BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan
kegiatan yang penting dalam kemajuan manusia. Islam mengajarkan umatnya untuk
selalu gigih dalam menuntut ilmu seperti yang diperintahkan dalam beberapa ayat
Al-Qur’an dan hadist. Kegiatan pendidikan pada dasarnya selalu terkait dua
belah pihak, yaitu: pendidik dan peserta didik.
Dalam proses belajar
mengajar, pendidik memiliki peran utama dalam menentukan kualitas pengajaran
yang dilaksanakannya. Yakni memberikan pengetahuan (cognitive), sikap dan nilai (affektif)
dan keterampilan (psikomotor) dengan
kata lain tugas dan peran pendidik yang utama terletak dibidang pengajaran.
Metode mengajar ialah cara
yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat
berlangsungnya pengajaran. Dengan metode ini diharapkan tumbuh berbagai
kegiatan belajar siswa sehubungan dengan kegiatan mengajar guru, dengan kata
lain terciptalah interaksi edukatif.
BAB II
PEMBAHASAN
HADIST
TENTANG PENDIDIKAN DAN ETIKA
A.
HADIST
ANAS BIN MALIK TENTANG MEMBUAT MUDAH, GEMBIRA DAN KOMPAK
حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ بُكَيْرٍ النَّاقِدُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ
حَدَّثَنَا وَاللَّهِ يَزِيدُ بْنُ خُصَيْفَةَ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ قَالَ
سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُا
كُنْتُ جَالِسًا بِالْمَدِينَةِ
فِي مَجْلِسِ الْأَنْصَارِ فَأَتَانَا أَبُو مُوسَى فَزِعًا أَوْ مَذْعُورًا
قُلْنَا مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنَّ عُمَرَ أَرْسَلَ إِلَيَّ أَنْ آتِيَهُ
فَأَتَيْتُ بَابَهُ فَسَلَّمْتُ ثَلَاثًا فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ فَرَجَعْتُ
فَقَالَ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْتِيَنَا فَقُلْتُ إِنِّي أَتَيْتُكَ فَسَلَّمْتُ
عَلَى بَابِكَ ثَلَاثًا فَلَمْ يَرُدُّوا عَلَيَّ فَرَجَعْتُ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلَاثًا
فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ
فَقَالَ عُمَرُ أَقِمْ
عَلَيْهِ الْبَيِّنَةَ وَإِلَّا أَوْجَعْتُكَ فَقَالَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ لَا
يَقُومُ مَعَهُ إِلَّا أَصْغَرُ الْقَوْمِ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ قُلْتُ أَنَا
أَصْغَرُ الْقَوْمِ قَالَ فَاذْهَبْ بِهِ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ
وَابْنُ أَبِي عُمَرَ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ
بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَزَادَ ابْنُ أَبِي عُمَرَ فِي حَدِيثِهِ قَالَ أَبُو
سَعِيدٍ فَقُمْتُ مَعَهُ فَذَهَبْتُ إِلَى عُمَرَ فَشَهِدْتُ. (رواه
مسلم)
Artinya: “Bersumber
dari Busr bin Said, beliau berkata : Aku mendengar Abu Said Al-Kudri berkata :
Aku sedang duduk dalam majlis orang-orang ansor di Madinah. Tiba-tiba Abu Musa
datang dengan ketakutan. Kami bertanya: “kenapa engkau?” Abu Musa menjawab:
”Umar menyuruhku untuk datang kepadanya. Akupun datang. Di depan pintunya aku
mengucap salam tiga kali, tetapi tidak ada jawaban, maka aku kembali. Tetapi,
ketika bertemu lagi, dia bertanya: “apa yang menghalangimu datang kepadaku?”,
aku menjawab:”aku telah datang kepadamu. Aku mengucap salam tiga kali di depan
pintumu. Setelah tidak ada jawaban, aku kembali. Sebab, Rosulullah SAW telah
bersabda: ”Apabila salah seorang diantara kalian minta izin tiga kali dan tidak
mendapatkanya, maka hendaklah dia kembali“. Umar berkata: ”Datangkan saksi atas
hal tersebut (bahwa Rosulullah SAW pernah bersabda demkian)! Jika tidak, aku
akan menghukummu”. Ubai bin Ka’ab berkata : “ yang pergi bersamanya (bersama
Abu Musa) hanyalah orang termuda. ”Abu said berkata: “Akulah orang yang termuda”.
