BAB I
PENDAHULUAN


Fiqh sangat luas pembahasaanya baik dalam menentukan hukum maupun dalam peraktek kesehariannya. Di dalam menentukan hukum banyak terjadi perbedaan-perbedaan pendapat para fuqaha, perbedaan tersebut menimbulkan perbandingan hasil ijtihad mereka. Perbandingan hasil ijtihad para fuqaha tersebut dikenal dengan nama Perbandingan Mazhab. Perbandingan Mazhab merupakan pendapat-pendapat para mujtahid dalam menentukan berbagai masalah.
Perbandingan Mazhab memuat hal-hal yang bertalian tentang kedudukan ijtihad dalam Islam, yang didalamnya juga terdapat kajian-kajian tentang sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat tentang hukum Islam dan hikmah serta implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat.



BAB II
PEMBAHASAN
PENGANTAR ILMU PERBANDINGAN MAZHAB


A.    PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN TUJUAN SERTA MANFAAT MEMPELAJARI PERBANDINGAN MAZHAB
1.      Pengertian Mazhab
Secara bahasa mazhab (مذﻫب) berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi dzahaba” (ﺬﻫﺐ) yang berarti “pergi”. Dan bisa juga berarti al-ra’yu (ﺍﻠﺮﺃﻯ) artinya “pendapat”.[1] Mazhab juga berarti “pendirian”[2].
Sedangkan mazhab menurut istilah para faqih mazhab mempunyai dua pengertian yaitu:
1.      Pendapat salah seorang imam mujtahid tentang hukum suatu masalah.
2.      Kaidah-kaidah istinbath yang diriumuskan oleh seorang imam.
Dari kedua pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa pengertian mazhab adalah: hasil ijtihad seorang imam mujtahid tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath. Dengan demikian, pengertian bermazhab adalah “mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbathnya”.
Selanjutnya imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat islam yang mengikuti cara istinbath imam mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat imam mujtahid tentang masalah hukum islam. Pada masa tabi’-tabi’in yang dimulai pada awal abad ke II H. kedudukan ijtihad sebagai istinbath hukum semakin bertambah kokoh dan meluas, sesudah masa itulah muncul mazhab-mazhab dalam bidang hukum islam, baik dari golongan Ahl al-Hadits, maupun dari golongan Ahl-al Ra’yu.
Dikalangan jumhur pada masa ini muncul tiga belas mazhab, yang berarti pula telah lahir tiga belas mujtahid. Akan tetapi dari jumlah itu ada Sembilan imam mazhab yang paling popular dan melembaga dikalangan jumhur umat islam dan pengikutnya. Mereka yang dikenal sebagai peletak ushul dan manhaj (metode) fiqh adalah:
1.      Imam Abu Sa’id al-Hasan bin Yasir al-Bashry (wafat 110 H.).
2.      Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabr bin Zauthy (wafat 150 H.).
3.      Imam Auza’iy Abu Amr Abd. Rahman bin ‘Amr bin Muhammad, (wafat 157 H).
4.      Imam Sufyan bin Sa’id Masruq al-Tsaury (wafat 160 H.).
5.      Imam al-Laits bin Sa’ad (wafat 175 H.).
6.      Imam Malik bin Anas al-Ashbahy (wafat 179 H.).\
7.      Imam Muhammad bin Idris al-Safi’i (wafat 204 H.).
8.      Imam Ahmad bin Hambal (wafat 241 H.).

Selain itu, masih banyak lagi mazhab lainnya yang dibina oleh imam-imam mazhab. Munculnya mazhab-mazhab menunjukkan betapa majunya perkembangan hukum islam pada waktu itu. Hal ini terutama disebabkan oleh tiga faktor yang sangat menentukan bagi perkembangan hukum islam sesudah wafatnya rasulullah SAW. Yaitu:
1.      Semakin luasnya daerah kekuasaan islam, mencakup wilayah-wilayah di semenanjung arab, irak, mesir, syam, parsi dan lainnya.
2.      Pergaulan kaum muslimin dengan bangsa yang ditaklukkannya. Mereka terpengaruh oleh budaya, adat istiadat serta tradisi bangsa tersebut.
3.      Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan itu dengan ibu kota khilafah (pemerintahan) islam, membuat para gubernur, para hakim dan para ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap problem dan masalah-masalah baru yang dihadapi.[3]

