BAB I
PENDAHULUAN
Fitrah sebagai potensi dan sifat dasar
ini dapat dikembangkan oleh manusia sendiri berdasarkan petunjuk dan bimbingan
dari Rasul yang diutus oleh Allah SWT. yang
mengantarkannya sehingga menjadi orang yang beriman.
Oleh karena itu, fitrah anak sebagai
generasi masa depan ini perlu diperhatikan, dipelihara dan dikembangkan,
terutama oleh kedua orang tua selaku pembina dan penanggung jawab dalam membina
sebuah tatanan keluarga. Dari latar belakang diatas, maka disini penulis akan
membahas makalah yang berjudul tentang Fitrah: Potensi dan Sifat dasar manusia
secara singkat dan jelas agar mudah untuk dipahami dan mudah untuk dimengerti.
BAB II
PEMBAHASAN
FITRAH: POTENSI DAN SIFAT DASAR MANUSIA
A. HADIST
TENTANG FITRAH
Artinya: “Diriwayatkan
dari Abu Hurairah R.A, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: “Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan ia menjadi
Yahudi atau Nasrani” (HR. Malik).
B. MUKHARIJUL
HADIST
Mukharijj yang meriwayatkan hadist tersebut di atas adalah
imam Malik. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Abi Amir
al-Ashbahi atau al-Madani. Dinisbahkan demikian sebab ia lahir di tinggal
menetap di Madinah. Lahir di Madinah pada tahun 93 H (712 M), pada tahun itu
juga wafatnya sahabat Annas ibn Malik, seorang sahabat yang paling terakhir
wafat di Basrah.[1]
Malik dikandung oleh ibunya selama 3 tahun. Asal
usulnya yang sesungguhnya berasal dari negeri Yaman. Salah satu seorang
kakeknya yang bernama Abu Amr adalah termasuk diantara sahabat Rasulullah SAW.
Ia mulai memperlihatkan bakat dan minat serta ketekunannya dalam aktivitas
keilmuan sejak usia 10 tahun. Imam Malik tinggal dan menetap di Madinah dan
tidak pernah pergi mengembara ke daerah-daerah lain sebagaiman yang banyak
ditempuh ulama-ulama lainnya dalam rangka mencari hadist. Ia seorang ahli
hadist sekaligus ahli fikih.[2]
Keahlian dibidang hadist dapat dilihat melalui
karyanya yang monumental yang hingga
hari ini tersebar dimana-mana dan kita dapat mengambil manfaatnya, yaitu kitab Al-Muwaththa’. Al-Muwaththa’ artinya
yang memudahkan, tentu saja bagi mereka yang membaca dan mempelajarinya. Dalam
kitab Al-Muwaththa’ selain terhimpun hadist-hadist Nabi yang
berstatus musnad, yang disandarkan dan sampai kepada Nabi juga
terdapat hadist-hadist mauquf, yang disandarkan kepada sahabat saja, dan
hadist-hadist maqthu’, yaitu yang
disandarkan kepada para tabi’in.[3]
Khalifah berharap agar kitab Al-Muwaththa’ itu dapat
menjadi pegangan umat Islam sehingga dapat bersatu. Ketika Al-Muwaththa’ selesai disusun, khalifah minta kepada imam Malik
agar supaya diperbanyak dan dikirim ke kota-kota besar untuk dijadikan sebagai
pegangan umat Islam. Namun, imam Malik menolak permintaan itu dengan alasan
agar umat Islam tetap diberikan kebebasan untuk mengikuti pendapat-pendapat
ulama lain yang mereka anggap lebih kuat.