Ubay berkata : “ Pergilah denganya!. Dalam riwayat Ibnu Abi Umar ada tambahan:
Abu Said berkata: “ Aku berangkat bersamanya kepada Umar, untuk menjadi
saksi.” (HR. Muslim).
B.
KANDUNGAN
AYAT
Kita
sebagai orang muslim mempunyai etika dalam bertamu. Mengenai adab bertamu ini
terdapat beberapa pendapat, diantaranya adalah:
1. Bahwa
pengunjung harus terlebih dahulu minta izin baru kemudian memberi salam,
demikian menurut sebagian ulama’.
2. Sedangkan
sebagian besar ahli fiqih berpendapat, salam lebih dulu baru kemudian minta
izin.
3. Dalam
hal ini Imam Nawawi berkata: “Yang benar dan yang dipilih yaitu mendahulukan
salam daripada minta izin.”
4. Sebagian
ulama’ ada yang merinci masalah ini sebagai berikut : jika si pengunjung
itu melihat ada orang dalam rumah maka ia terlebih dahulu harus memberi salam
baru minta izin masuk, dan jika ia tidak melihat seseorang dalam rumah
maka ia terlebih dahulu minta izin masuk baru kemudian memberi salam. Ini suatu
pendapat yang baik yang dipilih oleh Mawardi yang merupakan perpaduan antara
beberapa dalil sebagaimana dikatakan Al Alusi permintaan izin itu tidak
dipersyaratkan harus dengankata-kata yang tegas seperti : “bolehkan aku
masuk?”. Tetapi boleh dengan kata apa saja yang mengisyaratkan minta izin
seperti bertasbih, bertakbir atau berdehem.[1]
Aku (As-shabuny) berpendapat, dimasa kita
sekarang ini minta izin itu dapat dilakukan dengan cara mengetuk pintu atau
membunyikan bel karena ini juga salah satu bentuk minta izin yang dibenarkan,
sebab rumah-rumah dimasa sahabat Nabi tidak memiliki tabir-tabir dan
pintu-pintu (seperti sekarang) sehingga bagi tamu (dimasa sekarang) dipandang
cukup dengan menyembunyikan bel sebagai tanda minta izin (masuk).[2]
Menurut Jumhur ulama’ fuqoha’, hanya
kedudukan hukumnya tidak sama, yaitu bahwa minta izin itu wajib sedangkan salam
itu sunnah, sebab minta izin ini disyariatkan adalah untuk menjaga penglihatan
agar tidak melihat aurat penghuni rumah, maka karena itu hukumnya wajib. Sedangkan
bersalam tujuannya adalah untuk menciptakan situasi kasih sayang sesama muslim
karena itu hukumya sunnah.[3]
Diantara tata krama dalam minta izin masuk
rumah ialah bahwa hendaknya tamu tidak menghadap persis ke arah pintu tetapi di
sebelah kanan atau kiri pintu. Dalam situasi yang darurat kita langsung bisa
masuk rumah tanpa izin, akan tetapi jika dalam keadaan darurat maka, kita
diperbolehkan masuk rumah orang lain tanpa izin seperti kebakaran, pencurian,
atau hal-hal lain yang mendesak.[4]
Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang masalah
yang penting yang berkaitan dengan melihat, yaitu apabila pemilik rumah
mengetahui seseorang mengintip mereka dari celah pintu kemudian ditusuk biji
matanya, apakah pemilik rumah itu dikenai hukuman qishas atau tidak? Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
1. Imam
Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa kalau pemilik rumah itu sampai menusuk
matanya maka tidak dikenai qishas dan hukuman apapun.
2. Imam
Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa tindakan itu merupakan suatu kejahatan
yang harus dihukum dengan denda atau qishas.[5]
Bagian dari perkara yang akan menumbuhkan
cinta dan kasih antara sesama adalah menyebarkan salam (kedamaian) dan
mewujudkannya, manusia yang paling mulia di hadapan Allah SWT. adalah orang
yang memulai memberi salam. Yang juga akan menumbuhkan rasa cinta dan kasih
adalah berkirim salam kepada orang lain. Dan ini bukan perkara yang berat.
