BAB I
PENDAHULUAN
Menikah
adalah salah satu sunnah Rasulullah. Sejak dahulu hingga kini ritual ini tetap
dilakukan oleh manusia. Bila seorang lelaki merasa cocok untuk mengarungi
kehidupan bersama seorang perempuan yang dicintainya, pernikahan adalah solusinya.
Tapi apakah bila merasa cocok mereka langsung menikah? Tidak adakah kewajiban
lain sebelum menikah? Apa menikah hanya ditentukan oleh perasaan cinta, suka
maupun setia? Perkawinan merupakan sesuatu yang mulia di dalam
Islam. Malahan ianya sangat dituntut sehinggakan junjungan besar Nabi Muhammad
S.A.W sendiri menyatakan bahawa sesiapa yang tidak mengikut sunnahku maka
bukanlah ia daripada umatku. Sunnah ini termasuklah perkawinan.
Menurut ajaran Islam,
anak adalah amanah Allah dan tidak bisa dianggap sebagai harta benda yang bisa
diperlakukan sekehendak hati oleh orang tua.Sebagai amanah anak harus dijaga
sebaik mungkin oleh yang memegangnya, yaitu orang tua. Anak adalah manusia yang
memiliki nilai kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan apa pun.
Adanya tahap-tahap perkembangan dan pertumbuhan anak, menunjukkan bahwa anak
sebagai sosok manusia dengan kelengkapan-kelengkapan dasar dalam dirinya baru
mulai mencapai kematangan hidup melalui beberapa proses seiring dengan
pertambahan usianya. Oleh karena itu anak memerlukan bantuan, bimbingan dan
pengarahan dari orang tua.
BAB
II
PEMBAHASAN
NASAB (KETURUNAN KELUARGA)
A.
PENGERTIAN
ANAK DAN KELUARGA
Keluarga adalah
kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri, dan anak yang
berdiam dalam satu tempat tinggal.Ini pengertian keluarga dalam arti sempit.
Apabila dalam satu tempat tinggal itu berdiam pula pihak lain sebagai akibat
perkawinan, maka terjadilah kelompok anggota keluarga yang terdiri dari
orang-orang yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan karena pertalian
darah. Ini pengertian keluarga dalam arti luas.Keluarga dalam arti luas banyak
terdapat dalam masyarakat kita.
Anak dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan, anak juga mengandung pengertian
sebagai manusia yang masih kecil.Selain itu, anak pada hakekatnya seorang yang
berada pada satu masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi
dewasa.Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1990 bertempat di New York
menyelenggarakan Convention on the Rights of the Childs (CRC), di antara
hasil-hasilnya menyatakan bahwa; Anak adalah setiap orang di bawah usia 18
tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak kedewasaan telah
diperoleh sebelumnya.
Di dalam
al-Qur’an, anak sering disebutkan dengan kata walad-awlâd yang berarti anak
yang dilahirkan orang tuanya, laki - laki maupun perempuan, besar atau kecil,
tunggal maupun banyak.Karenanya jika anak belum lahir belum dapat disebut
al-walad atau al-mawlud, tetapi disebut al-janin yang berarti al-mastur
(tertutup) dan al-khafy (tersembunyi) di dalam rahim ibu.
Kata al-walad
dipakai untuk menggambarkan adanya hubungan keturunan, sehingga kata al-walid
dan al-walidah diartikan sebagai ayah dan ibu kandung.Berbeda dengan kata ibn
yang tidak mesti menunjukkan hubungan keturunan dan kata ab tidak mesti berarti
ayah kandung.Selain itu, Al-Qur’an juga menggunakan istilah thifl(kanak-kanak)
dan ghulam(muda remaja) kepada anak, yang menyiratkan fase perkembangan anak
yang perlu dicermati dan diwaspadai orang tua, jika ada gejala kurang baik
dapat diberikan terapi sebelum terlambat, apalagi fase ghulâm (remaja) di mana
anak mengalami puber, krisis identitas dan transisi menuju dewasa. Al-Qur’an
juga menggunakan istilah ibn pada anak, masih seakar dengan kata bana yang
berarti membangun atau berbuat baik, secara semantis anak ibarat sebuah
bangunan yang harus diberi pondasi yang kokoh, orang tua harus memberikan
pondasi keimanan, akhlak dan ilmu sejak kecil, agar ia tumbuh dan berkembang
menjadi anak yang memiliki prinsip dan kepribadian yang teguh.Kata ibn juga
sering digunakan dalam bentuk tashghĭr sehingga berubah menjadi bunayy yang
menunjukkan anak secara fisik masih kecil dan menunjukkan adanya hubungan
kedekatan (al-iqtirab).
