BAB I
PENDAHULUAN
Nahdhatul Ulama (NU) adalah sebuah gejala yang unik, bukan
hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia Muslim. Ia adalah sebuah
organisasi ulaa tradisional yang mempunyai pengikut yang banyak jumlahnya,
organisasi non pemerintahan ini yang palingbesar yang masih bertahan dan
melingkar dilakangan bawah . ia mewakili paling tidak dua puluh juta Muslim,
yang meski tidak seluruh resmi menjadi anggota, akan tetapi merasa terikat
kepadanya melalui kesetiaan-kesetiaan primordial.
Di sebuah daerah yang dilanda kecenderungan kuat kearah
pemusatan, NU merupakan organisasi paling signifikan yang sangat
terdesentralisasi. Berbicara tentang NU artinyamembicarakan suatu organisasi
sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Visi dan misi serta perjuangan NU baik
sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan RI telah memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap RI ini. Sehingga tidak heran warga NU, menjadi basis
perebutan bagi partai-partai politik yang ada di Indonesia, setelah NU kembali
perjuangan semula atau kembali ke khittah 1926. ini.
BAB II
PEMBAHASAN
LATAR BELAKANG PERUBAHAN NU DARI
ORGANISASI SOSIAL KEAGAMAAN MENJADI PARTAI POLITIK
A. LATAR
BELAKANG LAHIRNYA NU
Seringkali dinyatakan
bahwa NU dilahirkan oleh kiai tradisonal yang menyangsikan posisi mereka
terancam dengan munculnya Islam reformis yaitu pengaruhMuhammadiyah dan serikat
Islam yang semakin luas, demikian menurut pendapat ini, telah memarginasikan
kiai, yang sebelumnya merupakan satu-satunya pemimpin serta juru bicara
komunitas muslim, dan ajaran kaum pembaharu sangat melemahkan legitimasi
mereka.[1]
Kelahiran NU melalui
suatu proses yang sangat panjang sebelumnya. Bermula dari munculnya gerakan
nasionalisme yang ditandai dengan berdirinya Serikat Islam (SI) telah mencetak
beberapa pemuda alumni pesantren yang bermukim di Makkah untuk mendirikan cabang
perhimpunan itu di sana. Sebelum sempat berkembang mereka segera kembali ke
tanah air karena pecah perang dunia ke-II. Namun rencana mereka masih tetap
melanjutkan setelah mereka menetap di tanah air. Mereka mendirikan Nahdatul
Wathan (1914), Taswir al-Askar (1918). Setelah itu di Surabaya didirikan
penghimpunan local yang serupa antara lain adalah Perikatan Wataniyah Ta’mir
al-Masajid dan Atta’dibiyah.[2]
Ketegangan dalam kongres
al-Islam sepanjang paruh pertama tahun dua puluhan dan berlanjut dalam sidang-sidang
Komite Khilafat, telah mendorong penghimpunan lokal di Surabaya itu turut serta
mendirikan organisasi baru yang luas dan berskala nasional. Mereka menilai
perhimpunan-perhimpunan umat Islam yang ada maupun kongres al-Islam sendiri
tidak bersikap akomodatif terhadap visi yang mereka coba kembangkan. Kemudian
ketegangan tersebut berlanjut setelah delegasi yang dikirim ke kongres Makkah
pada tahun 1926 ternyata mengabaikan kepentingan-kepentingan yang mereka
kembangkan. Mereka kemudian mengirimkan delegasi sendiri sendiri ke Makkah.
Untuk kepentingan itu mereka mendirikan perhimpunan baru NU.[3]
Namun peristiwa itu
hanyalah lintasan proses sejarah dari suatu pergumulan sosial cultural yang
panjang. Lembaga pendidikan pesantren yang dikembangkan para ulama telah
merintis arah dengan visi keagamaan yang kuat. Jika kemudian mereka membentuk
ikatan sosial yang lebih formal, tujuan pokoknya adalah seperti lembaga
pesantren itu, yaitu ingin menegakkan kalimah Allah. Visi ini kemudian
dikemangkan dengan rumusan yang lebih operasional yang disebut jihad fi
sabilillah.[4]
Dengan demikian dapat
dismpulkan bahwa motif utama yang mendasari gerakan para ulama membentuk NU
adalah motif keagamaan sebagai Jihad fi sabilillah. Kedua adalah tanggung jawab
mengembangkan pemikiran keagamaan yang ditandai dengan pelestarian ajaran
mazhab Syafi’i. Ini berarti tidak statis, tidak berkembang, sebab pengembang
yang dilakukan berfokus pada kesejahteraan sehingga pemikiran yang dikembangkan
itu memiliki konteks sejarah. Ketiga, dorongan untuk mengembangkan masyarakat
melalui kegiatan pendidikan sosial dan ekonomi. Hal ini ditandai dengan
pembentukan nahdlatul Watahn, Taswir al-Afkar, Nahdlatul Tujjar, dan Ta’mir
al-Masajid sedangkan yang keempat adalah motif politik yang ditandai dengan
semangat nasionalisme ketika pendiri NU itu mendirikan cabang SI di Makkah
serta obsesi hari depan tanah air merdeka bagi umat Islam.
