BAB I
PENDAHULUAN
Mayoritas ulama hadits, ushul dan
fiqih sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadits
harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Olabit), serta memiliki
integritas keagamaan yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas sifat adil
dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu
karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan
hal – hal yang postif atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan
mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.
Semetara itu untuk mencapai tingkat adalah
seseorang harus memenuhi empat syarat yaitu: a. Islam,
b. Baligh, c. Berakal, d. Takwa. Maka daripada itu, disini penulis akan
membahas makalah yang berjudul tentang Syarat-syarat seorang perawi dan proses
transformasinya dengan lengkap agar mudah dimengerti dan mudah untuk dipahami
bersama guna menambah pengetahuan kita bersama.
BAB II
PEMBAHASAN
SYARAT-SYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSFORMASI
A. DEFINISI
RAWI
Menurut ilmu hadits Rawi adalah
“orang yang meriwayatkan hadits”. Salah satu cabang dari penelitian hadits
adalah penelitian terhadap rawi hadits. Baik menyangkut sisi positif maupun
sisi negetif perawi. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu Jarh dan Ta’dil. Ilmu
ini membahas tentang kondisi perawi. Apakah dapat dipercaya, handal, jujur,
adil, dan tergas atau sebaliknya[1].
Seorang rawi yang adil harus
memiliki karakteristik moral baik, muslim, telah baligh, berakal sehat,
terbebas dari kefasikan dan hal – hal yang menyebabkan harga dirinya jatuh dai
ia meriwayatkan hadits dalam keadaan sadar.[2]
Karakter yang terdapat dalam diri
seorang rawi, mendorongnya agar selalu melakukan hal – hal postif atau rawi
selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap
agamanya. Maka dari itu rawi di tuntut mengetahui atau menguasai isi kitabnya.
Jika meriwayatkan haditsnya dari kitab dan juga ia harus mengetahui hal – hal
yang dapat menggangu makna hadits yang diriwayatkan.[3]
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
dapat atau tidak diterimanya suatu hadits ialah kualitas raawii. Tinggi
rendahnya sifat adil dan dabith para perawi menyebabkan kuat lemahnya martabat
suatu hadits. Perbedaan cara para perawi menerim hadits dari guru mereka masing-masing mengakibatkan
munculnnya perbedaan lafadz-lafadz yang dipakai dalam periwayatan hadits. Karna
perbedaan lafadz yang dipakai dalam pennyampaian hadits menyebabkan perbedaan
nilai (kualitas) dari suatu hadits.[4]
Sehubungan dengan itu, penelitian
dibidang raawii sangat penting dalam upaya menentukan kualitas suatu hadits.
Suatu berita dianggap kuat keasliannya kalau pembawa berita memiliki
persyaratan kejujuran dan kemampuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Karena
perawi harus mendapat sorotan tajam sehingga lahirlah sebuah cabang ilmu hadits
yang terkenal,yaitu ilmu jarh wa al ta’dil. Untuk melihat sejauh mana kualitas
seorang perawi dapat dilihat melalui jarh dan ta’dil.[5]
B. SYARAT-SYARAT
SEORANG PERAWI
Ada beberapa syarat yang harus ada didalam seorang
perawi diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Benar–benar memiliki pengetahuan
bahasa arab yang mendalam. Diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu Nahwu,
sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lapadz dan maksudnya, memahami perbedaan
–perbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat.
2. Perawi dalam kondisi terpaksa. Lupa
susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits tersebut sangat diperlukan. Hal
ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits, atau enggan meriwayatkan
hadits dengan alasan lupa lapadznya sementara nilai pokok (hukum) yang
terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat Islam.
3. Perawi harus menyertakan kalimat –
kalimat yang menunjukkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dengan periwayatan
makna seperti terungkap pada kalimat – kalimat “Ad kama kola”.Menurut
periwayatan hadits dengan cara bi al makna (Makna) di perbolehkan apabila lapdz
– lapadz hadits tersebut lupa. Periwayatan itu tidak merusak maksud, sehingga
terpelihara dari kesalahan periwayata. Tetapi cara ini hanya akan berlaku pada
zaman sahabat yang langsung mereportase prilaku Nabi.
