BAB I
PENDAHULUAN


Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang eksistensinya memainkan peran penting bagi kehidupan bangsa. NU sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia ikut bertanggung jawab untuk memberikan  kontribusi dalam membangun cita-cita bangsa. Hal tidak ini tidak lain karena kontribusi NU tidak hanya dialamatkan kepada jama’ah NU, tetapi lebih besar dari itu bagaimana NU bisa berkontribusi kepada bangsa.
Sesuai khittah An-Nahdliyyah 1926, NU bertujuan ikut membangun, mengembangkan insan dan masyarakat Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, adil, berakhlak mulia, tenteram dan sejahtera. Dari latar belakang diatas, maka disini penulis akan membahas makalah yang berjudul tentang Pedoman Politik Nahdlatul Ulama’ (NU).



BAB II
PEMBAHASAN
SEMBILAN PEDOMAN POLITIK NU


A.    SIKAP KEMASYARAKATAN NU
NU merumuskan dasar-dasar keagamaan yang menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan:
1.      Sikap tawasuth dan i’tidal. Sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah kehidupan bersama
2.      Sikap tasamuh. Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan
3.      Sikap tawazun. Sikap seimbang dalam berkhidmat. Menyerasikan khidmat kepada Allah, khidmat kepada sesama manusia, serta pada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang
4.      Sikap amar ma’ruf nahi munkar. Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama serta menolak dan mencegah semua hal yang dapt menjerumuskan , merendahkan nilai-nilai kehidupan.[1]
Dengan rumusan dasar ini, NU telah berhasil melahirkan generasi bangsa yang mengedepankan hidup dalam suasana yang toleran dan moderat, bukan dengan kekerasan.
Dalam kaitan dengan suasana hidup yang toleran dan moderat ini, fondasi besar sudah diletakkan oleh NU ketika memelopori penerimaan Pancasila sebagai asas bernegara dan bermasyarakat yang mesti diterima oleh umat Islam.
Konsepsi ini diperkuat dengan kesetiaan NU terhadap ide-ide kebangsaan yang menjadi titik tolak dalam mendesain negara Indonesia. Tak berlebihan jika NU terus menerus melestarikan negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk negara yang paling ideal bagi bangsa Indonesia.[2]
B.     KARAKTER NU
Jauh sebelum lahir sebagai organisasi, NU telah ada dalam bentuk komunitas (jamaah) yang diikat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakter Ahlussunnah wal jamaah. Wujudnya sebagai organisasi tak lain adalah “penegasan formal dari mekanisme informal para ulama sepaham.” Arti penting dibentuknya organisasi ini tidak lepas dari konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi jamaah tradisional berhadapan dengan arus paham pembaharuan Islam.
Masuknya paham pembaharuan ke Indonesia diawali oleh semakin banyaknya umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, sejak dibukanya Terusan Suez (1869). Bersamaan dengan itu, di Timur Tengah sedang merebak ajaran pembaharuan dan purifikasi ajaran Islam, seperti gerakan pembaharuan Muhammad Abdul Wahab yang kemudian dikenal sebagai Wahabiyah, maupun pemikiran Pan Islamisme Jamaluddin Al-Afghani yang dilanjutkan Muhammad Abduh.
Tak pelak, kontak pemikiran intensif antara para jamaah haji Indonesia dengan paham pembaharuan ini berlangsung. Ketika kembali ke tanah air, para haji membawa pemikiran itu untuk memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang dianggap berasal dari tradisi di luar Islam.
Tak semua kalangan menerima paham pembaharuan itu secara bulat-bulat. Sekelompok ulama pesantren, menilai bahwa penegakan ajaran Islam secara murni tidak selalu berimplikasi perombakan total terhadap tradisi lokal. Tradisi ini bisa saja diselaraskan dengan ajaran Islam secara luwes.
Kalangan yang dikenal sebagai kelompok ulama tradisional ini mengamati upaya purifikasi ajaran Islam itu dengan cemas. Sebab tak mustahil jika hal itu dilakukan secara frontal dan radikal akan mengguncang masyarakat. Perkembangan inilah yang dinilai sebagai ancaman terhadap kelestarian paham Ahlussunnah wal Jamaah yang mereka anut.  
Arti penting lain pembentukan NU adalah berkaitan dengan upaya pemupukan semangat nasionalisme di tengah iklim kolonialisme saat itu. Sulit dibantah bahwa perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Beslanda tidak hanya membawa wacana politik tapi juga keagamaan.
Sepuluh tahun sebelum berdirinya NU, KH Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) yang berusaha menumbuhkan rasa nasionalisme melalui pendidikan. Organisasi ini adalah langkah kongkret dari forum diskusi Taswirul Afkar (konsepsi pemikiran) yang sebenarnya merupakan antisipasi Wahab Hasbullah menghadapi ekses gerakan pembaharuan yang menjadi ancaman bagi eksistensi tradisi Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam perkembangannya, Nahdlatul Wathanlah sebenarnya dapur pemikiran lahirnya NU.[3]

C.    NU DAN POLITIK
Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.[4]
NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926 yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.[5]
Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.

