BAB I
PENDAHULUAN
Fenomena anak kesulitan belajar ataupun anak
berkebutuhan khusus di sekolah formal dapat mencapai 10% dari populasi di
sekolah. Fenomena tersebut khususnya adalah banyak ditemui anak hiperaktif di
sekolah formal di tingkatan SD dan perlu penangan yang tuntas sehingga tidak
mengganggu siswa lainnya serta aktivitas belajar dan mengajar di sekolah
(Saputro, 2009). Oleh karena mereka lolos tes masuk sekolah, maka sudah
menjadi tanggung jawab sekolah dan guru untuk menanganginya. Jika tidak
mampu, maka peran psikolog dan terapist psikologi untuk membantu menangani
permasalahan ini.
Anak dengan berkebutuhan khusus (ABK) disebut
juga special needs children dapat diartikan secara sederhana
sebagai anak yang lambat (slow) atau mengalami gangguan (retarded) yang
tidak akan pernah berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya.
Atau dengan kata lain Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai
seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan
belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual. (Nz,
2011)
BAB I
PEMBAHASAN
ANAK
KESULITAN BELAJAR DI SEKOLAH FORMAL: INTERVENSI DAN PENANGANANNYA
A. KELAINAN MENTAL ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS
Adapun Kelainan Mental Anak
Berkebutuhan Khusus ada lima macam diantaranya terdiri dari:
- Mental Tinggi (berbakat secara intelektual)
Mental Rendah (IQ antara 70 –
90, di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus); Berkesulitan Belajar
Spesifik.
- Kelainan Fisik meliputi
Kelainan Tubuh (Tunadaksa), Kelainan
Indera Penglihatan (Tunanetra), Kelainan Pendengaran (Tunarungu), Kelainan
Bicara (Tunawicara).
- Kelainan Emosi
Gangguan Perilaku (Mengganggu di
kelas, Tidak sabaran-terlalu cepat bereaksi, Tidak menghargai-menentang,
Menyalahkan orang lain, Kecemasan terhadap prestasi di sekolah, Bergantung
terhadap orang lain, Pemahaman yang lemah, Reaksi yang tidak sesuai, Mela-mun,
tidak ada perhatian, dan menarik diri).
- Gangguan Konsentrasi (ADD/Attention Deficit Disorder)
Gejala-gejala inattention tersebut
antara lain: Sering gagal untuk memperhatikan secara detail, atau sering
membuat kesalahan dalam pekerjaan sekolah atau aktivitas yang lain, Sering
kesulitan untuk memperhatikan tugas-tugas atau aktivitas permainan.
- Gangguan Hiperaktif (ADHD/Attention Deficit Hiperactivity Disorder), misalnya Perilaku tidak bisa diam, Ketidakmampuan untuk memberi perhatian yang cukup lama, dan Hipe-raktivitas (Nz, 2011).
B. PERAN GURU DAN ORANG TUA
Dari berbagai pembahasan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki
perbedaan-perbedaan baik perbedaan interindividual mau-pun intraindividual yang
signifikan dan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan ling-kungan
sehingga untuk mengembangkan potensinya dibutuhkan pendidikan dan pengajaran,
salah satunya adalah melalui intervensi psikologi. Berkebutuhan khusus lebih
memandang pada kebutuhan anak untuk mencapai prestasi dan mengembangkan
kemampuannya secara optimal, sedang pada luar biasa atau berkelainan adalah
kondisi atau keadaan anak yang memer-lukan perlakuan khusus.
Oleh karena itu peran guru dan orang
tua memiliki kontribusi yang sangat besar dalam mendeteksi anak berkebutuhan
khusus sejak dini. Semakin dini terdeteksi, maka akan semakin baik intervensi
yang dilakukan. Deteksi dini dan intervensi efektif dapat dilakukan saat anak
usia minimal 7 tahun dan sebelum 12 tahun.
C. INTERVENSI PSIKOLOGI ANAK KESULITAN
BELAJAR
Salah satu intervensi psikologis
yang ada di Indonesia untuk anak kesulitan belajar adalah dengan Melani’s
Metacognitive Intervention. Berdasarkan hasil uji yang dilakukan kepada
150 anak kesulitan belajar (Mix Method), intervensi ini telah terbukti
berhasil seperti intervensi untuk masalah recovery kesulitan
belajar belajar. Intervensi metakognitif dapat meningkatkan kesadaran diri
sebagai kontrol diri untuk anak-anak untuk diri dan lingkungannya yang
berpengaruh terhadap fungsi kognitif (Barrow, 1990; Matlin, 2000; Freeman, 2005
dalam Arnaldi, 2011a).
Pelatihan dengan kondisi ini penting
sebagai upaya untuk pemulihan kondisi psikologi anak dan juga untuk melatih
metode kognitif metakognitif function.Metode ini sangat mudah untuk
dilaksanakan, karena metode ini dekat dengan metode pembelajaran yang mereka
terima di sekolah. Intervensi ini dibagi menjadi 3 tahap, pertama adalah terapi
dengan menggunakan wawancara, saran, dan metafora. Kedua, dengan pelatihan
kognitif. Fungsi dan pelatihan dengan pelatihan memikirkan strategi untuk
mencapai pengolahan informasi yang optimal (William Pierce, 2003 dalam Arnaldi
2011a). Tujuan dari pelatihan adalah untuk menciptakan anak dengan proses
kognitif yang baik. Penelitian untuk kereta intensif 8 bulan membuktikan bahwa
skor anak di sekolah meningkat secara signifikan.
