BAB I
PENDAHULUAN
Pada bagian ini kita membicarakan
tentang Islam dan Kebudayaan di Indonesia. Dalam festival Istiqlal (1993)
diselenggarakan simposium dengan tema “Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu,
Kini dan Esok” yang kemudian dibuktikan dengan judul yang sama dengan tema
diatas. Dalam buku itu, Islam dan Kebudayaan Indonesiadirinci menjadi tiga sub
tema, yaitu ekspresi estetik Islam di Indonesia, Tradisi dan inovasi keislaman
dalam kebudayaan Indonesia, serta Islam dan masa depan peradaban dunia.
Sebelum membicarakan sebagian tema-tema
tersebut, pada bagian awal bab ini akan dikemukakan mengenai Islam dan
Kebudayaan di Indonesia, atau lebih tepatnya, persentuhan antara Islam dengan
kebudayaan Melayu dan Jawa. Setelah itu, kita akan berbicara tentang ekspresi
estetik Islam serta tradisi dan inovasi keislaman di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
ISLAM DAN KEBUDAYAN INDONESIA
A. PERSENTUHAN
ISLAM DENGAN KEBUDAYAAN MELAYU DAN JAWA
Dalam Islam terdapat ajaran tauhid, sesuatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan
adalah pusat dari segala sesuatu, dan manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya
kepada-Nya. Konsep ini dijelaskan dalam beberapa literatur dengan penjelasan
yang berbeda-beda. Dipesantren-pesantren tradisional salafi, kalimat la ilaha illa Allah sering ditafsirkan sebagai berikut:
1.
La maujud illa Allah (tidak ada “wujud) kecuali Allah)
2.
La ma’bud illa Allah (tidak ada yang disembah kecuali Allah)
Implikasi dari doktrin
itu adalah tujuan kehidupan manusia hanyalah keridhaan-Nya. Doktrin bahwa hidup
harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang merupakan kunci
seluruh ajaran Islam. Dengan demikian, konsep mengenai kehidupan dalam Islam
adalah konsep teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan berpusat pada Tuhan.
B. INOVASI
DAN PENGARUH ISLAM DALAM SASTRA, SENI DAN ARSITEK
Selanjutnya, kita membicarakan Islam dan Kebudayaan
dalam perspektif ekspresi estetik Islam di Indonesia, dan tradisi serta inovasi
keislaman dalam kebudayaan Indonesia. Ekspresi estetik Islam di Indonesia,
paling tidak, dapat dilihat dalam dua bidang diantaranya yaitu bidang arsitek
dan sastra. Kecenderungan sastra sufistik telah muncul di Indonesia sekitar
tahun 1970. Kemunculan sastra berkecenderungan sufistik ditandai munculnya
karya-karya yang ditulis padatahun tujuh puluhan, diantaranya yaitu:
1.
Godlob dan alam
makrifah kumpulan cerpen Danarto
2.
Khotbah di atas bukit karya Kuntowijoyo
Diantara karya
Kuntowijoyo yang berkecimbung dan sufistik, selain Berkhotbah di Atas Bukit, adalah Sepotong kayu untuk Tuhan, Dilarang mencintai bunga-bunga, dan burung kecil bersarang di Atas pohon.
Dalam karyanya
yang berjudul sepotong kayu untuk Tuhan, Kuntowijoyo
menceritakan kecintaan seseorang kepada Tuhan tanpa pamrih. Alkisah seorang
lelaki tua yang tinggal di sebuah dusun terpencil, ditinggalkan istrinya yang
sedang menjenguk cucunya. Istrinya yang cerewet itu selalu menyebutkan suami
pemalas.
Ketika tinggal
sendirian, semangatnya bangkit. Ia tahu tidak jauh dari tempatnya sedang
dibangun sebuah surau di pinggir sungai. Gagasan untuk membantu membangun
suraupun tumbuh. Ia diam-diam menebang
kayu untuk membantu membangun surau itu. Berbeda dengan yang lain, ia ingin
menyumbangkannya secararahasia. Maka dihanyutkannya kayu-kayu itu ke sungai. Ia
berharap kayu itu berhenti tidak jauh dari surau yang sedang dibangun.
Namun, setelah
ia menganyutkan kayu, tengah malam banjirpun datang. Kayu-kayhu itu terbawa
bnajir tidak berhenti di dekat surau seperti yang diharapkannya. Meskipun
demikian dengan sentuhan iman, penyumbang tua itu berkata, “Tidak ada yang
hilang, sampai kepada-Mu kah Tuhan?”.
Dalam karyanya
yang berjudul Dilarang Mencintai Bunga-bunga,
Kuntowijoyo menyampaikan pesan keseimbangan antara kehidupan jasmani dan
rohani. Dikisahkannya seorang ayah yang membuka usaha perbengkelan. Ia
bercita-cita anaknyapun menjadi pekerja keras seperti dirinya. Namun, anaknya
lebih suka berhubungan dengan seorang kakek, tetangganya yang memiliki kebun
bunga yang luas.
