BAB I
PENDAHULUAN
Secara historis NU memiliki kontribusi yang sangat
besar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Jika dirunut maka akan
didapati bagaimana peran NU dalam kehidupan bernegara bangsa tersebut, meskipun
secara akademis sering menjadikan NU dianggap sebagai organisasi yang
akomodatif, fragmatis dan bahkan oportunis.
Labeling seperti ini memang disandarkan atas realitas
bahwa NU sebagai organisasi pernah melakukan tindakan politik untuk membela
Soekarno dalam menggoalkan konsep Nasionalisme, Agama dan Komunis (Nasakom),
yang saat itu dianggap sebagai sebuah konsepsi yang salah oleh organisasi
sosial keagamaan lainnya, sebab menempatkan agama dan komunis dalam satu
bangunan konsep. Selain itu NU juga pernah mengangkat Soekarno sebagai Waliy
al-amri dharury bi al-syaukah, yang dianggap oleh lainnya sebagai langkah
oportunisme politik.
Kemudian,
di era Orde Baru NU juga sekali lagi memainkan peran penting di dalam
menggoalkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh organisasi sosial
keagamaan dan lainnya di Indonesia. Melalui forum Munas Alim Ulama di Pesantren
Salafiyah Syafiiyah Situbondo ditetapkan bahwa Pancasila dapat dijadikan
sebagai asas bagi seluruh organisasi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
DASAR HUKUM KEBERADAAN NU DI INDONESIA
SEBELUM DAN SESUDAH KEMERDEKAAN INDONESIA
A. PERJUANGAN NU PADA MASA SEBELUM KEMERDEKAAN
Setelah mengurai secara singakt namun jelas dan
gamblang berdirinya organisasi Nahdhatul Ulama dari mulai menjelaskan
embrio-embrio dari fenomena kemunculan Nahdhathul Ulama sampai pada akhirnya
terbentuk secara de facto dan de jure organisasi yang bernama
Nahdhatul Ulama yang bertujuan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
tradisionalis seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam pembahasan
selanjutnya penulis akan membahas peran Nahdhatul Ulama dalam pembentukan
Negara Republik Indonesia.[1]
Tidak diragukan lagi bahwa peranan NU dalam
pembentukan NKRI sangat berperan aktif dalam pergerakannya. NU bukan hanya
organisasi yang berbicara masalah keagamaan yang menjunjung nilai-nilai
tradisionalis. Namun, NU juga berbicara mengenai motif Nasionalisme atau
kemerdekaan atas Negara yang pada waktu itu dijajah oleh colonial Belanda.
Sepeti yang telah dibahas dibagian sebelumnya, NU
dalam lintasan sejarah secara tidak langsung mempersiapkan kekuatan untuk
pengusiran penjajah di Nusantara, salah satunya Nahdhatul Wathan yang didirikan
pada tahun 1916 oleh kiai Wahab Hasbullah, sebagai pondasi awal semangat
nasionalisme. Pembentukan Nahdhatul Wathan ditujukan untuk menggarap para
murid-muridnya untuk menanamkan rasa nasionalisme, jalur ini memang lebih cendrung
berorientasi pendidikan.
Namun setelah organisasi yang bernama Nahdhatuhul
Ulama ini terbentuk, nahdhathul Ulama dalam anggaran dasarnya tidak menyebutkan
kemerdekaan sebagai salah satu tujuannya. Baru dikemudian hari,
anti-kolonialisme diajarkan dan tertuang dalam buku-buku pegangan sekolah kaum
tradisionalis. Bahkan Kiai HM dachlan menjelaskan bahwa perjuangan
anti-penjajah merupakan asal usl Nahdhathul Ulama.
