BAB I
PENDAHULUAN
Allah SWT telah menciptakan manusia di dunia kecuali
bertugas pokok untuk menyembah kepadanya, juga bertugas untuk mengelola dan
memanfaatkan kekayaan yang terdapat di bumi agar manusia dapat hidup sejahtera
dan makmur lahir batin. Manusia diciptakan Allah selain menjadi hamba-Nya, juga
menjadi penguasa (Khalifah) di atas bumi. Selaku hamba dan Khalifah, manusia
telah diberi kelengkapan kemampuan jasmaniah dan rohaniah yang dapat
dikembang-tumbuhkan seoptimal mungkin, sehingga menjadi alat yang berdaya guna
dalam ikhtiar kemanusiaannya untuk melaksanakan tuga pokok kehidupannya di
dunia.
Untuk mengembangkan atau menumbuhkan kemampuan dasar
jasmaniah dan rohaniah tersebut, pendidikan merupakan sarana (alat) yang
menentukan sampai dimana titik optimal kemampuan-kemampuan tersebut dapat
dicapai. Namun, proses pengembangan kemampuan manusia melalui pendidikan
tidaklah menjamin akan terbentuknya watak dan bakat seseorang untuk menjadi
baik menurut kehendak pencipta-Nya.
BAB II
PEMBAHASAN
MANUSIA DAN FITRAH PERKEMBANGAN
A.
MANUSIA DAN FITRAH PERKEMBANGAN
Allah
SWT telah menggariskan bahwa didalam diri manusia terdapat kecenderungan dua arah
yaitu kearah perbuatan fasik (menyimpang dari peraturan) dan kearah ketakwaan
(mentaati dari peraturan-Nya), seperti firman Allah yang berbunyi:
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢y ÇÊÉÈ
Artinya
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya (Q.S. As-Syamsu: 7-10).
Dengan
demikian, manusia diberi kemungkinan untuk mendidik diri dan orang lain manjadi
sosok pribadi yang beruntung sesuai kehendak Allah melalui berbagai metode
ikhtiarnya. Disini tercantum bahwa manusia memiliki kemauan bebas untuk
menentukan dirinya melalui upayanya sendiri. Ia tak akan mendapatkan sesuatu kecuali
menurut usahanya. Seperti firman Allah yang berbunyi:
br&ur }§ø©9 Ç`»|¡SM~Ï9 wÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ ¨br&ur ¼çmu÷èy t$ôqy 3tã ÇÍÉÈ
Artinya
“Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,
dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya) (Q.S. An-Najm: 39-40).
Dari
firman-firman Allah seperti disebutkan diatas, di dapati konsepsi Islam tentang
hubungan Tuhan dan manusia sebagai Makhluk-Nya yang mengandung nilai kasih
sayang bersifat paedagogis (mendidik) yaitu tanpa ikhtiar, manusia tidak akan
memperoleh kasih sayang Tuhan atau keberuntungan dan keberhasilan. Dengan kata
lain, rahmat dan hidayah serta taufik-Nya, tidak akan diperoleh manusia tanpa
melalui ikhtiar yang benar dan sungguh-sungguh di jalan Allah.
B.
INDIVIDUALISASI DAN SOSIALISASI
Bilamana
tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada pembentukan manusia seutuhnya, maka
berarti proses kependidikan yang harus dikelola oleh para pendidik, harus berjalan
diatas pola dasar dari fitrah yang telah diberikan Allah dalam setiap pribadi
manusia. Pola dasar ini mengandung potensi psikologis yang kompleks. Karena di
dalamnya terdapat aspek-aspek kemampuan dasar yang dapat dikembangkan secara
dialektis interaksional (saling mengacu dan mempengaruhi) untuk terbentuknya
kepribadian yang serba utuh dan sempurna melalui arahan kependidikan.
Salah
satu aspek potensial dari apa yang disebut “fitrah” adalah kemampuan berpikir
manusia di mana rasio atau intelegensia (kecerdasan) menjadi pusat perkembangannya.
Para pendidik muslim sejak dahulu menganggap bahwa kemampuan berpikir inilah
yang menjadi kriterium (pembeda) yang esensial antara manusia dan makhluk-makhluk
lainnya. Di samping itu, kemampuan ini memiliki kepabilitas untuk berkembang
seoptimal mungkin yang banyak bergantung pada dayaguna proses kependidikan.