Selain latar belakang di
atas, sumber lain mengatakan kelahiran NU sebagai reaksi atas pembaharuan
pemikiran Islam di Jawa, dengan sebab ini berdirlah NU pada tahun 1926. adapun
sebab-sebab berdirinya organisasi ini sekurang-kurangnya ada dua,8 yaitu:
pertama, seruan terhadap penguasa Arab Saudi, Ibnu Saud, untuk meninggalkan
kebiasaan beragama menurut tradisi. Golongan tradisi ini tidak menyukai
Wahabisme yang sedang berkembang di Hijaz, karena itu mereka membentuk komite
Hijaz yang kemudian berubah menjadi Nahdlatul Ulama dalam sebuah rapat di
Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926.
B. PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN NU
Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada
tanggal 31 Januari 1926 oleh K.H. Hasyim Asy’aridi
Surabaya.Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan
pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Dalam Anggaran Dasarnya
yang pertama (1927), dinyatakan bahwa NU bertujuan untuk memperkuat
kesetiaan kaum muslimin pada salah satu madzhab empat.
Dengan landasan keagamaan
tradisionalis yang dikembangkan, NU mampu bertanah hingga tujuh puluh
tahun.Sejak berdiri hingga eksis sekarang ini, NU mengalami dinamika sejarah
sesuai dengan situasi dan transformasi masyarakat.Seorang pengamat NU dari
Australia, Greg Barton dan Greg Fealy mengklarifikasi sejarah perjalanan NU
dalam tiga periode.
Pertama, periode awal sebagai organisasi keagamaan, sebagaimana
organisasi keagamaan lainnya seperti Muhammadiyah, Persis dan Perti.NU
didirikan sebagai jam’iyyah diniyah (organisasi keagamaan) yang mempunyai misi
mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan, pendidikan, ekonomi dan sosial.
Periode pertengahan, yakni ketika NU sebagai organisasi keagamaan, berubah
fungsi menjadi sebuah partai politik atau menjadi unsur formal dalam sebuah
partai. Era ini dimulai sejak tahun 1930, yakni ketika NU bersama ormas lain
mengadakan demo atas represi yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial. Setelah
Indonesia merdeka, NU beraliansi dengan Masyumi menjadi partai politik sebagai
wahana artikulasi politik umat Islam.Karena itu NU keluar dari Masyumi dan
berdiri sendiri sebagai partai politik sampai pada akhirnya tahun 1971 fusi menjadi
Partai Persatuan Pembangunan.Di PPP pun, NU tidak dapat berbuat banyak bagi
kepentingan bangsa dan negara.Sebagai akumulasi dari kehampaan dalam dunia
politik, NU kembali ke khittah 1926.
Periode ketiga, NU kembali pada aktivitas sosial keagamaan.Periode ini
sebagai tonggak sejarah baru NU dalam berkhidmat kepada bangsa dan Negara.[5]
C. PEMIKIRAN
DAN GERAKAN POLITIK NU
Sejak pertama NU telah dihinggapi
sebuah mitos politik. Para tokoh yang membidani kelahiran NU telah dibayangi
sebuah obsesi tentang hari depan Indonesia yang merdeka. Ketika mereka
mendirikan cabang SI di Makkah awal tahun belasan dan kemudian merintis beberapa
organisasi sosial pendidikan dan usaha koperasi telah memperlihatkan kearah
masa depan sebuah negeri yang merdeka, sebuah Negeri yang umat Islamnya bebas
melaksanakan syari’at agamanya.
