BAB I
PENDAHULUAN
Agama Islam adalah agama yang kerja dan
amal artinya agama yang tidak membiarkan umatnya sebgai umat yang pemalas dan
pengangguran, tetapi justru sangat menekankan agar hidup umatnya lebih bermakna
dan berkualitas melalui kinerja sehari-hari dan melalui prestasi yang
didapatnya.
Bahkan pada dasarnya manusia diciptakan
Allah bertujuan untuk menjadikan segala aktivitasnya (kerja dan usahanya)
berkesudahan dan menjadi ibadah kepada Allah. Maka daripada itu, disini penulis
akan membahas makalah yang berjudul tentang Etos Kerja Muslim secara mendalam
agar mudah untuk dipahami bersama.
BAB II
PEMBAHASAN
ETOS KERJA MUSLIM
A. RIWAYAT
HADIST
Artinya: “Driwayatkan dari Ibnu Umar, katanya aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda:
“Tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah.” (HR. Ad-Darimi).
B. SUMBER
RIWAYAT
Adapun sumber riwayat yang langsung mendengar dan menerima hadist
tersebut dari Nabi SAW. adalah Ibnu
Umar. Ibnu Umar adalah nama singkatan dan populernya. Nama lengkapnya adalah
Abdullah Ibn Umar ibn Khattab. Keturunannya bertemu dengan keturunan Nabi SAW.
pada kakek Nabi SAW. yang bernama Ka’ab ibn Luaiy ibn Ghalib ibn Fihr.
Beliau termasuk salah seorang dari al-‘abadalah
al-‘arba’ah (empat Abdullah) yang populer, yaitu Abdullah ibn Umar,
Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Amr ibn Ash, dan Abdullah ibn Zubaer.
Sebetulnya sahabat Nabi SAW. yang
mempunyai nama Abdullah itu tidak kurang dari 543 orang.[1]
Abdullah ibn Umar lahir ketika Nabi SAW. tengah berkhalwat di Gua Hira’ di Jabal Nur satu
tahun sebelum Muhammad dilantik menjadi Nabi atau sekitar tahun 10 SH. Ia masuk
Islam bersama-sama dengan ayahnya Umar bin Khattab pada tahun ke-6 dari
kenabian Muhammad SAW. usianya ketika
itu sekitar 7 tahun, sedangkan ayahnya Umar ibn Khattab berusia sekitar 27
tahun.
Namun, ada juga ahli sejarah yang mencatat bahwa
Abdullah ibn Umar masuk Islam lebih awal
sedkit dari ayahnya, hanya karena faktor keamanan yang tidak menjamin sehingga
ia menyembunyikan keislamanya, nanti secara formal dan transparan ketika
bersama-sama dengan ayahnya.[2]
Ia sangat Wara’ dan takwa, terkenal sebagai sahabat
yang paling getol memperhatikan dan menirukan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW. sampai ia dikhawatirkan
ada ketidak beresan dalam otaknya. Bahkan ia terhitung sebagai orang yang
paling paham dan mengerti dalam masalah ibadah dan manasik haji Rasulullah SAW.
Ia telah menunaikan ibadah haji 60 kali seumur
hidupnya dan 1000 kali ibadah umrah dan menyumbangkan 1000 ekor kuda untuk
keperluan perang fi sabilillah.[3]
Beliau wafat pada tahun 74 H. Dalam usia sekitar 84 tahun
seusai hajinya yang ke 60. Menurut riwayat, ia meninggal disebabkan oleh racun
dari Hajjaj ibn Yusuf at-Tsaqafi Gubernur wilayah Mekkah pada masa pemerintahan
Abdul Malik ibn Marwan dari Daulah Umayyah. Hajjaj tersinggung karena ditegur
oleh Ibnu Umar secara langsung dimuka umum ketika sedang berpidato hingga
shalat Ashar sampai tiga kali, lalu beliau berdiri, dan para hadirin juga ikut
berdiri. Al-Hajjaj pun lalu turun dari mimbar untuk melaksanakan shalat Ashar.
Setelah selesai, al-Hajjaj bertanya, kenapa sampai melakukan demikian? Ibnu Umar
menjawab: “Saya datang untuk shalat. Maka kalau waktu shalat sudah tiba,
shalatlah tepat pada waktunya, kemudian silahkan berpidato semau anda.” Ada
juga yang menyebutkan bahwa Ibnu Umar menegur al-Hajjaj di muka umum dengan kata-kata:
“Matahari tidak akan menunggu tuan, shalat Ashar harus diutamakan.”.
