BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Semua yang terjadi dalam perjalanan hidup seorang manusia merupakan kehendak Rabbnya Yang Maha Agung. Seorang manusia tidak akan selamanya merasa bahagia dan juga tidak akan selamanya menanggung nestapa. Dari semua perputaran kejadian yang kita temui pada setiap episode kehidupan membawa pelajaran dan hikmahnya masing-masing agar kita semakin mengerti hakikat penciptaan kita selaku hamba di muka bumi ini.
Allah ta’ala telah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan, ada laki-laki dan ada perempuan, ada suka dan ada duka, ada pertemuan dan ada perpisahan. Sudah lumrah bagi setiap hal yang memiliki awal pasti juga memiliki akhir, tidak terkecuali dalam ikatan pernikahan. Ada waktunya untuk kita bertemu dengan seseorang yang kita cintai dan ada pula waktunya ketika kita harus berpisah dengan seseorang yang disayangi. Perpisahan yang terjadi bukanlah akhir dari sebuah perjalanan hidup, melainkan sebuah pembelajaran untuk pendewasaan diri.
Kali ini, kita akan berbicara tentang perpisahan antara dua insan yang mencinta, antara sepasang suami istri. Berpisahnya sepasang suami dan istri disebabkan oleh dua hal umum yaitu, kematian dan perceraian.
Ikatan pernikahan yang dipisahkan karena kematian, adalah suatu hal lumrah yang dapat kita fahami bersama. Namun, perpisahan antara suami dengan istri dapat juga disebabkan oleh perceraian. Bagaimanakah Islam mengatur masalah perceraian ini? Kemudian, apa yang sajakah yang harus dilakukan oleh seorang wanita ketika perpisahan itu terjadi?



BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Talak
Talaq berasal dari kata “itiaq” menurut bahasa artinya melepaskan atau meninggalkan sedangkan menurut istilah syara’ talaq berarti melepaskan atau membatalkan ikatan tali pekawinan yang sah.
Tali ikatan perkawinan itu berasal di tangan suami/ laki-laki, maka yang berhak menjatuhkan talak itu adalah sang suami, seorang wanita minta cerai kepada suaminya tanpa ada alasan yang jelas, maka wanita tersebut diharamkan untuk mencium bau surga diakhirat kelak. Mengapa yang berhak untuk menjatuhkan talak itu suami / laki-laki karena berdasarkan firman Allah SWT :
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# #sŒÎ) ÞOçFø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# £`èdqà)Ïk=sÜsù  ÆÍkÌE£ÏèÏ9 (#qÝÁômr&ur no£Ïèø9$# ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6­/u ( Ÿw  Æèdqã_̍øƒéB .`ÏB £`ÎgÏ?qãç/ Ÿwur šÆô_ãøƒs HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7puZÉit7B 4 y7ù=Ï?ur ߊrßãn «!$# 4 `tBur £yètGtƒ yŠrßãn «!$# ôs)sù zNn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 Ÿw Íôs? ¨@yès9 ©!$# ß^Ïøtä y÷èt/ y7Ï9ºsŒ #\øBr& ÇÊÈ  

Artinya :
“Hai Nabi, apabila kami menceriakan istri-istrimu, maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) Maksudnya ceraikanlah mereka diwaktu suci sebelum cidampuri (QS, Ats Thalqa : 1)
Dari firman Allah diatas, jelaslah bahwa laki-laki / suami yang berhak untuk menjatuhkn talak kepada istri, karena rupanya laki-laklah yang sebenarnya lebih menginginkan langgengnya rumah tangga jika dibandingkan dengan wanita pada saat terjadinya kemelut keluarga. Perkawinan pada hakikatnya merupakan anugrah tuhan yang patut kita syukuri, dan dengan bercerai berarti tidak mensyukuri anugrah tersebut. Namun talak sendiri termasuk perkara yang halal, tapi sangat dibenci oleh Allah.