Dari sekian banyak mazhab yang popular hingga saat ini, dan yang bertahan dan terus berkembang sampai sekarang, dan banyak diikuti oleh umat islam di Indonesia ada empat mazhab dikalangan ahl al-sunnah wa al-jama’ah atau biasa disebut dengan mazhab sunni. Jadilah namanya:
1.      Mazhab Hanafi yang di nisbatkan kepada nama mujtahid Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit (w. 150 H/767 M).
2.      Mazhab Maliki yang dinisbatkan kepada nama Malik bin Anas (w. 179 H/795 M).
3.      Mazhab Al-Syafi’i yang dinisbatkan kepada nama Muhammad bin Idris Al-Syafi’I (w.204 H/819 M).
4.      Mazhab Hanbali yang dinisbatkan kepada nama Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M). [4]
2.      Ruang Lingkup
Pada dasarnya ruang lingkup atau bidang kajian perbandingan mazhab ialah seluruh masalah fiqh yang didalamnya terdapat dua pendapat atau lebih maka masalah fiqh yang telah menjadi “ijma” atau hanya satu pendapat, tidak termasuk kajian perbandingan mazhab.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ruang lingkup perbandingan mazhab begitu luas (mulai materi fiqh, pendapat ulama, dalil, metode dan sumber yang digunakan) semuanya diperbandingkan.




3.      Tujuan Dan Manfaat Mempelajari Perbandiangan Mazhab
Adapun tujuan dan manfaat mempelajari perbandingan mazhab anatara lain sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pendapat-pendapat para imam mazhab (para imam mujtahid) dalam berbagai masalah yang diperselisihkan hukumnya disertai dalil-dalil atau alasan-alasan yang dijadikan dasar bagi setiap pendapat dan cara-cara istinbath hukum dari dalilnya oleh mereka.
2.      Untuk mengetahui dasar-dasar dan qaidah-qaidah yang digunakan oleh imam mazhab dalam menginstinbatkan hukum dari dalil-dalilnya. Dimana setiap imam mujtahid tersebut tidak menyimpang dan tidak keluar dari dalil-dalil al-Qur’an atau sunnah.
3.      Dengan memperhatikan landasan berfikir para Imam Mazhab, orang yang melakukan studi Perbandingan Mazhab agar mengetahui bahwa dasar-dasar mereka pada hakikatnya tidak keluar dari al-Qur’an dan sunnah. Atau mereka mengambil Qiyas Mashlahah Mursalah atau Istishab.[5]

B.     PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.[6]
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Seseorang yang ingin mendudukkan  dirinya  sebagai  Mujtahid harus   memenuhi  beberapa  persyaratan.  Diantara  sekian persyaratan itu yang terpenting ialah:
1.      Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
2.      Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum.
3.      Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'.
4.      Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
5.      Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.


C.    PENGERTIAN MUFTI DAN SYARAT-SYARATNYA
1.      Pengertian Fatwa/Mufti
Secara etimologi kata fatwa berasal dari bahasa Arab al-Fatwa, menurut Ibnu Manshur kata fatwa ini merupakan bentuk mashdar dari kata fata, yaftu, fatwan, yang bermakna muda, baru, penjelasan, penerangan. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat al-Fayumi yang mengartikan sebagai pemuda yang kuat. Sehingga orang yang mengeluarkan fatwa dikatakan sebagai mufti, karena orang tersebut diyakini mempunyai kekuatan dalam memberikan penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagai mana kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda.
Sedangkan secara terminologi, sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsyri (w. 538 H) fatwa adalah penjelasan hukum syara’ tentang suatu masalah atas pernyataan seseorang atau sekelompok. Menurut as-Syatibi, fatwa dalam arti al-Ifta berarti keterangan-keterangan tentang hukum syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti.[7]
Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan proses pemberian fatwa, yakni:
1.      Al-ifta atau al-Futya, artinya kegiatan menerangkan hukum syara’ sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
2.      Mustafti,artinya individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau meminta fatwa
3.      Mufti, orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut atau orang yang memberikan fatwa.
4.      Mustafti fih, masalah, peristiwa, kejadian, kasus, perkara yang ditanyakan status hukumnya
5.      Fatwa, jawaban hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau perkara yang ditanyakan.[8]
2.      Syarat-Syarat Mufti
Adapun orang yang pantas dimintai fatwa tidaklah sembarang orang. Jalaluddin al-Mahalli menyebutkan bahwa di antara syarat seorang mufti adalah: “menguasai pendapat-pendapat dan kaidah-kaidah dalam ushul fiqh dan fiqh, mempunya kelengkapan untuk melakukan ijtihad, menetahui ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk memformulasikan suatu hukum , misalnya ilmu Nahwu, ilmu bahasa, ilmu Mushthalah al-Hadits, tafsir ayat-ayat dan hadits-hadits hukum”.
As-Syaukani menyebutkan tiga syarat yaitu, mampu berijtihad, adil dan terhindar dari kesan memperlonggar dan mempermudah hukum. Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa seorang mufti haruslah nyata-nyata seorang wara’, tsiqah, terpercaya, terhindar dari fasiq, tajam pikiran, sehat rohani dan sedapatnya sehat jasmani.
Mengenai apakah seorang mujtahid atau mufti harus dapat menjawab semua pertanyaan, Imam Ghazali menyatakan bahwa ijtihad bukan pekerjaan yang tidak terbagi-bagi. Menurutnya seorang alim dapat dikatakan melakukan ijtihad meskipun ia melakkan ijtihad dalam beberapa ketentuan hukum saja.[9]