4. Kebolehan periwayatan hadits dengan
makna terbatas, pada masa sebelum di bukukan hadits nabi secara resmi. Sesudah
masa pembukuan (tadwin) hadits. Harus dengan lapadz. Kedudukan boleh
tidaknya meriwayatkan hadits denan makna, sejak sahabatpun sudah
controversial, namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya. Tetapi, sebenarnya
mereka yang berpegang teguh pada periwayatan dengan lapadz tidak melarang secara
tegas sahabat lain dalam meriwayatkan hadits dengan makna.[6]
C. TAHAMMUL
WAL AD DAN SHIGHAT-SHIGHATNYA
Tahammul wal – ad adalah “mengambil
atau menerima“ hadits dari salah seorang guru dengan salah satu cara tertentu
dan proses mengajarkannya (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada
muridnya. Cara menerima hadits ada delapan cara:
1.
Mendengar (Al Sama’)
Yaitu mendengarkan langsung dari guru. Sima’ mencakup imlak
(pendekatan) dan tahdits (narasi atau memberi informasi) menurut ahli hadits. Simak
merupakan shigat riwayat yang paling tinggi dan paling kuat. Sorang rawi di
perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya (seorang guru meriwayatkan
hadits ini kepada kami)
2.
Membaca (Al Qira’ah)
Yaitu sipembaca menyuguhkan haditsnya kehadapan gurunya
dalam periwayatannya, bisa kita sendiri yang membacakan haditsnya pada seorang
guru atau orang lain membacakan dan kita mendengarkan dengan baik. Seorang rawi
di perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya. (aku bacakan hadits ini
kepada fulan)
3.
Ijazah (Al Ijazah)
Yaitu memberikan izin dari seseorang kepada orang lain.
Pemberian izin oleh seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan sebuah
hadits tanpa membaca hadits tersebut satu persatu. Ijazah ini dapat dilakukan
dengan cara lisan bisa juga dengan cara tertulis “aku berikan ijazah (lisensi)
padamu untuk meriwayatkan seluruh hadits yang terdapat dalam kitab shahih Al
Bukhari”
4.
Memberi (Munawalah)
Yaitu guru memberikan naskah asli kepada muridnya. Munawalah
terbagi dua : “pertama”, munawalah disertai dengan ijazah, “Kedua”, munawalah
yang tidak disertai ijazah. “seorang telah memberitahukan kepadaku”.
5.
Menulis (Al Kitabah)
Yaitu guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis
beberapa hadits kepada orang di tempat lain. Kata – kata yang di pakai
“seseorang telah bercerita kepadaku dengan surat menyurat”.
6.
Pemberitahuan (I’lam)
Yaitu seorang guru hadits menerima hadits tersebut dari guru
hadits sebelum tanpa ada perkataan atau suruhan untuk meriwayatkan, kemudian
ini ia sampaikan kepada muridnya. “seseorang telah memberitahukan kepadaku,
ujarnya telah berkata kepadaku”.
7.
Wasiat (Al Wasiyah)
Yaitu periwayat hadits mewasiatkan kitab hadits yang
diriwayatkan kepada orang lain. Waktu berlakunya di tentukan oleh orang yang
memberi wasiat. Demikian pula dengan bimbingan dan kewenangannya. “seseorang
telah berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab yang berkata dalam kitab itu
“telah bercerita kepadamu sifulan”.
8.
Penentuan (Al – Wijadah)
Yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak
diriwayatkan. Cara ini biasanya dilakukan murid dengan cara seorang murid
menemukan buku hadits orang lain tanpa rekomendasi perizinan untuk meriwayatkan
di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. “saya telah membaca kitab
seseorang”.[7]
Dari
delapan model dan cara transmisi hadits yang telah dijelaskan di atas,
yang dijadikan kesepakatan sebagai model transmisi yang kuat adalah : Al-Sama,
Al-Qira’ah dan Al Mukatabah. Tiga metode ini dianggap efektif dan valid.