Pada makhluk lainnya tidak didapati kemampuan kapabilitas. Oleh karena itu,
makhluk binatang dan tumbuh-tumbuhan
misalnya, tidak dapat dididik untuk berkembang seperti manusia. Dalam
kehidupan binatang seperti simpanse, hanya terdapat fitrah yang terbatas, yaitu
insting dan perasaan (emosi) serta dorongan keinginan berkembang secara naluri
yang sangat terbatas, sejalan dengan usianya.
Dalam
kaitan dengan kemampuan dasar tersebut, Abdul A’la Al-Maududi, menyatakan: Manusia
telah dibentuk oleh Tuhan dalam dua aspek kehidupannya dalam dua suasana
kegiatan yang berbeda. Pertama, ia
berada di dalam suasana di mana dirinya secara menyeluruh diatur oleh hukum
Tuhannya. Kedua, manusia telah
dianugerahi kemampuan akal dan
kecerdasan. Dia dapat berpikir dan membuat pertimbangan ataupun membuangnya. Ia
juga dapat memeluk kepercayaan apa saja, mengikuti cara hidupa apa saja, serta
membentuk kehidupannya sesuai dengan ideology yang ia pilih. Diapun dapat
menciptakan kode tingkah lakunya sendiri atau menerima saja kode-kode yang
dibuat oleh orang lain.
Tidak
seperti makhluk-makhluk lainnya, manusia telah diberi oleh Tuhan kebebasan
berpikir, berbuat dan memilih. Menurut Al-Maududi, aspek-aspek kemampuan demikian
itu menjadikan manusia, juga makhluk-makhluk lainnya di lahirkan sebagai muslim
(berserah diri) yang berbeda-beda ketaatannya kepada Tuhan, tetapi di lain
pihak manusia bebas untuk menjadi Muslim atau bukan Muslim. Dalam uraiannya,
Al-Maududi ingin menunjukan kepada kita bahwa meskipun manusia telah diberi
kemampuan potensial untuk berpikir, berkehendak bebas dan memilih, namun, pada hakikatnya,
ia dilahirkan sebagai seseorang Muslim. Dalam arti bahwa segala gerak dan
lakunya cenderung berserah diri kepada Khalik-Nya.
Potensi
psikologis yang terdapat di dalam setiap pribadi manusia yang demikian itu
adalah bersifat alami atau manusiawi yang mengandung kebijaksanaan dan keadilan
Khaliknya. Karena Tuhan menjadikan alam dan manusia dalam proses bertumbuh dan
berkembang sesuai dengan hukum alam yang kita kenal dengan istilah “Sunnatullah”.
Untuk
menjadi manusia mukmin harus melalui proses kependidikan yang berkeilmuan yang
Islami. Untuk menjadi manusia Kristen juga melalui proses pengalaman
kependidikan yang Kristiani, demikian pula menjadi Yahudi atau Majusi, bahkan
menjadi manusia Atheis-Komunispun berproses melalui pengaruh kependidikan yang
seirama dengan ideologinya.
Dalam
pandangan diatas, tergambar bahwa konsepsi Islam dalam pendidikan bercorak
empirisme, sebagaimana tersirat di dalam Sabda Nabi yang artinya “Setiap anak dilahirkan diatas fitrahnya,
maka orang tua keduanya yang menjadikan dirinya beraga Yahudi, atau Nasrani
atau Majusi (penyembah Api)”(HR. Bukhori).
Namun,
untuk mengartikan bahwa manusia dilahirkan sebagai muslim, atau berbakat
muslim, sehingga konsepsi kependidikan Islam bercorak nativisme adalah berdasar
pada arti kata “fitrah” itu sendiri. Dengan hubungannya dengan konsepsi
kepndidikan Islam yang nativities, factor pembawaan diakui pula sebagai unsure
pembentuk corak keagamaan dalam diri manusia. Hal ini digambarkan dalam kitab
suci Al-Qur’an tentang peristiwa Nabi Ibrahim yang orang tuanya menyembah
berhala.
