BAB I
PENDAHULUAN


Terlebih dahulu, marilah kita lihat bagaimana para ahli pikir pada masa dahulu menggunakan metode berpikir filosofis tentang problema kehidupan dalma alam semesta ini, termasuk alam kecil (microkosmos) yaitu tentang manusia, terutama bila dilihat dari aspek-aspek perkembangannya dalam memecahkan masalah-masalah alam sekitar dan alam di balik alam (metafisika). Tiga ratus tahun yang lalu, seorang filosof Perancis Rene Descartes, yang terkenal sebagai pendiri filsafat modern pernah mengajukan hasil pemikirannya yang meninggalkan cara berpikir filsafat Scholastik. Dia merasa akan dapat berpikir lebih luas bilamana ia berpikir berdasarkan metode yang rasionalistik untuk menganalisia gejala alam.
Dengan pemikiran yang rasionalistik itu maka orang mampu menghasilkan ilmu-ilmu pengetahuan yang berguna seperti ilmu dan teknologi. Dalam makalah ini, kami akan menjelaskan tentang metode studi dalam filsafat pendidikan yang akan kami jelaskan secara ringkas dan menyeluruh.





BAB II
PEMBAHASAN
METODE STUDI DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN


A.    METODE BERPIKIR MENURUT RENE DESCARTES
Menurut Rene Descartes, ada empat (4) langkah berpikir yang rasionalistis tersebut adalah berlangsung sebagai berikut:
1.      Tidak boleh menerima begitu saja hal-hal yang belum diyakini kebenaranya, akan tetapi harus secara hati-hati mengkaji hal-hal tersebut sehingga pikiran kita menjadi jelas dan terang, yang pada akhirnya membawa kita kepada sikap yang pasti dan tidak ragu-ragu lagi
2.      Menganalisa dan mengklasifikasikan setiap permasalahan melalui pengujian yang teliti ke dalam sebanyak mungkin bagian yang diperlukan bagi pemecahan yang memadai
3.      Menggunakan pikiran dengan cara demikiran, diawali dengan menganalisa sasaran-sasaran yang paling sederhana dan paling mudah untuk diungkapkan, maka sedikit demi sedikit akan dapat meningkat kearah mengetahui sasaran-sasaran yang lebih kompleks
4.      Dalam tiap permasalahan dibuat uraian yang sempurna serta dilakukan peninjauan kembali secara umum, sehingga benar-benar yakin bahwa tidak ada satupun permasalahan yang tertinggal.[1]
Dengan demikian, maka Rene Descartes dalam menganalisa gejala ala mini selalu berpegang pada kemampuan akal pikiran belaka, sedangkan system berpegang pada kemampuan akal pikiran belaka, sedangkan system berpikir lain yang lazim berlaku dalam filsafat dikesampingkan, misalnya system berpikir yang berdasarkan instuisi yang biasa dipakai dalam mistik (tasawuf). Memang benar bahwa ilmu pengetahuan modern sekarang ini bersifat empiris yang lebih mementingkan pengalaman, observasi dan penelitian atau eksperimental ditambah cara-cara berpikir Descartes diatas.
Akan tetapi tidaklah semua metode tersebut cocok untuk dipakai dalam filsafat dimana corak keilmuan-keilmuannya banyak terletak pada pemikiran spekulatif, yang tak dapat diuji coba seperti ilmu dan teknologi. Filsafat mempunyai corak yang khas dalam deretan ilmu, ia tak dapat diteliti seperti yang terdapat dalam bidang keilmuan di luar filsafat.
Tentang intuisi, Bergsom (Filsuf Perancis) menyatakan bahwa intuisi itu berkadar lebih tinggi daripada intelek, intuisi hampir sama dengan “hidup itu sendiri” yang memimpin kita pada taraf tertentu kepada batas hakikat hidup itu. Ia adalah simpati yang bersifat ke-Tuhanan. Sebagaimana instink binatang hanya menjadi sadar terhadap dirinya sendiri serta mampu merefleksikan akan obyeknya sendiri.

