BAB I
PENDAHULUAN
Ajaran Islam, sebagaimana dalam
beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuaannya
dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Quran dan
Al-Hadits. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi,
anggota keluarga dan anggota masyarakat, dimana saja dunia ini, umat islam
menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka
taati dan mereka jalankan.
Tentu saja seberapa besar kesadaran
itu, akan sangat tergantung pada kompisi besar kecilnya komunitas umat islam,
seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat,
dan sejauh mana pula pengaruh dari perantara social dan politik dalam
memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam
kehidupan masyarakat itu.
BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM
PERDATA ISLAM DI INDONESIA
A.
PENGERTIAN HUKUM PERDATA ISLAM DI
INDONESIA
“Hukum Islam” merupakan terminologi
khas Indonesia, jikalau kita terjemahkan langsung kedalam bahasa arab maka akan
diterjemahkan menjadi al-hukm al Islam, suatu terminologi yang tidak dikenal
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka padanan yang tepat dari istilah “Hukum
Islam” adalah al-fiqh al-Islamy atau al-Syari’ah al-Islamy, sedangkan dalam
wacana ahli hukum barat digunakan istilah Islamic law .
Sedangkan terminologi ”Hukum Perdata
Islam” yang menjadi telaah utama makalah ini dapat penulis uraikan bardasarkan
pengertian dari kata-kata penyusunnya, sebagai berikut :
Hukum, adalah seperangkat
peraturan-peraturan yang dibuat oleh yang berwenang (negara), dengan tujuan
mengatur tata kehidupan bermasyarakat, yang mempunyai ciri memerintah dan
melarang serta mempunyai sifat memaksa, serta mengikat anggotanya, dengan
menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka yang melanggarnya.
Sedangkan Hukum Perdata, adalah
hukum yang bertujuan menjamin adanya kepastian didalam hubungan antara orang
yang satu dengan orang yang lain kedua-duanya sebagai anggota masyarakat dan
benda dalam masyarakat. Dalam terminologi Islam istilah perdata ini sepadan
dengan pengertian mua’amalah.
Kemudian frase Hukum Perdata
disandarkan kepada kata Islam, Jadi dapat dipahami menurut hemat penulis bahwa
”Hukum Perdata Islam” adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah
dan sunnah Rosul tentang tingkah laku mukallaf dalam hal perdata/mu’amalah yang
diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam (diIndonesia).
Menurut Muhammad Daud Ali, ”Hukum
Perdata Islam” adalah sebagian dari hukum Islam yang telah berlaku secara
yuridis formal atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia, yang
isinya hanya sebagian dari lingkup mu’amalah, bagian hukum Islam ini menjadi
hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan
perundang-undangan. Contohnya adalah hukum perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah, zakat dan perwakafan.
B. SEJARAH BELAKUNYA HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
1.
Hukum
Islam pada Masa Kerajaan
Hukum Islam Pada Masa
Kerajaan/kesultanan Islam di Nusantara
Pada masa ini hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah.
Pada masa ini hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah.
Hukum Islam juga menjadi sistem
hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantar. Tidaklah
berlebihan jika dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan belanda, hukum
islam menjadi hukum yang positif di nusantara.
2.
Hukum
Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Perkembangan hukum Islam di
Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat diklasifikasi kedalam dua bentuk,
Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC yang memberikan ruang agak
luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda
terhadap hukum Islam dengan menghadapkan pada hukum adat.
Pada fase kedua ini Belanda ingin
menerapkan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia, yaitu Belanda ingin
menata kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda, dengan tahap-tahap
kebijakkan strategiknya yaitu:
-
Receptie
in Complexu (Salomon Keyzer & Christian Van Den Berg [1845-1927), teori ini
menyatakan hukum menyangkut agama seseorang. Jika orang itu memeluk Islam maka
hukum Islamlah yang berlaku baginya, namum hukum Islam yang berlaku tetaplah
hanya dalam masalah hukum keluarga, perkawinan dan warisan.