Dalam
dunia filsafat, aliran Emoirisme dalam pendidikan mula-mula dicanangkan oleh
John Lock (ahli pikir Inggris) dan paham Nativisme dipelopori oleh Lombrosso
dan Schopenhauer (pujangga Jerman) yang hidup pada abad ke 19, masing-masing
memegangi keyakinannya sebagai kebenaran. Cirri-ciri khas yang Nampak dalam
sikap dan perilaku manusia dari masing-masing lingkungannya itu tidak
menghilangkan cirri khas dari potensi dasarnya yang terbawa sejak lahir yang di
sebut pembawaan.
Oleh
karena itu, bilamana dipertanyakan mengapa manusia menjadi muslim dan menjadi
non muslim, maka jawabanya dapat diberikan bahwa setiap diri manusia telahs
memiliki arah kecenderungan individual yang diperkuat oleh proses pendidikan
atau diperlemah melalui pengalaman kependidikan dan pengaruh eksternal lainya. Dalam dimensi yang terlalu rasionalistis,
seorang filsuf Yahudi, George Santayana, beranggapan bahwa hubungan agama
dengan rasio sangat akrab. Agama merupakan wahana atau factor dalam kehidupan
rasional, oleh karena tujuan hidup rasional dapat dicapai melalui agama.
Agama
membuat keputusan moral absolute. Ia memberi sanksi-sanksi, menyatukan dan
mentransformasikan etika. Oleh karena itu, agama melakasanakan fungsi kehidupan
menalar yang pada gilirannya berfungsi membebaskan manusia dari keterbatasan
pribadinya. Pikiran dan penalaran dalam perkembangannya memerlukan pengarahan
dan latihan yang bersifat kependidikan (edukatif) yang sekaligus secara
simultan mengembangkan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya menjadi kekuatan
psikologis yang menggerakan kehidupannya dalam pola keseimbangan dan keserasian
yang ideal.
Oleh
karena itu, pendidikan islam tidak hanya menekankan pada pengajarans di mana
orientasinya hanya kepada intelektualisasi penalaran tetapi lebih menekankan
pada pendidikan dimana sasarannya adalah pembentukan kepribadian yang utuh dan
bulat, maka Islam pada hakikatnya adalah berpaham perfektionisme yaitu menghendaki
kesempurnaan kehidupan yang tuntas sesuai dengan firman Allah yang berbunyi:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷$# Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$2 wur (#qãèÎ6®Ks? ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNà6s9 Arßtã ×ûüÎ7B ÇËÉÑÈ
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah
kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah
syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (Q.S. Al-Baqarah:
208).
Bilamana
manusia tidak mendapatkan pendidikan yang baik, dalam arti pada lingkup
nilai-nilai Islami, maka ia akan mudah tergelincir kederajat yang paling rendah.
Bilamana manusia bercita-cita mendapatkan derajat sebaik-baiknya sesuai dengan martabatnya
sebagai makhluk individual dan social, maka ia harus mendapatkan pendidikan dan
bimbingan sesuai dengan tujuan Allah menciptakan manusia di dunia ini.
C.
PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN
Dengan
menilai proses kependidikan yang terencana baik, kepribadian manusia dapat
dikembangkan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan atau paling tidak dapat
mendekati tujuan tersebut. Menurut teori Psikologi, antara lain dikemukakan
oleh Fillmore H. Sandford, bahwa “Kepribadian adalah susunan yang unik dari
sifat-sifat seseorang yang berlangsung lama”. Sifat-sifat unik atau istimewa
yang menggejala dalam tingkah laku seseorang
yang memiliki kepribadian tertentu, menggambarkan aspirasi dan arah
tujuan tertentu sehingga degnan mengamati dalam jangka panjang kita dapat
melihat bahwa seseorang itu telah memiliki pandangan hidup (filsafat).
Gambaran
tentang apa yang disebut dengan “Kepribadian” dari ahli psikologi menunjukan
bahwa kepribadian itu merupakan pola dasar kehidupan psiko-fisik yang berkaitan
satu sama lain dimana sifat dan watak pribadi seseorang dapat dikembangkan atas
dasar perpaduan antara pengalaman kependidikan (pengalaman yang disengaja) dan
kemampuan atau bakat, yang dapat diamati wujudnya dalam sikap dan perilaku
sehari-hari.
