BAB I
PENDAHULUAN


Ilmu kalam bias disebut dengan beberapa nama, antara lain ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh Al-Akbar, dan teologi Islam. Disebut ilmu ushuluddin karena ilmu ini membahas pokok-pokok  agama, disebut ilmu tauhid karena ilmu ini membahas ke Esaan Allah SWT. disebut  Fiqh Al-Akbar karena didalamnya membahas tentang agama-agama dan disebut sebagai teologi Islam karena didalamya juga membahas pokok-pokok ke Esaan yang dimiliki oleh Allah atau sang pencipta.
Maka daripada itu, disini banyak yang menciptakan pemikiran tentang ilmu-ilmu diatas, ada Abu Hanafiah, Al-Faruqi, Hasan Hanafi dan lain sebagainya. Semua itu mereka mengeluarkan pemikiran tersebut untuk membuka keyakinan umat Islam akan kekuatan dan ke Esaan Allah SWT. Disini penulis akan membahas makalah yang berjudul Pemikiran Ismail  Faruqidan Hasan  Hanafi secara ringkas agar mudah untuk dimengerti dan mudah dipahami bersama-sama.




BAB II
PEMBAHASAN
ISMAIL FARUQI DAN HASAN HANAFI


A.    ISMAIL AL-FARUQI
1.      Riwayat Singkat Ismail Al-Faruqi
Ismail Raji Al-Faruqi, lahir pada tanggal 1 Januari 1921 di Jaffa Palestina. Pendidikan dasarnya di mulai dimadrasah, lalu pendidikan menengah di Collage des Freres St, Joseph, dengan bahasa pengantar Prancis. Pada tahun 1941, Al-Faruqi mengambil kuliah filsafat di American Univercity, Beirut. Setelah tamat dan meraih gelar Bachelor of Arts, ia kemudian bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada pemerintahan Inggris yang memegang mandate atas Palestina ketika itu selama empat tahun. Karena kepemimpinannya menonjol, pada usia 24 tahun ia diangkat menjadi Gubernur Galilea.[1]
Pada tahun 1948, Palestina dijarah oleh Israel dan Faruqi, seperti warga Palestina lainnya, terusir dari tanah kelahirannya. Ia tercatat sebagai Gubernur Galila terakhir yang berdarah Palestina. Setelah setahun menganggur, pada tahun berikutnya, yaitu tahun 1949 Faruqi hijrah ke AS untuk melanjutkan kuliahnya. Ia mendapatkan gelar Master Filsafat dari Universitas Indiana. Dua tahun kemudian gelar master filsafat kembali ia raih dari Universitas Harvard.
Dari Harvard, inilah pengalaman mengajarnya yaitu belajar tanpa dukungan financial itu sulit. Biaya kuliahnya yang tinggi di AS mengharuskannya untuk bekerja. Dengan uang AS$ 1.000 dari American Cauncil of Learned Sociates (honornya menerjemahkan dua buku bahasa Arab), ia memasuki bisnis konstruksi. Dengan menspesialisasikan diri pada bangunan rumah, kesempatan untuk menjadi kaya semakin terbuka baginya.
Sambil bergurau, Faruqi mengenang kisah itu. “Kami para filosof, membutuhkan waktu untuk tafakur sendiri. Kau tidak dapat bekerja dan menulis disertai pada saat bersamaan,” katanya pada Steve Johnson, murid Kristennya yang membutuhkan biaya hidup enam bulan untuk menulis disertasinya. Kemudian lanjutnya, “Begini saja, kau kan tahu bagaimana menjadi pendeta, cobalah jadi pendeta…”
Merasa kurang pengetahuannya mengenai Islam walaupun sudah bergelar Doktor Faruqi pergi ke Mesir. Selama tiga tahun, ia menyelesaikan pascasarjana di Universitas Al-Azhar. Karena kuat dorongan belajarnya itu pulalah, Faruqi memenuhi undangan Wilfred C. Smith untuk bergabung dalam Institute of Islamic Studies di Universitas McGill, Canada. Ia disana selama dua tahun, yaitu pada tahun 1959-1961. Selain mengajar, ia mempelajari etika Yahudi dan Kristen.[2]