Jadi, dalam berkirim salam terdapat pahala dan ganjaran yang besar.
Bilangan minta izin dalam nash al-Qur’an
tidak ditentukan, sedangkan melihat zhahirnya menunjukkan bahwa orang minta
izin itu cukup sekali saja, kalau diizinkan maka ia masuk dan kalau tidak maka
kembali. Hanya sunnah Nabi menegaskan bahwa minta izin itu sampai tiga kali.[6]
Penghormatan dalam Islam adalah dengan
mengucapkan ”Assalamu’alaikum”. Wanita muslimah juga disunahkan mengucapkan
salam ketika masuk rumah dan juga dibolehkan bagi suami mengucapkan salam
kepada istrinya atau seorang wanita kepada laki-laki yang menjadi mahromnya.[7]
Perintah minta izin itu khusus bagi
orang-orang yang sudah baligh, adapun anak-anak maka mereka belum terkena
perintah tersebut disamping itu mereka belum mengerti tentang apa itu aurat
sehingga tidak ada hal yang dikhawatirkan terhadap mereka, demikian juga mereka
belum mengenal hubungan jinsiah (seksual), maka bagi mereka boleh masuk rumah
orang lain tanpa izin kecuali kalau mereka berstatus. [8]
C.
HADIST
PENDIDIKAN TENTANG ETIKA MENGUCAPKAN SALAM
Etika
dalam mengucapkan salam kepada sesama muslim adalah ajaran agama Islam dan itu
suatu perbuatan yang harus kita aplikasikan sewaktu-waktu sesuai dengan bunyi
hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَقَالَ دَخَلَ رَجُلٌ الْمَسْجِدَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فِي نَاحِيَةِالْمَسْجِدِفَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْكَ ارْجِعْ فَصَلِّ
فَذَكَرَ الْحَدِيثَ بِطُولِهِ قَالَ أَبُوعِيسَى هَذَاحَدِيثٌ حَسَنٌ وَرَوَى يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ هَذَاعَنْ عُبَيْدِاللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ فَقَالَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَقَالَ وَعَلَيْكَ قَالَ وَحَدِيثُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَصَحُّ .(رواه الترمذي)
Artinya:
“Abu Hurairah berkata : Seorang masuk masjid ke dalam masjid sedangkan
Rasulalah Saw duduk di sudut masjid kemudian beliau shalat, kemudian orang itu
datang dan mengucap salam atas beliau bersabda : “wa’alaika (kembalilah) lalu
shalatlah karena sesungguhnya kamu belum shalat, lalu Rawi menyebutkan hadist
ini dengan selengkapnya”. Hadist ini adalah hadist hasan, dan Yahya bin Said
Al-Qathtan meriwayatkan hadist ini dari Ubaidillah bin Umar dari Said
Al-Maqburi laludia berkata: Dari ayahnya dari Abu Hurairah. Dan hadist Yahya
bin Said lebih shahih.” (HR. Tirmidzi).
D.
AYAT
PENDIDIKAN TENTANG ETIKA BERAKHLAK BAIK DI DALAM MAJELIS (TEMPAT)
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 ( #sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
Artinya: “Hai
orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mujadalilah: 11).[9]
E.
