BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Lembaga kemasyarakatan merupakan terjemahan langsung dari istilah social institution. Akan tetapi, hingga kini belum ada kata sepakat mengenai istilah Indonesia yang dengan tepat dapat menggambarkan isi social institution tersebut. Ada yang mempergunakan istilah pranata sosial, tetapi social institution menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku warga masyarakat.
Misalnya Koentjaraningrat mengatakan pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebuuthan khusus dalam kehidupan masyarakat[1]. Definisi tersebut menekankan pada sistem tata kelakuan atau norma-norma untuk memenuhi kebutuhan.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, maka penulis dapat merumuskan masalah diantaranya adalah:
1.      Apa lembaga kemasyarakatan itu?
2.     
1
 
Apa saja norma-norma masyarakat?
3.      Apa saja Sistem pengendalian sosial?
4.      Bagaimana Cara mempelajari lembaga kemasyarakatan?


BAB II
PEMBAHASAN
LEMBAGA KEMASYARAKATAN (LEMBAGA SOSIAL)



A.    DEFINISI LEMBAGA KEMASYARAKATAN
Istilah lembaga kemasyarakatan adalah bangunan sosial yang mungkin merupakan terjemahan dari istilah soziale-Gebilde (Bahasa Jerman), yang lebih jelas menggambarkan bentuk dan susunan social institution tersebut.[2] Seseorang sosiolog lain yaitu Sumner yang melihatnya dari sudut kebudayaan, mengartikan lembaga kemasyarakatan sebagai perbuatan, cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan, bersifat kekal serta bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Lembaga kemasyarakatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Memberikan pedoman pada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat.
2.     
3
 
Menjaga keutuhan masyarakat
3.      Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control). Artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.[3]

Fungsi-fungsi diatas menyatakan bahwa apabila seseorang hendak mempelajari kebudayaan dan masyarakat tertentu, maka harus pula diperhatikan secara teliti lembaga-lembaga kemasyarakatan di masyarakat yang bersangkutan.

B.     NORMA-NORMA MASYARAKAT
Norma-norma yang ada di dalam masyarakat mempunyai  kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah, yang sedang sampai dengan yang terkuat daya ikatnya. Pada yang akhir, umumnya anggota-anggota masyarakat pada tidak berani melanggarnya. Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut, sosiologis dikenal adanya empat pengertian yaitu:
1.      Cara (usage)
2.      Kebiasaan (folkways)
3.      Tata kelakuan (mores)
4.      Adat istiadat (custom).[4]

Masing-masing pengertian diatas, mempunyai dasar yang sama yaitu masing-masing merupakan norma-norma kemasyarakatan yang memberikan petunjuk bagi perilaku seseorang yang hidup didalam masyarakat. Septiap pengertian diatas, mempunyai kekuatan yang berbeda karena setiap tingkatan menunjukan pada kekuatan memaksa yang lebih besar supaya mentaati norma. Cara (usage) menunjukan pada suatu bentuk perbuatan. Norma ini mempunyai kekuatan yang sangat lemah bila dibandingkan dengan kebiasaan (folkways). Kebiasaan menunjukan pada perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama.
Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakna sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan disatu pihak memaksakan suatu perbuatan dan lain pihak melarangnya sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut. Tata kelakuan sangat penting karena alasan-alasan berikut:
1.      Tata kelakuan memberikan batas-batas pada perilaku individu
2.      Tata kelakuan mengidentifikasi individu  dengan kelompoknya
3.      Tata kelakuan menjaga solidaritas antar anggota masyarakat.[5]

Norma-norma tersebut diatas, setelah mengalami suatu proses, pada akhirnya akan menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut dinamakan proses pelembagaan (institutionalization) yaitu suatu proses yang dilewatkan oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan. Maksudnya ialah sampai norma itu oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai, kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari.[6] Dengan kata lain, norma-norma tadi telah mendarah daging. Kadang-kadang dibedakan antara norma atau kaidah-kaidah yang mengatur pribadi manusia dan hubungan antara pribadi. Kaidah-kaidah pribadi mencakup norma kepercayaan yang bertujuan agar manusia beriman, dan norma kesusilaan bertujuan agar manusia mempunyai hati nurani yang bersih.

