BAB I
PENDAHULUAN
Pengertian dosa adalah dampak pelanggaran ajaran agama yang
dilakukan dengan sengaja, sadar dan tidak ada paksaan atau dapat dikatakan
bahwa dosa adalah buah dari tidak menjalankan perintah Allah dan tidak menjauhi
larangannya. Sedangkan dosa besar adalah suatu pelanggaran terhadap perintah
dan larangannya yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain dan bersifat
besar.
Menurut para ulama dosa dibagi dua macam yaitu dosa kecil
dan dosa besar. Dosa kecil adalah sesuatu yang dilakukan oleh pelaku tampa
menyadarinya sedangkan dosa besar sesuatu yang dilakukan oleh pelakunya dalam
keadaan sadar, padahal itu sudah dilarang oleh Allah SWT, seperti mencuri,
berjudi, berzinah, dan mabuk-mabukakan.
BAB II
PEMBAHASAN
PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN PELAKU DOSA
BESAR
A. PERBANDINGAN
ALIRAN PELAKU DOSA BESAR
1.
Aliran Khawarij
Secara
bahasa khawarij berasal dari bahasa arab kharaja yang berarti
keluar. Adapun secara istilah khawarij adalah suatu sekte atau kelompok
atau aliran yang keluar meninggalkan barisan karena ketidak setujuannya dengan
keputusan Ali bin Abi Thalib yang menerima arbitrase (tahkim),
dalam perang siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughot (pemberontak)
Mawiyah bin Abi Sufyan perihal ersengketaan khilafah. (Harun Nasution dalam
Rozak Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, cet VI, 2011: 49).
Ketika
terjadi perang siffin, yaitu perang antara Sayidina Ali dan Muawiyah, kelompok
Muawiyah mengangkat mushaf dan mengajak Sayidina Ali untuk mengakhiri
peperangan dengan jalan damai yaitu perindungan. Pada awalnya Sayidina Ali
hendak tidak mau menerima tawaran tersebut, akan tetapi sebagian dari anak buah
Sayidina Ali mendesak Sayidina Ali untuk menerima jalan damai tersebut dan
akhirnya Sayidina Ali menerima jalan damai tersebut.
Tetapi
sebagian dari anak buah Sayidina Ali tidak menerima jalan damai tersebut.
Mereka beralasan bahwa orang yang mengambil jalan damai ketika berperang adalah
orang yang ragu akan pendiriannya, menurut mereka hukum Allah sudah nyata,
siapa yang melawan Khalifah yang sah harus diperangi. (Abbas
Siradjuddin, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jama’ah, cet 8, 2008: 167).
Ketika
anak buah Sayidina Ali yang tidak menerima jalan damai merasa bahwa Sayidina
Ali tidak mau meninggalkan pendiriannya, akhirnya mereka meninggalkan Sayidina
Ali dan pergi kesebuah tempat yang bernama Harura’. Jumlah mereka dua belas
ribu. Mereka mengangkat seorang pemimpin yang bernama Abdullah bin Wahhab Al-
Rasyidi dan menamakan dirinya sebagai kaum khawarij, yaitu orang-orang
yang keluar pergi perang untuk menegakan kebenaran. (Abbas Siradjuddin, I’tiqad
Ahlusunnah Wal Jama’ah, cet 8, 2008: 168).
Ciri
yang menonojol dari aliran khawarij adalah watak keras dalam menentukan
suatu hukum. Hal ini disamping didukung oleh watak kerasnya akibat kondisi
geografis gurun pasir, juga dibangun atas pemahaman tekstual atas dalil-dalil
Al-Qur’an dan hadist, tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan keras pula
tentang status pelaku dosa besar. (Rozak Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,
cet VI, 2011: 133).
Pada
mulanya aliran khawarij hanya ada satu, akan tetapi sesuai dengan
perkembangan zaman aliran initerbagi menjadi beberapa sekte, dan setiap sekte
memahami pelaku dosa besar berbeda antara satu dan yang lainnya. Berikut
adalah sekte-sekte aliran murji’ah diantaranya adalah:
1)
Al-Muhakimah
Menurut sekte Al-Muhakimah,
bahwa orang yang melakukan dosa besar disebut kafir. Contohnya seperti orang
yang melkukan zina dan membunuh, orang tersebut dihukumi kafir. (Mustapa, Mazhab-mazhab
Ilmu Kalam dari Klasik hinga Modern, 2011: 78 ).