Mendengar teguran ini, Hajjaj merasa tersinggung dan
spontan menjawab dengan kasar: “Demi sesungguhnya saya bermaksud memukul bagian
yang ada dua mata tuan”. (maksudnya ingin memenggal kepala Ibnu Umar). Lalu
dijawab lagi oleh ibnu Umar. “Jika tuan lakukan itu, berarti tuan adalah orang
yang fasik zalim. Memang ibnu Umar tidak mengenal basa-basi dalam masalah agama
yang prinsip, apalagi dalam membela kebenaran.[4]
C. MUKHARRIJUL
HADIST
Adapun mukharrij
yang mengeluarkan dan meriwayatkan hadist tersebut diatas dan dihimpun dalam
kitab Sunannya hingga sampai ketangan sekarang ini adalah ad-Darimi. Nama
lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah ibn Abd ar-Rahman ibn al-Fadhl ibn
Bahram at-Tamimi ad-Darimi. Lebih populer dengan nama ad-Darimi.
Lahir pada tahun 181 H dan wafat pada tahun 255 H
(686 M) dalam usia ke 74 tahun. Ia sezaman dengan Bukhari, karena imam Bukhari wafat
setahun setelah ad-Darimi wafat, yaitu pada tahun 256 H. Badar berkata,
penghapal-penghapal hadis dibumi ini adalah Abu Zur’ah, Bukhari, ad-Darimi, dan
Muslim.[5]
Jadi, ia termasuk salah satu seorang tokoh hadist yang terkemuka. Kredibilitas keilmuanya
diakui oleh sejumlah ulama’ besar, misalnya Muhammad ibn Abdullah ibn
al-Mubarok pernah berkata, wahai penduduk Khurasan, selama ad-Darimi berada
ditengah-tengah kalian, maka janganlah mencari ilmu kepada orang lain.
D. TAKHRIJUL
HADIST
Hadist tersebut diatas diriwayatkan ad-Darimi dalam
Sunannya pada nomor. 1652, 1653, dan 27500. Bukhari juga meriwayatkannya dalam
Shahihnya sebanyak tujuh kali, masing-masing pada hadist nomor 1428, 1429,
1479, 2750, 3143, 5355, dan 6441. Muslim juga meriwayatkannya dalam Shahihnya
sebanyak lima kali, masing-masing pada hadist nomor 1033, 1034, 1035, 1036, dan
1042.[6]
Kalau dihitung jumlah hadist seperti ini khususnya
yang terdapat dalam kitab Al-Kutub
at-Tis’ah, maka jumlahnya sampai 51 kali, hanya ada dua hadist yang susunan
redaksinya agak sedikit berbeda, namun maksudnya samas.
E. ASBAB
AL-WURUD
Adapun latar belakang yang menyebabkan lahirnya
hadist tersebut adalah sebagaimana diriwayatkan Bukhari yang bersumber dari
Hakim ibn Hizam, katanya: “Aku pernah meminta kepada Rasulullah SAW. dan beliau memberi apa yang aku minta. Lalu aku
minta lagi dan beliau memberi lagi apa yang aku minta. Sesudah itu aku minta
lagi, dan beliau bersabda: “Ya Hakim, harta itu sangat banyak dan dimana-man.
