BAB I
PENDAHULUAN
Penjelasan mengenai Aswaja, Aswaja merupakan
singkatan dari istilah Ahl al-Sunah wa al- ajma ah. Ada tiga kata yang membentuk tiga kata
tersebut:
berarti keluarga, golongan atau pengikut. Al-sunnah, yaitu sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW Al-Jama’ah, yakni apa yang disepakati oleh sahabat Rasul SAW pada masa al-Khulafa al-Rasyidun (Khalifah Abu Bhakar RA, Umar bin Khatab RA, Utsman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA).[1]
berarti keluarga, golongan atau pengikut. Al-sunnah, yaitu sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW Al-Jama’ah, yakni apa yang disepakati oleh sahabat Rasul SAW pada masa al-Khulafa al-Rasyidun (Khalifah Abu Bhakar RA, Umar bin Khatab RA, Utsman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA).[1]
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Syaikh
Abdul Qadir al-Jilani dalam kitabnya, al-Gunyah li Thalibi Thariq al-Haqq,
“Yang dimaksud dengan al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasul SAW
(meliputi ucapan dan ketetapan beliau). Selanjutnya
beralih dari latar belakang diatas, maka kami menyusun makalah ini yang
berjudul “Aswaja dimasa Rasulullah dan Para Sahabat” yang mana sudah kami susun
sedemikian rinci agar mudah dipahami dan mudah dijelaskan sebagai memenuhi
tugas mandiri dalam mata kuliah aswaja.
BAB II
PEMBAHASAN
ASWAJA PADA RASULULLAH DAN SAHABAT
A.
LATAR
BELAKANG KALAHIRAN ASWAJA
Agama Islam yang di bawa oleh Rasulullah SAW, merupakan
satu kesatuan dari 3 unsur dasar yaitu, Iman, Islam, dan Ihsan. Setelah
Rasulullah SAW wafat, bibit perselisihan diantara ummat Islam mulai tampak.
Menurut para ahli sejarah firqoh-firqoh dalam Islam timbul pada akhir pemerintahan
Sayyidina Utsman bin Affan. Pertama-tama Abdullah bin Saba’ mempropagandakan suatu
aliran yang diberi nama “Mazhab Wishayati yang berhasil mempengaruhi para
pendukung Ali bin Abi Thalib. Di samping itu di propagandakan pula
aliran-aliran. Hak Ilahi untuk memperkuat kedudukan Sayyidina Ali. Propaganda
Abdullah Ibn Saba’ berjalan secara intensif dan berhasil memperoleh dukungan
dan kaum muslimin.
Pada tahun 37 H terjadi Perang Sifin antara tentara Khalifah Ali dengan tentara Muawiyyah
bin Abi Sufyan. Kelompok Ali yang tidak menghendaki perdaiman membentuk barisan
memisahkan diri dari kelompok Ali, lambat laun golongan Khawarij menjadi
beberapa Sekte. Selain itu, timbul kelompok yang menamakan diri “Murjiah” di
pimpin oleh Hasan bin Bilal al-Muzni.[2]
Adalagi kelompok yang namanya “Jabariyah” tokohnya
bernama Jahmbih Satwan. Faham fatalisme yang di bawah oleh Jahm ini ternyata
mendapat perlawanan kelas dari golongan Wahdaniyah di pimpin Ma’bad Al-Juhaini.
Pada abad 2 H muncullah golongan “Mu’tazilah” di pimpin
Wasik bin Atha’. Golngan Mu’tazilah dengan faham kebebasan rasio perlahan-lahan
memperoleh pengaruh dalam masyarakat Islam. Beberapa golongan atau firqoh
diatas adalah tumbuh dan berkembang karena persoalan politik. Banyaknya firqoh
sudah barang tentu menjadi bara api perselisihan semakin berkobar.
