BAB I
PENDAHULUAN
Mempelajari filsafat secara keseluruhan dapat
melalui dua hal, yaitu dengan cara filsafat sistematik dan sejarah filsafat.
Melalui filsafat sistematik, kita akan mempelajari filsafat dengan
cabang-cabangnya yang dalam makalah ini akan kami bahas mengenai pengertian
filsafat itu sendiri, objek filsafat, metode filsafat, cirri-ciri filsafat dan
sistematika filsafat itu sendiri dan telah kami rangkum dalam tugas kelompok
ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN FILSAFAT
Kata
filsafat berasal dari bahasa Yunani, Kata ini berasal dari kata Philosophia yang berarti cinta
pengetahuan (H. Jalaluddin dan Abdullah Idi: 2011, hal. 1). Terdiri dari kata Philos
yang berarti cinta, senang dan suka, serta kata Sophia berarti pengetahuan, hikmah dan kebijaksanaan (Hamdani Ali,
1986: 7). Hasan Shadily (1984: 9) mengatakan bahwa filsafat menurut asal
katanya adalah cinta akan kebenaran. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan
bahwa filsafat adalah cinta pada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada
hikmah dan kebijaksanaan. Jadi, orang yang berfilsafat adalah orang yang
mencintai kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli hikmah dan bijaksana.
Selanjutnya,
Imam Barnadib menjelaskan filsafat sebagai pandangan yang menyeluruh dan
sistematis. Menyeluruh karena filsafat bukan hanya pengetahuan melainkan juga
suatu pandangan yang dapat menembus sampai di balik pengetahuan itu sendiri.
Dengan pandangan yang lebih terbuka ini, hubungan dan pertalian antara semua
unsure yang mengarahkan perhatian dan kedalaman mengenai kebijakan dimungkinkan
untuk dapat ditemukan (H. Jalaluddin dan Abdullah Idi: 2011, hal. 2).
B.
OBJEK BERFIKIR FILSAFAT
Objek
adalah sesuatu yang merupakan bahan dari suatu penelitian atau pembentukan
pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai objek, yang dibedakan
menjadi dua macam diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Objek material
filsafat
Objek
material adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan
itu sendiri. Objek material juga adalah hal yang diselidiki, dipandang, atau
disorot oleh suatu disiplin ilmu. Objek material mencakup apa saja, baik
hal-hal konkret ataupun hal yang abstrak (Surajiyo: 2005, hal. 5).
Objek
material dari filsafat ada beberapa istilah dari pada cendekiawan, namun semua
itu sebenarnya tidak ada yang bertentangan.
a)
Menurut Mohammad
Noor Sym berpendapat “Para ahli menerangkan bahwa objek filsafat itu dibedakan
atas objek material atau objek materiil filsafat; segala sesuatu yang ada dan
yang mungkin ada, baik materiil konkret, psikis maupun nonmaterial abstrak,
psikis. Termasuk pula pengertian abstrak-logis, konsepsional, spiritual, dan
nilai-nilai. Dengan demikian, objek filsafat tidak terbatas (Mohammad Noor
Syam: 1981, hal. 12).
b)
Poedjawijatna
berpendapat. Jadi, objek material filsafat adalah ada dan yang mungkin ada.
Dapatkah dikatakan bahwa filsafat itu keseluruhan dari segala ilmu yang
menyelidiki segala sesuatunya juga. Dapat dikatakan bahwa objek filsafat yang
kami maksud adalah objek materialnya sama dengan objek material dari ilmu
seluruhnya (Poedjawijatna: 1980, hal. 8).
c)
Oemar Amir
Hoesin berpendapat, masalah lapangan penyelidikan filsafat adalah karena
manusia mempunyai kecenderungan hendak berpikir tentang segala sesuatu dalam
alam semesta, terhadap segala yang ada dan yang mungkin ada.
2.
Objek formal
filsafat
Objek
formal, yaitu sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau
pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek material itu disorot.
Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberikan keutuhan suatu ilmu, tetapi pada
saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang lain. Objek formal filsafat
yaitu sudut pandangan yang menyeluruh, secara umum sehingga dapat mencapai
hakikat dari objek materialnya (Lasiyo dan Yuwono: 1985, hal. 6).