Maka barangsiapa yang bersikap dermawan ia akan diberi berkah. Dan barangsiapa
yang menghadapi harta itu dengan jiwa yang rakus, maka ia laksana orang yang
makan namun tidak pernah merasa kenyang. Tangan
diatas lebih baik daripada tangah dibawah.”[7]
Lalu Hakim berkata: “Ya Rasulallah, demi Zat yang
mengutus Tuan dengan membawa kebenaran, aku tidak akan meminta-minta lagi
kepada siapapun sesudah meminta kepadatuan sekarang ini hingga aku meninggal
dunia.” [8]
Dalam riwayat lain, yang disampaikan oleh imam Ahmad
yang juga bersumber dari Hakim ibn Hizam, katanya: “Aku meminta sesuatu kepada
Rasulullah SAW. dan aku bersumpah. Lalu
beliau bersabda kepadaku: “Ya Hakim, alangkah seringnya engkau meminta. Ya
Hakim, harta itu subur dan ada dimana-mana, kendatipun demikian aku selalu
bersikap dermawan kepada manusia. Dan bahwasanya “tangan” Allah itu selalu
berada diatas tangan orang yang memberi, dan tangan orang yang memberi berada
di atas tangan orang yang diberi. Adapun tangan yang paling rendah adalah
tangan yang menerima.”[9]
F. FIQHUL
HADIST
Dilihat dari segi hadist sosial yang melatar
belakangi disabdakannya hadist tersebut diatas, jelas bahwa hadist tersebut
sebagai tanggapan dan protes terhadap seseorang sahabat yang sering
meminta-minta. Meminta-minta merupakan sikap tidak terpuji, dan justru
memperlihatkan sikap mental lemah dan kemalasannya serta membebankan
kebutuhannya kepada orang lain. Sikap mental malas dan lemah ini pada
hakekatnya adalah sikap tidak mensyukuri nikmat anugerah Allah.[10]
Syukur dalam terminologi al-Qur’an, arti dasarnya
adalah membuka, menampakkan, atau memperlihatkan. Dan syukur lawannya adalah
kufur yang mempunyai arti menutup. Orang yang rajin bekerja keras dalah sama
dengan orang yang mensyukuri nikmat Allah, sebab bekerja berarti membuka dan
menampakkan nikmat itu dengan cara mengoptimalkan potensi yang ia miliki
sebagai anugerah dari Allah, baik berupa tenagaz, pikiran, perasaan dan
lain-lain.
Sebaliknya, malas dan menganggur sama dengan tidak
mensyukuri nikmat. Karena ia menutup dan menyia-nyiakan potensi yang ia miliki
sebagai nikmat yang Allah berikan kepadanya. Dalam al-Qur’an, semua dimensi
waktu disumpahkan Allah, seperti demi malam, demi siang, demi fajar, demi
dhuha, demi ashar, dan lain-lain selalu dikaitkan dengan kehidupan manusia.[11]
Oleh karena itu, Rasulullah SAW. dalam hadist diatas memprotes dan mencela sikap
meminta-minta seperti yang dilakukan sahabat Hakim ibn Hizam, dengan
menggunakan bahasa yang sangat halus, indah dan menarik, yaitu “Tangan diatas lebih baik daripada tangah
dibawah”. Ungkapan bahasa seperti ini tentu saja tidak menyinggung
perasaan, tidak menyakitkan, tidak mematahkan semangat tetapi justru
membesarkan semangat dan memotivasi supaya rajin bekerja sehingga tidak
meminta-minta dan membebankan kebutuhannya kepada orang lain.[12]
Umat Islam harus mensyukuri nikmat pemberian Allah
kepadanya dengan cara mengoptimalkan potensi yang dimiliki dengan cara bekerja
keras dan maksimal untuk mendapatkan rezeki yang terdapat di berbagai bidang
dan lini kehidupan. Dengan mendapatkan rezeki sebagai hasil dari bekerja keras
itu, maka ia dapat memenuhi kebutuhan, memberi dan mengeluarkan infaq, dan
zakat sebagaimana yang banyak diperintahkan dalam ajaran Agama, baik dalam ayat
Al-Qur’an maupun hadist. Ayat Al-Qur’an yang memerintahkan mengeluarkan zakat
diantaranya adalah sebagai berikut yang berbunyi:
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
Artinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[13]
dan mensucikan[14]
mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Q.S. At-Tahubah: 103).[15]
Pada umumnya, masyarakat muslim memahami ayat tentang
perintah mengeluarkan zakat ini hanya secara literal dan parsial sehingga
meyakini sebagai perintah yang sifatnya individual dan ditujukan hanya kepada
orang-orang kaya saja, bukan secara kolektif kepada seluruh umat Islam.
Pemahaman seperti ini tidak salah, tetapi kurang
tepat sehingga masih perlu ditingkatkan. Sebetulnya, ayat tersebut diatas yang
memerintahkan mengeluarkan zakat ini tidak hanya ditujukan untuk orang-orang kaya
saja. Akan tetapi, dipahami bahwa ayat ini juga menuntut dan mendorong, serta
memacu bagi umat Islam secara umum termasuk yang belum mempunyai harta kekayaan
agar supaya bekerja keras dan kreatif, supaya nantinya dengan kerja keras
itulah mendatangkan penghasilan yang maksimal dan pada gilirannya nanti juga
menjadi mampu dan mengeluarkan zakat.