B.     METODE BERPIKIR MENURUT JOHN DEWEY
Menurut John Dewey, ahli filsafat pendidikan USA, sedikit berbeda dengan Descartes dalam hal metode atau cara-cara yang dipergunakan dalam berpikir, meskipun sama rasionalistiknya yaitu berpikir reflektif, suatu cara berpikir yang dimulai dari adanya problem-problem yang dihadapkan kepadanya untuk dipecahkan.[2] Diumpamakan seperti orang yang menelusuri jalan-jalan yang asing (belum dikenal) pada waktu  tiba di suatu jalan yang bercabang banyak, maka ia harus berpikir tentang sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya yaitu memutuskan mana jalan yang harus dilaluinya. Kenyataan merupakan suatu problem yang oleh para ahli filsafat dipandang sebagai problem besar yang cara pemecahannya disarankan oleh J. Dewey sebagai berikut:
1.      Kita lebih dulu harus menganalisa situasi itu secara hati-hati dan mengumpulkan semua fakta yang dapat kita peroleh dan harus adil dan tidak memihak serta tanpa prejudis (pra-singkat) dalam mengobservasi fakta-fakta
2.      Setelah melakukan observasi pendahuluan terhadap fakta-fakta maka pemecahan apa yang harus diusulkan, ditetapkan. Inilah yang oleh Dewey disebut dengan “sugesti”, dan juga dapat disebut “hypothesa” atau “teori provisional” (persiapan).
Dalam hubungan ini, dapat digambarkan sebagai seseorang dokter yang melakukan diagnose terhadap pasienya yang merasakan dirinya terkena penyakit, terpanggil untuk meneliti apa penyakit yang sebenarnya. Untuk mengetahui penyakitnya secara tepat, maka ia harus menghadapi suatu problema. Ia melakukan observasi pendahuluan terhadap fakta-fakta, mengajukan pertanyaan kepada pasiennya, menguji tekanan nadi/pulsa dan temperature badanya, kemudian timbullah sugesti itu adalah “Typhes” misalnya.
Bila penyakitnya itu benar-benar Typhes, maka ada simtom-symtom yang tersembunyi yang akan dapat menjelaskan tentang apa obat yang harus dipergunakan untuk penyembuhannya. Ini contoh berpikir refleksi dan metode inilah menurut J. Dewey yang dipergunakan dalam penyelidikan filsafat pada umumnya. Akan tetapi, dapat dipertanyakan apakah metode ini dapat dipergunakan dalam filsafat secara mutlak, bagaimana cara menerapkannya dalam pemecahan problema hidup yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, dunia dan jiwa manusia, dan sebagainya.
Bila dilihat dari segi ini, maka metode diatas kurang tepat bila dipakai dalam pemikiran filsafat, oleh Karena itu,  metode lain yang perlu dipergunakan yang mungkin lebih efektif adalah metode logical analisis (analisa logika) metode analogi dan metode historis ataupun metode intuisi seperti disarankan oleh Bergson.
3.      Juga filsafat dapat dihampiri melalui metode historis. Bagaimanapun sulitnya problema itu harus dipecahkan. Para ahli pikir  mendekatinya sampai tingkat tertentu yang wajar dengan menggunakan metode historis.

Akan tetapi, kita perlu menyadari bahwa dalam rangkaian ilmu filsafat yang tumbuh dan berkembang sampai kini, terdapat jenis filsafat yang disebut “Filsafat sejarah” yaitu suatu analisa terhadap gejala kehidupan ini berdasarkan pendekatan sejarah. Filsafat Marxisme-Leninisme adalah tergolong filsafat jenis ini, karena pandangannya berdasarkan pada historis materialism, dimana teori Dialektika Hegel dijadikan dasar analisisnya. Teori dialektika Hegel menyatakan bahwa “These dan anti These adalah synthese”. Bilamana timbul suatu paham atau ideology baru, lalu ditentang oleh ideology lain, maka timbulah suatu perpaduan antara kedua ideology yang bertentangan dalam bentuk synthese. Perpaduan dan pertentangan tersebut berlangsung melalui proses sejarah.