2.
Al-Azariqoh
Sekte ini sikapnya
lebih radikal bila dibandingkan dengan Al-Muhakimah, mereka tidak
memakai istilah kafir tetapi istilah musyrik. (Nasution Harun, Teologi
Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, 1996: 14).
3.
Al-Ajaridah
Golongan ini mempunyai
faham puritanisme. Paham mereka tentang berhijrah bukanlah kewajiban seperti
yang diajarkan oleh na’if dan najdah tetapi hanya merupakan kebaikan dan tidak
dihukumi kafir. (Mustapa, Mazhab-mazhab Ilmu Kalam dari Klasik hinga Modern,
2011: 78-79).
4.
As-Sufriyah
Menurut golongan ini
kafir itu ada dua, yaitu kufur nikmat dan kufur Rubbiyah. Oleh karena
itu, kafir tidak selamnya harus berarti keluar dari Islam. (Mustapa.
Mazhab-mazhab Ilmu Kalam dari Klasik hinga Modern, 2011: 79).
5.
Al-Ibadiyah
Menurut golongan ini
orang mukmin yang telah melakukan dosa besar maka orang tersebut dihukumi
kafir. (Mustapa, Mazhab-mazhab Ilmu Kalam dari Klasik hinga Modern,
2011: 79).
2.
Aliran Murji’ah
Aliran
Murji’ah lahir pada abad ke satu Hijriyah setelah terjadi pertikaian
antara kaum Syi’ah, kaum Khawarij, kaum Muawiyah dan
sebagian pengikut Sayidina Ali dalam perang Siffin. Mereka saling menyalahkan
satu sama lain dan saling mengkafirkan satu sama lain. Pada situasi yang gawat
itulah muncul suatu golongan yang mana mereka menjauhi pertikaian dan mereka
menamakan dirinya sebagai kaum Murji’ah. (Abbas Siradjuddin, I’tiqad
Ahlusunnah Wal Jama’ah, cet 8, 2008: 182).
Secara etimologis kata khawarij berasal
dari bahasa arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul atau
memberontak. Adapun yang dimaksud Khawarij dalam terminologi adalah
suatu sekte atau kelompok pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan
barisan karena tidak kesepakatan terhadap keputusan ali yang menerima arbitrase
(tahkim) dalam perang siffin dengan kaum bughot (pemberontak)
Muawiyah bin Abi Sufyan dalam hal persengketaan khilafah.
Pandangan
aliran Murji’ah tentang pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi
iman mereka. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendadapat atara Murji’ah
yang ekstrim dan Murji’ah yang moderat. Menurut Murji’ah yang ekstrim, keimanan
seseorang terletak dalam hati. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya
merupakan refleksi dalam hati. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan
manusia yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau
merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan.
(Al-Asy’ari dalam Rozak Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, cet VI,
2011: 135-136).
Sedangkan
menurut Murji’ah yang moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar
tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dalam neraka mereka tidak akan
kekal dalam neraka, tergantung ukuran dosa yang mereka lakukan. Masih ada
kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya, sehingga ia dibebaskan
dari siksaan neraka. (Mustapa, Mazhab-mazhab Ilmu Kalam dari Klasik hinga
Modern, 2011: 79).
3.
Aliran Mu’tazilah
Mu’tzilah
muncul dikota Bashrah, Iraq pada abad kedua hijriyah, yaitu antara tahun
105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan
Khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Kemunculan Mu’tazilah dipelopori oleh
perbedaan pendapat antara guru dan murid, yaitu Imam Hasan Al-Bashri dan Wasil
Ibn Atha’. Menurut Imam Hasan Al-Bashri, guru Wasil Ibn Atha’ mukmin
yang melakukan dosa besar masih disebut mukmin. Sedangkan menurut Wasil
Ibn Atha’, murid Imam Hasan Bashri mukmin yang melakukan dosa besar
tidak disebut mukmin dan kafir tetapi disebut fasiq.
Inilah awal mula kemunculan Mu’tazilah dikarenakan perselisihan antara
guru dan murid dan akhirnya golongan Mu’tazilah dinisbatkan kepadanya.
(Mustapa, Mazhab-mazhab Ilmu Kalam dari Klasik hinga Modern, 2011: 39).