Teori
Receptie ( Snouck Hurgronje [1857-1936] disistemisasi oleh C. Van Vollenhoven
dan Ter Harr Bzn), teori ini menyatakan bahwa hukum Islam baru diterima
memiliki kekuatan hukum jika benar-benar diterima oleh hukum adat, implikasi
dari teori ini mengakibatkan perkembangan dan pertumbuhan hukum Islam menjadi
lambat dibandingkan institusi lainnya. di nusantara.
3.
Hukum
Islam Pada Masa Penjajahan Jepang
Menurut Daniel S. Lev Jepang memilih
untuk tidak mengubah atau mempertahankan beberapa peraturan yang ada. Adat
istiadat lokal dan praktik keagamaan tidak dicampuri oleh Jepang untuk mencegah
resistensi, perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan.
Jepang hanya berusaha menghapus
simbol-simbol pemerintahan Belanda di Indonesia, dan pengaruh kebijakan
pemerintahan Jepang terhadap perkembangan hukum di indonesia tidak begiti
signifikan.
4.
Hukum
Islam Pada Masa Kemerdekaan
Salah satu makna terbesar
kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebas dari pengaruh hukum Belanda,
menurut Prof. Hazairin, setelah kemerdekaan, walaupun aturan peralihan UUD 1945
menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasar teori
receptie (Hazairin menyebutnya sebagai teori iblis) tidak berlaku lagi karena
jiwanya bertentangan dengan UUD 1945.
Teori receptie harus exit karena
bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah Rosul. Disamping Hazairin, Sayuti
Thalib juga mencetuskan teori Receptie a
Contrario, yang menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
5.
Hukum
Islam Pada Masa Pemerintahan Orde Baru
Pada awal orde baru berkuasa ada
harapan baru bagi dinamika perkembangan hukum Islam, harapan ini timbul
setidaknya karena kontribusi yang cukup besar yang diberikan umat Islam dalam
menumbangkan rezim orde lama. Namun pada realitasnya keinginan ini menurut DR.
Amiiur Nurudin bertubrukan denagn strategi pembangunan orde baru, yaitu
menabukan pembicaraan masalah-masalah ideologis selain Pancasila terutama yang
bersifat keagamaan.
Namun dalam era orde baru ini banyak
produk hukum Islam (tepatnya Hukum Perdata Islam) yang menjadi hukum positif
yang berlaku secara yuridis formal, walaupun didapat dengan perjuangan keras
umat Islam. Diantaranya oleh Ismail Sunny coba diskrisipsikan secara kronologis
berikut ini :
a. Undang- undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan
Politik hukum memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh pemerintah orde baru, dibuktikan oleh UU ini, pada pasal 2 diundangkan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu” dan pada pasal 63 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini adalah Pengadilan Agama (PA) bagi agama Islam dan Pengadilan Negeri (PN) bagi pemeluk agama lainnya.
Politik hukum memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh pemerintah orde baru, dibuktikan oleh UU ini, pada pasal 2 diundangkan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu” dan pada pasal 63 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini adalah Pengadilan Agama (PA) bagi agama Islam dan Pengadilan Negeri (PN) bagi pemeluk agama lainnya.
Dengan UU No. 1 tahun 1974 Pemerintah dan DPR memberlakukan
hukum Islam bagi pemeluk-pemeluk Islam dan menegaskan bahwa Pengadilan Agama
berlaku bagi mereka yang beragama Islam.
b. Undang- undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama
Dengan disahkanya UU PA tersebut, maka terjadi perubahan
penting dan mendasar dalam lingkungan PA. Diantaranya:
-
PA
telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya benar-benar telah sejajar dan
sederajat dengan peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha
negara.
-
Nama,
susunan, wewenang, kekuasaan dan hukum acaranya telah sama dan seragam
diseluruh Indonesia. Dengan univikasi hukum acara PA ini maka memudahkan
terjadinya ketertiban dan kepastian hukum dalam lingkungan PA.
