BAB
I
PENDAHULUAN
Masa
Nabi Muhammad seringkali dijadikan sebagai patokan sejarah. Sebab, di masa
itulah Islam sebagai sebuah agama muncul untuk mendobrak kemapanan berfikir
masyarakat waktu itu. Kalau kita melihat masa sebelumnya, masa nabi bisa
dikatakan sebagai masa khalaf (baru).
Tapi,
jika dibanding dengan masa setelahnya, masa nabi adalah masa salaf (yang sudah
lewat). Sebenarnya, kata salaf sendiri artinya, seperti yang banyak beredar,
adalah tiga abad pertama (al-qurun al-tsalatsah al-ula) sejak lahirnya
Islam, agama yang dibawa nabi Muhammad.
Dari
latar belakang diatas, maka disini penulis akan membahas makalah yang berjudul
Salaf (Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah) secara ringkas agar mudah untuk dimengerti
dan mudah untuk dipahami bersama guna menambah pengetahuan kita bersama dalam
ilmu kalam ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
SALAF
(IBN HANBAL DAN IBN TAIMIYAH)
A.
DEFINISI
SALAF
Salaf adalah
ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’,
tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke 3 H, dan para pengikutnya pada abad ke 4
yang terdiri atas para muhadditsin dan
lainnya. Salaf berarti pula
ulama’-ulama’ saleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam.[1]
Ulama’ salaf adalah
yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih. Sedangkan Mahmud Al-Basybisyi dalam Al-Firaq
Al-Islamiyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’in
yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai
sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan
mengagungkan-Nya.[2]
Ibrahim
Madzkar menguraikan karakteristik ulama’ salaf
atau salafiyah sebagai berikut:
1. Mereka
lebih mendahulukan riwayat (naqli)
daripada dirayah (aql)
2. Dalam
persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin)
dan persoalan-persoalaen cabang agama, mereka hanya bertolak dari penjelasan
dari Al-Kitab dan As-Sunnah
3. Mereka
mengeimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) dan tidak
pula mempunyai faham ianthropomorphisme.
4. Mereka
memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, dan tidak berupaya
untuk menakwilkannya.[3]
Dibawah ini akan dibahas mengenai
beberapa ulama’ salaf dengan beberapa pemikirannya terutama yang berkaitan dengan
persoalan-persoalan kalam. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Imam
Ahmad Bin Hanbali
Ia
dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780 M,
dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Ia sering dipanggil sebagai Abu Abdullah
karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan
nama Imam Hanbal karena merupakan pendiri Madzhab
Hanbal.
Ibunya
bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur
Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin
Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf
bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar. Ayahnya meninggal
ketika Ibn Hanbal masih remaja. Namun, ia telah memberikan pendidikan Al-Qur’an
kepada Ibn Hanbal pada usia 16 tahun.
2. Pemikiran
Teori Ibn Hanbal
a. Tentang
ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur’an, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan
sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat.
b. Tentang
status Al-Qur’an
Salah
satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal yang kemudian membuatnya
dipenjara beberapa kali, adalah tentang status Al-Qur’an apakah diciptakan (makhluk) yang karenanya hadist (baru) ataukah tidak diciptakan
yang karenanya qadim? Faham yang
diakui oleh pemerintah yakni Dinasti Abbasiyah di bawah kepemimpinan khalifah
Al-Mamun, Al-Mutashim, dan Al-Watsir, adalah faham Mu’tazilah, yaitu Al-Qur’an tidak bersifat qodim, tetapi baru dan diciptakan.
Faham
adanya qodim di samping Tuhan,
berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah perbuatan yang syirik
dan dosa besar yang tidak diampuni oleh Tuhan.[4]
Ibn
Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut diatas. Oleh karena itu, ia
kemudian diuji dalam kasus mihnah
oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-Qur’an dapat dilihat
dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak. Ia hanya mengatakan
bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang
menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan
Rasulnya.[5]
B.
IBN
TAIMIYAH
1.
Riwayat Singkat Ibn
Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah
Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al Halim bin
Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun
661 H dan meninggal dipenjara pda malam Senin tanggal 20 Dzul Qoidah tahun 729
H. Kewafatanya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan
Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya.
Ayahnya bernama Syihabuddin Abdul Halim
ibn Abdussalam ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syaikh, Khatib dan hakim di
Kotanya.[6]
Taimiyah merupakan murid yang muttaqi,
wara, dan zuhud, serta seorang
panglima dan penentang bangsa Tartas yang berani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddist mufassir, faqih, teolog, bahkan
memiliki pengetahuan luas tentang filsafat.
2.
Pemikiran Teologi Ibn
Taimiyah
Pikiran-pikiran Ibn Taimiyah, seperti
dikatakan Ibrahmi Madkur, adalah sebagai berikut:
a. Sangat
berpegang teguh pda nas (teks Al-Qur’an dan Al-Hadist)
b. Tidak
memberikan ruang gerak bebas kepada akal
c. Berpendapat
bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama
d. Di
dalam Islam yang diteladani hanya ada 3 generasi saja (sahabat, tabi’in, dan
tabi’i-tabi’in)
e. Allah
memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap
mentanzihkan-Nya.[7]
Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali
dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah
itu qadim, kalamnya pasti qadim pula.
