Materi Kuliah Ekonomi Makro
“ISLAM DAN PEREKONOMIAN”
OLEH:
MUHAMMAD AGUS SALIM


A.    PENDAHULUAN
Sangat disayangkan, dewasa ini, masih banyak kalangan yang melihat bahwa Islam tidak berurusan dengan bank dan pasar uang, karena yang pertama adalah dunia putih, sedangkan yang kedua adalah dunia hitam, penuh tipu daya dan kelicikan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila beberapa cendekiawan dan ekonom melihat Islam, dengan system nilai dan tatanan normativenya, sebagai factor penghambat pengembangan (an obstacle to economic growth). Penganut paham liberalisme dan pragmatism sempit ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkatkan dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normative dan rambu-rambu illahi.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan Asia pada khususnya serta resesi dan ketidak seimbangan ekonomi global pada umumnya, adalah suatu bukti bahwa asumsi diatas salah total, bahkan ada sesuatu yang tidak beres dalam system yang kita anut selama ini.  Tidak adanya nilai ilahiyah yang melandasi operasional perbankan dan lembaga keuangan lainya telah menjadikan lembaga penyuntik darah pembangunan ini sebagai sarang-sarang perampok berdasi yang meluluhlantakan sendi-sendi perekonomian bangsa.

B.     ISLAM SEBAGAI AGAMA YANG  LENGKAP  DAN UNIVERSAL
Dewasa ini, masih terdapats anggapan bahwa islam menghambat kemajuan. Beberapa kalangan mencurigai islam sebagai factor penghambat pembangunan. Pandangan ini berasal dari para pemikir Barat.[1] Meskipun demikian, tidak sedikit intelektual muslim yang juga meyakininya.
Kesimpulan yang  agak tergesa-tergesa ini hampir dapat dipastikan timbul karena kesalah pahaman terhadap Islam. Seolah-olah  Islam merupakan agama yang hanya berkaitan dengan masalah ritual, bukan sebagai suatu system yang komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah pembangunan ekonomi serta perbankan sebagai salah satu motor penggerak roda perekonomian.[2]

C.    MENGAPA HARUS ADA EKONOMI ISLAM?
Evolusi ilmu pengetahuan yang terjadi di Eropa Barat sejak abad ke-16 Masehi menyebabkan pamor dan kekuasaan institusi gereja (agama Kristen) di benua tersebut menurun drastis. Hal ini terjadi karena dogma yang dipegang dan diajarkan oleh tokoh-tokoh  gereja pada abad tersebut jelas-jelas bertentangan dengan fakta-fakta yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan.
Akibatnya, terjadi proses sekularisasi di dunia Eropa-Barat dalam segala bidang, termasuk dalam ilmu pengetahuan, agama, Tuhan, nilai-nilai, dan norma secara drastis dikeluarkan dari struktur pemikiran para ilmuawan. Oleh karena itu,  lahirlah ilmu pengetahuan yang bersifat positivistic.[3] Ilmu positivistic hanya menjawab pertanyaan “What is?”, yaitu hanya menjelaskan fakta-fakta secara apa adanya. Oleh karena itu, tugas ilmu pengetahuan menjadi hanya to explain  (menerangkan hubungan antar variable) dan to predict (meramalkan kejadian di masa depan berdasarkan teori yang ada).[4]

D.    NILAI DASAR EKONOMI ISLAM
Nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk membangun  teori-teori ekonomi islami. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1.      Tauhid
Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam. dengan tauhid manusia menyaksikan bahwa tiada sesuatupun yang layak disembah selain Allah, dan tidak ada pemilik langit, bumi dan isinya, selain daripada Allah SWT.[5] Karena Allah adalah pencipta alam semesta ini dan sekaligus isinya dan sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia dan seluruh sumber daya yang ada. Oleh karena itu,  Allah adalah pemilik hakiki. Manusia hanya diberi amanah untuk memiliki untuk sementara waktu, sebagai ujian bagi mereka. Dalam Islam, segala sesuatu yang ada tiak diciptakan dengan sia-sia tetapi memiliki tujuan.  
Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Karena itu,  segala aktivitas manusia dalam hubungannyas dengan alam (sumber daya) dan manusia (mu’amalah) dibingkai  dengan kerangka hubungan dengan Allah SWT. Karena Kepada-Nya kita akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita, termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis.