Oleh
karena itu, yang membedakan antara filsafat dengan ilmu-ilmu lain terletak
dalam objek material dan objek formalnya. Kalau dalam ilmu-ilmu lain objek
materialnya membatasi diri, sedangkan pada filsafat tidak membatasi diri.
Adapun pada objek formalnya membahas objek materialnya itu sampai ke hakikat
atau esensi dari yang dihadapinya (Surajiyo: 2005, hal. 7).
C.
METODE BERFIKIR FILSAFAT
Kata
metode berasal dari kata Yunani Methodos,
sambungan kata depan meta
(menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah). Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis
ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut system aturan
tertentu (Anton Bakker: 1984, hal. 10).
Sebenarnya
jumlah metode filsafat hampir sama banyaknya dengan definisi dari para ahli dan
filsuf sendiri. Karena metode ini adalah suatu alat pendekatan untuk mencapai
hakikat sesuai dengan corak pandangan filsuf itu sendiri. Lantaran banyaknya
metode ini, Runes dalam Dictionary of
Philosophy sebagaimana dikutip oleh
Anton Bakker menguraikan, sepanjang sejarah filsafat telah dikembangkan
sejumlah metode filsafat yang berbeda dengan cukup jelas. Yang paling penting
dapat disusun menurut garis historis, sedikitnya ada 10 metode diantaranya
adalah:
1.
Metode kritis
Bersifat
analisis istilah dan pendapat. Merupakan hermeneutika, yang menjelaskan
keyakinan, dan memperlihatkan pertentangan. Dengan jalan bertanya (berdialog),
membedakan, membersihkan, menyisihkan dan menolak, akhirnya ditemukan hakikat.
2.
Metode intuitif
Dengan jalan
introspeksi intuitif, dan dengan pemakaian symbol-simbol diusahakan pembersihan
intelektual (bersama dengan penyucian moral) sehingga tercapai suatu penerangan
pikiran.
3.
Metode skolastik
Bersifat
sintesis-deduktif. Dengan bertitik tolak dari definisi atau prinsip yang jelas
dengan sendirinya, ditarik berbagai kesimpulan.
4.
Metode geometris
Melalui analisis
mengenal hal-hal kompleks, dicapai intuisi akan hakikat-hakikat sederhana.
5.
Metode empiris
Hanya pengalaman
menyajikan pengertian benar, maka semua pengertian (ide-ide) dalam introspeksi
dibandingkan dengan cerapan-cerapan (impresi) dan kemudian disusun bersama
secara geometris.
6.
Metode
transcendental
Bertitik tolak
dari tempatnya pengertian tertentu, dengan jalan analisis diselidiki
syarat-syarat apriori bagi pengertian sedemikian.
7.
Metode
fenomenologis
Dengan jalan
beberapa pemotongan sistematis, reflex atas fenomin dalam kesadaran mencapai
penglihatan hakikat-hakikat murni.
8.
Metode Dialektis
Dengan jalan
mengikuti dinamis pemikiran atau alam sendiri, menurut Triade tesis, antithesis,
sintesis dicapai hakikat kenyataan.
9.
Metode
Neo-Positivistis
Kenyataan
dipahami menurut hakikatnya dengan jalan mempergunakan aturan-aturan seperti
berlaku pada ilmu pengetahuan positif.
10. Metode analitika bahasa
Dengan jalan
analisis pemakaian bahasa sehari-hari ditentukan sah atau tidaknya
ucapan-ucapan filosofisnya (Anton Bakker: 1984, hal. 21-22).
D.
CIRI-CIRI BERFIKIR FILSAFAT
Pemikiran
kefilsafatan menurut Suyadi M.P mempunyai karakteristik sendiri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Hal ini
sama dengan pendapat Sri Suprapto Wirodiningrat menyebutkan juga pikiran
kefilsafatan mempunyai tiga cirri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif.
Lain halnya Sunoto, menyebutkan cirri-ciri dari berfilsafat yaitu deskriptif,
kritis atau analitis, evaluative atau normative, spekulatif, dan sistematik
(Surajiyo: 2005, hal. 13).
1.
Menyeluruh
Artinya
pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau dari
satu sudut pandangan tertentu. Pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan
antara ilmu yang satu dengan ilmu-ilmu lain, hubungan ilmu dengan moral, seni,
dan tujuan hidup.