Panggilan ya
bunayya (wahai anakku) menyiratkan anak yang dipanggil masih kecil dan hubungan
kedekatan dan kasih sayang antara orang tua dengan anaknya.Begitulah mestinya
hubungan orang tua dengan anak, hubungan yang dibangun dalam fondasi yang
mengedepankan kedekatan, kasih sayang dan kelembutan.Sikap orang tua yang
mencerminkan kebencian dan kekerasan terhadap anak jelas tidak dibenarkan dalam
al-Qur’an.
B.
PENGETIAN
NASAB
Nasab adalah
hubungan darah antara seorang anak dengan ayah dan ibu, karena sebab-sebab yang
sah menurut syara’, yaitu jika si anak dilahirkan atas dasar perkawinan dan
dalam kandungan tertentu yang oleh syara’ diakui keabsahannya. Dengan demikian, setiap anak yang lahir
langsung dinasabkan kepada ayahnya untuk lebih menguatkan perkawinan kedua
orang tuanya.
Salah satu
contoh dari hak nasab adalah hak penyusuan di mana setiap bayi yang lahir
berhak atas susuan pada priode tertentu dalam kehidupan, yaitu priode pertama
ketika ia hidup. Adalah satu fitrah bahwa ketika bayi dilahirkan ia membutuhkan
makanan yang paling cocok dan paling baik untuknya, yaitu air susu ibu (asi). Secara klinis terbukti bahwa air susu
ibu mengandung unsur-unsur penting dan vital yang dibutuhkan bayi bagi
perkembangannya.
Air susu ibu
berdaya guna untuk memberikan segala kebutuhan bayi untuk tumbuh dengan sehat
dan melindunginya dari berbagai penyakit. Menurut
Abdullah Al-Sayyid dalam bukunya mengatakan “Hak ini menunjukkan adanya
perintah wajib yang harus dilaksanakan oleh para ibu untuk menyusukan anaknya.
C.
BAGAIMANA
HAK DAN KEDUDUKAN ANAK DALAM KELUARGA
Falsafah Bangsa dan
Dasar Negara Republik Indonesia, Pancasila, mewajibkan kita untuk selalu
bersikap dan berperilaku manusiawi.Hal ini secara khusus diwajibkan oleh sila
kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab (dalam hal ini terhadap anak
sebagai generasi penerus cita–cita bangsa). Berkaitan dengan sila kedua dan
jugasila kelima, yaitu keadilan sosial, dirumuskan beberapa pasal dalam UUD
1945 yang juga mencakup kewajiban Negara untuk memberi jaminan hukum kepada
anak–anak.
Anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam, atau sebagai akibat dari, perkawinan yang
sah atau hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan
oleh isteri tersebut, sedangkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Seorang suami dapat menyangkal ataupun
memungkiri keabsahan seorang anak yang lahir dari suatu pernikahan dengan li’an
(sumpah) bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaannya
dan pengadilan atas permintaan pihak berkepentingan memutuskan tentang
sah/tidaknya anak.
Kewajiban orang
tua yang harus dipenuhi dengan sungguh-sungguh adalah memenuhi hak-hak anak.
Hak-hak anak sangatlah banyak di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Hak Pemeliharaan
Anak berhak mendapatkan asuhan, yaitu memperoleh pendidikan
dan pemeliharaan untuk mengurus makan, minum, pakaian dan kebersihan si anak
pada priode kehidupan pertama (sebelum ia dewasa). Yang dimaksud dengan
pemeliharaan di sini dapat berupa pengawasan dan penjagaan terhadap keselamatan
jasmani dan rohani, anak dari segala macam bahanya yang mungkin dapat
menimpanya agar tumbuh secara wajar.
2. Hak Mendapatkan Nafkah
Anak berhak mendapatkan nafkah, yaitu pemenuhan kebutuhan
pokok.Nafkah terhadap anak adalah untuk kelangsungan hidup dan pemiliharaan
kesejahtraannya.Dengan demikian, anak terhindar dari kesengsaraan hidup di
dunia karena mendapatkan kasih sayang orang tuanya melalui pemberian nafkah
tersebut. Hak mendapatkan nafkah
merupakan akibat dari nasab, yaitu nasab seorang anak terhadap ayahnya
menjadikan anak berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya.
3. Hak Mendapatkan Pendidikan
Orang tua memiliki kewajiban untuk memenuhi hak pendidikan
atas anaknya. Dengan pendidikan, anak akan dapat mengembangkan potensi-potensi
dan bakat yang ada pada dirinya. Sehingga ia akan menjadi generasi-generasi
yang kuat, kuat dari faktor psikologis maupun fisiologis. Seorang anak
merupakan generasi penerus dari generasi sebelumnya.