2.      ‘Adl  (keadilan)
Allah adalah pencipta segala sesuatu, dan salah satu sifat-Nya adalah ‘Adl. Dia tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya selain zalim. Manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini harus memelihara hukum Allah dibumi, dan menjamin bahwa pemakaian segala sumber daya diarahkan secara adil dan baik.
Dalam banyak ayat, Allah memerintahkans manusia untuk berbuat Adil. Dalam islam adil didefinisikan sebagai tidaks menzalimi dan tidak dizalimi.  Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa perilaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkelompok-terkelompok dalam berbagai golongan. Golongan yang satu akan menzalimi dengan golongan yang lain, sehingga terjadi eksploitasi manusia atas manusia. Masing-masing berusaha mendapatkan hasil yang lebih besar daripada usaha yang dikeluarkannya karena kerakusannya.[6]

3.      Nubuwwah (kenabian)
Karena rahman, rahim dan kebijaksanaan Allah, manusia tidak dibiarkan begitu saja di dunia tanpa mendapatkan bimbingan. Karena itu, diutuslah para nabi dan rasul untuk menyampaikan petunjuk dari Allah kepada umat manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubat) keasal muasal segala, Allah.
Fungsi rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani oleh setiap umat manusia islam agar mendapatkan keselamatan di dunia dan diakhirat.  Untuk umat Muslim, Allah telah mengirimkan manusia model yang terakhir dan sempurnas untuk diteladani sampai akhir zaman yaitu Nabi Muhammad SAW.[7]

4.      Khalifah (Pemerintahan)
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah  dibumi.[8] Artinya, untuk menjadi pemimpin dan pemakmur bumi. Oleh karena itu,  pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin. Nabi bersabda “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggung jawabannya terhadap apa yang dimpimpinnya.” Ini berlaku bagi semua manusia, baik dia sebagai individu, kepala keluarga, pemimpin masyarakat ataus kepala Negara (Pemerintah).
Nilai ini menjadi prinsip kehidupan kolektif manusia dalam Islam (siapa memimpin siapa). Fungsi utamanya adalah agar menjaga keteraturans interaksi (mu’amalah) antar kelompok termasuk dalam bidang ekonomi agar kekacauan dan keributan dapat dihilangkan, atau dikurangi. Dalam Al-Qur’an “Yaitu orang-orang yang jika Kami kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka menyuruh berbuat baik dan mencegah dari perbuatan jahat”.[9]

5.      Ma’ad  (Hasil)
Walaupun sering kali diterjemahkan sebagai kebangkitan, tetapi secara harfiah Ma’ad berarti kembali. Karena kita semua akan kembali kepada Allah SWT. Hidup manusia bukan hanya di dunia, tetapi terus berlanjut hingga alam setelah dunia (akhirat). Pandangan dunia yang khas dari seorang muslim tentang dunia dan akhirat dapat dirumuskans sebagai dunia adalah lading akhirat. Artinya, dunia adalah wahana bagi manusia untuk bekerja dan beraktivitas (beramal shaleh). Namun demikian, akhirat lebih baik daripada dunia, karena itu Allah melarang kita untuk terikat pada dunia, sebab jika dibandingkan dengan kesenangan  akhirat, kesenangan dunia tidaklah seberapa.

E.     TUJUAN EKONOMI ISLAM
Menurut Nik Mustofa (1992: 23-24), Islam berorientasi pada tujuan (Goal Oriented). Prinsip-prinsip yang mengarahkan pengorganisasian kegiatan-kegiatan ekonomi pada tingkat individu dan kolektif bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan menyeluruh yang dalam tata social Islam.[10] Secara umum tujuan-tujuan itu dapat digolongkan sebagai berikut ini:
1.      Menyediakan dan menciptakan peluang-peluang yang sama dan luas bagi semua orang untuk berperan serta dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Peserta serta individu dalam kegiatan ekonomi merupakan tanggung jawab keagamaan. Individu diharuskan menyediakan dan menopang setidaknya kebutuhan hidupnya sendiri dan orang-orang yang bergantung padanya.
2.      Memberantas kemiskinan aboslut dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar bagi semua individu masyarakat. Kemiskinan bukan hanya merupakan penyakit ekonomi, tetapi juga mempengaruhi spiritualisme individu. Islam menomor satukan pemberantasan kemiskinan. Pendekatan Islam dalam memerangi kemiskinan ialah dengan merangsang dan membantu setiap orang untuk berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan-kegiatan ekonomi.
3.      Mempertahankan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan, dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Islam memandang posisi ekonomi manusia tidak statis. Dengan ungkapan yang sangat jelas, Allah telah menjamin bahwa semua makhluk diciptakan untuk dimanfaatkan oleh manusia. Gagasan tentang peningkatan kesejahteraan ekonomi manusia rupanya sebuah proposisi religious. Karena terdapat sintesis antara aspek-aspek material dan spiritual dalam skema Islam mengenai kegiatan manusia, kemajuan ekonomi yang diciptakan oleh Islam juga member sumbangan bagi perbaikan spiritual manusia. Stabilitas ekonomi dalam Islam menunjukan pada pencapaian stabilitas harga dan tiadanya pengangguran. Kedua tujuan ini, berbeda dalam wilayah keadilan ekonomi.[11]