Pada saat demikian, ajaran Aswaja mutlak di populerkan
kembali sehingga ummat Islam dapat terbebaskan dari ajaran sesat. Jadi aswaja
muncul bukanlah satu ajaran yang muncul sebagai reaksi dan timbunya aliran yang
menyimpang dari ajaran Islam yang murni, tetapi Aswaja benar-benar sudah ada
sejak Zaman Nabi dan justru aliran-aliran itulah yang menodai kemurnian
ajarannya. Aswaja sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para
sahabatnya.[3]
B.
CONTOH AMALAN DARI NABI MUHAMMAD KEPADA PARA SAHABAT
1.
Doa Qunut Subuh adalah Sunnat
Menurut
mazhab Imam Syafi’i, yang kami anut dan yang dianut oleh Ulama’-ulama’ besar
dalam mazhab Syafi’i, seperti Imam Ghozali, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar
al-Haitami, Imam ar-Ramli, Imam Khatrib Syarbaini, Imam Zakaria Al-Anshari dan
lain-lain, bahwa hukum membaca do’a qunut dalam sembahyang Subuh pada i’tidal
raka’at kedua adalah sunnat ‘aba’ad, diberi pahala yang mengerjakannya dan
tidak diberi pahala sekalian orang yang meninggalkannya.
Imam Sindi, pengarang Hasyiyah Salih Bukhari mengatakan
bahwa menurut sebagian qunut itu sudah dinasikkan semuanya tetapi ada sebagian
yang mengatakan bahwa qunut dalam sembahyang subuh tidak dinasikhkan.
Nabi
Muhammad SAW, Mendo’a Qunut pada sembahyang subuh dan sembahyang Maghrib.
Teranglah bahwa ada Nabi qunut pada sembahyang subuh dan
Maghrib, maka barang siapa yang mengatakan bahwa do’a qunut itu bid’ah tandanya
ia tidak mengetahui hadits Bukhari ini.[4]
C.
DASAR
HUKUM KEBERADAAN ASWAJA
Ungkapan Ahlussunnah wal jama’ah terdiri dari tiga kata
bahasa Arab, yaitu ahl, sunnah dan al-jama’ah. Ahli berarti keluarga, kelompok
dan golongan, sunnah berarti sunnah atau hadits Nabi SAW. Al-Jama’ah berarti
para sahabat pada zaman Rasulullah yang, maksudnya golongan yang tetap
berpegang pada sunnah Nabi SAW dan para sahabat. Istilah ini berhubungan dengan
hadits yang artinya, “Umatku akan terpecah kepada 73 golongan, semuanya masuk
neraka kecuali satu golongan, yaitu ahlussunnah waljama’ah. Dari pemahaman
hadits tersebut maka turun istilah di Indonesia, Aswaja yang maksudnya Ahlussunnah
wal jama’ah.
Ahlussunnah wal jama’ah berlangsung dari awal Islam.
Karena itu, tersebutlah al-Hasan Al-Basri dan Ahmad bin Hambal sebagai
tokoh-tokoh ahlussunnah wal jama’ah. Akan tetapi, dalam perkembangan kemudian
terdapat dua tokoh yang mengembangkan ahlussunnah wal jama’ah yaitu Abu
al-Maturidi, sehingga mereka disebut sebagai pendiri ahlussunnah wal jama’ah.
Secara umum, ada dua hal yang membedakan Ahlussunnah dari aliran
lainnya. Pertama, Ahlussunnah meyakini bahwa penilaian baik dan buruk
didasarkan kepada syariat. Kedua, paham ahlussunnah wal jama’ah dianut
mayoritas umat Islam, dengan dasr pemikiran bahwa wewenang menilai tahsin dan menilai tagbih di serahkan kepada syariat, maka
ahlussunnah wal jama’ah berbeda dengan mu’tazilah yang meyakini bahwa wewenang
menilai tahsin dan menilai tagbih diserahkan kepada Akal (rasio).
Imam mazhab empat dalam menentukan suatu hukum tidaklah
semata-mata mengikuti kehendak suara hatinya sendiri, akan tetapi selalu
berdasarkan petunjuk dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam menentukan pilihan
dasar hukum yang dijadikan pegangan utama, para imam Mazhab empat berpedoman
pada ayat 59 dalam surat An-Nisaa’ yang artinya “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah SWT dan taatilah Rasulullah dn Ulil Amri diantara kalian.