Aliran
Mu’tazilah kemudian berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional,
akan tetapi sesuai dengan situasi dan perkembangan saat itu,
pemikiran-pemikiran Mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal
ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd Al-Jabbar yang berbicara tentang khalifah,
ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban
berdasarkan Syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk
membentuk negara dan suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar
pertimbangan rasio dan tuntutan muamalah manusia. (Pulungan Suyuti, Fiqih
Siyasah, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, 1997: 209).
Berbeda
dengan aliran Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah
yang memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan
setatus dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin
atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal yaitu, al-manzilah
baina al-manzilataini. Setiap pelaku dosa besar menurut Mu’tazilah
berada diposisi tengah diantara posisi mukmin dan posisi kafir.
Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat maka ia akan
dimasukan neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya
lebih ringan daripada siksaan orang kafir. (Asy-Syahrastani, Al-Milal
wa An-Nihal, tt: 26).
Dalam
perkembangannya, beberapa tokoh Mu’tazilah, seperti Washil bin Atha’ dan
Amr bin Ubaid memperjelas sebutan bagi pelaku dosa besar dengan sebutan fasiq
yang bukan mukmin dan bukan kafir. Mengenai perbuatan apa saja
yang dikategorikan sebagai dosa besar, aliran Mu’tazilah merumuskan
secara lebih konseptual ketimbang aliran Khawarij. Yang dimaksud dosa
besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan yang
ancamannya disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an, sedangkan dosa kecil adalah
sebaliknya, yaitu segala ketidak patuhan yang ancamannya tidak tegas dalam
Al-Qur’an.
4.
Aliran Asy’ariyah
Nama
aliran Asy’ariyah adalah dinisbatkan kepada nama pendirinya yaitu Abdul
Hasan Ali bin Isma’il Al-Asy’ari keturunan dari Abu Musa Al-Asy’ari. (Ahmada
Hanafi dalam Bashori dan Mulyono, Studi Ilmu Tuhid/ Kalam, 2010: 133).
Al-Asy’ari
ketika umur sepuluh sampai empat puluh tahun berguru kepada tokoh Mu’tazilah
yang bernama Al-Jubba’i. Al-Asy’ari pada mulanya pengikut setia Mu’tazilah,
tetapi karena tidak puas terhadap konsepsi aliran Mu’tazilah tentang “al-aslah
wa al-aslah” dalam arti Tuhan wajib mewujudkan yang baik bahkan terbaik
untuk kemaslahatan manusia, akhirnya Al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan
membuat suatu aliran yang dinamakan Asy’ariyah. (Bashori dan Mulyono, Studi
Ilmu Tuhid/ Kalam, 2010: 133).
Menurut
Ahmad Mahmud Subhi perasaan syak dalam diri Al-Asy’ari yang kemudian
mendorongnya untuk meninggalkan paham Mu’tazilah ialah karena Al-Asy’ari
menganut madzhab Syafi’i, yang konsep teologinya berlainan dengan ajaran-ajaran
Mu’tazilah. Sebagaimana dalam pernyataan Imam Syafi’i bahwa Al-Qur’an
tidak diciptakan akan tetapi bersifat qodim dan Tuhan dapat dilihat di
akhir nanti. Disamping itu Asy’ari melihat adanya perpecahan dalam Islam yang
dapat melemahkan mereka, kalau tidak segera diakhiri. Dan beliau sangat
khawatir kalau Al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi menjadi korban faham-faham
aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya itu tidak dibenarkan karena
didasarkan atas pemujaan akal pikiran. Menurut Asy’ariyah tentang pelaku
dosa besar sebagai wakil dari Ahl Sunnah, berpendapat bahwa orang yang
melakukan dosa besar selama orang tersebut mukmin maka orang tersebut
tidak dihukumi kafir. Menurut Asy’ariyah mereka masih disebut sebagai
orang iman dengan keimanan yang mereka miliki sekalipun mereka melakukan dosa
besar. Akan tetapi, apabila dosa besar tersebut dilakukannya dengan meyakini
bahwa dosa besar tersebut dibolehkan dan tidak meyakini kekharamannya, maka
orang tersebut telah kafir. (Al-Asy’ari, Al-Ibanah An-Nushul
Ad-Diyannah, tt: 10).