Akan tetapi, mengutip dari Choirul Anam, Nahdhatul
Ulama, secara implicit bertujuan melawan Belanda. Empat tahun setelah
berdirinya NU, yakni sekitar tahun 1930-an, dalam pesantren-pesantren dan
madrasah-madrasah yang didirikan oleh para kiai NU, diwajibkannya menyanyikan
lagu kebangsaan setiap hari kamis setelah mata pelajaran selesai. Bukan hanya
itu, tapi buku-buku yang dilarang dipelajari di sekolah-sekolah oleh penjajah,
beredar di pesantren-pesantren serta madrasah-madrasah. Hal ini jelas bahwa
Nahdhatul Ulama serius dalam pengusiran penjajah dengan menanamkan rasa
nasionalisme sebagai pondasi awal perlawanan terhadap Belanda.[2]
Dalam bidang hukum
khususnya pada urusan keagamaan umati islam, Nahdhathul Ulama secara
tegas untuk menolak interfensi dari pemerintahan Belanda. Pada tahun
1931, masalah warisa ditarik dari wewenang Pengadilan Agama, artinya bahwa
hukum adat yang kembali diberlakukan di
Pulau jawa, Madura dan Klaimantan selatan. Hal ini bukan semata-mata
diberlakukannya hukum adat akan tetapi
penggrogotan wewenang Pengadilan Agama yang merupakan lambing wewenang kaum
muslimin yang menimbulkan rasa tidak senang tersebut.
Di massa-masa persiapan kemerdekaan, meskipun NU tidak
melibatkan diri secara langsung dalam dunia politik, para pemimpin NU
memperhatikan juga bentuk Negara Indonesia yang akan datang. Hal ini dipertegas
dalam Muktamar XV pada tahun 1940, Muktamar ini sekaligus Muktamar terakhir
pada masa Colonial Belanda, dalam muktamar tersebut berkesimpulan menunjuk
Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai calon presiden yang pantas memimpin bangsa.
Muktamar tersebut dihadiri oleh 11 tokoh NU yang dipimpin oleh Mahfudz Shidiq.
Selanjutnya, di masa proklamasi kemerdekaan,
berdebatan sengit mengenai bentuk Negara yang dimulai dari tahun 1920-an,
akhirnya memuncak saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945. Sebenarnya
bukan hanya bentuk Negara yang diperdebatkan, akan tetapi banyak hal lain yang
diperdebatkan mengenai jati diri negar kedepannya, antara lain : mengenai batas
wilayah, bentuk Negara, dan bentuk pemerintahan.
Yang pada akhirnya, di Bulan April 1945, dalam
pidatonya, Soekarno meletakan dasar Negara dengan dasar 5 sila atau yang masyhur
disebut dengan pancasila. Peranan NU dalam melegalkan pancasila ini
tercermin dalam iskusi antara Soekarno, kiai Wahab Hasbullah, kiai Masykur dan
kahar Muzakar yang berkesimpulan bahwa 5 sila tersebut representasi dari ajaran
Islam. Akan tetapi titik tekan yang dilakukan oleh para pemimpin Islam tersebut
lebih kepada persatuan Indonesia yang terdiri dari beberapa agama dan banyak
suku bangsa yang tersebar luas di belahan nusantara. Lagi-lagi, pancasila
kembali menimbulkan diskursus dengan golongan islam kanan dan golongan
nasionalis, hingga pada akhirnya Soekarno memanggil panitia 62 kemudian
membentuk panitia kecil yang terdiri dari 9 orang yang akan membahas kompromi
antara kaum islam dan nasionalis. Kiai Wahid Hasyim sebagai representasi dari
golongan islam tradisional atu NU, dalam rapat panitia tersebut membuahkan
hasil dengan menambahkan acuan syariat islam bagi pemeluknya, menurut dasar
kemanusian yang adil dan beradab. Tidak berhenti disitu perdebatan mengenai 5
sila tersebut, pada rapat selanjutnya, piagam Jakarta tersebut dipertanyakan
kembali oleh tokoh nasionalis dan Kristen. Latuharahray, dari protestan,