Sebagai ahli fikih, Imam Malik terkenal sebagai
mujtahid mutlak dan tokoh pendiri
madzhab Malik. Metodologi penetapan hukum dalam madzhab Malik adalah dengan
berdasarkan Al-Qur’an kemudian hadist. Ia mendahulukan praktek penduduk ulama
Madinah daripada hadist abad, kalau terjadi perbedaan antara keduanya. Imam
Malik mendahulukan berpegang pada praktek penduduk ulama Madinah, sebab ulama’
Madinah mewaisi apa yang dipraktekan oleh para ulama salaf. Dan para ulama
salaf mewarisi dari para sahabat. Oleh karena itulah, praktek ulama Madinah lebih
kuat daripada hadist ahad.[4]
Imam Malik wafat pada hari ahad bulan Rabi’ al-Awal 179
H dalam usia 86 tahun setelah merasakan sakit selama 22 hari. Jenazahnya
dimakamkan dipekuburan Baqi’ di Mekah.
C. TAKHRIJUL
HADIST
Hadist tersebut diatas diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththa’
pada hadist nomor 569. Hadist tersebut yang semakna dengannya tercatat sekitar 20 kali dalam kitab-kitab hadist,
khususnya pada al-Kutub at-Tis’ah, yaitu
5 kali dalam Shahih Bukhari, masing-masing pada hadist nomor 1358, 1359, 1385,
4775, dan 6599 dengan susunan redaksi yang berbeda sedikit dengan riwayat
diatas, namun makna dan maksudnya sama saja.
Dalam sunan Abu Daud diriwayatkan dua kali pada
hadist nomor 4714 dan 4716 yang susunan redaksinya sama dengan teks riwayat
imam Malik diatas, dan 7 kali dalam Musnad Ahmad, masing-masing pada hadist
nomor 7141, 7655, 7636, 8858, 9053, 9881, dan 14391. Semua susunan redaksinya
sama dengan riwayat imam Malik di atas kecuali dua riwayat yang sedikit
berbeda.[5]
D. ASBAB
AL-WURUD
Adapun yang melatar belakangi munculnya hadist tersebut
diatas adalah sebagaimana diriwayatkan yang bersumber dari Aswad, katanya: “Aku
datang kepada Rasulullah SAW. dan ikut berperang bersama beliau. Kami meraih
kemenangan dalam perang itu, namun pada hari itu pembunuhan berlangsung terus
menerus termasuk menimpa anak-anak.[6]
Kejadian ini dilaporkan kepada Nabi SAW. Lalu beliau
bersabda: “Keterlaluan, sampai hari ini mereka masih saling membunuh sehingga
anak-anak banyak yang terbunuh. Berkatalah seorang laki-laki, Ya Rasulullah,
mereka adalah anak-anak dari orang-orang musyrik. Rasulullah SAW bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya penopang kami adalah anak-anak orang-orang musyrik
itu. Jangan membunuh keturunan, jangan membunuh keturunan.”[7]
Kemudian beliau bersabda: “Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah. Maka ia tetap dalam keadaan fitrahnya itu sampai lidahnya
berbicara. Kedua orangtuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani,
atau Majusi.
E. FIQHUL
HADIST
Hadist-hadist tersebut diatas, sebagai korelasi dan
lebih mempertegas terhadap pernyataan Nabi SAW. sebelumnya ketika beliau
ditanya oleh para sahabat tentang nasib anak-anak orang musyrik yang meninggal.
Beliau menjawab: “Mereka itu sama seperti orang tuanya”. (HR. Ahmad dan Abu
Daud).[8]
Demikian pula terhadap hadis tentang anak-anak yang dikubur hidup-hidup, Nabi
Muhammad SAW. bersabda yang artinya: “Orang
yang mengubur hidup-hidup dan puterinya yang dikubur hidup-hidup sama-sama
masuk neraka.” (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Oleh para ulama, seperti Abdul Jalil Isa Abu
an-Nashr, menyatakan bahwa kedua pernyaan Nabi SAW. tersebut merupakan ijtihad Nabi SAW. yang
ternyata kurang tepat sehingga mendapat teguran dan klarifikasi dari
Allah hingga muncullah hadist-hadist yang tersebut diatas yang menyatakan bahwa
anak-anak yang baru lahir itu semuanya dalam keadaan fitrah termasuk anak-anak
orang musyrik. Dan jika mereka meninggal
masih dalam keadaan anak-anak belum mumayyiz, maka mereka akan menjadi penghuni
surga.