Diruang kuliah, Faruqi tergolong pengajar yang humoris dan memiliki banyak cara untuk membuat muridnya untuk  tidak merasa jenuh. “Faruqi penuh semangat dan dinamis. Kuliah-kuliahnya mengenai Islam menjadikan iman dan sejarah Islam sebagai sesuatu yang mengantuk dikelas. Saya tak pernah melihat ada mahasiswa yang mengantuk di kelas.” Kenang John L. Esposito, mantan muridnya, seorang yang menjadi pemerhati perkembangan Islam di Asia Tenggara.
Dinatara kontribusi Faruqi adalah kepeloporannya memperkenalkan program studi-studi Islam di Universitas AS. Sayyed Hussein Nasr, sarjana muslim yang juga mengajar di berbagai universitas di AS, menyebutnya sebagai “Sarjana muslim pertama yang mendedikasikan sepanjang hayatnya pada studi-studi Islam di AS dan menjadikan AS sebagai kediaman terakhir.”
Kepedulian Faruqi terhadap Islam dan kaum muslimin diawali oleh komitmen teguhnya pada Islam. Oleh karena itu, aktivitas-aktivitasnya melampaui batas-batas akademis. Ia dapat disebut sarjana, aktifis, dan pemimpin yang mendedikasikan diri pada pembaruan dan reformasi. Baginya, kerja merupakan itulah dakwah sesungguhnya, pergulatan nyata untuk merealisasikan dan mengaktualisasikan Islam dan sejarah seperti diungkapkan oleh John L. Esposito.
Keaktifan Al-Faruqi di berbagai kelompok studi Islam dan keterlibatannya dalam gerakan-gerakan Islam amat menonjol. Ia adalah tokoh dibalik pembentukan MSA, ISNA, AJISS, AMSS, IIIT, dan banyak lagi lembaga keislaman di AS. Ia juga kerap diundang sebagai tutor oleh para pemimpin muda muslim yang terlibat dalam gerakan-gerakan Islam. Faruqi juga duduk sebagai penasehat diberbagai universitas di dunia Islam dan ikut mendesain program studi Islam di Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Libya, Saudi Arabia, dan Mesir.
2.      Pemikiran Kalam Al-Faruqi
Adapun pemikiran menurut Al-Faruqi adalah sebagai berikut seperti dibawah ini:
a)      Tauhid sebagai inti pengalaman agama
b)      Tauhid sebgai pandangan dunia
c)      Tauhid sebagai intisari Islam
d)     Tauhid sebagai prinsip sejarah
e)      Tauhid sebagai prinsip pengetahuan
f)       Tauhid sebagai prinsip metafisika
g)      Tauhid sebagai prinsip etika
h)      Tauhid sebagai prinsip tata social
i)        Tauhid sebagai prinsip keluarga
j)        Tauhid sebagai prinsip tata politik


k)      Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi
l)        Tauhid sebagai prinsip estetika.[3]

B.     HASAN HANAFI
1.      Riwayat Singkat Hidup Hasan Hanafi
Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo. Ia berasal dari keluarga musisi. Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Semasa di Tsanawiyahnya ia aktif mengikuti diskusi kelompok Ikhwan Al-Muslimin. Oleh karena itu, sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran yang dkembangkan kelompok itu dan aktivis sosialnya. Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan social dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi, dan perubahan social.[4]
Dari sekian banyak tulisan atau karya Hanafi, Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri Islam, meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini telah memformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi kesejahteraan umat manusia.