B.     Hukum Talak
Pada talak berlaku hukum taklifi (pembebanan) yang lima, yaitu:
  1. Talak hukumnya menjadi wajib, apabila dalam hubungan berumah tangga, pasangan suami istri sering bertikai. Kemudian seorang hakim mengutus dua orang juru damai dari kedua belah pihak untuk mendamaikan keadaan keduanya. Namun, setelah juru damai melihat keadaan keduanya, mereka berpendapat bahwa perceraian adalah jalan terbaik bagi keduanya. Maka, ketika itu suami wajib menceraikan istrinya. Dan keadaan ini hampir sama seperti seorang suami yang menjatuhkan iilaa’ ketika dia tidak ingin rujuk dengan istrinya setelah masa ‘iddah istrinya habis. Demikian menurut pendapat kebanyakan ulama.
  2. Talak hukumnya menjadi mustahab (dianjurkan), manakala seorang istri melalaikan hak-hak Allah seperti shalat, shaum, dan yang semisalnya. Sementara suami tidak memiliki kemampuan lagi untuk memaksanya atau memperbaiki keadaannya. Talak seperti ini juga dapat dilakukan manakala istri tidak bisa menjaga kehormatannya.
  3. Talak hukumnya menjadi mubah (diperbolehkan), ketika perceraian itu sendiri dibutuhkan. Misalkan suami mendapati akhlak istrinya buruk, sehingga suami merasa dipersulit olehnya. Sementara suami tidak mendapatkan harapan dari kebaikan istrinya. Hal ini berkaitan dengan sikap nusyuz (kedurhakaan) seorang istri terhadap suami, dan masalah ini akan dijelaskan pada tempatnya tersendiri, insyaallah.
  4. Talak hukumnya menjadi makruh, ketika tidak ada alasan kuat untuk menjatuhkan talak karena hubungan keduanya harmonis. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Amr bin Dinar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ibnu ‘Umar menceraikan istrinya, kemudian istrinya berkata, ‘Apakah kamu melihat sesuatu yang kamu benci dariku?’ ‘Tidak,’ jawabnya. Ia berkata, ‘Lalu kenapa kau mentalak seorang muslimah yang menjaga kehormatannya?’ ‘Amr bin Dinar berkata, “Akhirnya beliau rujuk kembali dengannya.” [Sunan Sa'id bin Manshur (no. 1099) dengan sanad yang shahih]
  5. Talak hukumnya menjadi haram, manakala seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haidh atau dalam keadaan suci setelah menggaulinya. Dan ini dinamakan talak bid’ah/talak bid’i, sebagaimana akan datang penjelasannya.
C.     Macam-macam Talak
Secara garis besar ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.      Talak raj’i
Talak raj”i adalah seorang suami yang mentalak istrinya yang sudah dicampuri tanpa menerima pengembalian mahar dari pihak istri dan belum didahului dengan talak sama sekali atau baru didahulu dengan talak satu kali.
Allah Ta”ala berfirman,
الطَّلَقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْـسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَـنٍ ۗ …
Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik…” (Qs. Al-Baqarah: 229)
Seorang wanita yang mendapat talak raj”i, maka statusnya masih sebagai istri selama dia masih berada dalam masa “iddah (menunggu) dan suaminya berhak untuk rujuk kepadanya kapan saja suaminya berkehendak selama dia masih berada dalam masa “iddahnya, dan tidak disyaratkan adanya keridhaan istri atau izin dari walinya.
Allah Ta”ala berfirman,
وَالْمُـطَلًّـقَـتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُـسِهِـنَّ ثَلَـثَةَ قُـرُوءٍ ۚوَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُـمْنَ مَا خَلَـقَ اللهُ فِى أَرْحَا مِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤمِنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ ۚ وَبُعُو لَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَا لِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَـحًا ۚ…
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. Tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti, jika mereka (para suami) menghendaki perbaikan…” (Qs. Al-Baqarah: 228)
2.      Talak bain
Talak ba-’in adalah talak yang terjadi setelah masa “iddah istri karena talak raj”i telah selesai. Dan hal ini menjadikan suami tidak dapat merujuk istrinya lagi.
Talak ba-’in terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