Selebihnya di persilahkan perbedaan dalam menanggapi model periwayatan ini
terjadi lebih disebabkan karena mereka sangat berhati – hati dalam meriwayatkan
hadits.[8]
Periwayatan
hadits dengan makna dapat ditujukan sebagai penyampaian hadits dengan
menggunakan rumusan kalimat sendiri yang dapat memelihara substansi pesan dan
tujuan semula. Dapat pula dirumuskan sebagai periwayatan hadits yang
menggunakan lapadz – lapadz yang berbeda dengan teks asli tetapi kandungan
isinya tetap terjamin sesuai dengan maksud awal hadits.[9]
D. KEDUDUKAN
BOLEH TIDAKNYA MERIWAYATKAN HADIST DENGAN MAKNA
Sejak sahabatpun sudah
controversial. Namun pada umumnya para sahabat membolehkannya. Misalnya Ali bin
Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud (W.32 H / 652 M), Anas bin
Malik (W.98 H / 711 M), Abu Darda (W.32 H / 652M), Abu Hurairah (W. 58 H/ 678
M), dan Aisyah binti Abu Bakar (Isteri Nabi) membolehkan periwayatan hadits
dengan makna. Sedangkan yang tidak membolehkan diantaranya Umar bin Al-Khatab,
Abdullah bin Umar bin Khatab dan Zain bin Arqam.[10]
Tetapi sebenarnya mereka yang
berpegang teguh pada periwayatannya dengan lapadz tidak melarang secara tegas
sahabat lain dalam meriwayatkan hadits dengan makna. Hal ini dimungkinkan
karena adanya kesulitan periwayatan tersebut, apabila seluruh sabda Nabi harus
ditiru persis.[11]
Namun demikian generasi keenam
periwayat hadits seperti Abu Bakar bin Al-Araby (W. 573 H / 1148 M) berpendapat
bahwa periwayatan hadits dengan makna hanya di bolehkan bagi sahabat.
Menurutnya selain sahabat tidak di perkenankan untuk meriwayatkan hadits dengan
makna. Dalam pada itu, dikalangan tabi’in juga terdapat perbedaan. Sehingga
Subhi As-Shalh menjelaskan hasil pengamatan Ibnu Aun yang menunjukkan bahwa Al
Qasim bin Muhammad, Raja’ bin Habwat dan Muhammad bin Sirin mengharuskan
riwayat dengan lapadz.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Seorang perawi benar – benar mengetahui / memiliki
pengetahuan bahasa arab yang mendalam dan mengerti lapadz dan maksudnya dan
mampu menyampaikan hadits dengan tepat. Perawi harus menyertakan kalimat yang
menunjukan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dengan periwayatan sehingga terpelihara
kesalahan dari periwayatnya.
Para perawi dalam kondisi lupa susunan harpiahnya, sedangkan
kandungan hadits tersebut sangat di perlukan hal ini dianggap baik dari pada
tidak meriwayatkan suatu hadits dengan alasan lupa susunan harpiah dan lapadznya.
Sementara nilai pokok (hukum) yang terkandung dalam hadits tersebut sangat
diperlukan umat islam.
Kebolehan periwayatan hadits dengan makna terbatas pada masa
di bukukan hadits nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan (tadwin) hadits,
harus dengan lapadz periwayatan hadits dengan makna terbatas. Oleh karenanya,
boleh tidaknya meriwayatkan hadits dengan makna, sejak jaman nabi pun sudah
controversial. Namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Bin Shalih, Musthalah Hadits, (Jakarta: Media Hidayah, 2003).
Nur
Sulaiman Muhammad, Antologi Ilmu Hadits, (Ciputat: GP. Press, 2009).
Mustafa Yakub, Dasar –
Dasar Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2001).
Yusuf Saefullah,
Pengertian Ilmu Hadits, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006).
0 komentar:
Post a Comment