BAB I
PENDAHULUAN
Akhir yang dapat dimungkinkan adalah tujuan dari
kesempurnaan penciptaan Allah SWT semata-mata bagi makhluq-Nya. Dimana dalam aktualisasinya seseorang beribadah pada Allah bukan
untuk Allah dan tidak sebagian kecilpun Allah diuntungkan dengan ibadah yang
mereka lakukan, tetapi keuntungan didapat bagi manusia itu sendiri.
Juga
halnya dengan pengingkaran tidak sedikitpun telah menjadikan Allah SWT rugi
atas pengingkaran manusia itu sendiri. Dalam mazhab Asy’ari ketika menjelaskan
aturan kesempurnaan ini tidak mendukung kesimpulan diatas, sehingga aqidahnya
menampakkan penyimpangan terhadap tujuan kesempurnaan bagi makhluq Allah SWT.
BAB II
PEMBAHASAN
LATAR BELAKANG PENGAKTUALAN KEMBALI ASWAJA
A.
LATAR
BELAKANG BERDIRINYA ASWAJA
Setelah Rasulullah SAW. wafat, bibit-bitit perselisihan diantara umat Islam
mulai tampak perselisihan dalam berbagai masalah menyebabkan timbulnya
firqoh-firqoh atau aliran-aliran seperti telah di ramalkan oleh Rasulullah SAW.[1]
Menurut para ahli sejarah, firqoh-firqoh dalam Islam
timbul pada akhir pemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan. Ketika itu, tampil
Abdullah Ibnu Saba’ seorang pendeta Yahudi asal Yaman yang mengaku Islam.
Adapun firqoh-firqoh yang muncul pada masa sahabat di
antaranya Ada tujuh yaitu:
1. Wishayah
Mazhab ini berhasil mempengaruhi para pendukung sayyidina
Ali bin Abi Thalib menurut mazhab ini, ada washiyat dari Nabi SAW untuk
menjadikan sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah sesudah beliau wafat.
Di tegaskan pula bahwa hanya sayyidina Ali yang berhak menjadi Khalifah
pengganti Rasulullah SAW.
2.
Hak
Illahi
Seperti halnya Mazhab Wishayah aliran ini di propaganda
oleh Abdullah Ibnu Saba’. Aliran ini memperkuat kedudukan Sayyidina Ali menurut
aliran ini, hanya sayyidina Ali yang berhak menjadi khalifah karena hal itu
telah menjadi ketentuan Allah SWT. Pada tahun 31 H muncul golongan syi’ah yang sangat
fanatik terhadap Sayyidina Ali bahkan terlalu mendewakan Sayyidina Ali.
3.
Khawarij
(yang keluar)
Golongan ini
merupakan kelompok tentara Ali yang memisahkan diri golongan ini bersemboyan “la hukma illa lillah”. Mereka memandang
bahwa pelaku majelis tahkim yang menerima tahkim adalah kafir.
Lambat laun golongan khawarij pecah menjadi beberapa
sekte di antaranya :
-
Al-Muhakkimah
-
Al-Azariqah
-
Al-Najdat
|
-
Al-Ajaridah
-
Al-Sufriyah
-
Al-Ibadah
|
4.
Murji’ah
Kelompok ini di
pimpin oleh Hasan bin Bilal Al-Muzni, kelompok ini mengeluarkan fatwa bahwa
berbuat maksiat tidaklah mengandung mudharat apabila sudah beriman dan
begitupun berbuat kebajikan juga tidak mengandung manfaat jikalau masih kafir
karena itu pelaku dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir.
5.
Jabariyah
Tokoh golongan ini
bernama Jahm bin Sofwan dari Khurasan. Golongan ini mengatakan bahwa manusia
tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa (Majbur).
Manusia tidak mempunyai daya, kehendak. Dan pilihan
Artinya semua telah di tentukan oleh Allah SWT.
6.
Qodariyah
Golongan ini
dipimpin oleh Ma’abd Al-Juhaini golongan ini mengajarkan bahwa manusia berkuasa
atas segala perbuatannya.[2]
7.
Mu’tazilah
Golongan ini di
pelopori oleh Wasil bin Atha’ dalam membahas masalah-masalah ketuhanan mereka
lebih banyak memakai akal sehingga mereka dikenal sebagai kaum Rasionalis.
Akal menempati tempat utama, sehingga kurang
memperhatikan dalil-dalil Naqli (Al-Qur’an dan Al-Hadits).