Bagaimana metode ini bekerja adalah
didasari dengan melihat dan mengamati bagaimana proses kognitif pada anak.
Latar belakang penentuan proses kognitif tersebut adalah didasari
pernyataan Smith dan Strick (1999 dalam Arnaldi, 2011) yang
mengkategorikan anak-anak dengan kesulitan belajar dengan short
attention span, difficulty following directions, social immaturity,
difficult with conversation, inflexibility, poor planning and organizational
skills, absentmindedness, clumsiness, lack of impulse control. Masalah
utama pada anak-anak dengan kesulitan belajar yang disebabkan oleh kesulitan
dalam fungsi kognitif, afektif masalah, dan adaptasi perilaku.
Tapi masalah utama adalah sulit
untuk ditelusuri karena anak-anak dengan belajar cacat ditemukan dalam kondisi
sudah rumit. Penampilan dari kompleksitas terjadi karena variabel laten yang
sulit untuk diungkapkan terutama anak-anak dengan kognitif distorsi (Melani,
2006 dalam Arnaldi, 2011b) yang. Dalam rangka untuk mengungkapkan tiga masalah
secara terpisah, peneliti merancang parameter yang mengacu pada asumsi bahwa
fungsi kognitif adalah kontrol dari tiga fungsi yang memiliki masalah (Riegler
& Riegler, 2004 dalam Arnalddi, 2011) Parameter ini dikembangkan dari
Taksonomi Bloom (Krathwol, 2001 dalam Arnaldi, 2011) yang digunakan dalam
studi evaluasi. Peneleliti melakukan beberapa pengembangan dan modifikasi untuk
membuat parameter untuk mengamati tahap pembangunan kognitif manusia yang
digunakan sebagai pedoman untuk intervensi (Arnaldi, 2011).
Intervensi metakognitif dapat
meningkatkan kesadaran diri sebagai kontrol diri untuk anak-anak untuk diri
mereka sendiri dan lingkungannya yang berpengaruh terhadap fungsi kognitif
(Barrow, 1990; Matlin, 2000; Freeman, 2005 dalam Arnaldi, 2011b).
Pelatihan metode metakogitif dengan kondisi ini penting sebagai upaya untuk
kondisi pemulihan psikologi anak dan juga untuk melatih fungsi kognitif. Kognitif
proses Melani untuk anak-anak terdiri atas:
- Konsentrasi: Target peningkatan pemantauan diri dengan mempertahankan konsentrasi dengan proses kontrol emosional dan kognitif, seperti koordinasi motorik, motivasi, sikap, perhatian fokus, menjaga konsentrasi, membaca teknis, kecepatan membaca.
- Memory: kemampuan untuk mempertahankan kosa kata dalam memori sebagai mengenali dan mengingat.
- Pemahaman: komunikasi dan interaksi sebagai interpretasi, menjelaskan, mencontohkan.
- Pengendalian perilaku: meningkatkan kesadaran diri dan self regulation untuk mengendalikan emosi dan perilaku dengan menjalankan danimplementasi.
- Analisis: kemampuan untuk meningkatkan kemampuan dasar kognitif dengan membedakan, detail deskripsi dan pengorganisasian.
- Sintesis: kemampuan untuk meningkatkan kemampuan dasar kognitif dengan silogisme, hipotesis dan ringkasan.
- Evaluasi: kemampuan untuk memberikan nilai dalam pemecahan masalah dengan cek dan kritis.
- Kreativitas berpikir: fleksibilitas berpikir untuk mengatasi masalah dan adaptasi dalam situasi nyata seperti alternatif, menghasilkan dan memproduksi (Arnaldi, 2011).
Mau tidak mau, suka atau tidak suka, peran terapist dan psikolog bermain di
sini. Guru dan sekolah berperan dalam pengajaran dan evaluasi akademis.
Penanganan klinis dilakukan oleh pelaku terapist psikologi dengan efektif
pada usia dini minimal 7 tahun. Jika tidak ditangani dengan baik, maka
anak akan masuk ke dalam SLB atau mengalami kegagala dalam akademis.
Elaborasi, kolaborasi, dan harmonisasi psikolog, psikiatri, dan pendidik
menjadi kunci agar permasalahan anak kesulitan belajar dan berkebutuhan khusus
di sekolah formal tidak menjadi epidemi. Seperti tulisan saya yang berjudulHarmonisasi
psikolog, psikiatri, dan pendidikan (refleksi kesetimbangan di alam).
Saatnya kita melakukan tindakan, dimulai dari yang sederhana dan di dekat kita,
yaitu bagaimana dilakukan deteksi dini yang akurat. Semoga tulisan ini
menjadi langkah awal dalam membangun bidang pendidikan di Indonesia menjadi
lebih baik.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Arnaldi, Melani. (2011). Effectivity
method intervenes Melani’s metacognitive for learning disability of children in
Indonesia. Procedia Social and Behavioural Sciences, 29,164-169.
Arnaldi, Melani. (2011). Cognitive
process to parameter assessment learning disability of children. Procedia
Social and Behavioral Science. 29, 170-178.
Nz, Shinta Alfani’ma.
(2011). Definisi anak berkebutuhan khusus. http://pendidikanabk.blogspot.com/2011/10/definisi-anak-berkebutuhan khusus.html. Diakses pada 12 Maret
2013.
Saputro, D. (2009). ADHD
(Attention Deficit/Hyperactivity Disorder). Jakarta : Sagung Seto
0 komentar:
Post a Comment