C.    METODE YANG DIGUNAKAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN
Metode yang digunakan dalam studi filsafat pendidiakn adalah sebagai berikut:
1.      Metode analitis-sintetis, yaitu suatu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif dan deduktif serta analisa ilmiah.
Mengingat sasaran studi filsafat terletak pada problem kependidikan dalam masyarakat untuk digali hakikatnya, maka caranya menggali dapat dilakukan dengan menggunakan metode berpikir induktif, yaitu cara berpikir yang menganalisa fakta-fakta yang bersifat khusus terlebih dahulu selanjutnya dipakai untuk bahan penarikan kesimpulan yang bersifat umum.
Jadi, berpikir induktif terhadap sasaran-sasarannya yang berwujud gejala (fenomena) alamiah atau konseptual di mulai dari fakta-fakta yang konkrit lebih dahulu, menuju kepada fakta-fakta yang umum yang digeneralisasikan sebagai suatu kesimpulan. Banyak para ahli filsafat Yunani Kuno mempergunakan metode berpikir induktif seperti Thales, yang dengan menyaksikan air yang terdapat di semua lokasi, disemua makhluk hidup, baik tumbuh-tumbuhan maupun binatang atau manusia yang dalam tubuhnya mengandung air, maka gejala (fenomena) air kemudian dijadikan kesimpulan bahwa segala yang maujud ini berasal dari air. Demikian pula anaximenes yang menganggap bahwa segala sesuatu yang maujud ini berasal dari udara.
Banyak lagi ahli pikir lainnya yang mempergunakan metode berpikir induktif yang juga diwarnai oleh sikap pendekatan yang berbeda satu dari lainya. Metode berpikir induktif tersebut dapat disempurnakan dengan berpikir deduktif yaitu berpikir dengan menggunakan premise-premise dari fakta yang bersifat umum menuju kea rah yang bersifat khusus sebagai kesimpulannya. Cara inipun banyak di dasarkan atas fenomena kehidupan di alam semesta ini, termasuk fenomena kehidupan manusia sendiri. misalnya, problema yang bernilai cultural edukatif, dengan menggunakan premise-premise yang benar,  diukur dengan kenyataan yang berlaku, dapat disusun suatu sillogisme, sebagai berikut:
a)      Premise mayor: Bangsa yang ingin memperoleh kemajuan hidup, harus memperoleh pendidikan yang baik dan terencana
b)      Premise minor: Bangsa Indonesia juga ingin memperoleh kemajuan
c)      Kesimpulan: Bangsa Indonesia harus memperoleh pendidikan yang baik.

Yang penting, dalam berpikir deduktif, premise-premisenya harus berisi kebenaran, diukur berdasarkan realita kehidupan yang ada. Kedua system berpikir diatas, induktif dan deduktif merupakan metode berpikir rasional dan logis yang belum analitis-sintetis.
Oleh karena itu, dalam menemukan hakikat problema kependidikan pada khususnya, diperlukan analisa dan sintesa yaitu mengurai sasaran pemikiran filosofis sampai unsure sekecil-kecilnya kemudian memadukan (mensenyawakan) kembali unsure-unsur itu sebagai kesimpulan hasil studi. Dalam hubungan system berpikir yang menganalisa secara filosofis tentang problema kependidikan, pendapat Stella van Peter Handerson, yang dikutip oleh Prof. Imam Bernandib, M.A.Ph.D, menunjukan kepada kita bahwa filsafat itu senantiasa berikhtiar untuk memahami segala sesuatu yang timbul dalam spectrum pengalaman manusia, dan berikhtiar untuk mendapatkan pandangan yang luas mengenai alam semesta serta berusaha memberikan penjelasan secara universal tentang hakikat benda (tentang segala sesuatunya).
Dan khususnya dengan hasil studi filsafat, maka ada perbedaan antara filsafat spekulatif dan filsafat kritis. Filsafat spekulatif menurut C.D. Broad adalah “Filsafat yang bermaksud mengambil hasil sains yang bermacam-macam dan menambahnya dengan hasil pengalaman keagamaan dan budi pekerti. Dengan cara ini, diharapkan kita akan dapat mencapai suatu kesimpulan tentang watak ala mini serta bagaimana kedudukan dan prospek kita di dalamnya.
Sedangkan filsafat kritis adalah filsafat yang berusaha untuk menggali hakikat segala sesuatu dengan cara analisis yang terlepas dari ikatan waktu atau ikatan historis, serta penjawaban terhadap masalah-masalah filosofis dapat dicari melalui berbagai aliran yang ada, tak terikat oleh jenis-jenis paham filsafat itu sendiri. dalam filsafat kritis, analisa filosofis yang kritis dijadikan dasar metode pemikiran atau gagasan terhadap objek studinya.

