BAB I
PENDAHULUAN
Apabila dilihat dari sejarahnya, Pajak
Pertambahan Nilai merupakan
pengganti dari Pajak Penjualan. Alasan
penggantian ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk
menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan,
antara lain untuk meningkatkan penerimaan Negara, mendorong ekspor, dan
pemerataan pembebanan pajak.
Pajak Penjualan sendiri mempunyai beberapa
kelemahan diantaranya adanya pajak berganda, bermacam-macam tarif (ada 9 macam
tarif), sehingga menimnbulkan kesulitan pelaksanaanya, tidak mendorong ekspor
dan belum dapat mengatasi penyelundupan. Dari beberapa kelemahan pajak tersebut, maka
disini kami akan menjelaskan suatu makalah yang berjudul Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM) agar kita mengetahui tentang
pajak tersebut dan bisa menerapkan dilapangan dengan baik dan benar.
BAB II
PEMBAHASAN
PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI DAN PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH (PPN DAN PPnBM)
A.
DEFINISI-DEFINISI
1.
Daerah Pabean
adalah wilayah Republik Indonesia yang wilayah darat, perairan dan ruang udara di
atasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landasan
Kontinen yang didalamnya berlaku Undang-undang Nomor 10 Tahun 1996 tentang
Kepabeanan.
2.
Impor adalah
setiap kegiatan memasukan barang dari Luar Daerah Pabean kedalam Daerah Pabean.
3.
Ekspor adalah
setiap kegiatan mengeluarkan barang dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah
Pabean.
4.
Pajak Masukan
adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah di bayar oleh Pengusaha
Kena Pajak karena perolehan BKP dan atau penerimaan atau pemanfaatan JKP dari
luar Daerah Pabean dan atau impor BKP.
5.
Pajak Keluaran
adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, atau ekspor BKP.
6.
Masa Pajak
adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau jangka
waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3
(tiga) bulan takwim.[1]
B.
DASAR HUKUM PPN DAN PPnBM
Dalam menentukan dasar hukum PPN dan PPnBM yaitu Undang-undang
yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPn BM) adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2000. Undang-undang ini disebut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
1984.[2]
C.
BARANG KENA PAJAK (BKP)
Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang
dikenal pajak berdasarkan Undang-Undang PPN. Pada dasarnya, semua barang adalah
BKP, kecuali undang-undang menetapkan sebaliknya. Jenis barang yang tidak
dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas
kelompok-kelompok barang sebagai berikut:
1.
Barang hasil
pertambangan, penggalian dan pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya
2.
Barang-barang
kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak (seperti jagung,
gabah, beras dll)
3.
Makanan dan
minuman yang disajikan dihotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya
meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi ditempat maupun tidak. Tidak
termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering.
4.
Uang, emas
batangan dan surat-surat berharga (saham, obligasi dan lainnya).[3]
D.
JASA KENA PAJAK (JKP)
Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan
pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau
fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang
dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan
dan atas petunjuk pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undangs PPN
1984.
Pada dasarnya, semua jasa dikenakan pajak, kecuali
yang ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Jenis jasa yang tidak dikenakan
PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok
jasa sebagai berikut:
1.
Jasa dibidang
pelayanan kesehatan medis (jasa dokter hewan, jasa ahli kesehatan ahli gizi,
jasa dokter umum dll)
2.
Jasa
dibidangpelayanan sosial (jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo, jasa
pemadam kebakaran dan lain sebagainya)
3.
Jasa dibidang
pengiriman surat dengan perangko (kantor pos, tiki dll)
4.
Jasa dibidang
perbankan, asuransi dan sewa guna usaha dengan hak opsi (seperti jasa
perbankan, jasa asuransi, jasa sewa guna usaha dengan Hak Opsi).
5.
Jasa dibidang
keagamaan (jasa pelayanan rumah ibadah, jasa pembagian dakwah dan khotbah dll)
6.
Jasa dibidang
pendidikan
7.
Jasa dibidang
tenaga kerja (jasa tenaga keraja, jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang
pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari
tenaga kerja tersebut, jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja)
8.
Jasa persewaan
ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel,
losmen dan hostel.[4]
E.
PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP)
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa
dari luar Daerah Pabean.