Idealism
Islam memberikan dasar pandangan kepada kaum Idealis Muslim bahwa:
1. Kedayagunaan nilai bukan ditentukan oleh pengaruhnya
terhadap kepribadian seseorang sebagai produk proses kependidikan. Melainkan ditentukan
oleh sejauh dan sedalam mana ketetapan
metode pendidikan yang diterapkan oleh para pendidik terhadap pribadi anak
didiknya
2. Nilai-nilai yang hendak di internalisasikan ke dalam
pribadi akan didik, bukanlah bersifat nisbi (relative), melainkan bersifat
mutlak (absolute). Oleh karena itu, tugas pokok pendidikan bukanlah alih
kebudayaan semata-mata melainkan lebih dari itu yaitu menyelamatkan diri dan
orang lain termasuk anak didik dari penderitaan hidup yang oleh Al-Qur’an
disebut siksa api neraka, baik neraka dunia maupun neraka akhirat
3. Penanggung jawab pendidikan yang wajib melaksanakan
tugas pencapaian tujuan utamanya bukan hanya orang tua dan guru, melainkan seluruh
orang dewasa mukmin, yang bertujuan tidak hanya agar anak mampu belajar
menghayati kehidupan masyarakatnya dan mampu mempertanggung jawabkan segala
bentuk kehidupan yang berhubungan dengan masyarakat, melainkan lebih dari itu
yaitu memahami dirinya, alam sekitarnya dan Tuhannya sendiri.
D.
KEPRIBADIAN MUSLIM
DR.
Fadhil Al-Djamaly menggambarkan kepribadian muslim sebagai muslim yang berkebudayaan, yang hidup bersama Allah dalam
tiap langkah hidupnya. Dia hidup dalam lingkungan yang luas tanpa batas
kedalamanya dan tanpa akhir ketinggiannya. Dengan demikian, bagi Ibnu Sina ilmu yang dididikan
bukan hanya diajarkan pada pribadi anak didik, merupakan esensinya
kepribadiannya karena ilmu dalam jangkauan yang luas akan menjadi unsure
kehidupannya. Menurut Syaltut,
kepribadian dibagi menjadi 3 macam yaitu sebagai berikut:
1. Kepribadian bangsa
2. Kepribadian kemanusiaan
3. Kepribadian samawi
E.
PROSES INTERNALISASI NILAI-NILAI ISLAMI
Pendidikan
sebagai proses menginternalisasikan nilai-nilai dalam pribadi anak didik. Bertumpuan
atau kapasitas belajar dalam tiap pribadi anak. Untuk itu, proses internalisasi
nilai tersebut dapat dilakukan melalui dua macam pendidikan yaitu:
1. Pendidikan yang dilakukan oleh dirinya sendiri.
proses kependidikan jenis ini sering disebut dengan istilah “Education by discovery”, yaitu berproses
melalui kegiatna penelitian untuk menentukan hakikat segala sesuatu yang dipelajaris
tanpa bantuan orang lain
2. Pendidikan melalui orang lain, berproses melalui
kerjasama dengan orang lain. Manusia pada mulanya tidak mengetahui segala
sesuatu tentang apa yang ada di dalam dirinya dan diluar dirinya, maka itu memerlukan orang lain untuk menolong proses kegiatan mengetahuinya.
Dalam proses ini, stimulasi dari orang lain diperlukan untuk mendorongnya
melakukan kegiatan belajar.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami
simpulkan bahwa Selaku hamba dan Khalifah, manusia telah diberi kelengkapan
kemampuan jasmaniah dan rohaniah yang dapat dikembang-tumbuhkan seoptimal
mungkin, sehingga menjadi alat yang berdaya guna dalam ikhtiar kemanusiaannya
untuk melaksanakan tuga pokok kehidupannya di dunia.
Untuk mengembangkan atau menumbuhkan kemampuan dasar
jasmaniah dan rohaniah tersebut, pendidikan merupakan sarana (alat) yang
menentukan sampai dimana titik optimal kemampuan-kemampuan tersebut dapat
dicapai. Namun, proses pengembangan kemampuan manusia melalui pendidikan
tidaklah menjamin akan terbentuknya watak dan bakat seseorang untuk menjadi
baik menurut kehendak pencipta-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
M. Arifin, 2000.,
Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
0 komentar:
Post a Comment