a.       Talak ba-’in shughra, yaitu talak yang terjadi di mana suami tidak memiliki hak untuk rujuk kembali dengan istrinya kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru, serta dengan keridhaan istri yang dicerai. Talak ini terjadi pada 3 keadaan berikut:
1.      Suami tidak merujuk istrinya dari talak raj”i hingga masa “iddah selesai;
2.      Suami mentalak istrinya sebelum mencampurinya (pengantin baru)
3.      Istri minta cerai (khulu”) pada suaminya. Jika telah terjadi cerai maka perceraian tersebut dianggap sebagai talak ba-’in, sehingga apabila suami ingin merujuknya maka suami harus menikahinya lagi dengan akad dan mahar yang baru setelah istri ridha untuk menikah lagi dengan mantan suaminya tersebut.
b.      Talak ba-’in kubra, yaitu talak yang ketiga kalinya. Allah Ta”ala berfirman,
الطَّلَقُ مَرَّتَانِۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيْحٌ بِإِحْسَنٍۗ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُواْ مِمَّآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّآ أَنْ يَخَافَآ أَلَّا يُقِيْمَا حُدُودَاللهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيْمَا حُدُودَاللهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهِۗ تِلْكَ حُدُودَاللهِ فِلَا تَعْتَدُوهَاۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَاللهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّلِمُونَ۝ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ، مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَنْ يَتَرَأ جَعَآ إِنْ ظَنَّآ أَنْ يُقِيْمَا حُدُودَاللهِۗ وَتِلْكَ حُدُودَاللهِ يَبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ۝
Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim. Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan mantan istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” (Qs. Al-Baqarah: 229-230)
Setelah talak ba-’in kubro, mantan suami tidak lagi memiliki hak untuk rujuk dengan mantan istrinya, baik ketika dalam masa “iddah maupun sesudahnya. Kecuali syarat berikut:
a.       Istri telah dinikahi laki-laki lain secara alami, artinya bukan nikah tahlil. Nikah tahlil adalah pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang telah ditalak tiga, dengan maksud untuk diceraikan agar suami yang pertama bisa menikah lagi dengan wanita tersebut. Baik sebelumnya ada konspirasi antara suami pertama dengan suami kedua maupun tidak.
b.      Dilaksanakan dengan akad nikah baru, mahar baru, dan atas keridhaan sang istri.
Dari dua macam talak tersebut, kemudian bias dilihat dari beberapa segi, antara lain:
a.      Dari segi masa idah, ada tiga, yaitu:
1)      Idah haid atau suci
2)      Idah karena hamil
3)      Idah dengan bulan
b.      Dari segi keadaan suami, ada dua:
1)      Talak mati
2)      Talak hidup
c.       Dari segi waktu jatuh temponya
Ditinjau dari waktu jatuh temponya, talak dibagi tiga : munjazah (langsung), mu”allaq (menggantung), dan mudhaf (dikaitkan waktu tertentu).
1)      Talak munjazah (langsung)
Talak munjazah (langsung) adalah pernyataan talak yang oleh pengucapnya diniatkan agar talaknya jatuh saat itu juga. Misalkan seorang suami yang berkata kepada istrinya, “Anti thaaliq” (engkau tertalak) dan perkataan yang semisalnya, maka talaknya jatuh pada saat itu juga. Hukum talak munjazah terjadi sejak saat suami mengucapkan kalimat talak tersebut kepada istrinya.
2)      Talak mu’allaq (menggantung)
Talak mu”allaq adalah pernyataan talak yang diucapkan suami kepada istrinya yang diiringi dengan syarat. Misalkan, suami berkata kepada istrinya, “Jika engkau pergi ke rumah A, maka engkau telah tertalak,” dan perkataan yang semisalnya.
Ada dua kemungkinan yang diniatkan suami ketika mengucapkan semacam ini:
1. Suami berniat agar talaknya jatuh tatkala syaratnya tersebut terpenuhi. Jika istri melaksanakan apa yang disyaratkan dalam talak tersebut maka talak terjadi.
2. Suami hanya bermaksud untuk memperingati istrinya agar tidak berbuat hal yang demikian, namun bukan dalam rangka mentalak. Untuk kasus ini hukumnya sebagaimana sumpah. Artinya, apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka suami tidak dibebani apa-apa, namun jika syaratnya tersebut terpenuhi, dimana istri melanggar apa yang disampaikan suaminya maka suami wajib membayar kafarat sumpah.