Cita-cita kakek
dan ayah tersebut sangat berbeda. Cita-cita kakek adalah ketentraman dan
kedamaian sedangkan cita-cita ayah adlaah kebahagiaan dan kesempurnaan dengan
kerja keras. Ketika mengetahui anaknya sudah berdialog dengan seorang kakek
tetangganya itu, sang ayah segera membangunkan bengkel di depan rumahnya.
Dibengkel itu ia mengajarkan cara kerja keras kepada anaknya.
Akhirnya, si
anak menyadari bahwa dua dunia-dunia ayah dan dunia kakek sama pentingnya dan
saling mengisi dalam kehidupan seseorang tanpa kerja keras, mungkin dunia ini
dapat dibangun. Namun, tanpa kedamaian dan keteangan, makna kehidupan yang
hakiki tidak dapat direnungkan dan ditemukan. Keduanya saling mengisi.
Dalam Novel Khotbah di atas bukit, Kuntowijoyo
menjelaskan renungan metafisik ketasawufan yang menyentuh kesadaran seseorang.
Ceritanya diperankan oleh Barman dan Humam. Barman digambarkan sebagai seorang
yang sangat hedonis. Dia menikmati hidup yang serba kecukupan karena jabatannya
sebagai diplomat. Anak-anaknya memberikan kesempatan kepadanya untuk menikmati
sisa hidupnya disebuah vila di lereng gunung yang indah.[3]
Melalui ajaran
keruhaniannya yang memukau, Humam berhasil menyadarkan Barhan bahwa hedonisme
material akan berakhir dengan munculnya nihilisme, jika tidak dikendalikan.
Barman akhirnya menjadi murid Humam. Diakhir cerita, Barman meninggal karen
jatuh dari kuda ditepi jurang. Ekspresi estetik Islam lainnya tergambarkan dalam
arsitek masjid-masjid tua. Citra masjid tua adalah contoh dari interaksi agama
dengan tradisi arsitek pra Islam di Indonesiadengan kontruksi kayu dan atap
tumpang berbentuk limas.
Umpamanya Masjid
Demak, Masjid Kududs,s Masjid Cirebon, dan Masjid Banten sebagai cikal bakal
masjid di Jawa. Sedangkan di Aceh dan Medan, corak masjid tua memperlihatkan
sistem atap kutbah. Menurut para ahli, masjid-masjid Indo-Parsi dengan ekspresi
struktur bangunan yang berbeda dengan corak masjid atap tumpang.
Inovasi
keislaman di Indonesia yang cukup menarik antara lain disampaikan oleh
Nurcholis Madjid yang menulis dalam bukunya yang berjudul “Masalah Tradisi dan
Inovasi Keislaman dalam Bidang Pemikiran serta Tantangan dan Harapannya di
Indonesia”.
Dalam artikelnya
itu, Nurcholis Madjid menegaskan bahwa agama dan budaya hanya dapat dibedakan
tetapi tidak dapat dipisahkan. Cara berfikir yang benar dalam kaitannya dengan
masalah tradisi dan Inovasi, menghendaki kemampuan untuk membedakannya.
Maka lahirlah
kekacauan dalam menentukan kierarki
yaitu penentuan mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah, atau
penentuan mana yang absolut dan mana yang relatif.
C. ISLAM
DAN ADAT MELAYU DI SULAWESI SELATAN DAN ACEH
Bagian ini akan membicarakan Islam dan kebudayaan
Melayu di daerah Sulawesi Selatan dan Aceh. Bagian pertama menunjuk pada
artikel yang berjudul “Norma Adat dan Agama Islam Dulu, Kini, dan Esok di
Sulawesi Selatan” karya Halide, sedangkan bagian kedua merujuk pada artikel
yang berjudul “Pengembaraan Kebudayaan Aceh di Luar Tanah Ranahnya” Karya Tgk.
H. Muslim Ibrahim.
Pengaruh Islam dalam budaya Sulawesi Selatan antara
lain tergambarkan dalam Sulapa eppa’e
(pepatah orang tua kepada anaknya yang hendak merantau. Bunyi sulapa epp’e adalah sebagai berikut:
Abu Bakkkareng tettong
riolo
Ummareng tettong di
atau
Bagenda Ali tettong ri
abeo
Usmang tettong ri manri
Kun fayakun
Barakka la illaha illa
Allah
Muhammadun Rasulullah
Abu bakar berdiri di
depan
Umar berdiri di sebelah
kanan
Baginda ali berdiri di
sebelah kiri
Usman berdiri di belakang.