Kemudian jika kamu kembalikan ia kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.[5]
Dengan demikian sumber hukum dasar yang dijadikan sebagai
landasan pengambilan hukum oleh para imam mazhab empat adalah:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah dasar hukum yang pertama dan utama dalam
Islam. Karena itu setiap muslim harus menerima bahwa asas yang pertama dan
terkuat untuk menentukan hukum Islam adalah Al-Qur’an.
2.
Al-Hadits
atau As-Sunnah
Al-hadits atau As-Sunnah meliputi sunnah Qauliyan,
Fi’liyah, dan sunnah Taqririyah. Dalam agama Islam al-Hadits atau as-Sunnah
mempunyai peran yang sangat penting dan merupakan sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an.
3.
Ijma’
Yaitu kesepakatan para ulama’ mujtahid mengenai suatu
hukum ijma’ baru dapat dipergunakan sebagai dalil terhadap suatu perkara
sesudah ternyata tidak ditemkan nash Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Ijma’, ada
beberapa macam diantaranya ijma’ sharih, ijma’ sukuni, ijma’ sababy, ijma’
khalifah empat, dan lain-lainnya.
4.
Qiyas
Qiyas adalah menyamakan suatu masalah yang belum
diketahui hukumnya, karena diantaranya terdapat kesamaan (illat) yang menjadi
dasar penentu hukum. Berdasarkan pengertian diatas, maka dalam mengqiyaskan suatu hukum harus diperhatikan empat hal, yaitu:
a.
Asal,
yaitu sesuatu yang sudah ada nash hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat
menyerupakan.
b.
Far’un
yaitu sesuatu yang belum diketahui hukumnya dan dimaksudkan untuk diukur atau
diserupakan dengan hukum asal.
c.
Hukum
asal yaitu hukum syara’ yang terdapat pada asal dan dimaksudkan menjadi hukum
bagi far’un.
d.
Illat yaitu
sebab yang menggabungkan atau menghubungkan antara asal (pokok) dengan far’un
(cabang).
Dengan kata lain,
Illat merupakan sifat atau keadaan yang melandasai hukum asal karena sifat atau
keadaan itu pada far’un, maka menyebabkan persamaan hukumnya.
Selain keempat dasar hukum tersebut, Imam Hanafi
menambahkan satu dasar lagi yaitu istihsan sedangkan Imam Malik menambah dengan maslahah mursalah.
D.
CIRI-CIRI
AKIDAH ASWAJA
Perumus Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah dalam Bidang Akidah
Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni, dan sudah ada sejak masa Rasulallah SAW. Hanya saja waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada ajaran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Karena itu, ketika ada yang menyebut Ahl al- Sunah wa al-Jama’ah, pasti yang dimaksud adalah golongan yang mengikuti rumusan kedua iman tersebut.
Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni, dan sudah ada sejak masa Rasulallah SAW. Hanya saja waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada ajaran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Karena itu, ketika ada yang menyebut Ahl al- Sunah wa al-Jama’ah, pasti yang dimaksud adalah golongan yang mengikuti rumusan kedua iman tersebut.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Imam Ahmad bin Hajar
al-Haitami dalam Tathhir al-Janan wa al-Lisan, “Jika Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah
disebutkan, maka yang dimaksud adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang
digagas oleh Imam Asy’ari (golongan Asya’riah) dan Imam Maturidi (golongan Maturidiyyah)”.
(Tathhir al-Janan wa al-Lisan, 7)
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thasy Kubri Zadah, sebagaimana yang dikutip oleh DR Fathullahi Khulayf dalam pengantar kitab al-Tauhid karangan Imam Maturidi, “Thasy Kubri Zaddah berkata, ”Ketahuilah bahwa polopor gerakan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam ilmu kalam adalah dua orang. Satu orang bermadzhab Hanafi, sedang yang lain dari golongan Syafi’I.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thasy Kubri Zadah, sebagaimana yang dikutip oleh DR Fathullahi Khulayf dalam pengantar kitab al-Tauhid karangan Imam Maturidi, “Thasy Kubri Zaddah berkata, ”Ketahuilah bahwa polopor gerakan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam ilmu kalam adalah dua orang. Satu orang bermadzhab Hanafi, sedang yang lain dari golongan Syafi’I.