Sedangkan Penusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha
sebagaimana dimaksud pada penjelasan diatas, yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan
Undang-Undang PPN 1984, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Kecuali pengusaha kecil yang
memilih untuk dilakukan sebagai Pengusaha Kena Pajak.[5]
Ada beberapa kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP)
diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Melaporkan
usahanya untuk dilakukan menjadi PKP
2.
Memungut PPN dan
PPnBM yang terutang
3.
Membuat faktur
pajak atas setiap penyerahan kena pajak
4.
Membuat nota
retur dalam hal terdapat pengambilan BKP
5.
Melakukan
pencatatan atau pembukuan mengenai kegiatan usahanya
6.
Menyetor PPN dan
PPnBM yang terutang
7.
Menyampaikan
Surat Pemberitahuan Masa PPN.
Ada dua macam
pengecualian kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP) diantaranya adalah:
1.
Pengusaha kecil
Pengusaha
kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto atau penerimaan
bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,- (enam ratu juta rupiah). Beberapa yang
perlu diperhatikan dalam pengusaha kecil yaitu:
a.
Dilarang membuat
faktur pajak
b.
Tidak wajib
memasukan SPT Masa PPN
c.
Diwajibkan
membuat pembukuan atau pencatatan
d.
Wajib lapor
untuk dilakukuhkan sebagai PKP, bagi pengusaha kecil yang memperoleh peredaran
bruto diatas batas yang telah ditentukan.
2.
Pengusaha yang
semata-mata menyerahkan barang dan atau jasa yang tidak dikenakan PPN.
F.
PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK
Penyerahan barang yang termasuk dalam pengertian Penyerahan
BKP adalah:
1.
Penyerahan hak
atas BKP karena suatu perjanjian
2.
Pengalihan BKP
oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing
3.
Penyerahan BKP
kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
5.
Persediaan BKP
dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan, yang masih
tersisa pada pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan aktiva
tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan
6.
Penyerahan BKP
dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antara Cabang
7.
Penyerahan BKP
secara konsinyasi.[8]
G.
OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Pajak Pertambahan Nilai atau sering disingkat dengan
kata PPN ini dikenakan atas:
1.
Penyerahan BKP didalm Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak
2.
Impor BKP
3.
Penyerahan JKP
yang dilakukan didalam Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
4.
Pemanfaatan BKP
tidak berwujud dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean
5.
Pemanfaatan JKP
dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean
6.
Ekspor BKP oleh
Pengusaha Kena Pajak
7.
Kegiatan membangun
sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang
pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain
8.
Penyerahan aktiva
oleh Pengusah Kena Pajak (PKP) yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak
untuk diperjual belikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya
dapat dikreditkan.
H.
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPnBM)
Pajak penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) ini
dikenakan dengan pertimbangan sebagai berikut:
1.
Perlu adanya
keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan
konsumen yang berpenghasilan tinggi
2.
Perlu adanya
pengendalian pola konsumsi atas BKP yang Tergolong Mewah
3.
Perlu adanya
perlindungan terhadap produsen kecil tradisional
4.
Perlu untuk
mengamankan penerimaan Negara.[9]
Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah atau sering disingkat dengan (PPnBM) ini dikenakan atas:
1.
Penyerahan BKP
yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan BKP yang
Tergolong Mewah didalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha tau pekerjaanya
2.
Impor BKP yang
Tergolong Mewah oleh siapapun.[10]
I.
DASAR PENGENAAN PAJAK
Untuk menghitung besarnya pajak (PPN dan PPnBM) yang
terutang perlu adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP), yang menjadi DPP adalah
sebagai berikut:
1.
Harga jual
Harga
jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut menurut Undang-undang PPN 1984.
2.
Penggantian
Penggantian
adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP, tidak termasuk pajak yang
dipungut menurut Undang-Undang PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak.
3.
Nilai impor
Nilai
impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undang Pabean untuk impor BKP, tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) yang dipungut menurut Undang-Undang PPN 1984.
4.
Nilai ekspor
Nilai
ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh eksportir.
5.
Nilai lain yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.[11]
J.
MEKANISME PENGENAAN PPN
Adapun mekanisme pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) adalah sebagai berikut:
1.
Pada saat
membeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual. Bagi pembeli,
PPN yagn dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak dimuka
dan disebut dengan Pajak Masukan. Pembeli
berhak menerima bukti pemungutan berupa faktur pajak.