Pandangan seperti inilah yang dipegang oleh
mayoritas ulama bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, termasuk anak
dari seorang non muslim. Hanya saja terminologi fitrah yang dimaksudkan dalam
hadist-hadist tersebut diatas oleh para
ulama berbeda-beda pendapatnya. Secara sederhana dan populer, kata fitrah dimaknai sebagai suci atau bersih
termasuk bersih dari dosa.[9]
Dilihat dari segi etimologi, kata fitrah berasal dari kata dasar fathara, yang artinya adalah membelah,
membuka, memecah, meretakan, mengoyak-koyak, dan memegang erat[10].
Dari makna inilah lahir dan berkembang makna-makna lain seperti kejadian atau
penciptaan yang menyebabkan sesuatu ada untuk pertama kali.
Fitrah adalah sebagai asal kejadian setiap manusia
yang lahir sebagaimana disebutkan dalam hadist di atas. Asal kejadian ini biasa
juga dimaknai sebagai kondisi awal. Pengertian fitrah sebagai asal kejadian atau
kondisi awal inilah yang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama berpendapat
bahwa fitrah yang dimaksudkan adalah iman bawaan dari lahir atau bawaan Allah
SWT. Memberikan iman kepadanya ketika masih dalam alam rahim. Hal ini
didasarkan pada al-Qur’an sebagai berikut:
øÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPy#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJÍhè öNèdypkôr&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr&
àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2
ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)". (Q.S.
Al-A’raf: 172).
Oleh karena itu, para ulama’ terutama
dikalangan salaf bahwa terminologi fitrah yang dimaksudkan dalam hadist diatas adalah imam. Dengan
demikian, pada hakikatnya setiap manusia lahir dengan membawa anutan atau
pegangan Islam. Hanya karena pengaruh keluarga, sosial, budaya, dan lain-lain
sehingga fitrah itu bisa berubah dan berkembang atau sekaligus bisa menjadi rusak
dan kabur dan akhirnya keluar dari Islam.[11]
Sementara ulama’ lainya berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan fitrah sebagai asal kejadian ialah Allah menciptakan
potensi ma’rifah (potensi untuk beriman) pada diri manusia berbarengan dengan
waktu penciptaanya. Hal ini didasarkan pada Al-Qur’an yang berbunyi sebagai
berikut:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s?
È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.[12]”
(Q.S. Ar-Rum: 30).
Fitrah sebagai potensi dan sifat dasar ini
dapat dikembangkan oleh manusia sendiri berdasarkan petunjuk dan bimbingan dari
Rasul yang diutus oleh Allah SWT. yang
mengantarkannya sehingga menjadi orang yang beriman. Oleh karena itu,
fitrah anak sebagai generasi masa depan ini perlu diperhatikan, dipelihara dan
dikembangkan, terutama oleh kedua orang tua selaku pembina dan penanggung jawab
dalam membina sebuah tatanan keluarga.[13]
Orang tua yang dimaksudkan disini tidak
terbatas pada orang tua dirumah saja, yaitu ayah dan ibu tapi termasuk juga orang
tua disekolah dan kampus, yaitu bapak dan ibu guru serta dosen, dan orang tua
dimasyarakat, seperti tokoh-tokoh masyarakat, agamawan, pejabat, aparat dan
lain-lain. Mengetahui fitrah sebagai potensi dan sifat dasar manusia adalah
sangat penting dan besar manfaatnya diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Pemahaman atas
fitrah akan memberikan harapan yang optimis akan penyelematan dan kesuksesan
dalam menata kehidupan ke arah masa depan
2.