Minimal mendapatkan penghasilan yang bisa mencukupi
kebutuhan sehari-harinya. Hal ini dipahami demikian, karena pada ayat
selanjutnya yaitu ayat 105 lebih mempertegas lagi supaya bekerja keras dan
optimal. Firman Allah yang berbunyi sebagai berikut:
È@è%ur (#qè=yJôã$# uz|¡sù ª!$# ö/ä3n=uHxå ¼ã&è!qßuur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur ( cruäIyur 4n<Î) ÉOÎ=»tã É=øtóø9$# Íoy»pk¤¶9$#ur /ä3ã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÉÎÈ
Artinya:
“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu,
Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu,
dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan
yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan.” (Q.S.
At-Taubah: 105).[16]
Ayat ini bisa dipahami bahwa perintah dan kewajiban
zakat dapat dilaksanakan dengan baik, kalau umat Islam rajin bekerja dengan
baik. Dengan kerja keras akan mendapatkan penghasilan yang cukup bahkan lebih,
sehingga dengan penghasilan yang lebih itulah kewajiban zakat dapat
dilaksanakan dan ibadah-ibadah lain yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya
dapat dijalankan.
Dengan demikian, Allah melihat prestasi ibadah kita
berkat hasil dari kerja keras itu. Begitu juga Rasulullah SAW. kelak akan menyaksikan umatnya bisa melaksanakan
risalahnya dengan baik. Dan orang-orang beriman akan melihat dan merasakan
hasil dan prestasi kerja keras kita. Manusia dianugerahi oleh Allah berupa daya
atau kekuatan pokok diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Daya
fisik yang menghasilkan kegiatan fisik dan keterampian
2.
Daya
pikir yang mendorong pemiliknya berpikir dan menghasilkan ilmu pengetahuan
3.
Daya
kalbu yang menjadikan manusia mampu berkhayal, mengekspresikan keindahan,
beriman, dna merasa, serta berhubungan dengan Allah Sang Pencipta
4.
Daya
hidup yang menghasilkan semangat juang, kemampuan menghadapi tantangan dan
menaggulangi kesulitan.[17]
G. ETOS
KERJA MUSLIM
Untuk lebih jelas dan detail serta operasional kerja
yang saleh disini akan dikemukakan pendapat Toto Tasmara mengenai kerja yang
saleh yang oleh beliau diistilahkan sebagai etos kerja muslim diantaranya
adalah sebagai berikut:
1.
Memiliki
jiwa kepemimpinan
2.
Selalu
berhitung
3.
Menghargai
waktu
4.
Tidak
pernah merasa puas berbuat kebaikan
5.
Hidup
berhemat dan efisien
6.
Memiliki
jiwa wiraswasta
7.
Memiliki
insting bertanding dan bersaing
8.
Keinginan
untuk mandiri
9.
Haus
untuk memiliki sifat keilmuan
10. Berwawasan makro-universal
11. Memperhatikan kesehatan dan gizi
12. Ulet dan pantang menyerah
13. Berorientasi pada produktivitas
14. Memperkaya jaringan silaturahmi.[18]
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama kerja dan amal, artinya
agama yang tidak membiarkan umatnya sebagai pemalas dan pengangguran, tetapi
justru sangat menekankan agar hidup umatnya lebih bermakna dan berkualitas
melalui kerja keras dan prestasi.
Bahkan
pada dasarnya manusia diciptakan Allah untuk bertujuan ingin menjadikan segala
aktivitasnya (kerja dan usahanya) berkesudahan dan menjadi ibadah kepada Allah.
Hal ini dipahami dari firman Allah yang sangat populer.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:
Al-Waah, 1989).
Wajidi Sayadi, Hadist Tarbawi: Pesan-pesan Nabi SAW. Tentang Pendidikan, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2009).
[1] Wajidi Sayadi, Hadist Tarbawi: Pesan-pesan Nabi SAW.
Tentang Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), hal. 127.
[2] Ibid, hal. 128.
[3] Ibid, hal. 128.
[4] Ibid, hal. 129.
[5] Ibid, hal. 129.
[6] Ibid, hal. 130.
[7] Ibid, hal. 131-132.
[8] Ibid, hal. 132.
[9] Ibid, hal. 132.
[10] Ibid, hal. 132-133.
[11] Ibid, hal. 133.
[12] Ibid, hal. 134.
[13]
Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang
berlebih-lebihan kepada harta benda.
[14]
Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda mereka.
[15] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:
Al-Waah, 1989), hal. 297-298.
[16] Ibid, hal. 298.
[17] Wajidi Sayadi, Op Cit, hal, 137.
[18] Wajidi Sayadi, Op Cit, hal, 138-139.
0 komentar:
Post a Comment