Beberapa golongan di atas tumbuh dan berkembang karena
persoalan politik. Pada saat-saat yang demikian ajaran Ahlussunnah wal jama’ah
mutlak di populerkan kembali sehingga umat Islam dapat terbebas dari ajaran
yang sesat.
Jadi Ahlussunnah wal jama’ah bukanlah satu
ajaran yang muncul sebagai reaksi dari timbulnya beberapa aliran yang
menyimpang dari ajaran Islam yang murni seperti:
Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Jabariyah, Qodariyah,
dan Mu’tazilah.
Tetapi Ahlussuunnah
wal jama’ah benar-benar sudah ada sejak
zaman nabi SAW dan justru aliran-aliran itulah yang menodai kemurnian
ajarannya.
B.
PENGAKTUALAN
KEMBALI ASWAJA
Ucapan Imam Ali as. yang mengilhami pandangan mazhab Ahli
Bait dengan perbuatan baik itu muncul atas keterpaduan ikhtiar manusia dan
pertolongan Allah sebagai penentu kebaikan. Sedangkan hilangnya pertolongan
Allah pada diri manusia yang menyebabkan perbuatan manusia itu buruk (hilangnya
nilai ataupun esensialnya). Dalam menjelaskan hal itu, Allah tetap dalam posisi
yang muutlak kebebasan-Nya, dan ikhtiar manusiapun memiliki nilai sebagai
karunia ilahiyyah yang diberikan pada manusia. Dalam pada itu doa, aturan,
hukum serta muamalah manusia memiliki eksistensi yang dihormati dalam
kehidupan. Dalam pada itu Allah tetap mengelola ummat manusia, mengawasinya dan
menolongnya, yang keseluruhan perbuatan Allah tidak membuat Dia menjadi terikat
ataupun tergantung.
Allah adalah contoh utama dalam melakukan setiap
perbuatan baik-Nya. Dari ucapan Imam Ali as. ” Semua yang dzahir selain Dia
adalah bathin dan semua yang bathin selain Dia tidak mungkin bersifat dzahir”.
Menampakan tujuan aturan kesempurnaan yang dikehendaki-Nya. Pada dasarnya Islam menolak kedua pengertian ekstreem
diatas. Islam memandang aturan dhohirnya sebnantiasa terselip aturan
bathiniyyah dan sebaliknya. Seperti yang dicontohkan dalam hukumhukum Isla,
misalnya hubungan seksual sepasang suami istri selintas aturannya bersifat
dhohir semata. Kebahagian didalamnya seakan merupakan kebahagian dhohir yang
tak terkait dengan hal-hal bathin. Namun Islam memandang hubungan intim dengan
istri merupakan ibadah yang besar disisi Allah. Sedangkan ibadah terkait erat
dengan hubungan bathiniyyah seorang hamba dengan khaliqnya. Sebaliknya aturan
puasa dalam Islam sekilas nampak berkaitan dengan hal-hal yang bersifat bathin,
namun Islam Islam memandang dengan berpuasa seseorang akan menjadi sehat
jasmaninya. Kesehatan yang bersifat dhohir.[3]
Dari kedua contoh diatas dapat disimpulkan atauran Islam
yang satu menyentuh dua hal sekaligus, dan tidak dengan aturan yang terpisah.
Aturan dhahirnya terdapat dalam ujung jantung bathinnya, dan aturan bathinnya
terdapat pada ujung jantung dhohirnya. Selain dhohir dan bathin, kehidupan manusia terkait dengan pekerjaan
individu dan sosial. Sebagaimana aturan Islam terk
Manusia dalam kehidupannya terkadang menilai perbuatan
dirinya ataupun perbuatan manusia lainnya dengan kaca pandang individual yang
berangkat dari dalam dirinya. Adakalanya penilaian berangkat dari
pandangan sosial. Dengan dua pandangan ini berbagai persoalan tidak dapat lagi
dipertemukan kecuali, bertemu akhirnya saling menghargai pendapat yang berbeda
dengan membiarkan permasalahan tanpa solusi. Belum lagi bila kedua titik
pandang bertitik tolak dari disiplin keilmuan yang beragam. Permasalan tampak
semakin rumit.