Peahaman atas
fitrah akan menanamkan kepercayaan diri melalui potensinya sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan benar dan
menolak yang jahat dan salah
3.
Pemahaman atas
fitrah akan memacu dan mendorong untuk secara aktif mengejar semua yang baik
dan benar serta menolak segala yang jahat dan keliru
4.
Pemahaman atas
fitrah akan membangkitkan semangat dan daya untuk mengembangkan berbagai
potensi diri yang dimiliki.[14]
Potensi diri yang dimiliki setiap manusia, paling
tidak meliput beberapa macam diantaranya:
1. Potensi kalbu
Tempat penanaman bibit ma’rifah, harus ditumbuh
suburkan sehingga membentuk kekuatan iman. Kekuatan iman merupakan kekuatan
fundamental dan dasar segalanya.
2. Potensi akal
Potensi akal harus diisi dengan ilmu pengetahuan.
Akal secara etimologi dalam bahasa Arab berasal dari akar kata ‘aqala artinya mengikat. Dengan akal
yang normal dan berfungsi akan menjadi pengikut buat yang bersangkutan dalam
menjalankan kehidupan.
3. Potensi tangan
Potensi ini harus diisi dengan sejumlah keterampilan
(skill). Walaupun anak atau generasi
kita beriman dan berilmu, tapi kalau tangan-tangan mereka kosong dengan sejumlah
keterampilan, maka mereka juga akan tersisih dan terpojok oleh situasi dan
kondisi di masa depan yang sangat kompetitif, artinya sarat dengan persaingan
ketat.[15]
Ketiga pontensi dasar tersebut merupakan kunci
utama dalam membangun sumber daya manusia mengantisipasi tantangan sekaligus
harapan dimasa depan. Mengantisipasi dan mempersiapkan anak dan generasi untuk
hidup dalam suatu masyarakat global di era millenium baru tidak ada pilihan
lain kecuali harus meningkatkan kualitas iman dan taqwa, kualitas ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan bekalan sejumlah keterampilan (skill) yang mereka harus miliki dan
kuasai.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Mukharijj yang meriwayatkan
hadist tersebut di atas adalah imam Malik. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah
Malik ibn Anas ibn Abi Amir al-Ashbahi atau al-Madani. Dinisbahkan demikian
sebab ia lahir di tinggal menetap di Madinah. Lahir di Madinah pada tahun 93 H
(712 M), pada tahun itu juga wafatnya sahabat Annas ibn Malik, seorang sahabat
yang paling terakhir wafat di Basrah.
Fitrah
sebagai potensi dan sifat dasar ini dapat dikembangkan oleh manusia sendiri
berdasarkan petunjuk dan bimbingan dari Rasul yang diutus oleh Allah SWT.
yang mengantarkannya sehingga menjadi
orang yang beriman. Oleh karena itu, fitrah anak sebagai generasi masa depan
ini perlu diperhatikan, dipelihara dan dikembangkan, terutama oleh kedua orang
tua selaku pembina dan penanggung jawab dalam membina sebuah tatanan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Wajidi Sayadi, Hadist Tarbawi: Pesan-pesan Nabi SAW. Tentang Pendidikan, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2009).
[1] Wajidi Sayadi, Hadist Tarbawi: Pesan-pesan Nabi SAW.
Tentang Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), hal. 159.
[2] Ibid.
[3] Ibid, hal. 160.
[4] Ibid, hal. 161.
[6] Ibid, hal. 163.
[7] Ibid.
[8] Ibid, hal. 163-164.
[9] Ibid, hal. 165.
[10] Ibid.
[11] Ibid, hal. 166.
[12] Fitrah
Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri
beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal
itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh
lingkungan.
[13] Ibid, hal. 168.
[14] Ibid, hal. 168.
[15] Ibid, hal. 170-171.
0 komentar:
Post a Comment