2.
Pada saat
menjaul/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi
penjual, PPN tersebut merupakan Pajak
Keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat
faktur pajak.
3.
Apabila dalam
suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim)
jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya
harus disetorkan ke kas Negara.
4.
Apabila dalam
suatu masa pajak jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada jumlah Pajak Masukan,
selisihnya dapat d irestitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa
pajak berikutnya.
5.
Pelaporan penghitungan
PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).[12]
K.
CARA MENGHITUNG PPN
Adapun cara untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) diperlukan rumus sebagai berikut:
PPN = Dasar
Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
Agar lebih mudah untuk dimengerti maka disini
pemakalah akan memberikan contoh agar kita mengerti cara menghitungnya:
Contoh:
1.
Pengusaha Kena
Pajak “A” menjual tunai BKP Kepada Pengusaha Kena Pajak “B” dengan Harga Jual
Rp. 25.000.000.,- PPN yang terutang:
10%
x Rp. 25.000.000,- = 2.500.000,-
PPN
sebesar Rp. 2.500.000,- tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “A” . Sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) “B”, PPN
tersebut merupakan Pajak Masukan.
2.
Seseorang
mengimpor BKP dari luar Daerah Pabean dengan nilai Impor Rp. 15.000.000,-.
PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai = 10 % x Rp. 15.000.000,-
= Rp. 500.000,-.[13]
L.
CARA MENGHITUNG PPnBM
Adapun cara untuk menghitung Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM) diperlukan rumus sebagai berikut:
PPnBM = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
Contoh:
PKP
“ABC” sebagai pabrikan menyerahkan barang hasil produksinya dengan harga jual
Rp. 10.000.000,-. Barang tersebut merupakan BKP yang Tergolong Mewah dengan
tarif PPnBM sebesar 40%. Penghitungan pajak yang harus dipungut adalah sebagai
berikut:
PPN : 10% x Rp. 10.000.000,- = Rp. 1.000.000,-
PPnBM : 40% x Rp. 10.000.000,- = Rp. 4.000.000,-
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka
dapat kami simpulkan bahwa Pajak Penjualan mempunyai beberapa kelemahan
diantaranya adanya pajak berganda, bermacam-macam tarif (ada 9 macam tarif),
sehingga menimnbulkan kesulitan pelaksanaanya, tidak mendorong ekspor dan belum
dapat mengatasi penyelundupan. Sedangkan dilain sisi Pajak Pihak Pertambahan
Nilai (PPN) mempunyai kelebihan
diantaranya adalah menghilangkan pajak berganda, menggunakan tarif tunggal,
sehingga memudahkan pelaksaanan, netral dalam persaingan dalam Negeri, netral
dalam perdagangan internasional, netral dalam pola konsumsi, dan dapat
mendorong ekspor.
Pajak Pertambahan Nilai atau sering
dikenal dengan PPN ini merupakan pajak tidak langsung dan pajak atas konsumsi
dalam Negeri. Semoga dalam penjelasan makalah yang sedikit ini, bisa bermanfaat
dan menjadikan wawasan kita bertambah menjadi mengerti apa itu pajak PPN dan
PPnBM.
DAFTAR PUSTAKA
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Mardiasmo, Perpajakan:
Edisi Revisi, (Jakarta: Penerbit Andi, 2009).
Soemitro, Rachmat, Asas dan Dasar Perpajakan 1 dan 2, (Bandung: Eresco, 1992).
[1] Mardiasmo, Perpajakan: Edisi Revisi, (Jakarta: Penerbit Andi, 2009), hal. 270.
[2] Ibid.
[3] Ibid, hal. 270-271.
[4] Ibid, hal. 272-274.
[5] Ibid, hal. 274.
[6] Pemakaian sendiri adalah
pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawanya, baik
barang produksi sendiri maupun bukan barang produksi sendiri.
[7] Pemberian Cuma-Cuma adalah
pemberian yang diberiakn tanpa pembayaran, baik barang-barang produksi sendiri
maupun bukan produksi sendiri, misalnya: contoh barang untuk dipromosi.
[8] Ibid, hal. 275.
[9] Ibid, hal. 277.
[10] Ibid.
[11] Ibid, hal. 278.
[12] Ibid, hal. 284.
[13] Ibid, hal. 285.
0 komentar:
Post a Comment