Seorang yang bermadzhab Hanafi itu adalah Abu Mansyur
Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Sedangkan yang dari golongan
Syafi’i adalah Syaikh al-Sunnah, pemimpin masyarakat, imam para mutakallimin,
pembela sunnah Nabi SAW dan agama Islam, pejuang dalam menjaga kemurnian akidah
kaum muslimin, (yakni) Abu al-Hasan al-Asy’ari al-Bashri”. Dua orang inilah yang menjadi polopor gerakan
kembali pada ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Intisari dari kedua rumusan
beliau tersebut tersimpul pada kitab-kitab yang telah diajarkan di pesantren
seperti Aqidah al-Awam, Kifayah al-Awam, al-Jawahir al-Kalamiyyah. Jawharah
al-Tauhid serta kitab lain yang sudah tidak asing bagi orang-orang yang belajar
di pesantren.
Nama lengkap Imam Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin
Isma’il al-Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H /874 M dan wafat pada
tahun 324 H/936 M. Beliau adalah salah satu keturunan sahabat Nabi SAW yang
bernama Abu Musa al-Asy’ari. Setelah ayahnya meninggal dunia, ibu beliau
menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama al-Jubba’i. Karena
menjadi anak tiri al-Juba’i, Imam Asy’ari sangat tekun mempelajari aliran
Mu’tazilah, sehingga beliau sangat memahami aliran ini. Tidak jarang beliau
menggantikan ayahnya menyampaikan ajaran Mu’tazillah. Berkat kemahirannya ini,
dan juga posisinya sebagai anak tiri dari salah seorang tokoh utama Mu’tazilah,
banyak orang memperkirakan bahwa suatu saat beliau akan menggantikan kedudukan
ayah tirinya sebagai salah seorang tokoh Mu’tazilah.
BAB III
ANALISIS
Aswaja merupakan
singkatan dari istilah Ahl al-Sunah wa al- ajma ah. Ada tiga kata yang
membentuk tiga kata tersebut: berarti keluarga, golongan atau pengikut.
Al-sunnah, yaitu sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW Al-Jama’ah, yakni
apa yang disepakati oleh sahabat Rasul SAW pada masa al-Khulafa al-Rasyidun.
Dengan
demikian sumber hukum dasar yang dijadikan sebagai landasan pengambilan hukum
oleh para imam mazhab empat adalah:
1.
Al-Qur’an
2.
Al-Hadits
atau As-Sunnah
3.
Ijma’
4. Qiyas
BAB IV
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah
diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis dan
sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan. Sebagai sebuah metode pemahaman dan
penghayatan, dalam makna tertentu ia tidak dapat disamakan dengan metode
akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik, sisi teknikalitas
pendekatan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi prosedur yang teliti dan
nyaris pasti. Namunpun demikian dalam ruang akademis pembaharuan atau perubahan
sangat mungkin terjadi.
Sebagai metode berpikir, boleh jadi pada saatnya nanti Aswaja akan memiliki
kadar teknikalitas sama tinggi dengan metode ilmiah. Namun dalam pandangan kami
upaya pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap Aswaja perlu kita
upayakan bersama-sama terlebih dahulu. Khususnya terhadap apa yang telah kami
sajikan di sini, yang sangat butuh banyak masukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ibn Al-Atsir, Al-Kamil fi
al-Tarikh, Jilid III, Dar al-Shadir, Bairut, 1965.
Sirajuddin
Abbas, K.H., I’tiqad Ahlussunah
wal-jama’ah, Pustaka Tarbiyah Baru, Jakarta, 2008.
Yusran
Asmun, Drs., Pengantar Studi Sejarah
kebudayaan dan Pemikiran Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta 1996.
0 komentar:
Post a Comment