2.      Oleh karena filsafat dipandang sebagai analisa logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan konsep maka metode pengungkapan permasalahannya menggunakan analisa bahasa dan analisa konsep. Analisa bahasa dan konsep itu dipandang oleh hampir semua ahli filsafat sebagai fungsi pokok yang sah dari filsafat.
Sejauh mana kegunaan analisa bahasa dan analisa konsep tersebut, pendapat Harry Schofield, yang dikutip oleh Imam Bernandib, dalam bukunya yang berjudul “Filsafat Pendidika” (Pengantar mengenai system dan metode) halaman 89, akan memperjelaskan pengertian kedua analisa tersebut, yaitu bahwa analisa filosofis pada hakikatnya adalah terdiri dari analisa linguistic (bahasa) dan analisa konsep. Analisa bahasa digunakan untuk mengetahui arti yang sesungguhnya dari sesuatu sedangkan analisa konsep adalah analisa kata yang dianggap kunci pokok yang mewakili suatu gagasan atau konsep. Kedua analisa tersebut tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dalam penerapannya, analisa filosofis berusaha menjawab terhadap pertanyaan: “Apa dari sesuatu atau” mengandung makna apa” dari sesuatu, maka rumusan jawaban-jawabanya akan berbentuk “definisi-definisi” dari sesuatu itu. Bila sesuatu itu bersifat historis, maka analisa historic-filosofis akan memberikan definisi-definisi yang bersifat historis dari zaman ke zaman. Analisa historic-filosofis ini, oleh banyak ahli filsafat pendidikan dipandang belum dapat menjawab permasalahan kependidikan yang hakiki, oleh karena itu, dianggap banyak dicampuri unsure subyektifisme.
Sebagai contoh analisa bahasa adalah berusaha memahami terminology “Fitrah”, apakah sama dengan “Bakat, naluri atau kemampuan dasar, atau desposisi”. Sedangkan analisa konsep, misalnya memahami definisi: “Tujuan pendidikan adalah untuk membentuk warga Negara yang baik”, dan sebagainya.


BAB III
KESIMPULAN


Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Tiga ratus tahun yang lalu, seorang filosof Perancis Rene Descartes, yang terkenal sebagai pendiri filsafat modern pernah mengajukan hasil pemikirannya yang meninggalkan cara berpikir filsafat Scholastik. Dia merasa akan dapat berpikir lebih luas bilamana ia berpikir berdasarkan metode yang rasionalistik untuk menganalisia gejala alam.
Metode yang digunakan dalam studi filsafat pendidiakn adalah sebagai berikut:
1.      Metode analitis-sintetis, yaitu suatu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif dan deduktif serta analisa ilmiah.
2.      Oleh karena filsafat dipandang sebagai analisa logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan konsep maka metode pengungkapan permasalahannya menggunakan analisa bahasa dan analisa konsep.


DAFTAR PUSTAKA


M. Arifin, 2000., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.





[1] Descartes, Descourse on Method, Part, II, pp, 15-16, Trnas. By John Veitch.
[2] John Dewey, An Introduction to Reflective Thinking, by Columbia University Associates in Philosophy.

0 komentar:

 
Top