D.    SEMBILAN PEDOMAN POLITIK NU
Terkait dengan perjalanan politik NU kedepan, dengan penuh keyakinan Mbah Muchith menggaris bawahi apa yang tercantum dalam “Pedoman Berpolitik bagi Warga Nahdlatul Ulama’” . Adapun pedoman tersebut yaitu:
1.      Berpolitik bagi warga NU mengandung arti keterlibatan warga Negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945
2.      Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan, dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama yaitu terwujudkan masyarakat yang adil lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan diakhirat
3.      Politik bagi warga NU adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama
4.      Berpolitik bagi warga NU haruslah dilakukan dengan moral, etika dan yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa, berkepribadian yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
5.      Berpolitik bagi warga NU dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama
6.      Berpolitik bagi warga NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensu nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah
7.      Berpolitik bagi warga NU dengan dalil apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan
8.      Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu, dan menghargai antara yang satu dengan yang lain, sehingga dalam politik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan lingkungan Nahdlatul Ulama’
9.      Berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi dalam pembangunan.[6]

E.     BASIS PENDUKUNG NU
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.
Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU.
Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan.
Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.[7]




BAB III
ANALISIS


NU sebagai sebuah jamiyyah dhiniyyah yang berhaluan faham  Ahlussunnah wal Jamaah sangat memiliki kemampuan praksis, dalam arti memadukan ajaran Islam tekstual dengan konteks lokalitas dalam kebijakan beragama, melahirkan wawasan dan orientasi politik substantive.
 Atas dasar itulah yang kemudian NU memiliki pandangan dalam berdakwah bahwa:
1.      Islam diturunkan sebagai rahmatan lil 'aalamiin, memiliki makna dan fungsi universal yang suci, fitri, hanif serta dapat diterima dan dilaksanakan oleh seluruh umat manusia tanpa harus menghilangkan identitas ras, kebangsaan dan kebudayaan.
2.      Islam diturunkan ke dunia bukan untuk menghapuskan segala yang sudah ada dan telah dilakukan dan dihasilkan oleh suatu kelompok budaya, peradaban bangsa, agama, suku dan ras. Keanekaragaman serta perbedaan paham dan aliran kelompok atau golongan merupakan sunatullah (sejalan dengan hukum-hukum Allah).


BAB IV
KESIMPULAN


Dari latar belakang diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Sesuai khittah An-Nahdliyyah 1926, NU bertujuan ikut membangun, mengembangkan insan dan masyarakat Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, adil, berakhlak mulia, tenteram dan sejahtera.
Arti penting lain pembentukan NU adalah berkaitan dengan upaya pemupukan semangat nasionalisme di tengah iklim kolonialisme saat itu. Sulit dibantah bahwa perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Beslanda tidak hanya membawa wacana politik tapi juga keagamaan.



DAFTAR PUSTAKA


Abdul Muchith Muzadi, NU Dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, (Surabaya:  Khalista, 2007).

A.    Gaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama Dengan LkiS, 1995).

Amin Masyhur, NU & Ijtihad Politik Kenegaraannya, (Yogyakarta: AL-Amin, 1996).

Ayu Sutarto, Menjadi NU Menjadi Indonesia: Pemikiran K.H. Abdul Muchith Muzadi, (Surabaya: Khalista, 2008).

Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzili, Nahdlatul Ulama, Dinamika Ideologi Dan Politik Kenegaraan, (Jakarta: Gramedia, 2010).

Nur Khalik Ridwan, NU & Bangsa 1914-2010 Pergulatan Politik & Kekuasaan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010).





[1] Nur Khalik Ridwan, NU & Bangsa 1914-2010 Pergulatan Politik & Kekuasaan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010),  hal, 463.
[2] Ibid, hal. 464.
[3] A. Gaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama Dengan LkiS, 1995), hal,48.
[4] Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzili, Nahdlatul Ulama, Dinamika Ideologi Dan Politik Kenegaraan, (Jakarta: Gramedia, 2010), hal, x.
[5] Amin Masyhur, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, (Yogyakarta: AL-Amin, 1996), hal. 76.
[6] Ayu Sutarto, Menjadi NU Menjadi Indonesia: Pemikiran K.H. Abdul Muchith Muzadi, (Surabaya: Khalista, 2008), hal. 47-49.
[7] Abdul Muchith Muzadi, NU Dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, (Surabaya:  Khalista, 2007), hal, 24.

0 komentar:

 
Top