Politikk NU lebih kelihatan lagi
dengan terbentuknya MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) pada tanggal 21
September 1937.[6]
Keterlibatan NU dalam MIAI membawa perubahan orientasi para pemimpin NU dari
masalah-masalah keagamaan dan sosial ke politik. Kendatipun sebagaian besar
kegiatan MIAI sejak berdiri sampai dengan berdirinya Masyumi pada tahun 1943
diwarnai agenda masalah keagamaan terbukti dengan keputusan-keputusan kongres
yang diselenggarakan umumnya mengenai masalah keagamaan, namun suhu politik
yang semakin memanas menjelang kemerdekaan sedikit banyak mendorong tokoh-tokoh
NU ikut berperan.
Konsep politik dalam Islam sangat
erat kaitannya dengan hukum, sebab salah satu yang penting dalam Islam
mengharuskan adanya lembaga kekuasaan untuk menjalankan hukum itu. Atas dasar
tersebut maka orientasi NU untuk memperjuangkan berlakunya hukum Islam di tanah
air tidak bisa dilepaskan dengan lembaga kekuasaan politik, sebab dengan
lembaga itu hukum Islam lebih dimungkinkan dapat difungsikan. Memang diakui ada
elemen-elemen syari’at Islam yang tidak memerlukan perangkat lembaga kekuasaan
politik,tetapi ada juga elemen-elemen yang mengharuskan lembaga kekuasaan
politik.
Tentu saja dalam hal ini pada
umumnya para pemuka Islam kemungkinan besar berpendapat sama, perbedaannya yang
terletak pada elemen mana saja yang perlu dilembagakan dan mana yang tidak. SI misalnya
sebelum perang pendapat soal perkawinan tidak perlu di atur oleh negara.[7]
Terhadap hal yang kedua inilah , elemen syari’ah yang perlu dilembagakan, maka
arah perjuangan NU terjun ke dalam dunia politik. Dari konsep perlunya hukum
Islam dilembagakan dalam sistem sosial politik, maka slanjutnya NU terus
memperjuangkan terciptanya lembaga politik itu.
Pada masa Orde Baru, NU
memperlihatkan dinamika sosial politik yang agak berlainan dengan masa
sebelumnya. Dalam pemilu 1971 NU berhasil menduduki posisi kedua dibawah Golkar
dan di atas Parmusi. Berdasarkan kebijakan Orde Baru, melakukan deparpolisasi
dalam rangka pembentukan system kepartaian yang hegemonik. Setelah pemilu 1971
terjadilah fusi partai. NU bersama PSII, Perti, dan Parmusi yang kemudian berubah
nama menjadi Muslimin Indonesia atau MI, pada tanggal 5 Oktober 1973 bersatu
dengan Partai Persatuan Pembangunan.[8]
Peristiwa dan kegiatan politik
dianggap bagian integral dalam agama. Prilaku politik NU, apakah akomodatif
atau radikal, diberikan pembenaran dalam agama, yaitu keabsahannya dimata hukum
fiqih, inilah yang disebut dengan sub kultural NU. Konsekwensinta dengan
prilaku politik NU diamati pula dengan pendekatan kultural.
Sebab NU lahir sebagai sebuah
paguyuban dengan sub kultural tersendiri. Sub kultural ini lahir dari
sosialisasi ajaran-ajaran doktrin yang mereka yakini, pengalaman sejarahnya,
dan pergumulan dengan sosio politik di sekitarnya.
Namun pada masa reformasi, yaitu
setelah Orde Baru tumbang, NU turut membidani beberapa partai politik Islam,
misalnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nahdlatul Ummat (PNU), dan
Partai Kebangkitan Ummat (PKU).
Ditinjau dari segi perilaku politik
selama ini, banyak pengamat menilai NU bersikap akomodatif dengan penguasa.
Yang menjadi argumentasi adalah karena berubah-ubahnya sikap NU. Para pengamat
politikpun tidak pernah menemukan titik temu dalam menganalisa prilaku politik
NU. Mengapa hal ini bisa terjadi? Menurut K.H.Abdurrahman Wahid (Gusdur), para
pengamat NU hanya menyoroti salah satu atau dua aspek. Akibatnya mereka
terjerumus pada aspek-aspek yang diutamakan dan tidak mengabaikan aspek-aspek
lain yang sama pentingnya.[9]
Gerakan politik NU mencapai
puncaknya ketika Abdurrahman Wahid (Gusdur), ketua NU, terpilih jadi orang
nomor satu ditanah air ini masa bakti 1999-2004, mengalahkan rifalnya Megawati
Sukarno Putri, ketua PDIP, yang merupakan partai pemenang pemilu 1999, yang
semesti layak menjadi presiden secara demokratis, tetapi Megawati tidak
terpilih akibat upaya politikus muslim di MPR. Yang merasa tidak menyukai bila
presidennya wanita, bahkan tidak memiliki kredibilitas. Hanya saja NU menjadi
bahan pembicaraan, bahkan embel-embel kiyai/ulama, serta perannya mulai
dipertanyakan, ketika Gusdur dilengserkan dengan berbagai tuduhan yang dialamatkan
kepadanya. Hal ini karena Gusdur simbol ulama NU yang kharismatik. Ini pukulan
berat bagi NU secara khusus dan umat Islam Indonesia pada umumnya.