3)      Talak mudhaf (dikaitkan waktu tertentu)
Talak Mudhaf adalah talak yang dikaitkan dengan waktu tertentu. Misalnya seorang suami mengatakan kepada istrinya: “Tanggal 1 bulan depan kamu tertalak”. Mayoritas ulama berpendapat bahwa talak yang diucapkan dalam kondisi semacam ini terlaksana jika waktu jatuh temponya sudah datang. Sehingga sang istri tertalak sejak datangnya waktu yang disebutkan dalam kalimat talak.
d.      Dari segi baik atau tidaknya, ada dua:
1)      Talak sunni
Talak sunni adalah talak yang terjadi manakala seorang suami mentalak istri yang telah dicampurinya dengan sekali talak, yang dia jatuhkan ketika istrinya dalam keadaan suci dari haidh dan pada masa itu dia belum mencampurinya. Jadi, suami menjatuhkan talak ketika istrinya dalam keadaan suci dari haidh dan belum pernah dicampuri sejak masa haidh terakhir istrinya berakhir.
Allah Ta”ala berfirman,
الطَّلَقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْـسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَـنٍ ۗ …
Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik…” (Qs. Al-Baqarah: 229)
يَـأَيُّـهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْـتُـمُ النِّسَـآءَ فَطَلِّقُو هُنَّ لِعِدَّ تِهِنَّ …
Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) “iddahnya (yang wajar)…” (Qs. Ath-Thalaq: 1)
Nabi shallallahu “alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu “Umar radhiyallahu “anhuma mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kemudian “Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu “anhu menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam, maka beliau bersabda,
أَمَرَنِي أَنْ أُرَا جِعَهَا، ثُمَّ أُمْسِكَهَا حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةٌ أُخْرَى، ثُمَّ أُمْهِلَهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ أَطَلِّقّهَا قَبْلَ أَنْ أَمَسَّهَا، وَأَمَّا أَنْتَ طَلَّقْتَهَا ثَلاَثًا، فَقَـدْ عَصَيْتَ رَبَّـكَ فِيْمَـا أَمَرَكَ مِنْ طَلاَقِ امْرَأَتِكَ .
Perintahkan agar ia kembali kepada (istri)nya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh tetap menahannya menjadi istri atau bila ia menghendaki ia boleh menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa “iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan istri.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5332), Muslim (no. 1471), Abu Dawud dalam "Aunul Ma"bud (VI/227 no. 2165) dan An-Nasa"i (VI/138)]
2)      Talak bid’iy
Talak bid’i ialah talak yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah yang tidak tepat. Talak bid’I merupakan talak yang dilakukan bukan menurut petunjuk syariah, baik mengenai waktunya maupun cara-cara menjatuhkannya. Dari segi waktu, ialah talak terhadap istri yang sudah dicampuri pada waktu ia bersih atau terhadap istri yang sedang haid. Dari segi jumlah talak, ialah tiga talak yang dijatuhkan sekaligus. Ulama sepakat bahwa talak bid’i, dari segi jumlah talak, ialah tiga sekaligus, mereka juga sepakat bahwa talak bid’i itu haram dan melakukannya berdosa.
Talak bid’I antara lain:
1)      Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu istri tersebut haid (menstruasi).
2)      Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu istri dalam keadaan suci, tetapi sudah pernah dikumpuli suaminya ketika dia dalam keadaan suci tersebut. Firman Allah Swt. dalam surat Al-Talak ayat 1 berkenaan dengan hal di atas yang artinya:
Wahai Nabi apabila kamu menceraikan istri-istri, maka ceraikanlah dalam keadaan idah.”
Para ulama berbeda pendapat tentang jatuh tidaknya talak bid’I itu, yaitu :
1)      Pendapat mazhab Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Maliki, dan Imam Hambali menyatakan bahwa talak bid’I walaupun talaknya haram, tetapi hukumnya adalah sah dan talaknya jatuh. Namun sunnah untuk merujuknya lagi.pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Syafi’i. adapun menurut Imam Maliki hukum merujuknya justru wajib.
2)      Segolongan ulama yang lain berpendapat bahwa tidak sah, mereka menolak memasukkan talak bid’ah dalam pengertian talak pada umumnya, karena talak bid’ah bukan talak yang diizinkan oleh Allah Swt., bahkan diperintahkan oleh Allah Swt. untuk meninggalkannya.