melontarkan dengan tegas kekhawatirannya mengenai ditambahkannya syariat islam
dalam sila tersebut, yang berdampak pada perpecahan. Dari NU sendiri yang
diwakili oleh Wahid Hayim mengusulkan agar agama Negara adalah islam, dengan
jaminan bagi pemeluk lain untuk dapat beribadah menurut agamanya masing-masing.[3]
Sebagai organisasi
sosial keagamaan NU,memiliki komitmen yang tinggi terhadap gerakan kebangsaan
dan kemanusiaan, karena NU menampilkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) ke
dalam tiga pilar ukhuwah yaitu; Ukhuwah Islamiyah; Ukhuwah Wathoniyah dan Ukhuwah
Insaniah atauUkhuwah Basyariyah. Ukhuwah Islamiyah merupakan landasan teologis
atau landasan iman dalam menjalin persaudaraan tersebut dan ini sekaligus
merupakan entry point dalam mengembangkan ukhuwah yang lain. Agar keimanan ini
terefleksikan dalam kebudayaan dan peradaban, maka kepercayaan teologis ini
perlu diterjemahkan ke dalam realitas sosiologis dan antropologis ini kemudian
ukhuwah Islamiyah diterapkan menjadi ukhuwah wathoniyah (soladaritas
kebangsaan).[4]
B. PERJUANGAN NU SESUDAH KEMERDEKAAN
Pancasila dan UUD 1945 merupakan Khitan Indonesia,
yang merupakan puncak dari keseluruhan cita-cita bangsa ini yang berproses
sejak zaman Kebangkitan Nasional yang kemudian dirumuskan menjadi dasar Negara
Pancasila, dicetuskan melalui Proklamasi Kemerdekaan, dirumuskan menjaid
Pembukaan UUD serta dirinci ke dalam batang tubuh UUD 1945 secara tuntas dan
menyeluruh. Dengan demikian NU berpendirian bahwa Penyempurnaan UUD 1945
haruslah:
Pertama : Dilaksanakan dengna penuh ketelitian dan
kecermatan.
Kedua : Haruslah sesuai dengan Pancasila sebagai
dasar dan Ideologi
negara
Ketiga : Harus sesuai dengan semangat Proklamasi.
Keempat : Haruslah sejalan dengan amanah Mukadimah
UUD 1945.
Kelima : Mempertimbangkan aspirasi, tata nilai dan
tradisi bangsa ini.
Karena itu dalam konteks ini NU menyarankan kepada
bangsa ini agar kembali kekhittah Indonesia 1945 yaitu berusaha kembali
menegaskan Pancasila sebagai ideologi negara. Proklamasi sebagai sprit bangsa
dan UUD 1945 sebagai konstitusinya. Barang siapa mengganggu atau menentangnya
harus segera dicegah, karena ini musuh negara. NU juga mendesak agar dalam UUD
itu ada pasal yang menegaskan bahwa Mukadimah UUD 1945 yang telah ada itu sama
sekali tidak boleh di ubah atau amandemen, karena Mukadimah tersebut menjadi
pedoman yang memuat filosofi serta arah perjuangan bangsa ini.
Dengan ukhuwah wathoniyah itu NU peduli untuk
membangun bangsa ini, karena ini merupakan langkah penting untuk menegakkan
kembali kedaulatan negara. Dan ini menjadi sangat penting untuk mengembangkan
ukhuwah Insaniyah untuk memperbesar peran bangsa ini dalam membantu dan
bekerjasama dengan bangsa lain di dunia. Dengan demikian NU juga bisa
mengembangkan perannya lebih aktif dalam membangun peradapan dunia, mengingat
NU saat ini tampil sebagai kekuatanAswaja terbesar didunia. Dengan ditopang
oleh bangsa dan negara yang kuat dan terhormat perjuangan Aswaja NU ditingkat
dunia akan semakin strategis dalam mewujudkan Islam sebagai penyangga
perdamaian dunia. Terbukti selama ini NU tidak hanya menjadi tumpuan bangsa
lain didunia. Tidak hanya dunia muslim, dunia non-muslim terbukti selama ini
sangat tergantung pada peran NU. Semua langkah stategis NU dipersiapkan untuk
menjalankan tugas nasional dan peran universal tersebut.
