mahjur-terhalang.html, diakses pada tanggal 02 April 2014.
[8] Hendi Suhendi, Op Cit, hal. 224-225.
[9] Hendi Suhendi, Op Cit, hal. 235-268.
[10] Hendi Suhendi, Log Cit, hal. 270.
[11] Pasar Islam, Status Pengampuan Berakhir, diakses melalui situs: http://pasar-islam.blogspot.com/2010/10/bab-14-mahjur-terhalang.html, diakses pada tanggal 02 April 2014.
[12] Muhammad Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqih Muamala), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 290.
[13] Departemen Agama RI, Op Cit, hal. 116.

0 komentar:

 
Top