-
Terlaksananya
ketentuan-ketentuan dam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.
-
Terlaksanya
pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara dan berwawasab Bhineka Tunggal
ika dalam UU PA.
c. Kompilasi Hukum Islam Inpres no. 1
tahun 1991 (KHI)
Seperti diuraikan diawal makalah ini bahwa sejak masa
kerajaan-kerajan Islam di nusantara, hukum Islam dan peradilan agama telah
eksis. Tetapi hakim-hakim agama diperadilan tersebut sampai adanya KHI tidak
mempunyai kitab hokum khusus sebagai pegangan dalam memecahkan kasus-kasus yang
mereka hadapi.
Dalam menghadapi kasus-kasus itu hakim-hakim tersebut
merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang puluhan banyaknya. Oleh karena itu sering
terjadi dua kasus serupa apabila ditangani oleh dua orang hakim yang berbeda
referensi kitabnya, keputusannya dapat berbeda pula, sehingga menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Guna mengatasi ketidakpastian hukum tersebut pada Maret 1985
Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehigga terbitlah Surat Keputusan Bersama
(SKB) Ketua Makamah Agung dan Departemen Agama.SKB itu membentuk proyek
kompilasi hukum islam dengan tujuan merancang tiga buku hukum, masing-masing
tentang Hukum perkawinan (Buku I), tentang Hukum Kewarisan (Buku II), dan tentang
Hukum Perwakafan (BUKU III).
Bulan Februari 1988 ketiga buku itu dilokakaryakan dan
mendapat dukungan luas sebagai inovasi dari para ulama di seluruh Indonesia.
Pada tanggal 10 Juni 1991 Suharto menandatangani Intruksi Presiden No. 1 tahun
1991 sebagai dasar hukum berlakunya KHI tersebut.
Oleh karena itu sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan,
kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan oleh
undang-undang yang berlaku adalah hukum Islam.
6.
Hukum
Islam Pada Masa Reformasi
Era reformasi dimana iklim demokrasi
di Indonesia membaik dimana tidak ada lagi kekuasaan repsesif seperti era orde
baru, dan bertambah luasnya keran-keran aspirasi politik umat Islam pada pemilu
1999, dengan bermunculannya partai-partai Islam dan munculnya tokoh-tokoh
politik Islam dalam kancah politik nasional sehingga keterwakilan suara umat
Islam bertambah di lembaga legislatif maupun eksekutif.
Mereka giat memperjuangkan aspirasi
umat Islam terrmasuk juga memperjuangkan bagaimana hukum Islam ikut juga
mewarnai proses pembanguanan hukum nasional.
Diantara produk hukum yang positif diera reformasi sementara ini yang
sangat jelas bermuatan hukum Islam (Hukum Perdata Islam) ini antara lain adalah
-
Undang-undang
No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
-
Undang-undang
No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
-
RUU
tentang Perbankan Syariah yang saat ini sedang dibahas di DPR.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan makalah
diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa “Hukum Islam” merupakan terminologi
khas Indonesia, jikalau kita terjemahkan langsung kedalam bahasa arab maka akan
diterjemahkan menjadi al-hukm al Islam, suatu terminologi yang tidak dikenal
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Maka padanan yang tepat dari istilah
“Hukum Islam” adalah al-fiqh al-Islamy atau al-Syari’ah al-Islamy, sedangkan
dalam wacana ahli hukum barat digunakan istilah Islamic law.
DAFTAR
PUSTAKA
Nurudin, Amiur dan A Tarigan, Hukum Perdata Islam diIndonesia,
Jakarta: Kencana, 2004.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2003.
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: sinar grafika, 2004.
Subekti, Asas-Asas Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2005.
Tim Penyusun, Peradilan Agama di Indonesia; Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses
Pembentukkan Undang-Undangnya, Jakarta DEPAG, 2001.
0 komentar:
Post a Comment