Dalam membimbing anak, orang tua perlu
memiliki kesabaran dan sikap dan bijaksana, orang tua harus memahami alam
pikiran anak dan harus mengerti kemampuan yang dimiliki anak. Ada
bermacam-macam kegiatan bimbingan belajar yang dapat dilakukan oleh orang tua
antara lain yang diungkapkan oleh Kartini Kartono sebagai berikut:
1.
Menyediakan fasilitas belajar, yang dimaksud dengan
fasilitas belajar di sini adalah alat tulis, buku tulis, buku-buku ini
pelajaran dan tempat untuk belajar. Hal ini dapat mendorong anak untuk lebih
giat belajar, sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar.
2.
Mengawasi kegiatan belajar di rumah, sehingga dapat
mengetahui apakah anaknya belajar dengan sebaik-baiknya.
3.
Mengawasi penggunaan waktu belajar anak di rumah,
sehingga orang tua dapat mengetahui apakah anaknya menggunakan waktu dengan
teratur dan sebaik-baiknya.
4.
Mengetahui kesulitan anak dalam belajar, sehingga dapat
membantu usaha anak dalam mengatasi kesulitannya dalam belajar.
5.
Menolong anak mengatasi kesulitannya, dengan memberikan
bimbingan belajar yang di butuhkan anaknya.
Asal-usul seorang anak hanya bisa
dibuktikan dengan Akta kelahiran autentik oleh pejabat yang berwenang, jika
akta autentik tidak ada maka asal-usul anak ditetapkan oleh Pengadilan
berdasarkan pembuktian yang memenuhi syarat untuk kemudian dibuatkan akte
kelahiran pada instansi pencatat kelahiran. Terhadap anak yang dilahirkan dari
hasil perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dan dapat pula
kehilangan kewarganegaraan, kewarganegaraannya akan menentukan hukum yang
berlaku baik mengenai hukum publik mau pun perdata. Batas usia anak yang mampu
berdiri sendiri (dewasa) adalah 21 tahun, sepanjang ia tidak cacat fisik atau pun
mental atau belum kawin.
Orang tua mewakili anak mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.Apabila kedua orang tua anak
tidak mampu, Pengadilan dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban orang tuanya. Ayah
kandung berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak kandungnya dan seorang anak
begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya baik pakaian, tempat
tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Landasan kewajiban ayah menafkahi
anak selain karena hubungan nasab juga karena kondisi anak yang belum mandiri
dan sedang membutuhkan pembelanjaan, hidupnya tergantung kepada adanya pihak
yang bertanggungjawab menjamin nafkah hidupnya.Orang yang paling dekat dengan
anak adalah ayah dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab atas pengasuhan anak
di rumah maka ayah bertanggung jawab mencarikan nafkah anaknya.
Pihak ayah hanya berkewajiban menafkahi anak
kandungnya selama anak kandungnya dalam keadaan membutuhkan nafkah, ia tidak
wajib menafkahi anaknya yang mempunyai harta untuk membiayai diri sendiri.
Seorang ayah yang mampu akan tetapi tidak memberi nafkah kepada anaknya padahal
anaknya sedang membutuhkan, dapat dipaksa oleh hakim atau dipenjarakan sampai
ia bersedia menunaikan kewajibannya. Seorang ayah yang menunggak nafkah anaknya
tetapi ternyata anaknya tidak sedang membutuhkan nafkah dari ayahnya maka hak
nafkahnya gugur, karena si anak dalam memenuhi kebutuhan selama ayahnya
menunggak tidak sampai berhutang karena ia mampu membiayai diri sendiri, akan
tetapi jika anak tidak mempunyai dana sendiri sehingga untuk memenuhi
kebutuhannya ia harus berhutang maka si ayah dianggap berhutang nafkah yang
belum dibayarkan kepada anaknya.
Di sisi lain, si anak wajib menghormati
orang tuanya dan wajib mentaati kehendak dan keinginan yang baik orang tuanya,
dan jika anak sudah dewasa ia mengemban kewajiban memelihara orang tua serta
karib kerabatnya yang memerlukan bantuan sesuai kemampuannya. Menurut Wahbah
al-Zuhaili, ada lima macam hak anak terhadap orang tuanya, yaitu: hak nasab
(keturunan), hak radla’ (menyusui), hak hadlanah (pemeliharaan), hak walâyah
(wali), dan hak nafkah (alimentasi). Dengan terpenuhinya lima kebutuhan ini,
orang tua akan mampu mengantarkan anaknya dalam kondisi yang siap untuk
mandiri. Kelahiran anak merupakan peristiwa hukum, dengan resminya seorang anak
menjadi anggota keluarga melalui garis nasab, ia berhak mendapatkan berbagai
macam hak dan mewarisi ayah dan ibunya.