F.     DISTRIBUSI MERATA
Sejak dahulu hingga sekarang, masih berlangsung kontroversi luas  dua sengit tentang pokok persoalan distribusi pendapatan nasional antara berbagai golongan rakyat di setiap Negara di dunia. Hal ini, disebabkan kesejahteraan ekonomi rakyat sangat tergantung pada cara distribusi hendaknya dapat mengatasi masalah distribusi pendapatan nasional diantara berbagai kelas rakyat. Terutama ia harus mampu menjelaskan fenomena, bahwa sebagian kecil orang kaya raya, sedangkan bagian modern menganggap masalah distribusi itu bukan sebagai masalah perseorangan, melainkan sebagai makhluk distribusi fungsional.[12]
Mannan (1997:113), menyebutkans bahwa teori ekonomi modern mengenai distribusi merupakan suatu teori yang menetapkan harga jasa produksi. Ia berusaha menemukan nilai jasa dari berbagai factor produksi. Dalam hal ini,  teori ini hanya merupakan perpanjangan teori umum penetapan harga. Barangkali, masalah distribusi perseorangan, dapat dipecahkan dengan cara sebaik-baiknya, setelah kita menyelidiki masalah pemilikan factor-faktor produksi.
Menurut Chapra (2002: 316-317), ada sejumlah nilai dan institusi Islam yang  dianggap dapat membantu menciptakans persaudaraan Islam yang ideal, persamaan social dan distribusi yang merata. Diantaranya adalah zakat dan warisan.
Menurut Chapra (2002: 317),  menyatakan bahwa zakat merupakan alat bantu social mandiri yang menjadi kewajiban moral bagi orang yang kaya untuk membantu mereka yang miskin dan terabaikan yang tak mampu menolong dirinya sendiri meskipun dengan semua skema jaminan social yang ada, sehingga kemelaratan dan kemiskinan dapat terhapuskan dari masyarakat Muslim.[13]


G.    KESIMPULAN
Baiklah dari pembahasan materi diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Penganut paham liberalisme dan pragmatism sempit ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkatkan dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normative dan rambu-rambu illahi. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan Asia pada khususnya serta resesi dan ketidak seimbangan ekonomi global pada umumnya, adalah suatu bukti bahwa asumsi diatas salah total, bahkan ada sesuatu yang tidak beres dalam system yang kita anut selama ini.  Tidak adanya nilai ilahiyah yang melandasi operasional perbankan dan lembaga keuangan lainya telah menjadikan lembaga penyuntik darah pembangunan ini sebagai sarang-sarang perampok berdasi yang meluluhlantakan sendi-sendi perekonomian bangsa.
Ada beberapa nilai dasar ekonomi islam yaitu sebagai berikut : Tauhid, ‘Adl  (keadilan), Nubuwwah (kenabian), Khalifah (Pemerintahan), dan  Ma’ad  (Hasil)






DAFTAR PUSTAKA



Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, Edisi Ketiga, Jakarta: Raja Grafindo Persada Press, 2007.


Eko Supriyitno, Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan  Konvensional, Yogyakarta:  Graha Ilmu, 2004.

Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, (London: George Allen & Unwin Ltd. 1976).

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta:  Tazkia Cendekia: 2001.

Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi, Edisi Kedua, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.



[1] Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, (London: George Allen & Unwin Ltd. 1976).
[2] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta:  Tazkia Cendekia: 2001, hal. 3
[3] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, Edisi Ketiga, Jakarta: Raja Grafindo Persada Press, 2007 hal. 27
[4] Ibid,
[5] Ibid,hal. 35
[6] Ibid,
[7] Ibid, hal. 38
[8]Jangan menyembunyikan kebenaran, mencampur yang haq dengan yang bathil”. (Al-Qur’an).
[9] Ibid, hal. 40
[10] Eko Supriyitno, Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan  Konvensional, Yogyakarta:  Graha Ilmu, 2004, hal.18-20
[11] Sadono Sukirno,Pengantar Teori Makroekonomi, Edisi Kedua, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
[12] Eko Supriyitno, op cit hal. 25
[13] Eko Supriyitno, op cit

0 komentar:

 
Top