C.    SISTEM PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dapat dilakukan  oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainnya, atau oleh suatu kelompok terhadap individu.  Itu semuanya merupakan proses pengendalian sosial yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, walau sering kali manusia tidak menyadari.[7] Dengan demikian, pengendalian sosial terutama bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Atau suatu sistem pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadaan atau kesebandingan.
Dari sudut sifatnya, dapatlah dikatan bahwa pengendalian sosial dapat bersifat preventif atau represif.[8] Atau bahkan kedua-duanya. Suatu proses pengendalian sosial dapat dilaksanakan dengan pelbagai cara yang pada pokoknya berkisar pada cara-cara tanpa kekerasan ataupun dengan paksaan. Cara yang sebaiknya diterapkan paling tidak juga tergantung pada faktor terhadap siapa pengendalian sosial tadi hendak diperlakukan dan di dalam keadaan yang bagaimana. Perwujudan pengendalian sosial mungkin adalah pemidanaan, kompensasi, terapi ataupun konsiliasi. Standar atau patokan pemidanaan adalah suatu larangan yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan (sanksi negatif) bagi pelanggarnya.[9]
Pada kompensasi, standar atau patokannya adalah kewajiban, dimana inisiatif untuk memprosesnya ada pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan akan meminta ganti rugi karena pihak lawan melakukan cedera janji. Berbeda dengan kedua hal tersebut diatas, terapi maupun konsiliasi sifatnya remidial, artinya bertujuan untuk mengembalikan situasi pada keadaan semula (yakni sebelum terjadinya perkara atau sengketa).
Taraf selanjutnya, adalah menerapkan pengendalian sosial yang lebih ketat untuk kemudian kalau diperlukan, diperlakukan pengendalian sosial yang keras. Didalam proses tersebut, norma hukum sebaiknya diterapkan pada tahap terakhir apabila sarana-sarana lain tidak menghasilkan tujuan yang ingin dicapai.[10]

D.    CIRI-CIRI UMUM LEMBAGA KEMASYARAKATAN
Gillin dan Gillin didalam karyanya yang berjudul General Features of Social Institutions, telah menguraikan beberapa ciri umum lembaga kemasyarakatan yaitu:
1.      Suatu lembaga kemasyarakatan adalah organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya.
2.      Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan.
3.      Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu.
4.      Lembaga-lembaga biasanya juga merupakan ciri khas lembaga kemasyarakatan. Lembaga-lembaga tersebut secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan.
5.      Suatu lembaga kemasyarakatan mempunyai tradisi tertulis ataupun yang tak tetulis, yang merumuskan tujuannya, tata tertib yang berlaku, dan lain-lain.

Secara menyeluruh ciri-ciri tersebut dapat diterapkan pada lembaga-lembaga  kemasyarakatan tertentu, seperti perkawinan.  Sebagai suatu lembaga kemasyarakatan, perkawinan mungkin mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:
1.      Sebagai pengatur perilaku seksual manusia dalam pergaulan hidupnya
2.      Sebagai pengatur pemberian hak dan kewajiban bagi suami, istri dan juga anak-anaknya
3.      Untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kawan hidup karena secara naluriah manusia senantiasa berhastrat untuk hidup berkawan
4.      Untuk memenuhi kebutuhan manusia akan benda materiil
5.      Untuk memenuhi kebutuhan manusia aakn prestise
6.      Didalam hal-hal tertentu, untuk memelihara interaksi antar kelompok sosial.[11]

E.     CARA MEMPELAJARI LEMBAGA KEMASYARAKATAN
Telah lama para ahli berusaha untuk meneliti dengan cara atau metode-metode yang menurut anggapanya paling efisien. Apabila cara atau metode-metode tersebut dihimpun, maka akan dapat dijumpai tiga golongan pendekatan (approach) terhadap masalah tersebut, yaitu sebagai berikut:
1.      Analisis secara historis
Analisis secara historis bertujuan untuk meneliti sejarah timbul dan perkembangan suatu lembaga kemasyarakatan tertentu.
2.      Analisis komparatif
Analisis komparatif bertujuan untuk menelaah suatu lembaga kemasyarakatan tertentu dalam pelbagai masyarakat berlainan ataupun pelbagai lapisan sosial masyarakat tersebut.
3.      Analisis fungsional
Lembaga-lembaga kemasyarakatan dapat pula diselidiki dengan jalan menganalisis hubungan antara lembaga-lembaga tersebut didalam suatu masyarakat tertentu.


Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ketiga pendekatan tersebut saling melengkapi satu sama lain. Artinya, didalam meneliti lembaga-lembaga kemasyarakatan, salah satu pendekatan akan dipakai sebagai alat pokok, sedangkan yang lain bersifat ebagai tambahan untuk melengkapi kesempurnaan cara-cara penelitian tersebut.

F.     CONFORMITY DAN DEVIATION
Masalah Conformity dan Deviation berhubungan erat dengan social control. Conformity berarti proses penyesuaian diri dengan masyarakat dengan cara mengindahkan kaidah dan nilai-nilai masyarakat. Sebaliknya, deviation adalah penyimpangan terhadap kaidah-kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat. Untuk mengkaji deviation telah banyak teori yang dikembangkan oleh para sarjana ilmu-ilmu sosial dan sosiologi pada khususnya. Dari sekian banyak teori, hanya akan dikemukakan suatu teori yang dikembangkan oleh Robert K. Merton. Sosiologi ini meninjau penyimpangan (deviasi) dari  sudut struktur sosial dan budaya.[12]
Masalah yang erat hubungannya dengan pengendalian sosial adalah conformity yaitu penyesuaian diri pada norma-norma dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Deviation yaitu penyimpangan terhadap norma-norma dan nilai-nilai tersebut.


BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dari pembahasan makalah diatas, maka disini penulis dapat simpulkan bahwa lembaga kemasyarakatan diartikan sebagai perbuatan, cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan, bersifat kekal serta bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Fungsi-fungsi Lembaga Kemasyarakatan diatas menyatakan bahwa apabila seseorang hendak mempelajari kebudayaan dan masyarakat tertentu, maka harus pula diperhatikan secara teliti lembaga-lembaga kemasyarakatan di masyarakat yang bersangkutan.
Pengendalian sosial dapat dilakukan  oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainnya, atau oleh suatu kelompok terhadap individu.  Itu semuanya merupakan proses pengendalian sosial yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, walau sering kali manusia tidak menyadari.

B.     Saran
Penulis disini setelah mempelajari makalah diatas, maka dapat memberikan saran diantaranya adalah:
1.      Lembaga kemasyarakatan ini harus dijaga kelestariannya agar tetap utuh hingga anak cucu kita
2.     
11
 
Dalam mempelajari lembaga kemasyarakatan pasti banyak masalah yang menghampiri, tetapi jika dipelajari lebih dalam pasti akan lebih mudah untuk mengerti masalah tersebut dan dapat memecahkan suatu masalah tersebut lebih mudah
3.      Conformity dengan deviation adalah suatu masalah yang tidak dapat disatukan, tetapi jika deviation bisa ditekan pasti conformity akan lebih berarti di kehidupan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA





Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1967).

                           , Pengantar Antropologi, (Jakarta: Penerbit Universitas, 1964).

Robert K. Merton, Social  Theory and Social Structure, (New York: The Free Press, 1967).

Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta: Penerbit Bhratara, 1973).

                            , Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007).




13
 
 


[1] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Penerbit Universitas, 1964), hal. 133.
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 171.
[3] Ibid, hal. 173.
[4] Ibid, hal. 174.
[5] Ibid, hal. 176.
[6] Leopold Von Wiese dan Howard Becker, “Institutionalization”, yang dikutip dalam setangkai Bunga Sosiologi, hal. 64.
[7] Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta: Penerbit Bhratara, 1973), hal. 138.
[8] Ibid, hal. 319.
[9] Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1967), hal. 196-198.
[10] Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Op Cit, hal.182-183.
[11] Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Op Cit, hal.185-186.
[12] Robert K. Merton, Social  Theory and Social Structure, (New York: The Free Press, 1967), hal. 131.

0 komentar:

 
Top