Halide
menjelaskan bahwa sulapa eppa’e mengandung
ajaran kepemimpinan. Seseorang pemimpin
akan sukses apabila memiliki watak dan sifat jujur, bijaksana, sabar, berani,
adil, ilmuwan, dan hartawan. Sahabat yang termasuk al-khulafa al-rasyidun diatas merupakan gambaran dari sifat-sifat
itu. Abu Bakar al-Shiddiq adalah simbol kejujuran, kebijaksanaan, dan
kesabaran. Umar bin Khottob adalah simbol keberanian dan keadilan. Ali bin Abi
Thalib adalah simbol ilmuan dan Utsman bin Affan adalah simbol hartawan.
Salah satu yang menarik
dari artikel yang ditulis oleh Halide adalah peranan kitab Berzanji. Kitab gubahan Syekh Ja’far al-Barzanji ini dinilai
berperan penting dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Ia selalu dibaca
dalam upacara perkawinan, memasuki rumah baru, melahirkan anak, khitanan,
khataman Al-Qur’an, dan terutama peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Begitu besarnya
cinta masyarakat kepada Nabi Muhammad SAW. melalui maulidan dan pembacaan kitab
al-barzanji, Halide memandang bahwa
kecintaan mereka berlebihan. Pendapat itu didasarkan pada ungkapan kelong (nyanyian) Maudu Lompoa di
Takalar yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
Manna tena kussambayang
Assala maudu mama
Antama tonja
Ri suruga papinyamang
Kaddeji kunipaple
Assambayang na maudu
Kuallengi
A’maudu rinabbiya
Bulukangi tedongnu
Pappi taggalang tananu
Naniya sallang
Napu ‘maudukang ri nabbiya
Walaupun saya tidak sembahyang
Asalkan saya bermaulid
Saya akan masuk juga
Ke dalam surga yang nikmat
Andaikata aku disuruh memilih
Bersembahyang atau maulid
Lebih kusukai bermaulid pada Nabi
Juallah kerbaumu
Gadaikan sawahmu
Supaya ada nanti
Dipakai bermaulid pada Nabi.
(Halide
dalam Yustiono dkk, (Dewan Redaksi), 1993, 262).
Tgk. H. Muslim
Ibrahim menjelaskan sistem kesenian di Aceh. Menurutnya, hubungan antara seni, moral, dan syariat dalam
Islam sangat erat karena seni berawal dari habl min Allah dan habl min al nas.
Oleh karena itu, kesenian Aceh telah terpadu dengan Islam dan terwujud dalam
berbagai cabang, sastra, seni tari, seni bangunan, dan seni pahat.
Kesusastraan
Aceh banyak berbentuk pepatah, pantun, syair, dan hikayat. Salah satu sastra
dalam bentuk pepatah adalah:
Peng habeh, gaseh pih kureung
Pane lom tatung ulon ka kina
Uang habis, kasihpun berkurang
Mana mau dipakai lagi, aku sudah hina.
(Tgk. H. Muslim
Ibrahim dalam Yustiono dkk,
(Dewan Redaksi),
1993, 276).
Seni tari dan
bunyi-bunyian Aceh sangat beragam. Diantara jenis seni tari yang paling populer
adalah Seudati, Laweut, Saman, Didong, Guel, Pho, Meuseusakat, Tarek Pukat,
Puta Talou, dan Ratoh Deuk. Sedangkan tarian yang menggunakan alat musik
diantaranya adalah Rapa-i Pase, Rapa-i Daboh, Rapa-i, Cuwek Kalee, Salueng,
Bangsi, dan Beula.
Itulah
akulturasi Islam dengan kebudayaan Indonesia yang didominasi oleh kebudayaan
Melayu dan Jawa. Kebudayaan Melayu lebih mudah menerima Islam, sedangkan budaya
Jawa yang oleh Kuntowijoyo dibagi menjadi dua budaya keraton dan budaya populer
cenderung berwajah ganda, terutama budaya keraton, dalam menerima Islam.
Budaya keraton
Jawa yang mewarisi tradisi Hindu-Budha berintegrasi dengan budaya Islam
sehingga para Abdi Dalem membuat suatu silsilah yang membuktikan bahwa raja
adalah keturunan para dewa disatu sisi, dan di sisi lain mereka juga mengaku
sebagai keturunan para Nabi. Lebih dari itu, raja di Jawa ada yang mengaku
sebagia wakil Tuhan untuk menanamkan loyalitas rakyat kepadanya dan
mempertahankan status Quo.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka
dapat kami simpulkan bahwa Dalam Islam
terdapat ajaran tauhid, sesuatu
konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu,
dan manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep ini dijelaskan
dalam beberapa literatur dengan penjelasan yang berbeda-beda.
Salah satu yang menarik dari artikel
yang ditulis oleh Halide adalah peranan kitab Berzanji. Kitab gubahan Syekh Ja’far al-Barzanji ini dinilai
berperan penting dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Ia selalu dibaca
dalam upacara perkawinan, memasuki rumah baru, melahirkan anak, khitanan,
khataman Al-Qur’an, dan terutama peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Atang Abdul Hakim, dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Rosda
Karya, 2009).
0 komentar:
Post a Comment