BAB I
PENDAHULUAN
Hubungan orang berumah tangga sudah
banyak sekali dari sesama ras, hingga beda raspun sudah ada dimasyarakat. Semua
itu guna melanjutkan sunnah Rasulullah yaitu sunah nabi tentang nikah. Disaat
pernikahan semua menjadi bahagia dari yang biasanya bangun sendiri sekarang
dibangunin, dari makan sendiri sekarang di masakin dan alin sebagainya.
Dengan adanya pernikahan diharapkan agar
sunnah nabi ni tidak berhenti disini saja, melainkan akan berkembang terus
meneruh hingga akhir zaman. Sunnah nabi yang lain selain pernikahan yaitu
poligami, dimana poligami ini tidak dilarang oleh Allah apabila mereka (si
suami) sudah menyepakati untuk melakukan poligami dan si istri menyetujuinya
maka boleh saja si suami melakukan poligami tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
ALASAN DAN PROSEDUR POLIGAMI
A. PENGERTIAN
POLIGAMI
Kata Monogamy
dapat dipasangkan dengan poligami sebagai antonim, Monogamy adalah
perkawinan dengan istri tunggal yang artinya seorang laki-laki
menikah dengan seorang perempuan saja, sedangkan kata poligami yaitu perkawinan
dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama. Dengan demikian
makna ini mempunyai dua kemungkinan pengertian; Seorang laki-laki menikah
dengan banyak laki-laki kemungkinan pertama disebut Polygini dan kemungkinan
yang kedua disebut Polyandry.
Hanya saja
yang berkembang pengertian itu mengalami pergeseran sehinggah poligami dipakai
untuk makna laki-laki beristri banyak, sedangkan kata poligyni sendiri tidak
lazim dipakai[1].
Poligami berarti ikatan perkawinan yang
salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu
yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup
berkeluarga, sedangkan monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami
mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.[2]
Poligami
adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang sama
mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Yang asli didalam perkawinan adalah
monogamy, sedangkan poligami datang belakangan sesuai dengan perkembangan akal
pikiran manusia dari zaman ke zaman.
Menurut para
ahli sejarah poligami mula-mula dilakukan oleh raja-raja pembesar Negara dan
orang-orang kaya. Mereka mengambil beberapa wanita, ada yang dikawini dan ada
pula yang hanya dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsunya akibat perang,
dan banyak anak gadis yang diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan kemudian
dijadikan gundik dan sebagainya. Makin kaya seseorang makin tinggi
kedudukanya, makin banyak mengumpulkan wanita. Dengan demikian poligami
itu adalah sisa-sisa pada waktu peninggalan zaman perbudakan yang mana
hal ini sudah ada dan jauh sebelum masehi.[3]
Poligami
adalah salah satu bentuk masalah yang dilontarkan oleh orang-orang yang
memfitnah Islam dan seolah-olah memperlihatkan semangat pembelaan terhadap
hak-hak perempuan. Poligami itu merupakan tema besar bagi mereka, bahwa kondisi
perempuan dalam masyarakat Islam sangat memprihatinkan dan dalam hal kesulitan,
karena tidak adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana
dikemukakan oleh banyak penulis, bahwa poligami itu berasal dari bahasa Yunani,
kata ini merupakan penggalan kata Poli atau Polus yang artinya
banyak, dan kata Gamein atau Gamos yang berarti kawin atau
perkawinan. Maka jikalau kata ini digabungkan akan berarti kata ini menjadi sah
untuk mengatakan bahwa arti poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi
dalam jumlah yang tidak terbatas.
Namun dalam
Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan.
Umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita saja.[4]
B. DASAR
HUKUM POLIGAMI
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4
Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4
y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[5],
Maka (kawinilah) seorang saja[6],
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisa’: 3).
Maksudnya berlaku
adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Dan Islam memperbolehkan
poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah
ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad SAW. Ayat
Ini membatasi poligami sampai empat orang saja. Dan demikian juga disebutkan
dalam surat An-Nisa` ayat 129, Allah SWT berfirman:
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( xsù (#qè=ÏJs? ¨@à2
È@øyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# tb%x.
#Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÊËÒÈ
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An-Nisa’: 129).
Sejak masa Rasulullah
SAW , Sahabat, Tabi`in, periode Ijtihad dan setelahnya sebagian besar kaum
Muslimin memahami dua ayat Akhkam itu sebagai berikut:
1.
Perintah Allah SWT, “maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”, difahami sebagai
perintah ibahah (boleh), bukan perintah wajib. Seorang muslim dapat memilih
untuk bermonogami (istri satu) atau berpoligami (lebih dari satu). Demikianlah kesepakatan
pendapat mayoritas pendapat mujtahid dalam berbagai kurun waktu yang berbeda.
2.
Larangan mempersunting
istri lebih dari empat dalam waktu yang bersamaan, sebagaimana dalam firman
Allah “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau
empat”. Menurut alqurtuki, pendapat yang memperkenankan poligami lebih dari
empat dengan pijakan nash di atas, adalah pendapat yang muncul karena yang
bersangkutan tidak memahami gaya bahasa dalam al-qur`an dan retorika bahasa
arab.
3.
Poligami harus
berlandaskan asas keadilan, sebagaimana firman Allah, “kemudian jika
kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki.“ (qs. An-nisa`: 3) seseorang tidak dibolehkan
menikahi lebih dari seorang istri jika mereka merasa tidak yakin akan mampu
untuk berpoligami. Walaupun dia menikah maka akad tetap sah, tetapi dia berdosa
terhadap tindakannya itu.
4.