Menurut Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyim, dan Ibnu Hazm, talak bid’ah adalah talak haram. Talak yang haram adalah talak yang tidak sah dan tidak jatuh, karena termasuk talak yang tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah.
Pendapat yang telah dikemukakan oleh Peunoh Daly tersebut adalah tepat, bahwa apabila dianggap sah talak pada waktu istri haid atau pada waktu suci dari haid namu telah dicampuri, maka hal itu terdapat adanya unsure penganiayaan. Maka, dapat dipahami perintah Rasulallah kepada Ibnu Umar yang mentalak istrinya yang sedang haid agar ia rujuk kyang berarti menambah lebih panjang masa idahnya, ini adalah suatu penganiayaan.
D.    Syarat-syarat Talak
1.      Yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah.
Syarat ini maksudnya adalah antara pasangan tersebut memiliki hubungan perkawinan yang sah. Seandainya tidak ada nikah, lalu dikatakan, “Saya mentalakmu”, seperti ini termasuk talak yang tidak sah. Atau belum menikah lalu mengatakan, “Jika menikahi si fulanah, saya akan mentalaknya”. Padahal ketika itu belum nikah, seperti ini adalah talak yang tidak sah.
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ نَذْرَ لاِبْنِ آدَمَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ عِتْقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ طَلاَقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ
Tidak ada nadzar bagi anak Adam pada sesuatu yang bukan miliknya. Tidak ada membebaskan budak pada budak yang bukan miliknya. Tidak ada talak pada  sesuatu yang bukan miliknya.” Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka ....” (QS. Al Ahzab: 49). Dalam ayat ini disebut kata talak setelah sebelumnya disebutkan nikah. Ini menunjukkan bahwa yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah melalui jalan pernikahan. Seandainya ada yang kumpul kebo (sebutan untuk sepasang pria wanita yang hidup bersama tanpa melalui jalur nikah), lalu si pria mengajukan cerai, seperti ini tidak jatuh talak sama sekali.
2.      Yang mengucapkan talak telah baligh.
Ini bisa saja terjadi pada pasangan yang menikah pada usia belum baligh.
Mayoritas ulama berpandangan bahwa jika anak kecil yang telah mumayyiz (bisa membedakan bahaya dan manfaat, baik dan jelek) atau belum mumayyiz menjatuhkan talak, talaknya dinilai tidak sah. Karena dalam talak sebenarnya murni bahaya, anak kecil tidaklah memiliki beban taklif (beban kewajiban syari’at).
Dalam hadits ‘Aisyah, Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَكْبَرَ
Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, orang yang hilang ingatan sampai kembali ingatannya dan anak kecil sampai ia dewasa.
Ulama Hambali berpandangan bahwa talak bagi anak kecil tetap sah. Mereka berdalil dengan hadits,
كُلُّ طَلاَقٍ جَائِزٌ إِلاَّ طَلاَقَ الْمَعْتُوهِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ
Setiap talak itu boleh kecuali talak yang dilakukan oleh orang yang kurang akalnya.
 Namun hadits ini mauquf (hanya perkataan sahabat).
Pendapat mayoritas ulama (jumhur), itu yang lebih tepat. Wallahu a’lam.
3.      Yang melakukan talak adalah berakal.
Dari sini, tidak sah talak yang dilakukan oleh orang gila atau orang yang kurang akal. Yang menjadi dalil adalah hadits ‘Aisyah yang disebutkan di atas. Talak yang tidak sah yang dimaksudkan di sini adalah yang dilakukan oleh orang yang gila atau orang yang kurang akal yang sifatnya permanen. Jika satu waktu hilang akal, waktu lain sadar. Jika ia mentalaknya dalam keadaan sadar, maka jatuh talak. Jika dalam keadaan tidak sadar, tidak jatuh talak.
E.     Rukun Talak
Rukun talak adalah sebagai berikut:
1.      Talak dilakukan oleh suami (kecuali untuk kasus tertentu, istri bisa mengajukan gugatan cerai ke pengadilan). Dengan demikian, jika si istri mengatakan “kita bercerai” pada si suami, maka hal ini tidak dianggap sah dan talak tidak terjadi/berlaku.
2.      Suami adalah orang yg berakal dan baligh (bisa membedakan benar dan salah).