C. DASAR HUKUM KEBERADAAN NU DI INDONESIA
Ideologi adalah refleksi dan dilahirkan oleh sejarah,
diproduk dalam fikiran, tidak bisadijadikan landasan keimanan dan keyakinan
dalam beragama. Tetapi ideologi di perlukan untuk menjaga kelestarian
kehidupan beragama itu sendiri. Nahdlatul Ulama (NU) menerima pancasila,
karena selain hasil kesepakatanwakil-wakil bangsa, pancasula tidak bertentangan
dengan doktrin Ahlusunnah WalJama’ah. Dengan kata lain, islam akan berkembang
di Indonesia, manakala pancasilamenjadi landasan ideologisnya. Sebaliknya, akan
semakinpelik persoalannya,manakala ajaran islam di formalkan untuk
kepentingan-kepentingan sejarah keindonesia.
Umat
islam memang pernah mengalami fase”perdebatan ideologis”, dalam proses
pembentukan landasan kebangsaan dan kenegaraan. Apalagi, sebelum
pancasilaterumuskan sebagai mana adanya saat ini, warna islam begitu formal,
sebagaimanatertera dalam Piagam Jakarta. Kenyataan ini mewarnai perdebatan
ideologis, setelahakhirnya mengalami jalan buntu dan “dead lock” sejak dekrit
presiden 5 Juli 1959rumusan ketatanegaraan, dan kebangsaan indonesia, kembali
kepancasila dan UUD1945. Namun, persaingan ideologis terus berlanjut, karena
justru munculnya ancamanideologi itu sendiri. Situasi ini baru selesai, setelah
dengan tegas, di sepakatinya, pancasila sebagai satu-satunya asas
bernegara dan berbangsa.
Disamping
itu pula penerimaan Ulama (NU) atas pancasila di tegaskan dalamanggaran dasar.
NU menerima dengan panjang lebar, NU menerima dengan sifat positif
menerima dalam rangka perjuangan bangsa dan negaramencapai masyarakatadil dan
makmur. Penerimaan atas pancasila sudah di muat didalam muqaddimah(Pembukaan)
anggaran dasar, bahwa kemaslahatan dan kesejahteraan warga NahdlatulUlama
adalah bagian mutlak dari kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakatIndonesia,
maka dalam perjuangan mencapai masyarakat adil dan makmur yangmenjadi cita-cita
seluruh masyarakat indonesia, dengan Allah SWT, Organisasi Nahdlatul Ulama
berasaskan ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaandalam
permusyawaratan perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan
meletakkan dasar moral di atas, negara dan pemerintahnya memperoleh dasar
kokoh, yang memerintahkan berbuat benar melaksanakan keadilan,kebaikan dan
kejujuran serta persaudaraan. Dengan politik pemerintahan yang berpegang
kepada moral yang tinggi di ciptakan tercapainya “Suatu keadilan bagiseluruh
Rakyat Indinesia”.
Dengan
menerima pancasila sekaligus NU juga menyatakan dirinya kembalimenjadi
organisasi keagamaan yang terkenal dengan semaboyan Kembali KepadaKhittah
(Semangat)1946. Suatu langkah untuk mengukuhkan kembali peranan
ulamasebagaimana hakikatnya ketika didirikan tahun 1926, agar ulama memegang
kendalisepenuhnya dalam peranan NU sebagai organisasi keagamaan (Jamiah
diniyah). Sebab bila NU sudah mengakui negara dan pancasila sah menurut
islam maka peranansebagai partai politik menjadi tidak relefan lagi. Apalagi NU
sudah menyadari selamamenjadi partai poalitik ia telah banyak menghabiskan
tenaga untuk prestasi politik sedangkan usaha-usaha keagamaan
terbengkalai.