Adapun
balasan bagi mereka yang melakukan dosa besar, itu tergantung kehendak Allah
swt. Allah mungkin saja menyiksa orang tersebut dan mungkin juga mengampuni
atas dosa yang telah dilakukannya. Akan tetapi apabila pelaku dosa besar
tersebut tidak diampuni dan disiksa dalam neraka, orang tersebut tidak akan
kekaldalam neraka seperti orang kafir.
5.
Aliran Maturidiyah
Munculnya
aliran teolologi Al-Asy’ariyah dianggap sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah.
Al-Maturidi yang merupakan tokoh aliran Asy’ariyah memunculkan pemikiran
yang berbeda dengan pemikiran Al-Asy’ariyah. Pemikiran Al-Maturidi ini
dinilai lebih dekat dengan Mu’tazilah karena memberikan daya yang besar
kepada akal setingkat dibawah Mu’tazilah. Pemikiran tersebut kemudian
dikenal dengan aliran Maturudiyah Samarkand. Adanya perbedaan antar
teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah meskipun keduanya timbul
sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah karena Al-Maturidi adalah
pengikut Abu Hanifah yang banyak menggunakan rasio dalam pandangan keagamaan.
(Nasution Harun dalam Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran
Islam, cet I, 2012: 149).
Dibandingkan
dengan Mu’tazilah dan Asy’aryah, Maturidiyah dapat
dikatakan mengambil jalan tengah antara keduanya. Namun dalam
perkembangan-perkembangannya, antara Maturidiyah Samarkand yang
merupakan jalan tengah antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah, masih
dapat diambil jalan tengahnya lagi antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah
oleh seorang tokoh Maturidiyah yang bernama Al-Bazdawi dan Bukhara.
Abdul Aziz Dahlan lebih cenderung menamakan pemikiran Al-Bazdawi tersebut
dengan nama Al-Maturidiyah. Namun dalam istilah yang populer untuk
aliran ini adalah Al-Maturidiyah Bukhara yang mana aliran ini cenderung
lebih dekat dengan pendapat-pendapat Asy’ariyah. Sedangkan Maturidiyah
Samarkand cenderung lebih dekat dengan pendapat-pendapat Mu’tazilah.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Aliran-aliran dalam
Islam muncul dipicu oleh permasalahan politik antara Ali bin Abi Thalib dan
Muawiyah, dan berkembang menjadi aliran-aliran yang membahas tentang siapa yang
kafir dan siapa yang mukmin. Dalam
setiap aliran berbeda pendapat tentang pemikiran-pemikirannya terhadap pelaku
dosa besar. Ada yang berpendapat mereka yang melakukan dosa besar dihukumi
kafir, dan ada juga yang berpendapat bahwa mereka yang melakukan dosa besar,
selama mereka mukmin maka mereka tetap dihukumi mukmin, dan ada juga yang
menengah-nengahi antara kafir dan mukmin, yaitu fasiq.
Aliran
yang mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar dihukumi kafir maka orang
tersebut akan disiksa dineraka. Aliran
yang mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin, maka oarang
tersebut akan disiksa pula atas dosa yang telah dilakukannya namun tidak kekal
dalam neraka.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maturidi,
Abu Mansur, Kitab At-Tauhid. Tahqiq oleh Fathullah Khalif, (Istanbul:
Maktabah Al-Islamiyah Muhammad Ozdomeir, 1979).
Al-Asy’ari.
Al-Ibanah An-Nushul Ad-Diyannah. tt. Idarah At-tiba’ah Al-Misriyah,
Bashori
dan Mulyono, Studi Ilmu Tuhid/ Kalam,
(Malang: UIN Maliki Press, 2010).
Mustapa.
Mazhab-mazhab Ilmu Kalam dari Klasik hinga Modern, (Cirebon: Nurjati IAIN-Publisher,
2001).
Nasution
Harun. Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. (Jakarta:
UI Press, 1996).
Nurdin
Amin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah
Pemikiran Islam, cet I. (Jakarta: Amzah, 2012).
Pulungan
Suyuti. Fiqih Siyasah, Ajaran Sejarah dan Pemikiran. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997).
Rozak
Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, cet VI, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2011).
Siradjuddin
Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jama’ah,
cet 8, (Jakarta Selatan: Pustaka
Tarbiyah Baru, 2008).
0 komentar:
Post a Comment