Menurut ajaran Islam, Tujuan utama dari
perkawinan adalah melestarikan keturunan, oleh karenanya anak menjadi bagian
yang sentral dalam keluarga, anak adalah amanah Allah yang senantiasa wajib
dipelihara, diberi bekal hidup dan dididik.Begitu keluarga dikaruniai keturunan
timbul berbagai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi suami isteri demi
kemaslahatan anak, kelangsungan hidup anak baik jasmani maupun rohani sangat
ditentukan oleh dapat tidaknya anak meraih haknya secara baik.
Lahirnya anak di satu sisi merupakan nikmat
karunia Allah, di sisi lain adalah amanah yang jika orang tua berhasil menjaga
dan menjalankannya justru nikmat bertambah dengan anak yang saleh dan berbakti
serta mendoakan orang tuanya, jika orang tua gagal berarti ia telah
mengkhianati amanah sehingga ia dinilai tidak bertanggung jawab. Sehingga dalam
Islam anak juga disebut sebagai fitnah dan cobaan Allah SWT. kepada orang
tuanya, kekayaan dan keluarga yang besar adalah suatu ujian dan percobaan,
semuanya dapat berbalik menjadi sumber keruntuhan jika salah ditangani atau
jika kecintaan kepadanya justru menyisihkan kecintaan kepada Tuhan.
Anak disebut cobaan karena ia menjadi tolok
ukur kualitas hidup dan kepribadian orang tuanya yang tercermin dari
perlakuannya terhadap anak apakah membawa pada kebaikan atau keburukan.
Kecintaan sejati seseorang kepada anak merupakan konsistensi kecintaan kepada
Tuhan untuk menjaga dan memelihara diri dan keluarganya dari kesengsaraan di
akhirat, sebagaimana firman Allah yang menyuruh orang beriman untuk menjaga
diri dan keluarga dari api neraka. Bahkan, jika para orang tua gagal mendidik
anak-anaknya, tidak mustahil anak-anak itu akan menjadi musuhnya, sebagaimana
pernyataan al-Qur’an kepada orang-orang beriman bahwa isteri-isteri dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap
mereka.
Tanggung jawab orang tua tidak hanya
terbatas pada segi fisik semata tetapi yang lebih penting adalah usaha
peningkatan potensi positif agar menjadi manusia berkualitas. Orang tua bertanggung jawab agar anak
tidak menyimpang dari nature dan potensi kebaikannya karena setiap anak
dilahirkan dalam keadaan ftrah.Bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu,
artinya para ibu sangat berperan dalam menentukan nasib anak sehingga surga
bagi anak sepenuhnya berada dibawah kekuasaan mereka, karena kuatnya hubungan
emosional seorang ibu dapat membentuk jiwa anak hampir sekehendak hati.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
pemaparan di atas, dilihat dari hukum normatif ternyata pengaturan dan
perlindungan hak-hak anak dan kedudukannya sudah sangat memadai dari segi
idealitasnya meskipun dapat juga diidentifikasi beberapa kelemahan yang masih
ada ketika dikontraskan dengan realitasnya. Karena dalam proses pembinaan hukum
tentu tidak terlepas dari masyarakat hukum itu sendiri karena masalah penegakan
hukum bukan hanya masalah law formulation belaka, tetapi bagaimana hukum yang
ditegakkan itu adalah hukum yang baik dan sesuai dengan kesadaran dan kebutuhan
hukum masyarakat. penegakan idealitas hukum harus didukung kondisi obyektif
yang memungkinkan untuk itu.
Di
sini dapat kita elaborasi beberapa faktor yang masih menjadi kendala hukum
dalam melindungi hak nafkah anak pasca terjadinya perceraian, di antaranya
adalah faktor peraturan perundang-undangan yang kurang berpihak pada
kepentingan dan kebutuhan anak, dan patokan dalam menetapkan nafkah anak lebih
menitikberatkan pada tingkat kemampuan ayah.Tidak adanya aturan yang jelas
mengenai penentuan nominal nafkah anak serta sanksi hukum yang tegas dan jelas
terhadap orang tua yang terbukti melalaikan kewajibannya atau beriktikad tidak
baik menyembunyikan kemampuannya dalam menafkahi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad. Hukum Perdata
Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990).
Abdul Manan, Penerapan
Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
cet-3, (Jakarta:
Kencana, 2005).
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet-2, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988).
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta:
Paramadina, 1997).
Saifullah, Problematika
Anak dan Solusinya: Pendekatan
Sadduzzara’i,
(Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42
Tahun X 1999).
Satria Effendi, Makna, Urgensi
dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam, (Artikel
Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X
1999).
, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, cet-2, (Jakarta: Kencana, 2004).
0 komentar:
Post a Comment