Dari
pernyataan tersebut NU menetapkan dan menggambarkan sebagai eksperidari
penerimaan terhadap pancasila, sehingga dalam bertingkah laku sebagai wargamasyarakat
harus sesuai dengan pancasila, dan ketika mengambil sebuah kebijakanoleh elite
politik juga bersandar atas pancasila agar dampak yang di timbulkan darisebuah
pengambilan kebijakan publik tidak berdampak negatif demi kesejahteraanrakyat,
jadi antara pancasila dan agama berada di tengah-tengah beground
bangsaIndonesia harus berjalan beriringan selaras dan serasi agar cita-cita
luhur bangsaIndonesia dapat tercapai.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa : Sebagai organisasi sosial keagamaan NU,memiliki komitmen
yang tinggi terhadap gerakan kebangsaan dan kemanusiaan, karena NU menampilkan
Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) ke dalam tiga pilar ukhuwah yaitu;
Ukhuwah Islamiyah; Ukhuwah Wathoniyah dan Ukhuwah Insaniah atauUkhuwah
Basyariyah. Ukhuwah Islamiyah merupakan landasan teologis atau landasan iman
dalam menjalin persaudaraan tersebut dan ini sekaligus merupakan entry point
dalam mengembangkan ukhuwah yang lain. Agar keimanan ini terefleksikan dalam
kebudayaan dan peradaban, maka kepercayaan teologis ini perlu diterjemahkan ke
dalam realitas sosiologis dan antropologis ini kemudian ukhuwah Islamiyah
diterapkan menjadi ukhuwah wathoniyah (soladaritas kebangsaan).
Sementara NU mengembangkan ukhuwah Islamiyah ini
sampai ke dimensi ukhuwah Wathoniyah. Dengan adanya landasan iman ini ukhuwah
wathoniyah terbukti menjadi paham kebangsaan yang sangat kuat. Inilah yang
disebut dengan nasionalisme religius. Nasionalisme yang disinari dan
disemangati agama. Ketika ukhuwah wathoniyah ini tidak dilandasi oleh keimanan
dan keislaman dia akan rapuh dan akan mudah dirasuki oleh paham yang lain baik
komunisme maupun liberalisme. Seperti yang terjadi di Indonesia selama ini.
Komunisme telah terbukti menghanculkan sendi- sendi kehidupan sosial dengan
terjadinya konflik sosial yang tidak pernah berhenti.
NU tidak mensakralkan UUD 1945, tetapi juga tidak
mensakralkan hasil amandemen yang sudah dilakukan. Sesuai dengan amanat pasal
37 UUD 1945 itu, konsitusi bisa dan perlu disempurnakan. Dalam rangka
penyempurnaan itu maka Amandemen kelima yang direncanakan itu harus berani
melakukan amandemen atau review terhadap berbagai hasil amandemen yang telah
dilakukan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Luqman Hakim, dan Muhammad, NU
di Tengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat, (Tulungagung: Yayasan
pondok PETA, 1994).
Sitompul, dan
Martahan Einar, NU dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1989).
Zada, Khamami dkk, Nahdlatul
Ulama Dinamika Idologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta:
Kompas, 2010).
[1] Sitompul, dan
Martahan Einar, NU dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1989), hal. 56.
[2] Luqman Hakim, dan Muhammad, NU
di Tengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat, (Tulungagung: Yayasan
pondok PETA, 1994), 89.
[3] Zada, Khamami dkk, Nahdlatul
Ulama Dinamika Idologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta:
Kompas, 2010), hal. 53.
[4] Ibid, hal. 55.
0 komentar:
Post a Comment