Juga sebagaimana
termaktub dalam ayat yang berbunyi, “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian”. adil dalam cinta diantara istri-istri adalah suatu hal yang
mustahil dilakukan karena dia berada di luar batas kemampuan manusia. Namun,
suami seyogyanya tidak berlaku dzolim terhadap istri-istri yang lain karena
kecintaannya terhadap istrinya.
5.
Sebagian ulama`
penganut madzhab syafi`I mensyaratkan mampu member nafkah bagi orang ayaang
akan berpoligami. Persyaratan ini berdasarkan pemahaman imam syafi`I terhadap
teks al`qur`an, “yang demikian itu adalah lebih cddekat kepada tidak berbuat
aniaya”. Yang artinya agar tidak memperbanyak anggota keluarga. Di dalam
kitab “akhkam al-qur`an”, imam baihaqi juga mendasarkan keputusannya
terhadap pendapat ini serta pendapat yang lain. Dalam pemahaman madzhab syafi`I
jaminan yang mensyaratkan kemampuan memmberi nafkah sebagai syarat poligami ini
adalah syarat diyanah (agama) maksudnya bahwa jika yang bersangkutan tahu bahwa
dia tidak mampu member nafkah bukan syarat putusan hukum.[7]
6.
Poligami itu mubah (dibolehkan)
selama seorang mu`min tidak akan khawatir akan aniaya. Dilarang poligami untuk
menyelamatkan dirinya dari dosa. Dan terang pula bahwa boleh berpoligami itu
tidak bergantung kepada sesuatu selain anaiaya (tidak jujur), jadi tidak
bersangkutan dengan mandul istri atau sakit yang menghalanginya ketika tidur
dengan suaminya dan tidak pula karena banyak jumlah wanita.
C. SYARAT
POLIGAMI
Pada
dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang
beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh
Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan (UUP)
dan juga dalam Bab IX KHI Pasal 57 seperti dijelaskan sebagai berikut:
1. Isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
2. Isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Isteri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila diperhatikan alasan pemberian izin
melakukan poligami di atas, dapat dipahami bahwa alasannya mengacu kepada
tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia
dan kekal (istilah KHI disebut sakinah, mawaddah, dan rahmah )
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tiga alasan yang disebutkan di
atas menimpa suami-istri maka dapat dianggap rumah tangga tersebut tidak akan
mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah dan rahmah).
D.
SYARAT-SYARAT POLIGAMI
Pasal
5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang
suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut:
1.
Untuk dapat mengajukan permohonan
kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a)
Adanya persetujuan dari istri/
isteri-isteri
b)
Adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka
c)
Adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
2.
Persetujuan yang dimaksud pada ayat
(1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.[8]
C. PROSEDUR
POLIGAMI
Prosedur
poligami menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan
bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka
ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini
diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi Hukum Islam sebagai
berikut:
1. Pasal
56 KHI
a)
Suami yang hendak beristeri lebih
dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
b)
Pengajuan permohonan izin dimaksud
pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
c)
Perkawinan yang dilakukan dengan
isteri kedua, ketiga atau ke empat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak
mempunyai kekuatan hukum.
2.
Pasal 57 KHI
a)
Pengadilan Agama hanya memberikan izin
kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
-
Isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri
-
Isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan
-
Isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Kalau Pengadilan Agama sudah
menerima permohonan izin poligami, kemudian ia memriksa berdasarkan Pasal 57
KHI:
1. Ada
atau tidaknya alasan yang memugkinkan seorang suami kawin lagi;
2. Ada
atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tulisan,
apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus
diucapkan di depan sidang pengadilan;
3. Ada
atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hiduo istri-istri dan
anak-anak, dengan memperlihatkan:
1)
Surat keterangan mengenai
penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
2)
Surat keterangan pajak penghasilan,
atau
3)
Surat keterangan lain yang dapat
diterima oleh pengadilan.
4. Pasal
58 ayat (2) KHI
Dengan
tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau
dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
BAB III
KESIMPULAN
Poligami adalah suatu
bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang sama mempunyai istri
lebih dari seorang wanita. Adapun alasan
Poligami, pada
dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang
beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).
Dasar pemberian izin poligami oleh
Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan (UUP)
dan juga dalam Bab IX KHI Pasal 57. Adapun syarat-syarat poligami,
termaktub dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan
terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang. Prosedur
Poligami. Adapun prosedur poligami menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1974 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri
lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada
pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi
Hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Achamd Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).
Al-qamar
Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta:
Restu Ilahi, 2005).
Aisjah
Dahlan, Membina Rumah Tangga Bahagia, Cet 1. (Jakarta: Jamunu, 1969).
Fada
Abdul Razak Al-Qoshir, Wanita Muslimah Antara Syari`At Islam Dan Budaya
Barat, (Yogyakarta: Darussalam Offset, 2004).
Khoiruddin
Nasution, Riba Dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan Academia,
1996).
Zainuddin Ali, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
[1] Achamd Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995), hal. 159.
[2] Al-qamar Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap
Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005), hal. 19.
[3] Aisjah Dahlan, Membina Rumah Tangga Bahagia, Cet
1. (Jakarta: Jamunu, 1969), hal. 69.
[4] Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan Academia, 1996) hal. 84.
[5] Berlaku
adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[6] Islam
memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini
poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi
Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[7]
Fada Abdul Razak Al-Qoshir, Wanita Muslimah Antara
Syari`At Islam Dan Budaya Barat, (Yogyakarta: Darussalam Offset, 2004) hal.
42-45.
[8] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 47.
0 komentar:
Post a Comment