D.    HUKUM BERMAZHAB
Melakukan study Perbandingan Mazhab untuk mendapatkan dalil yang terkuat dan mengamalkan hasilnya adalah wajib. Meskipun sebagian ulama berpendapat, bahwa mengamalkan hasil Muqaranah akan mengakibatkan perpindahan mazhab dan tidak dibenarkan. Pendapat mereka dianggap lemah, karena tidak berdasarkan dalil yang kuat.
Hukum yang didapati dari hasil perbandingan itu adalah merupakan hasil penelitian yang terkuat dalilnya. Oleh sebab itu, wajib mengamalkannya. Dengan sikap seperti ini, kita akan merasakan tujuan dan hikmah atau manfaat melakukan Perbandingan Mazhab atau melakukan Study Perbandingan Mazhab tersebut. Orang yang enggan mengamalkan hukum dengan hasil Muqaranah (perbandingan), bagaikan orang yang enggan memakan buah yang lebih bergizi, karena belum terbiasa. Padahal ia membutuhkannya.


BAB III
KESIMPULAN


Mazhab ialah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Kemudian Imam Mazhab dan Mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath hukum semakin kokoh dan meluas, sesudah masa itu muncul mazhab-mazhab dalam bidang hukum Islam , baik dari golongan ahli hadits maupun ahli ra’yi. Perbandingan mazhab adalah ilmu pengetahuan yang membahas pendapat-pendapat fuqaha’ beserta dalil-dalinya mengenai berbagi masalah, baik yang disepakati, maupun yang diperselisihkan dengan membandingkan dalil masing-masing yaitu dengan cara mendiskusikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh mujtahidin untuk menemukan pendapat yang paling kuat dalilnya.
Ruang lingkup pembahasan perbandingan mazhab ialah hukum-hukum amaliyah, baik yang disepakati, maupun yang masih diperselisihkan antara para Mujtahid, dengan membahas cara berijtihad mereka dan sumber-sumber hukum yang dijadikan dasar oleh mereka dalam menetapkan hukum, dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para mujtahid, baik dari al-Qur’an maupun sunnah, atau dalil-dalil lain yang diakui oleh syara’ dan hukum-hukum yang berlaku dinegara tempat muqarin hidup.



DAFTAR PUSTAKA



A. Qodri Azizy, Ph. D, Reformasi Bermazhab, (Jakarta: Teraju,  2003).

Haroen Nasrun, Ushul Fiqh 1: Cet. Ke-3, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001).

Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997).

M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab: Cet. Ke-2, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996).

Tim Penyusun, Hasil Muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama Mengenai Masalah-Masalah Masyarakat, Bangsa, dan Negara, 1989, (Jakarta: Muktamar NU, 1989).


Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Jakarta:  Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah, 1990).




[1] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 71.
[2] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), cet. Ke-2 hlm. 86.
[3] Ibid, hal. 74.
[4] A. Qodri Azizy, Ph. D, Reformasi Bermazhab, (Jakarta: Teraju,  2003), hlm. 19.
[5] Ibid, hal. 82.
[6] Tim Penyusun, Hasil Muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama Mengenai Masalah-Masalah Masyarakat, Bangsa, dan Negara, 1989, (Jakarta: Muktamar NU, 1989), hal. 109.
[7] Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Jakarta:  Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah, 1990) hal. 98.
[8] Haroen Nasrun, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), cet. Ke- 3, hal. 203.
[9] Ibid, hal. 206.

0 komentar:

 
Top