Berikut ini merupakan pandangan Ibn Taimiyah tentang sifat-sifat Allah
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Percaya
sepenuhnya hati terhadap sifat-sifat Allah yang ia sendiri atau rasul-Nya
menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
1) Sifat
salbiyah
2) Sifat
ma’ani
3) Sifat
khabariah
4) Sifat
dhafiah.
b. Percaya
sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah atas rasul-Nya, sebutkan, seperti
Al-Awwal, Al-Akhir, azh-zhahir, Al-Batin,
Al-Alim, Al-Qodir, Al-Hayy, Al-Qayyum, As-Sami, dan Al-Bashir.
c. Menerima
sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
1) Tidak
mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafadz (min ghoiri tahrif)
2) Tidak
menghilangkan pengertian lafaz (min
ghoiri ta’thil)
3) Tidak
menghinginkannya (min ghairi ilhad)
4) Tidak
menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan alat indera (min ghairi tamtsil rabb al-alamin).[8]
Hal ini disebabkan bahwa tiada
sesuatupun yang dapat menyamai-Nya bahkan yang menyerupai-Nya pun tidak ada.
Berdasarkan alasan diatas, maka IbnTaimiyah tidak menyetujui penafsiran
ayat-ayat Mutasyabihat. Menurutnya,
ayat atau hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan
sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tafsim-kan, tidak menyerupai-Nya dengan makhluk, dan tidak
bertanya-tanya tentangnya.[9]
Ibn Taimiyah mengakui tiga hal dalam
masalah keterpaksaan dan Ikhtiar manusia yaitu sebagai berikut:
1. Allah
pencipta segala sesuatu
2. Hamba
pelaku perbuatan yang sebenarnya
3. Mempunyai
kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab
terhadap perbuatannya, Allah meridai perbuatan baik dan tidak meridhoi
perbuatan buruk.
Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn
Taimiyah mencapai klimaknya (puncaknya) dalam sosiologi politik yang mempunyai
dasar teologi. Masalah pokoknya terletak pada uayanya membedakan manusia dengan
Tuhannya yang mutlak.
Oleh karena itu, masalah Tuhan, katanya
tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik dengan metode filsafat, maupun
metode teologi. Juga bahwa keinginan mistis manusia tidak menyatu dengan Tuhan
adalah suatu yang mustahil.
Oleh sebab itu, Ibn Taimiyah sangat
tidak suka pada aliran filsafat yang mengatakan Al-Qur’an berisi dalil Khitabi dan iqna’i (penenang dan pemuas hati), aliran Mu’tazilah yang selalu
mendahulukan dalil rasional daripda dalil Al-Qur’an, sehingga banyak
menggunakan ta’wil, ulama’
mempercayai dalil-dalil Al-Qur’an, tetapi hanya dijadikan sebagai pangkal
penyelidikan akal, meskipun untuk memperkuat isi Kandungan Al-Qur’an, seperti
Al-Maturidzi, yang mempercayai dalil-dalil Al-Qur’an tetapi menggunakan pula
dalil-dalil akal di samping Al-Qur’an (seperti Asy-Asy’ari).
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Salaf adalah ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’,
tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke 3 H, dan para pengikutnya pada abad ke 4
yang terdiri atas para muhadditsin dan
lainnya. Salaf berarti pula
ulama’-ulama’ saleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam.
Ulama’ salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih. Sedangkan Mahmud Al-Basybisyi dalam Al-Firaq
Al-Islamiyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’in
yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai
sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan
mengagungkan-Nya
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Rozak, dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2000).
Abdullah
Yusuf, Pandangan Ulama’ Tentang Ayat-ayat
Mutasyabihat, (Bandung: Sinar Baru, 1993).
Ahmadi
Thaha, Ibn Taimiyah: Hidup dan
Pemikirannya, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982).
Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986).
Ibrahim
Madkur, Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah:
Manhaj wa Tathbiquh, Jilid II, (Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1947).
[2] Ibid, hal. 109.
[3] Ibrahim Madkur, Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah: Manhaj wa
Tathbiquh, Jilid II, (Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1947), hal. 30.
[4] Abdul Rozak, dan Rosihan
Anwar, Op Cit, hal 113-114.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 62-63.
[6] Ahmadi Thaha, Ibn Taimiyah: Hidup dan Pemikirannya, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1982), hal. 36.
[7] Ibid, hal. 40.
[8] Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama’ Tentang Ayat-ayat Mutasyabihat,
(Bandung: Sinar Baru, 1993), hal. 58-60.
[9] Abdul Rozak, dan Rosihan
Anwar, Op Cit, hal. 117.
0 komentar:
Post a Comment