Dengan demikian perjalanan politik
dari dulu sampai sekarang. NU mulai menyadari berbagai perjuangan di masa lalu,
untuk itu sepertinya NU ingin membangun kembali kesadaran umatnya untuk menatap
masa depan yang lebih baik.
Oleh karena itu NU, memberikan kebebasan
kepada para warganya untuk membentuk dan memasuki partai politik yang praktis,
namun secara lembaga NU tidak lagi memasuki wilayah politik praktis, kendatipun
beberapa partai politik yang ada identiknya dengan NU, seperti PKB, PKU, PPNU
dan lainnya.
D. NU
KEMBALI KE KHITTOH 1926
Awal mulanya, gagasan untuk
merumuskan pokok-pokok pikiran pembinaan dan pengembangan NU yang selaras
dengan khittah NU 1926 itu muncul dari beberapa warga NU yang merasa prihatin
terhadap perkembangan NU. Dalam berbagai percakapan yang mereka lakukan sejak
akhir 1970-an, mulai terlihat "sebab musabab" mundurnya NU hampir di
semua lini perjuangannya.
Begitu banyak hal-hal yang sudah
tercapai terbengkalai. Yang di tangan terlepas sementara tangannya seolah
menggapai-gapai hendak mencari sesuatu yang bukan capaian pokok, bila dilihat
dari tujuan dilahirkannya NU.
Masalah yang dirasakan oleh
beberapa warga NU itu ternyata juga menjadi pikiran banyak warga NU lainnya.
Baik yang bermukim di Jakarta, maupun di daerah-daerah. Baik lapisan pimpinan
maupun warga NU biasa. Di antara mereka itulah yang pada tanggal 12 Mei 1983 berkumpul di Jakarta.
Karena jumlah mereka 24 orang lalu
disebut "Majelis 24". Mereka berpikir, berdiskusi dan akhirnya
memutuskan membentuk satu tim yang ditugasi merumuskan konsep pembenahan dan
pengembangan NU yang sesuai dengan khittah NU 1926; ditugasi merumuskan pola
kepemimpinan NU yang sesuai dengan perkembangan NU serta menetapkan garapan
yang hendak diterjuni.[10]
Karena tim terdiri dari 7 orang,
maka disepakati bernama Tim Tujuh untuk Pemulihan Khittah NU 1926. Tim diketuai
Abdurrahman Wahid.Salah seorang aktivis utamanya
Fahmi Saifuddin. Tim diberi waktu 5 bulan untuk menuntaskan amanah yang
diberikan oleh "Majelis 24". Tim segera bekerja dengan mengembangkan
komunikasi seluas-luasnya untuk memperoleh sebanyak-banyaknya masukan.
Melalui surat menyurat, melalui
berbagai pertemuan dengan tokoh-tokoh teras NU yang pengurus maupun bukan,
melalui diskusi-diskusi dengan beberapa lapisan warga NU serta melalui media
yang diterbitkan tim "Jurnal Khittah". Eksponen-eksponen NU yang
memperoleh bahan-bahan dari tim berupa catatan dari pertemuan "Majelis
24" serta "Jurnal Khittah" atau menerima surat-surat yang
dikirim tim, memberikan tanggapan dengan penuh gairah dan menggembirakan
Kondisi NU waktu itu Sebagai organisasi sosial keagamaan perkembangan NU ketika
itu memperlihatkan dua ciri yang menonjol.
Pertama, secara kultural amal-amal
keagamaan yang dipegangi NU terus dilakukan dengan penuh gairah. Jamaah NU
menjadi kelompok-kelompok yang mempunyai karakteristik tersendiri, yang pada
gilirannya sering terbukti muncul sebagai kekuatan sosial yang tangguh. Bahkan
secara politis NU diakui banyak pengamat sebagai kekuatan yang tak tergoyahkan
dari pemilu ke pemilu.