Jika suami tidak memenuhi persyaratan ini, dengan kata lain tidak bisa membedakan benar dan salah, maka ucapan talak tidak berlaku. Hal yg sama jika si suami tidak berakal.
3.      Talak dijatuhkan atas kehendak sendiri, tidak ada paksaan dari pihak lain.
Saat talak dijatuhkan oleh suami, suami tidak sedang dalam paksaan dari pihak lain. Kecuali untuk kasus yg terkait aqidah, misalnya si istri pindah agama ke agama penyembah api misalnya.
4.      Talak tidak dilakukan pada saat marah, gila atau hilang akal (mabuk).
Pada saat terjadi pertengkaran rumah tangga, seringkali kata “cerai” muncul dan dilontarkan oleh suami. Insyaallah talak yg dilakukan pada saat pertengkaran (dalam kondisi marah) tidak berlaku. Hal yg sama jika si suami mendadak gila atau sedang mabuk, lalu menceraikan istrinya, maka hal ini tidak masuk hitungan talak.
F.      Hikmah Talak
Pada prinsipnya kehidupan rumah tangga ditata atas mutiara mawaddah, rahmah dan penuh cinta kasih. Suami istri laksana dua sayap yang saling melengkapi, yang satu dengan lainnya. Disamping itu harus juga ditompang kekompakan, keselarasan, keserasian, keeratan, kelembutan dan saling pengertian satu dengan yang lainnya sehingga rumah tangga menjadi istana kesenangan, tempat mengadu kasih sayang, danau kesejukan di tengah-tengah gemelut dan kegersangan kehidupan, serta melahirkan generasi yang baik dan merasakan, menghirup udara segar kebahagiaan sehingga dari hari ke hari kehidupan rumah tangga dihiasi dengan semerbak cinta kasih, sebagaimana kehidupan rumah tangga yang dicontohkan baginda Rasulullah sebagai insan yang sempurna dalam semua bidang kehidupan, sehingga keluar dari lisan beliau yang mulia kata-kata yang penuh makna “Baiti Jannati”
Jika mata air cinta dan kasih sayang sudah kering dan tidak lagi memancarkan airnya, diantara sepasang suami istri sudah tidak merasakan lagi madu cinta dan kemesraan. Lalu keduanya sudah tidak mempedulikan satu dengan lainnya, yang ada hanyalah api kebencian dan amukan ketidak harmonisan sehingga kehidupan rumah tangga bagaikan penjara yang mengerangkeng seisi rumah.
Akhirnya, yang tinggal hanyalah pertengkaran dan tipudaya. Kemudian keduanya berusaha kembali untuk membangun rumah tangga yang dikelilingi rasa cinta, namun tidak berhasil. Begitu pula dengan keluarganya sudah bersusah payah untuk menyatukan kembali namun juga tidak membuahkan hasil. Maka pada saat seperti ini pintu talak merupakan jalan satu-satunya untuk keluar dari keadaan yang tidak menguntungkan malahan membuat penderitaan dan kesengsaraan.
Oleh karenanya, Islam mensyari’atkan talak bagi suami istri di saat biduk rumah tangga sudah tidak mungkin dipertahankan lagi, karena mengakhiri perjalanan kehidupan rumah tangga dengan perceraian dipandang lebih baik ketimbang melanjutkan kehidupan rumah tangga dengan angkara murka dan tipu daya. Selaras dengan kaidah fikih yang artinya“Dipilih paling ringannya dua perkara yang sama-sama jelek”. Dan jikalau kehidupan rumah tangga tetap dilanggengkan niscaya mereka akan merasakan kehidupan rumah tangga seperti penjara dan neraka yang hanya menyesakkan dan membawa kelembah penderitaan, dan hal itu pasti akan berakibat buruk terhadap anak dan perjalanan rumah tangganya karena jika suami istri terus menerus menampakkan muka masam dan menapaki rumah tangga dengan setengah hati maka anak-anak mereka pun pasti akan mengalami penderitaan dan kegersangan kasih sayang. Dari rumah tangga seperti ini akan lahir generasi yang dipenuhi kedengkian, iri hati, kezhaliman, hidup ala glanmor sebagai bentuk pelampiasan dan pelarian diri dari kenyataan pahit yang pernah mereka telan.
Dalam kondisi seperti ini, talak merupakan satu-satunya jalan yang selamat. Talak merupakan pintu rahmat bagi setiap insan yang menginginkan ketentraman dalam kehidupannya, dengan tujuan agar tiap-tiap suami istri mau berintropeksi diri dan mau memperbaiki kekurangan dan kesalahannya. Bukanlah pintu talak dijadikan jalan untuk melampiaskan hawa nafsu semata dengan gonta-ganti pasangan sehingga Nabi jauh-jauh sebelumnya mewanti-wanti dengan sabdanya:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّة

“Siapa istri yang minta talak kepada suami tanpa kebutuhan mendesak, maka Allah mengharamkan baginya mencium aroma surga”.
Sekalipun Islam membuka -dengan sempit- pintu talak, namun ajaran Islam amat menjunjung tinggi nilai-nilai kesabaran dan menganjurkan pada si suami bersabar dan tabah akan jeleknya perangai istri. Sebagaimana dinyatakan dalam surah an-Nisa’ ayat 19.

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسًَي ًا ن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“….dan pergauilah mereka dengan baik jikalau kamu membenci mereka barangkali kamu membenci mereka akan sesuatu sementara Allah menjadikan di dalamnya kebaikan yang banyak




BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan sekilas lalu tentang permasalahan talaq (perceraian), ada beberapa keterangan baik ayat Al Quran dan Hadits nabi Muhammad SAW, sudah membuka tabir pikiran dan wawasan yang selama ini masih ada hijab yang menutupinya karena kurang meresapi dan menghayati ajaran tentang permasalahan perceraian, diantara beberapa keterangan singkat tersebut diatas penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :
  1. Talaq ialah melepaskan atau membatalkan ikatan perkawinan.
  2. Talaq merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah dan hukumnya makruh atau telarang, hukumk talaq dapat berubah menjadi sunnah, wajib dan haram tergantung kondisi dan penyebabnya.
B.     Saran
Beberapa kesimpulan dan uraian diatas, maka penulis mengemukakan beberapa
saran berikut :
1.      Menyarankan agar dapat memahami dan mengerti betapa baiknya mempelajari tentang permasalahan talaq (perceraian) dalamhidup ini, sebab barangakali disuatu saat kita berada dalam permasalahan tersebut.
2. Menyarankan agar saling membina dan membimbing antar keluarga agar terjalin hubungan yang harmonis untuk menghindari diri dan keluarga dari perceraian.
3. Menyarankan betapa pentingnya kehidupan bersama itu agar bisa bebagi pengalaman hidup dengan orang lain karena mulai dari keluarglah kita bisa menyadari akan persamaan dan perbedaan kita dengan orang lain.


DAFTAR PUSTAKA

Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, hal. 235-237.
Abdurrahman, Toto Drs. 2002,Fiqih, Jakarta : Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama
Islam DEPAG RI

Ahnan, Ust, Mahtuf. 2003, Risalah Fiqih Wanita, Surabaya : Terbit terang

Alhamdani, H.S.A. 1989, Risalah Nikah, Bandung : Pustaka Amani

Dian, Fajri, Yasmina. 2002, Suami Romantis, Bandung : PT. Syamil cipta Media

Rahman, H Abdul, Drs. 1988,Fiqih, Bandung : CV. Armico ______________.2004, Menjaga Kesucian Cinta, Jakarta : PT Kimus Bia Tadzkia


0 komentar:

 
Top