2.      Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
Adapun pemikiran kalam menuruh Hasan Hanafi dapat dilihat sebagai berikut:
a)      Kritik terhadap teologi tradisional
Dalam gagasanya tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual system kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi lahir dalam konteks sejarah ketka inti keislaman system kepercayaan yakni transedensi Tuhan, diserang oleh wakil dari sekte dan budaya lama.
Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya. Sementara itu, konteks social politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Oleh karena itu, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik, harus diubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern.[5]
Selanjutnya, Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejahteraan, melainkan merefleksikan konflik-konflik social politik. Oleh karena itu, kritik teologi memang merupakan tindakan yang  sah dan dibenarkan.
Hanafi ingin meletakan teologi Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boeh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi baik secara historis maupun eidetic.
Secara Praxis, Hanafi juga menunjukan bahwa teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan member motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia. Secara prakxis, teologi tradisional gagal menjadi semacam ideology yang sungguh-sungguh fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim. Kegagalan para teolog tradisional disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengikatkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia.
Akibatnya, muncul keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktisnya di kalangan umat. Ia menyatakan, baik secara individual maupun social, umat ini dilanda keterceraiberaian dan terkoyak-koyak. Secara individual, pemikrian manusia terputus dengan kesadaran, perkataan maupun perbuatannya. Keadaan itu akan mduah melahirkan sikap-sikap moral ganda.
Secara historis, teologi telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia sarat dengan konflik social politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat. Pertama,  pada tingkat teoretis, yaitu gagal mendapatkan pembuktian ilmiah dan filosofis. Kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan apatisme dan negativisme.
b)      Rekonstruksi teologi
Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan saran rekonstruksi teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi serta membangun kembali epistemology lama yang rancu dan palsu menuju epistemology baru yang sahih dan lebih signifikan.
Tujuan rekonstruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tetang pejuang social, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara actual sebagai landasan etik dan motivasi manusia.
System kepercayaan sesungguhnya mengekspresikan bangunan social tertentu. System kepercayaan menjadikan gerakan social sebagai gerakan bagi kepentingan mayoritas yang diam sehingga system kepercayaan memiliki fungsi visi. Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final rekonstruksi teologi tradisional adalah revolusi social. Menilai revolusi dengan agama di masa sekarang sama halnya dengan mengaitkan filsafat dengan syari’at dimasa yang lalu, ketika filsafat menjadi tuntutan zaman saat itu.

BAB III
KESIMPULAN



Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Ismail Raji Al-Faruqi, lahir pada tanggal 1 Januari 1921 di Jaffa Palestina. Pendidikan dasarnya di mulai dimadrasah, lalu pendidikan menengah di Collage des Freres St, Joseph, dengan bahasa pengantar Prancis. Pada tahun 1941, Al-Faruqi mengambil kuliah filsafat di American Univercity, Beirut. Setelah tamat dan meraih gelar Bachelor of Arts, ia kemudian bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada pemerintahan Inggris yang memegang mandate atas Palestina ketika itu selama empat tahun.
Sedangkan Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo. Ia berasal dari keluarga musisi. Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Semasa di Tsanawiyahnya ia aktif mengikuti diskusi kelompok Ikhwan Al-Muslimin. Oleh karena itu, sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran yang dkembangkan kelompok itu dan aktivis sosialnya.



DAFTAR PUSTAKA





Abdul Rozak, dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007).

Ahmad Ridwan, Reformasi Intelektual, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998).

Disadur dari Lamnya Al-Faruqi, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, terj. Masyhur Abadi, (Surabaya: Al-Fikr, 1991).

E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembahasan: Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, (Jakarta: Logos, 1999).

Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka Setia, 1988).



[1] Disadur dari Lamnya Al-Faruqi, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, terj. Masyhur Abadi, (Surabaya: Al-Fikr, 1991), hal. vii-x.
[2] Abdul Rozak, dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 228.
[3] Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka Setia, 1988), hal. 1-207.
[4] Ahmad Ridwan, Reformasi Intelektual, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hal.
[5] E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembahasan: Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 63-64.

0 komentar:

 
Top