AYAT
PENDIDIKAN TENTANG ETIKA BERTAMU SESAMA
Dalam
tata cara bertamu terdapat pula ayat Al-Qur’an yang mendukung hadist-hadist
tersebut, diantaranya:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=äzôs? $·?qãç/ uöxî öNà6Ï?qãç/ 4_®Lym (#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (#qßJÏk=|¡è@ur #n?tã $ygÎ=÷dr& 4 öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 öNä3ª=yès9 crã©.xs? ÇËÐÈ bÎ*sù óO©9 (#rßÅgrB !$ygÏù #Yymr& xsù $ydqè=äzôs? 4Ó®Lym cs÷sã ö/ä3s9 ( bÎ)ur @Ï% ãNä3s9 (#qãèÅ_ö$# (#qãèÅ_ö$$sù ( uqèd 4s1ør& öNä3s9 4 ª!$#ur $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÈ }§ø©9 ö/ä3øn=tæ îy$oYã_ br& (#qè=äzôs? $·?qãç/ uöxî 7ptRqä3ó¡tB $pkÏù Óì»tFtB ö/ä3©9 4 ª!$#ur ÞOn=÷èt $tB crßö6è? $tBur cqßJçGõ3s? ÇËÒÈ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu
sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu
lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun
didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika
dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu
bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Tidak ada
dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di
dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa
yang kamu sembunyikan.” (Q.S. An-Nur:
27-29).[10]
Ayat
di atas menjelaskan bahwa dimulainya sapaan dengan lafadz (hai orang-orang yang
beriman) adalah mengisyaratkan ketinggian kedudukan orang mukmin dalam
pandangan Allah SWT.
Maka
mukmin adalah insan yang patut dibebani (kewajiban) dan disapa oleh Allah,
sedangkan orang kafir adalah seperti hewan yang tidak berhak dimulyakan atau
disapa. Allah SWT. berfirman yang
berbunyi:
ôs)s9ur $tRù&us zO¨YygyfÏ9 #ZÏW2 ÆÏiB Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ( öNçlm; Ò>qè=è% w cqßgs)øÿt $pkÍ5 öNçlm;ur ×ûãüôãr& w tbrçÅÇö7ã $pkÍ5 öNçlm;ur ×b#s#uä w tbqãèuKó¡o !$pkÍ5 4 y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x. ö@t/ öNèd @|Êr& 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqè=Ïÿ»tóø9$# ÇÊÐÒÈ
Artinya: “Dan
Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah
orang-orang yang lalai.” (Q.S. Al-A’raf: 179).[11]
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa sebagai berikut:
1.
Menurut sebagian ulama’
kita sebagai orang muslim mempunyai etika dalam bertamu. Bahwa pengunjung harus
terlebih dahulu minta izin baru kemudian memberi salam.
2.
Bilangan
minta izin dalam nash Al –Qur’an tidak ditentukan, sedang melihat zhahirnya menunjukkan
bahwa orang minta izin itu cukup sekali saja, kalau diizinkan maka ia masuk dan
kalau tidak maka kembali. Hanya sunnah Nabi menegaskan bahwa minta izin itu
sampai tiga kali.
3.
Diantara tata krama dalam
minta izin masuk rumah ialah bahwa hendaknya tamu tidak menghadap persis kearah
pintu tetapi di sebelah kanan atau kiri pintu. Dalam situasi yang darurat kita
langsung bisa masuk rumah tanpa izin, akan tetapi jika dalam keadaan
darurat maka, kita diperbolehkan masuk rumah orang lain tanpa izin seperti:
kebakaran, pencurian, atau hal-hal lain yang mendesak.
DAFTAR
PUSTAKA
Departeman
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:
Al-Waah, 1989).
Muammal
Hamady dan Imron A. Manan, Terj. Tafsir Ayat Ahkam Ash- Shabuni (Surabaya:
Bina Ilmu, 1993).
Muammal
Hamady dan Imron A. Manan, Terj. Tafsir Ayat Ahkam Ash- Shabuni (Surabaya:
Bina Ilmu, 1993 ).
Muhammad
Abdul Ghofar, Fiqih Wanita, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 1998).
[1] Muammal Hamady dan Imron A. Manan,
Terj. Tafsir Ayat Ahkam Ash- Shabuni (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), hal, 220.
[2] Ibid, hal. 221.
[3] Ibid, hal. 224.
[4] Ibid, hal. 227.
[5] Ibid, hal. 228.
[6] Ibid, hal. 221.
[9] Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:
Al-Waah, 1989), hal. 910.
[10] Departemen Agama RI, Op Cit, hal. 547-548.
[11] Muammal Hamady dan Imron A. Manan,
Terj. Tafsir Ayat Ahkam Ash- Shabuni (Surabaya: Bina Ilmu, 1993 ),
hal, 217.
0 komentar:
Post a Comment