2.
Mendasar
Artinya
pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial objek
yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai
dan keilmuan. Jadi, hanya berhenti pada periferis (kulitnya) saja, tetapi
sampai tembus ke kedalamannya.
3.
Spekulatif
Artinya hasil
pemikiran yang didapat dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya. Hasil
pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk menjelajah wilayah
pengetahuan yang baru. Meskipun demikian, tidak berarti hasil pemikiran
kefilsafatan itu meragukan, karena tidak pernah mencapai penyelesaian (Sri
Suprapto Wirodiningrat: 1981, hal. 113-114).
E.
SISTEMATIKA FILSAFAT
Pada
umumnya dapat dikatakan bahwa dengan belajar filsafat semakin menjadikan orang mampu
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia yang tidak
terletak dalam wewenang metode-metode ilmu khusus. Jadi, filsafat membantu
untuk mendalami pertanyaan asasi manusia tentang makna realitas dan ruang
lingkupnya. Kemampuan itu dipelajari melalui dua jalur, yaitu secara sistematik
dan secara historis (Surajiyo: 2005, hal. 17).
Pertama, secara sistematik. Artinya filsafat menawarkan
metode-metode mutakhir untuk menangani permasalahan-permasalahan mendalam
manusia, tentang hakikat kebenaran dan pengetahuan, baik pengetahuan biasa
maupun ilmiah, tentang tanggung jawab, keadilan, dan sebagainya.
Kedua, secara
historis. Melalui sejarah atau historis filsafat kita belajar untuk mendalami,
menanggapi serta mempelajari jawaban yang ditawarkan oleh para pemikir dan
filsuf terkemuka. Menurut Fransz Magnis Suseno (1991) sekurang-kurangnya ada
tiga kemampuan yang sangat dibutuhkan orang pada zaman sekarang yang harus atau
mau memberikan pengarahan, bimbingan dan kepemimpinan spiritual dan intelektual
dalam masyarakat diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Suatu pengertian
lebih mendalam tentang manusia dan dunia. Dengan mempelajari pendekatan pokok
terhadap pertanyaan manusia yang paling hakiki, serta mendalam jawaban-jawaban
yang diberikan oleh para pemikir besar umat manusia, wawasan dan pengertian
kita sendiri diperluas.
2.
Kemampuan untuk
menganalisis secara terbuka dan mengkritisi argumentasi, pendapat, tuntutan dan
legitimasi dari pelbagai agama, ideology, dan pandangan dunia.
3.
Pendasaran metodis
dan wawasan lebih mendalam dan kritis dalam menjalani studi pada ilmu khusus,
termasuk teologi.
Kegunaan filsafat dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu kegunaan secara umum dan kegunaan secara khusus.
Kegunaan secara umum dimaksudkan manfaat yang dapat diambil oleh orang yang
belajar filsafat dengan mendalam sehingga mampu memecahkan masalah-masalah
secara kritis tentang segala sesuatu. Kegunaan secara khusus dimaksudkan
manfaat khusus yang bisa diambil untuk memecahkan khususnya suatu objek di
Indonesia. Jadi, khusus diartikan terikat oleh ruang dan waktu, sedangkan umum
dimaksudkan tidak terikat oleh ruang dan waktu (Surajiyo: 2005, hal. 17).
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami
simpulkan bahwa filsafat berasal dari bahasa Yunani, Kata ini berasal dari kata
Philosophia yang berarti cinta
pengetahuan. Terdiri dari kata Philos yang berarti cinta, senang dan
suka, serta kata Sophia berarti
pengetahuan, hikmah dan kebijaksanaan. Jadi, orang yang berfilsafat adalah
orang yang mencintai kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli hikmah dan bijaksana.
Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai objek, yang
dibedakan menjadi dua macam diantaranya adalah objek material filsafat dan
objek formal filsfat. Sedangkan yang dimaksud dengan Kata methodos berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah,
uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut system aturan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Anton Bakker, 1982. Metode-metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2011. Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat dan
Pendidikan), Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mohammad Noor Syam, 1981. Pengantar Tinjauan Pancasila dari Segi Filsafat,
Malang: Laboratorium Pancasila IKIP Malang.
Surajiyo, 2005. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara.
0 komentar:
Post a Comment