Dengan melihat
aturan yang terdapat dalam Islam sebagaimana dicontohkan oleh Imam Husein as.
yang meninggalkan haji pada musim haji dan berangkat jihad. Yang demikian
karena keadaan saat itu jihad sekilas tampak merupakan urusan sosial, namun
Islam justru menjelaskan jihad al-Husein as. adalah puncak dari ibadah yang tak
terbandingkan. Bila Allah memuliakan ahli Badar dengan perbandingan musuh 1.000
orang sedang pihak muslimin 313 orang, maka apa yang dapat dikatakan dengan
perlawanan 72 pasukan al-Husein dengan 10.000 bala tentara iblis berwajah
manusia. Dalam pada itu Islam memandang pekerjaan sosial terkandung padanya
nilai individu yang paling dalam.
Sholat selintas tampak menyangkut urusan yang semata
berkaitan dengan urusan individual semata, namun Islam memandangnya memiliki
dampak sosial. Dari itu syare’at Islam bukanlah aturan kesempurnaan yang
terpisahkan, tetapi aturan kesempurnaan yang satu didalamnya tercakup nilai
individual dan nilai sosial, dengan satu aturan “Islam”.
Setelah aturan kesempurnaan Islam menyangkut dhohir dan
bathin, individu dan sosial dengan segala aturan, adakah aturan tersebut
bersifat awal atau akhir? Pengertian akhir adalah, jika
seseorang sudah sekali melakukan sholat berarti telah sampai pada pada tujuan
kesempurnaan tersebut, yang mana sholat tak lagi diperlukan lagi baginya. Jelas
“tidak”, sehingga dapat dikatakan hal tersebut merupakan awal dalam perjalanan
manusia mencapai kesempurnaan yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan “segala
sesuatu membutuhkan Allah”, dan kebbutuhan mencapai kesempurnaan yang lebih
tinggi senantiasa terdapat dalam ketaatan pada aturan syare’at Islam ini.
Aturan Islam
dalam perwujudan kesempurnaan manusia tidak utopis, sekedar keindahan yang
dibenak tanpa dapat diaktualisasi. Dalam pada itu manusia mambutuhkan selain
aturan, adalah wujud manusia puncak kesempurnaan yang dapat ditauladani dalam
kehidupannya sehari-hari. Ketauladanan rasulullah telah dinyatakan oleh
al-Qur’an, namun sepeninggal beliau ketauladanan sebagaimana beliau tetap
dibutuhkan dalam pengaktualan Islam.
BAB III
ANALISIS
Jadi Ahlussunnah wal jama’ah bukanlah satu
ajaran yang muncul sebagai reaksi dari timbulnya beberapa aliran yang
menyimpang dari ajaran Islam yang murni seperti:
Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Jabariyah, Qodariyah,
dan Mu’tazilah.
Kemudian
dalam aktualisasinya seseorang beribadah pada Allah bukan untuk Allah dan tidak
sebagian kecilpun Allah diuntungkan dengan ibadah yang mereka lakukan, tetapi
keuntungan didapat bagi manusia itu sendiri.
Juga
halnya dengan pengingkaran tidak sedikitpun telah menjadikan Allah SWT rugi
atas pengingkaran manusia itu sendiri. Dalam mazhab Asy’ari ketika menjelaskan
aturan kesempurnaan ini tidak mendukung kesimpulan diatas, sehingga aqidahnya
menampakkan penyimpangan terhadap tujuan kesempurnaan bagi makhluq Allah SWT.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari pembahasan
makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Allah adalah contoh utama dalam melakukan
setiap perbuatan baik-Nya. Dari ucapan Imam Ali as. ” Semua yang dzahir selain
Dia adalah bathin dan semua yang bathin selain Dia tidak mungkin bersifat
dzahir”. Menampakan tujuan aturan kesempurnaan yang dikehendaki-Nya. Pada
dasarnya Islam menolak kedua pengertian ekstreem diatas. Islam memandang aturan
dhohirnya senantiasa terselip aturan bathiniyyah dan sebaliknya.
Seperti yang dicontohkan dalam hukum hukum
Islam, misalnya hubungan seksual sepasang suami istri selintas aturannya
bersifat dhohir semata. Kebahagian didalamnya seakan merupakan kebahagian
dhohir yang tak terkait dengan hal-hal bathin.
DAFTAR PUSTAKA
Sirajuddin
Abbas, K.H., I’tiqad Ahlussunah
wal-jama’ah, Pustaka Tarbiyah Baru, Jakarta, 2008.
Yusran
Asmun, Drs., Pengantar Studi Sejarah
kebudayaan dan Pemikiran Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta 1996.
0 komentar:
Post a Comment