Kedua, NU hampir-hampir tidak memiliki
kegiatan kreatif yang sesuai dengan tuntutan zaman dan tuntutan kebutuhan warga
NU sendiri. Dari tahun ke tahun kegiatan NU begitu-begitu saja. Memang,
kelumintuan, kontinuitas dari kegiatan yang selama itu dilakukan memberi
manfaat untuk memelihara perasaan betah bagi warganya. Namun secara tidak disadari menjadi terjebak pada sikap kurang
peka dalam menanggapi perkembangan keadaan. Salah satu sumber sebabnya adalah
perhatian dan tekanan yang berlebihan pada bidang sosial politik.Bahkan setelah
NU memfusikan kegiatan politik praktisnya kepada PPP tahun 1973.
Akibatnya, NU tertinggal jauh
dalam beramal nyata. NU tampak berpenampilan semu, menyahuti segala aneka isu
dan berhenti sampai pada slogan dan pernyataan. Kondisi seperti tersebut di atas tidak sesuai dengan maksud
kelahiran NU. Jam'iyah ini didirikan dengan keinginan yang jelas untuk
melakukan khidmah nyata. "Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama Tahun
1926" mencantumkan keinginan untuk menghimpun para ulama yang berhaluan
ahlussunnah wal jamaah untuk bersama-sama melakukan ikhtiar nyata seperti
melakukan penelitian dan pengadaan literatur-literatur keagamaan, menyantuni
fakir miskin, mengembangkan kemampuan perdagangan dan niaga ummat Islam dan lain-lain. Menghadapi berbagai hal, NU juga melakukan
tindakan nyata seperti ketika akan dilakukannya pengekangan pendidikan agama di
zaman kolonial.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami
simpulkan bahwa Gerakan
politik NU mencapai puncaknya ketika Abdurrahman Wahid (Gusdur), ketua NU,
terpilih jadi orang nomor satu ditanah air ini masa bakti 1999-2004,
mengalahkan rifalnya Megawati Sukarno Putri, ketua PDIP, yang merupakan partai
pemenang pemilu 1999, yang semesti layak menjadi presiden secara demokratis,
tetapi Megawati tidak terpilih akibat upaya politikus muslim di MPR.
Yang merasa tidak menyukai bila
presidennya wanita, bahkan tidak memiliki kredibilitas. Hanya saja NU menjadi
bahan pembicaraan, bahkan embel-embel kiyai/ulama, serta perannya mulai
dipertanyakan, ketika Gusdur dilengserkan dengan berbagai tuduhan yang
dialamatkan kepadanya. Hal ini karena Gusdur simbol ulama NU yang kharismatik.
Ini pukulan berat bagi NU secara khusus dan umat Islam Indonesia pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Atjeh (Ed), Sejarah
Hidup K.H.A.Wachid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku
Peringatan, 1957).
Abuddin
Nata, Teologi Islam, (Jakarta:
Raja
Grafindo Persada, 1997).
Martin Van Bruinessen, NU
Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKS, 1994).
Mohammad Sobary, NU dan Keindonesiaan, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2010).
M.Ali Haidar, Nhdlatul Ulama
dan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Gramedia Utama, 1994).
[1] Martin Van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian
Wacana Baru, (Yogyakarta: LKS, 1994), hal. 26.
[3] Ibid.
[4] Ibid, hal. 315.
[5] Mohammad Sobary, NU dan Keindonesiaan, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2010), hal. 226.
[6] Abu Bakar Atjeh (Ed), Sejarah Hidup K.H.A.Wachid Hasyim dan
Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan, 1957), hal. 311.
[7] Ibid, hal. 335.
[9] Abdurrahman Wahid, Nahdlatul
Ulama dan Islam di Indonesia dewasa ini, (Prisma no 4 April 1984) , hal.30-33.
Menurut Gusdur, ada empat hal yang saling
berkaita yang harus dilihat dalam mengamati NU, yaitu (1) Tradisi Keilmuagamaan
Ahlussunnah Wal-Jama’ah (2)Pandangan kemasyarakatan yang dimilikinya (3) Cara
pengambilan keputusan umum dan (4) Proses rekonsialisasi internal jika timbul
perbedaan tajam.
0 komentar:
Post a Comment